Jumat, 28 April 2017
Selasa, 11 April 2017
Jumat, 07 April 2017
NUKILAN BUKU ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN KARYA HARIYATMOKO
Nukilan Buku Etika Politik& Kekuasaan
Karangan :
Haryatmoko
BAB 1
FILSAFAT
POLITIK DAN ETIKA POLITIK DALAM KONSTRUKSI BUDAYA POLITIK
Budaya
Politik dan Filsafat Politik
Budaya politik dalam konteks ini,
pertama, mau menekankan aspek normative, kaidah politik, dan terutama pembinaan
nilai dan perwujudan cita-cita seperti kesejahteraan umum, keadilan, dan
keharuman bangsa. Kedua, budaya politik dimaksudkan sebagai yang mengarahkan
dan membentuk tata hidup, perilaku, dan juga etos bangsa. Dengan demikian
aktifitas politik bukan pertama-tama karena kodrat social manusia, melainkan
sesuatu yang diusahakan. Jadi budaya politik yang baik adalah apabila politik
mampu menjamin prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan
solidaritas. (etika politik& kekuasaan; hal 8-9; 2014)
Filsafat
Politik Bukan Ilmu Politik
Ilmu politik mendasarkan pada
pengamatan empiris, sedangkan filsafat politik lebih pada suatu penafsiran
hakikat politik yang dari definisinya sendiri bersifat hipotesis. Tugas
filsafat politik bukan mendeskripsikan fakta, melainkan membangunkan
konsep-konsep yang membuat politik semakin dipahami secara lebih dalam. Konsep civil society tidak hanya berhenti pada
pengertian yang dikontraskan dengan political
society, tetapi syarat dengan makna sejarah dan etika. (etika
politik&kekuasaan; hal 9-10; 2014 )
Dengan kata lain, filsafat politik
tidak bias mengabaikan perkembangan ilmu-ilmu politik. Ilmu-ilmu politik
memiliki ciri khas deskriptif, analitis, dan penjelasan karena ambisi
keilmiahannya, ilmu politik ingin menjangkau ideal sebuah pengetahuan yang
objektif dan merepkan prinsip bebas nilai atau netralitas aksiologis ( yang
tentu tidak mungkin). Sedangkan filsafat politik lebih reflektif, sintesis, dan
menyeluruh sehingga menuntut pengambilan jarak untuk tetap kritis terhadap
realitas politik. (etika politik&kekuasaan; hal 10 ; 2014)
Maka, pendekatan filsafat politik
tidak bias lepas dari acuan kesejarah filsafat politik yang sudah berkembang
sejak zaman yunani. Pendekatan ini berfungsi sebagai pembanding kritik
ideology, kontekstalisasi maupun apa yang disebut oleh Jean Ladriere peran
mendasar: “ Filsafat merupakan upaya rasional untuk memahami struktur-struktur
dasar pengalaman dan realitas” (etika politik&kekuasaan; hal 11; 2014)
Filsafat politik merupakan refleksi
untuk memperdalam segi-segi politik dan dengan upaya ini kehidupan politik
dapat mengungkap struktur-strukturnya, maknanya, dan nilainya. Jadi, filsafat
politik tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk merefleksikan munculnya politik,
makna, dan nilai kategori politik dalam kehidupan manusia. (etika
politik&kekuasaan; hal 11; 2014 )
Filsafat
Politik Dan Perkembangan Politik
Filsafat politik dituntut memahami
kebaruan yang berkembang dewasa ini seperti transformasi Negara, demokrasi,
kewarganegaraan, kekerasan politik, dan kecenderungan pada primor dialesme.
Tuntutan-tuntutan tersebut mencerminkan betapa semakin sulitnya hubungan antara
filsafat politik dan politik ini sendiri. (etika politik&kekuasaan; hal 12
; 2014)
“Politik” menurut Pierre Bourdieu, “
adalah suatu perjuangan demi gagasan-gagasan, tetapi demi suatu tipe gagasan
yang sama sekali khusus yaitu gagasan kekuasaan gagasan yang memberi kekuatan
dengan berperan sebagai kekuatan memobilisasi. Sedangkan mobilisasi itu bukan
politik itu sendiri, melainkan suatu penguasaan kekuatan yang memungkinkan
suatu gagasan masuk kedalam mekanisme politik untuk dapat terwujud. (etika
politik&kekuasaan; hal 13 ; 2014)
Pada tahap teori, yang bekerja ialah
landasan filsofis, argumentasi, kejelian analisis, sedangkan pada tahap praktik,
menyimpan informasi, aktifitas politik, penggunaan atau penyalahgunaan
kekuasaan. Namun pada tahap teori bisa saja terjadi refleksi filosofis
partisan. (etika politik&kekuasaan; hal 14; 2014)
Filsafat
Politik dan Tuntutan Politik Riil
Filsafat
politik selalu dalam ketegangan antara disatu pihak, tuntutan politik riil yang
berarti mendasarkan pada politik deskripsi empiris situasi riil,
praktik-praktik politik dan intitusi-institusi politik; dilain pihak, filsafat
politik mengacu pada kehidupan politik yang baik ( plato, aristoteles )
kebebasan moral dan politik ( locke dan Rousseau) keadilan ( Rawls, Habermas ) (etika
politik&kekuasaan; hal 15; 2014)
Filasafat
Politik Sebagai Ungkapan Tanggung Jawab Politik
Isi
tanggung jawab itu ialah pembentukan mereka yang ambil bagian dalam upaya
memberi kejelasan, dalam perubahan menjadi warga Negara yang mampu berfikir dan
terutama mampu memberikan penilaian politik. (etika
politik&kekuasaan; hal 17; 2014)
Tanggung jawab politik dalam bentuk
sumbangan pemikiran yang reflektif ini dengan sangat jeli diperlihatkan oleh
Hannah Arendt. Filsafat politik ini mengatakan bahwa tiadanya pemikiran
merupakan bentuk kejahatan atau awal dehumanisasi. (etika
politik&kekuasaan; hal 18; 2014)
Kegagalan filsafat politik terletak
pada ketidakmampuan mengakui bahwa pencarian kebenaran menuntut perlakuan
terhadap yang lain dengan penuh hormat, mengakui yang lain sebagai pribadi
moral. Untuk menghindari kegagalan itu filsafat politik dipanggil untuk
pengembangan suatu budaya politik
public. (etika politik&kekuasaan; hal 18; 2014)
Filsafat
Politik dan Ideologi
Salahsatu tugas filsafat politik
ialah mencoba menjelaskan konsep-konsep prinsip-prinsip, mekanisme dan cara
penalaran khas ideology-ideologi politik. (etika
politik&kekuasaan; hal 20; 2014 )
Sebagai perkembangan gagasan
ideology yang pertama bisa ditemukan dalam definisi Raymond Aron, pemikir
politik Prancis beraliran Kanan. Raymon Aron mendefinisikan ideology dengan dua
model. Pertama ideology merupakan system global penfsiran dan tindakan. Kedua
ideology disamakan dengan apa yang disebut sebagai agama secular. Dengan
istilah agama secular dimaksudkan suatu perumusan semi sistematis tentang suatu
visi global dunia nyata, visi yang memberi makna sekaligus pada masa lalu dan
sekarang. (etika politik&kekuasaan; hal 21; 2014)
Konsep umum ideology mengacu pada suatu ideology kelompok
social yang konkret, suatu kelas social, pada saat kita tertarik pada ciri-ciri
khas dan susunan struktur menyeluruh jiwa kelompok social itu. (etika
politik&kekuasaan; hal 22; 2014)
ideologi
berperan sebagai perantara peristiwa pendirinya dan keberadaannya sekarang dan
yang akan datang. Ideologi dianggap sebagai gejala umum pemikiran manusia
sebagai suatu pencarian pembentukan gagasan-gagasan dan strukturasi tindakan.
(etika politik& kekuasaan : hal 24 ; 2014 )
Mekanisme
Ideologi dalam Strukturasi Tindakan Sosial
Ideologi sangat
berperan dalam strukturasi tindakan social. Semua upaya untuk memahami secara
sistematis tindakan social tidak bisa lepas dari fenomena ideologi. Oleh karena
itu fenomena ideologi mengandaikan suatu kemapanan dan dan adanya suatu system
makna yang dapat diperhitungkan. System makna tak bisa lepas dari penafsiran.
Jadi, sistematisasi tindakan social merupakan bidang penafsiran. (etika
politik&kekuasaan; hal 24; 2014)
Sifat negative ideologi yang
mencolok ialah disimulasi, terutama apabila terkait peran kekuasaan. Jika segi
hirarki suatu organisasi social ikut dipertaruhkan, maka kepentingan lalu
mendominasi. (etika politik&kekuasaan; hal 27; 2014)
Tiga
Bentuk Pemiskinan Politik
Pemiskinan
politik itu terungkap dalam tiga bentuk; pertama, dalam penafian perdebatan
ideologi, diskusi tentang nilai-nilai, dan perdebatan tentang prioritas. Kedua,
pemiskinan politik itu terjadi ketika ruang public direduksi menjadi pesar.
Politik menjadi area untuk mempertaruhkan kepentingan kelompok dan pribadi
serta untuk mendapatkan pengakuan. Ketiga, pemiskinan itu terjadi juga dalam
lingkup etika politik. Jika menolak pluralitas dan mempraktikan diskriminasi
tentu bertentangan dengan arah yang dibidik oleh etika politik. Itu berarti
pelecehan terhadap kebebasan. (etika politik&kekuasaan; hal 30; 2014)
Etika
Politik sebagai Titik filsafat Politik
Pemiskinan
politik itu bisa dihadapi apabila filsafat politik mendapat tempat karena dua
alasan; pertama, dalam filsafat politik orang tidak hanya berhenti pada cara
berfikir monokausal. Orang diajak mencari hakikat politik, meneliti sumber dan
dasarnya; menganalisis beragam system politik, yang riil dan yang mungkin;
menspesifikasi tujuan-tujuan politik; menentukan kategori-kategori
institusional dan rezimnya. Dengan demikian orang diajak kritis, mampu membuat
perbandingan dan ditantang membuka alternative sehingga tidak terjerat pada
keyakinan ideologis ideologi yang sempit. (etika politik& kekuasaan; hal
30; 2014)
Alasan kedua terkait dengan etika
politik. Eric Weil, yang mengambil posisi bertentangan dengan Machiavelli, mengatakan
bahwa filsafat politik merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan
melampauinya dalam suatu teori tentang Negara. Jadi, perku ditunjukan bahwa
filsafat politik beranjak dari moral. Moral sebagai titi tolak filsafat politik
menjadi penting karena akan mengetuk nurani. (etika politik& kekuasaan; hal
31; 2014)
Tampak jelas bahwa filsafat politik
mengandaikan tiga hal; pertama, pengambilan jarak dan kritis terhadap realitas
politik; kedua, filsafat politik menuntut perspektif tertentu dan pengujian
nilai-nilai, termasuk nilai-nilai moral; ketiga, filsafat politik hanya mungkin
dalam perbandingan dengan suatu ideal yang melibatkan suatu konsepsi tentang
manusia dan tujuannya. Jadi, warna normative filsafat politik sangat kuat.
(etika politik&kekuasaan; hal 32; 2014)
Dimensi-Dimensi
Etika Politik
Etika
politik memiliki tiga dimensi; tujuan, sarana, dan aksi politik itu. Etika
politik mengandung aspek individual dan social. Di satu pihak, etika politik
sekaligus adalah etika individual dan etika social; etika individual karena
membahas masalah kualitas moral pelaku;
etika social karena merefleksikan masalah hukum, tatanan social, dan institusi
yang adil. (etika politik& kekuasaan; hal
33; 2014)
Etika
politik ini memiliki tiga dimensi, pertama, adalah tujuan politik; kedua,
menyangkut masalah pilihan saran; ketiga, berhadapan dengan aksi politik. Yang
terakhir ini langsung terkait dengan prilaku politikus. Dimensi tujuan terumuskan
dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan
pada kebebasan dan keadilan. (etika politik&kekuasaan; hal 33-34; 2014)
Dimensi
etika politik kedua ialah saran yang memungkinkan pencapaian tujuan (polity).
Dimensi ini meliputi system dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik
penyelenggaraan Negara dan yang mendasari institusi-institusi social. (etika
politik&kekuasaan; hal 35; 2014)
Dimensi
ketiga etika politik adalah aksi politik (politics). Dalam dimensi etika ketiga
ini pelaku memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas politik.
Rasionalitas politik terdiri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas
moral pelaku). (etika politik&kekuasaan; hal 37; 2014)
Kesimpulan
Kalau filsafat politik dan etika
politik mau menyumbang konstruksu budaya politik, ada dua kemungkina; aspek
normative dan penalaran politik yang benar. Etika politik menunjuk aspek
normative budaya politik santun. Pertama, etika politik mengajak untuk berpikir
secara kritis dalam arti menempatkan pada posisi oranglain. Kedua, etika
politik membantu untuk memberikan penjelasan isi normative yang ditnjukan pleh
sejarah, fakta ekonomi, social, atau budaya. Ketiga, etika polituk menguji dan
mengkritik legitimitas keputusan politik, institusi, dan praktik politik. Dasar
pemikirannya ialah semua tindakan dan praktik kekuasaan membutuhkan legitimasi.
(etika politik&kekuasaan; hal 37-38; 2014)
BAB II
KEJAHATAN STRUKTURAL, KEKERASAN
TERLEMBAGA, DAN HASRAT MIMESIS
Kejahatan yang menjadi akibat
langsung politik kekuasaan ialan kejahatan structural. Pemahaman kejahatan
structural tidak dipisahkan dari tindakan moral. Menimpakan kesalahan dan
tanggung jawab, terutama dalam kasus kekerasan terlembaga, tidak mudah.
Struktur-struktur yang mendukung kekerasan itu seakan memberi peluang bagi
alibi tanggung jawab. Maka, pemahaman hasrat mimesis pelaku dari perspektif
Rene Girard akan melengkapi refleksi ini dengan demikian, factor kemarahan,
kebencian, dan balas dendam
diperhitungkan dalam memahami kekerasan. (etika politik&kekuasaan; hal 41;
2014)
Tiga
Dimensi Tindakan Manusia, Kejahatan Struktual, dan Etika Sosial
Kejahatan atau keutamaan ditentukan
oleh tiga dimensi tindakan manusia. Pertama yang terkait dengan diri subjek
pelaku, yaitu masalah kehendak baik atau jahat masalah kebebasan, masalah
pengetahuan. Kedua, masalah konteks atau situasi yaitu masalah tempat maupun
waktu, termasuk konteks komunitas konteks tindakan dilihat dari tiga dimensi
waktu yang lalu sekarang dan yang akan datang. Orang bisa bekerja sama
melakukan kejahatan dengan tiga cara. 1. Menjadi pendorong dilakukannya
kejahatan. 2. Bekerja sama melakukan kejahatan. 3. Tidak berusaha mencegah atau
menghindarkan terjadinya kejahatan. Ketiga adalah masalah tujuan, hasil,
resiko, atau konsekuensi. (etika politik&kekuasaan; hal 42-43; 2014 )
Tiga dimensi sturkturasi yang
dominan didalam masyarakat ialah pemaknaan, dominasi, dan legitimasi. Maka
kejahatan structural harus dilihat dari kacamata dimensi-dimensi strukturasi
tersebut, terutama dari dominasi dan pencarian legitimasi. Interaksi kekuasaan
yang akan menghasilkan suatu dominasi sangat dipengaruhi oleh fasilitas yang
ada ( ekonomi, budaya, politik, dan ideologi.) (etika politik&kekuasaan;
hal 43 ; 2014 )
Oleh karena itu, struktur-struktur
kejahatan itu cenderung semakin kuat, terbesar, dan menjadi sumber
kejahatan-kejahatan lain. (etika politik&kekuasaan; hal 46; 2104)
Kekerasaan
Terlembaga
Kejahatan
structural yang paling berbahaya ialah yang langsung terkait dengan kekerasaan
dan kekerasan yang sulit dibongkar ialah kekerasan psikologis yang dipakai
dalam system social politik. Disebut kekerasan yang terlembagakan karena
kekerasan ini bukan sekedar Sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau sesaat
saja, tetapi didukung oleh bangunan system social dan politik. (etika
politik&kekuasaan; hal 54; 2014)
Dalam kebanyakan Negara-negara dunia
ketiga, kekerasan yang dilembagakan ini memakan korban kaum oposan, orang-orang
miskin dan tersingkir kelompok minoritas. Kejahatan hanya akan menumbuhkan
balas dendam dari penguasa, artinya kekerasan hanya menjadi alat penguasa.
(etika politik&kekuasaan; hal 55; 2014)
Jadi kekerasan dalam konteks ini
lahir dari kepahitan-kepahitan yang menumpuk karena dikondisikan dan karena
perasaan bersalah oleh kesediaannya, baik sadar atau tidak sadar, digunakan
oleh yang lain. Ada tiga macam perasaan yang terselip didalam situasi seperti
itu. Pertama, perasaan campur aduk antara perasaan terhina, kebencian, dan
permusuhan. Kedua, suatu perasaan tanpa daya untuk mengungkapkan apa yg
dirasakan berhadapan dengan struktur yg menindas dan tergoyahkan. Ketiga, suatu
pengalaman selalu kembali rasa permusuhan yang tak mampu merealisasikannya.
(etika politik&kekuasaan; hal 58; 2014)
Hasrat
Mimesis dan Kemarahan
Kemarahan adalah
buta, maka akan dengan mudah ditipu dan dialihkan. Kemarahan akan menyesuaikan
sarana apa saja atau kerjasama macam apa saja yang akan membantu untuk
melampiaskan balas dendam. (etika politik&kekuasaan; hal 60 ; 2014)
Kemarahan, perasaan terhina, dan
keinginan balas dendam sulit dialihkan kekorban pengganti. Korban penganti itu
hanya akan mampu memuaskan hasrat balas dendam itu apabila korban pengganti
mempunyai hubungan entah langsung atau tidak dengan objek kemarahan. Jadi mimesis
konfliktual tidak akan berakhir didalam korban pengganti. (etika
politik&kekuasaan; hal 61; 2014)
Hasrat dasaryah manusia ialah
mimesis (meniru). Mimesis atau meniru yang telah berubah menjadi hasrat untuk
memperoleh tidak dapat dihindarkan berubah menjadi mimesis konfliktual. Jadi
hasrta itu bersifat metafisik karena berakar pada kekurangan diri subjek dan
didasarkan kepada keyakinan bahwa perantara akan menutup kekurangan itu. (etika
politik&kekuasaan; hal 62; 2014 )
Kekerasan merupakan perwujudan kecenderungan
mimesis yang alamiah sebagai suatu persaingan melalui perantara yang kemudian
menjadi penghalang. Jadi kekerasan adalah bentuk deformasi hasrat atau
keinginan. (etika politik&kekuasaan; hal 63; 2014)
Kesimpulan
Kejahatan
structural bukan suatu kejahatan anonym yang tidak bisa ditimpakan tanggung
jawabnya kepada pelaku. Ia merupakan kejahatan moral (juga hukum)sebagai akibat
dari kejahatan pribadi dan kolektif yang menghasilkan struktur-struktur yang
mengondisikan tindakan baik individu maupun kolektif mengarah ke kejahatan.
(etika politik&kekuasaan; hal 66; 2014)
BAB III
JANGAN BIARKAN AGAMA MENJADI LANDASAN
IDEOLOGI KEKERASAN!
Tiga
Peran Agama yang Rentan Kekerasan
Tiga pemahaman
peran agama yang bisa menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan adalah
pertama, agama sebagai kerangka penafsiran religious terhadap hubungan
social(fungsi ideologis); kedua, agama sebagai factor identitas; ketiga, agama
sebagai legitimasi etis hubungan social. Pertama, peran agama sebagai ideologi.
Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam
pemaknaan hubungan-hubungan social. Kedua, agama dalam perannya sebagai factor
identitas dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok social
tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas social status, pandangan hidup,
cara berpikir, dan etos tertentu. Ketiga, agama menjadi legitimasi etis
hubungan social. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, peran agama
yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan soial, tetapi suatu tatanan social
mendapat dukungan dari agama. (etika politik&kekuasaan; hal 71-72; 2014)
Peran agama; pertama, kita diajak
untuk menyadari agama bukan suatu entitas suci yang tak tersentuh, tetapi
menjadi konkret dalam penghayatan pemeluknya dengan institusi, ritus, system
ajaran norma, moral, dan pemuka-pemukanya. Kedua, menafisrkan ajaran atau teks
kitab suci suatu agama bukan hanya masalah teknis atau normative, melainkan
juga diukur dari buahnya, artinya apakah penafsiran itu membawa kita pada
pemahaman diri lebih baik. Ketiga, penerimaan pluralitas tidak cukup kalau
hanya atas dasar tuntutan realitas; demi keteraturan dan keselarasan hidup
bersama. (etika politik&kekuasaan; hal 79-80; 2014)
BAB IV
DEMOKRASI, RADIKALISME, DAN KEKERASAN
Kebebasan
Berpendapat dan Kekerasan
Demokrasi
diidentikan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan berpendapat
ini dihalangi, demokrasi sebagai system politik terancam. Hipotesis ini mau
mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti kemampuan komunikasi,
menjalankan fungsinya, yaitu menggantikan kekerasan. Oleh karena itu sudah
sejak demokrasi yunani kuno, orang mendefinisikan kebebasan berpendapat sebagai
wacana yang menjadi sarana utama dan ekslusif bagi tindakan politik. Di
Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi saran utama dan
eklusif bagi tindakan politik, meskipun demokratisasi terus bergulir.
Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana
dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. (etika politik&kekuasaan;
hal 104; 2014)
Memang, dengan memberi kebebasan
berpendapat bukan berarti bahwa lingkup public bisa dibersihkan dari tindak
kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap ada dan akan tetap terjadi
bahkan di dalam wicara. Memang benar wicara merupakan alternative terhadap
kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternative terhadap kekerasan simbolis
yang masih sering terjadi di dalam wacana. (etika politik&kekuasaan; hal
105; 2014)
Terorisme
dan Politik Porno
Terorisme itu
sering digunakan untuk mengkualifikasi tindakan musuh, seperti halnya arti
ideologi menurut Napoleon. Raja prancis ini mendefinisikan ideologi sebuah
pemikiran musuh-musuh politiknya (Jean Baechler, 1976). Demikian pula dianggap
teroris oleh Amerika Serikat, bosan diouja sebagai pahlawan oleh pengikut dan
simpatisan Osama bin Laden. Tetapi, apapun istilah yang dipakai, siapa pun yang
menyebut fakta telah menunjukan telah terjadi kekerasan yang meninggalkan
korban. Kebanyakan korban tidak bersalah dan dalam posisi lemah. Mereka adalah
korban kekerasan politik. (etika politik&kekuasaan; hal 115; 2014)
Politik
Porno dan Kekerasan
Yves Michaud
dalam Violence et Politique (1978)
secara sarkastis menyebutkan politik porno semua bentuk kekerasan politik untuk
tujuan tertentu. Porno berasal dari bahasa yunani, porneia, yang berarti
‘hal-hal yang tidak senonoh’. Politik porno merupakan manajemen kekerasan
sebagai cara yang efisien dan andal. (etika politik&kekuasaan; hal 115;
2014)
Masuk dalam kategori politik porno
ini demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan, untuk
biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan
ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan
jalnan oleh kelompok tertentu. Politik porno ini mengakibatkan korban yang
tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi trauma. Prinsip yang di pegang
politik porno ini ialah “tujuan menghalalkan cara”. (etika politik&kekuasaan;
hal 116; 2014)
Kesimpulan
Melihat masih
meluasnya penggunaan kekerasan sebagai alat politik, cita-cita demokrasi
menjadi lebih riil apabila menekankan kemampuan system politik ini untuk
membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai. Untuk tujuan ini, perlu
ada koreksi terhadap demokrasi, terutama, pertama, terhadap masalah
representavitas. Masalah kedua yaitu yang perlu dikoreksi adalah system
representasi yang disamakan dnegan masalah menjual produk. Apabila mekanisme
ini yang ditekankan kompetisi kekuasaan yang dilembagakan masih menjadi
motivasi utama. (etika politik&kekuasaan; hal 131-132; 2014)
BAB V
STRUKTUR KEJAHATAN KORUPSI DAN TANGGUNG
JAWAB
Konflik antaragama, pertarunfan
kekuatan demi kepentingan tertentu, dan kekerasan yang terlembaga membawa
akibat adanya korban, kerusakan, atau kerugian yang bisa langsung dilihat.
System ekonomi tertentu dan korupsi bisa mempunyai akibat lebih dahsyat tanpa
bisa terlihat hubungan langsung sebab akibat karena antara keputusan atau tindakan
dan konsekuensi-konsekuensi atau korban ada jarak. Keputusan teknokratis
membangun industrri pesawat terbang nurtanio, usaha padat modal yang menguras
dana anggaran pendapatan dan belanja Negara dan dianggap tidak berhasil itu,
tidak bisa dilihat secara langsung siapa menjadi korban. Dalam kasus korupsi
dan kolusi triliunan rupiah oleh konglomerat dan pejabat, dampak yang langsung
merugikan rakyat juga tidak langsung terlihat. Maka korban tidak langsung
terlihat karena adanya jarak keputusan dan korban. (etika
politik&kekuasaan; hal 134-135; 2014)
Memang hukum penal dengan system
individualisasi kesalahan akan mempermudah pembongkaran kejahatan korupsi,
tetapi cenderung menjadi proses penunjukan kambing hitam daripada membongkar
jaringan kejahatan tersebut. Padahal masalah korupsi selain tanggng jawab moral
dan hukum, tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab politik atau politik yang
bertanggung jawab dimana praktik-praktik penyelenggaraan Negara diharapkan
sesuai dengan etika politik. (etika politik&kekuasaan; hal 135; 2014)
Etika politik membidik “tujuan hidup
baik bersama dan untuk orang lain dalam institusi-institusi yang adil dan dalam
kerangka memperluas lingkup kebebasan”. Dalam perspektif ini korupsi akan
dilihat sebagai bentuk negasi terhadap ketiga unsur etika politik tersebut;
pertama, korupsi merusak sendi-sendi penopang “hidup baik bersama dan untuk
orang lain…” karena yang dicari adalah kepentingan diri atau kelompok saja.
(etika politik&kekuasaan; hal 135; 2014)
Pertama, korupsi jalan pintas, yaitu
dalam kasus-kasusu penggelapan uang Negara, perantara ekonomi,dan politik,
sector ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Kedua, korupsi upeti, yaitu
bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Ketiga, korupsi
kontrak, korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau
pasar, masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas
pemerintah. Keempat, korupsi pemerasan yang sangat terkait dengan jaminan
keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira
menengah tentara nasional Indonesia atau polisi menjadi manajer human recources department atau
pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. (etika
politik&kekuasaan; hal 136-137; 2014)
Orang yang terjun di dunia politik
masih dengan mentalis animal laborans
(Hannah Arendt,1958) dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus
produksi konsumsi sangat dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat
mata pencaharian utama.sindrom yang menyertai salah satunya adalah korupsi. Hal
ini sangat mungkin karena fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik
(pejabat), dan ideologi (pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang
mendorong korupsi itu. Modalitas tersebut sering dianggap sebagai sesuatu yang
di peroleh dengan usaha atau suatu prestasi sehingga penggunaanya untuk bisa
mendatangkan kekayaan dianggap wajar. Maka, tidak mengherankan bahwa tidak ada
perasaan bersalah. (etika politik&kekuasaan; hal 137; 2014)
Mengapa
Koruptor Tidak Merasa Bersalah?
Salah satu
jawaban atas pertanyaan ini adalah karena banyak orang yang melakukannya atau
suatu bentuk banalisasi korupsi.
Karena banyak orang yang melakukannya dan sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah
bisa mengubah yang jahat menjadi baik. Padahal yang sebenarya terjadi ialah
bahwa kebiasaan jahat telah membungkan nurani pelaku. (etika
politik&kekuasaan; hal 138; 2014)
Kebiasaan
akan Membungkam Rasa Bersalah
Seperti kata
Aristoteles, keutamaan dipeerole bukan pertama-tama melalui pengetahuan,
melainkan melalui habitus, yaitu
kebiasaan melakukan yang baik. (etika politik&kekuasaan; hal 138; 2014)
Kalau orang bisa hidup enak dari
korupsi, dan banyak orang melakukannya, tidak perlu lagi berpikir, mengambil
jarak, dan mempertanyakan makna dari tindakannya. Dan kiatnya justru “jangan
sekali-kali berpikir tentang nilai moral!” kegiatan yang terakhir ini harus
melibatkan kesadaran reflektif ( mengambil jarak, kritis, mempertanyakan, dan
memberi makna tindakan ) yang merupakan kegiatan yang melelahkan. Apalagi
implikasi kesadaran reflektif menuntut perubahan. (etika politik&kekuasaan;
hal 139; 2014)
Dalam upaya mencari pembenaran
tindak korupsi ini, kelihatan proses bagaimana para koruptor bisa tidak merasa
bersalah. Ada beberapa alasan: kenikmatan lebih besar daripada ancaman rasa
sakit; impersonalisasi korban korupsi; mekanisme silih atas kejahatan. (etika
politik&kekuasaan; hal 139; 2014)
Nikmat
Lebih Besar berkat Impunitas
Banyak koruptor
di Indonesia menikmati impunitas (tiadanya sanksi hukum). Kemungkinan ketahuan
sangat kecil karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan. Seandainya
tertangkap dan diproses secara hukum besar kemungkinan, lepas dari jerat hukum.
Bisa karena aparat penegak hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang
mampu memberi alibi, melemahkan bukti hukum mementahkan keterangan saksi yang
memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan. Dalam banyak kasus,
proses hukum seperti itu justru berbalik menjadi alat pembersihan diri dan
rehabilitasi pelaku korupsi. Dengan cara itu koruptor bisa merasa bisa
dibebaskan dari beban rasa bersalah. Padahal yang legal tidak sama dengan yang
moral. (etika politik&kekuasaan; hal 140; 2014)
Korban
Korupsi Tak Berwajah
Pemberian nama kejahatan kerah
putihbsudah meringankan beban, artinya tidak diperlaukan seperti pencuri ayam
atau penodong. Istilah kerah putih itu sendiri memberi aroma elite, sebuah
eufemisme yang melegakan karena berarti tidak akan dilakukan oleh buruh kasar
atau orang yang tak berpendidikan. (etika politik&kekuasaan; hal 140-141;
2014)
Kalau yang dirugikan Negara, siapa
itu Negara? Negara tidak bisa sedih, ia tidak bisa menangis. Kalau yang
dirugikan rakyat, siapakah yang dimaksud rakyat? Orang banyak itu tidak punya
wajah, berarti sama dengan anonym. Lagi-lagi berhadapan dengan korban anonym
Karena yang namanya konsumen itu juga orang banyak. Orang banyak itu tak punya
wajah. (etika politik&kekuasaan; hal 141; 2014)
Kalau korupsi itu dilakukan dengan
memeras orang-orang yang menginginkan jabatan tertentu, orang-orang itu akan
mendapat untung jauh lebih banyak daripada yang harus dibayarkan. (etika
politik&kekuasaan; hal 141; 2014)
Semua ini gara-gara korban tidak
punya wajah alias anonym, tetapi juga karena aparat penegak hukum yang sudah
busuk. Jadi sekali lagi perasaan bersalah tidak ada gunanya alias tidak perlu.
(etika politik&kekuasaan; hal 142; 2014)
Mekanisme
Silih atas Kejahatan
Dalam kegiatan
politik, berkat hasil korupsi, partainya mendapat perolehan kursi wakil rakyat
lebih banyak, akan semakin menghapus perasaan bersalah itu. Dana kampanye,
biaya menyogok wakil rakyat bisa dipenuhi. Dan pada gilirannya, semakin
memperkokoh kekuasaan sehingga terbuka peluang lagi untuk korupsi. Hal hal
seperti ini mengacu partai –partai berebut jabatan-jabatan basah untuk mendanai
pemilu berikutnya. (etika politik&kekuasaan; hal 142; 2014)
Koruptor dapat menghilangkan rasa
bersalahnya dengan bersembunyi dibalik kepentingan partai atau institusi
tertentu. (etika politik&kekuasaan; hal 143; 2014)
Para koruptor itu merasa di atas
hukum. Mereka merasa akan di bela oleh institusi atau organisasi yang
memperkerjakan. (etika politik&kekuasaan; hal 143; 2014)
Ada tiga kesimpulan yang bisa ditarik
dari masalah struktur-struktur korupsi ini. Pertama, praktik penyelenggaraan
Negara yang sudah menyebar dan menjadi biasa menyebabkan distorsi di dalam
pemaknaan perilaku politik, artinya pembedaan yang baik dan yang jahat menjadi
kabur. Kedua, masalah impunitas para koruptor mencerminkan betapa lemahnya
perangkat hukum, busuknya aparat penegak hukum, dan rendahnya wibawa kekuasaan.
Kelemahan itu menunjukan bahwa interaksi social yang terkait dengan masalah
sanksi atau moralitas (bdk. A. Giddens, 1986) mengalami kemerosotan sehingga
legitimasi tindakan dengan mudah bisa diperoleh melalui rekayasa. Ketiga,
campur tangan kekuasaan di dalam lembaga peradulan. Campur tangan ini dimungkinkan karena
fasilitas kekuasaan, yaitu dalam hal penunjukan pejabat-pejabat lembaga
peradilan dann aparat hukum, fasilitas ekonomi, masalah dukungan politik
(kekuatan tawar). Dengan demikian, legitimasi yang seharusnya ditentukan oleh
hukum, norma, atau aturan tertentu menjadi sesuatu yang ditentukan oleh
kekuasaan. (etika politik&kekuasaan; hal 145; 2014)
Sebab-sebab
Korupsi
Dari ketiga
sudut pandang interaksi social itu, menjadi jelas sebab pertama meluasnya
praktik korupsi adalah karena mengabaikan adanya konflik kepentingan. (etika
politik&kekuasaan; hal 145; 2014)
Masih terkait dengan hal menutup
mata terhadap konflik kepentingan adalah sebab kedua korupsi yang berasal dari
konsentrasi kekuasaan dan tidak efektifnya control. (etika
politik&kekuasaan; hal 146; 2014)
Sebab ketiga korupsi ialah
pengambilan keputusan yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat
berwenang, yang sebenarnya terjadi banyak keputusan melalui prosedur negoisasi
dengan pihak-pihak yang terkait dengan bidang social dan ekonomi. (etika
politik&kekuasaan; hal 146; 2014)
Titik rawan penyebab korupsi keempat
ialah kebutuhan partai-partai politik untuk mendanai pemilu. Partai-partai
politik berlomba-lomba dalam kampanye yang menjadi semakin mahal kalau mau
memenangkan wakil mereka entah di dalam lembaga legislative maupun eksekutif.
(etika politik&kekuasaan; hal 147; 2014)
Korupsi merupakan masalah yang sudah
parah di Indonesia. Bukan hanya masalah mentalitas orang, tetapi juga system
social politik yang korup dan ketidakmampuan membangun mekanisme control yang
efektif. (etika politik&kekuasaan; hal 147; 2014)
Tanggung
Jawab Politik Moral
Istilah tanggung jawab politik mau
menggarisbawahi bahwa korupsi tidak hanya permasalahan hukum, tetapi korupsi di
Indonesia sudah menyentuh sendi-sendi tanggung jawab sebagai warga Negara dalam
kehidupan bernegara. Dengan kata lain korupsi sudah menghancurkan pilar
kehidupan politik yang bertanggung jawab. Politik yang bertanggung jawab adalah
politik yang memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan
pertarungan kekuatan. (etika politik&kekuasaan; hal 148; 2014)
Kesulitan
Identifikasi Pelaku dan Batas Tanggung Jawab
Harus diakui
dalam masalah korupsi terdapat tiga kesulitan utama; pertama, kesulitan
mengidentifikasi yang bertanggung jawab dalam arti pelaku yang mengakibatkan
kerugian; kedua, ialah sejauh mana tanggung jawab itu akan meluas baik yang
terkait dengan tempat maupun waktu. Ketiga, ialah bagaimana nasib restitusi
atau reparasi dalam pertanggungjawaban kalau tidak ada lagi hubungan timbal
balik anatara pelaku yang telah merugikan dan korban yang menderita kerugian?
(etika politik&kekuasaan; hal 149; 2014)
Kesulitan identifikasi pelaku tak
bisa dilepaskan dari individualisasi hukuman yang merupakan bagian dari system
hukum penal. Jadi pertanggungjawaban itu berasal dari sejumlah keputusan
individual, yang saling terkait dalam sejumlah campur tangan dan mempunyai
makna pada tingkat system yang terlembagakan, mislanya birokrasi, militer,
organisasi. (etika politik&kekuasaan; hal 149; 2014)
Kesulitan kedua ialah bagaimana
menghadapi akibat tindakan yang sering tidak dimaksudkan bahkan berlawanan
dengan yang dimaksudkan dan tindakan yang tidak bisa diramalkan akibatnya.
(etika politik&kekuasaan; hal 150; 2014)
Kesulitan ketiga ialah bagaimana
nasib aspek reparasi atau restitusi dalam pertanggungjawaban? Masalah ini
diajukan terutama pada kasus-kasus dimana tidak ada lagi hubungan timbal balik
antara pelaku yang merugikan dan korban. (etika politik&kekuasaan; hal 151;
2014)
Kesalahan
dan Tanggung Jawab Politik Moral
Pertama,
kesalahan criminal ialah subjek dianggap bersalah karena melanggar hukum
positif yang berlakumdalam suatu masyarakat. Individu criminal ini bisa
dihadapkan ke pengadilan dan menerima hukuman (retribusi) atau harus membayar
ganti rugi (reparasi,restitusi). (etika politik&kekuasaan; hal 152; 2014)
Kedua, keslahan politik bisa
ditimpakan kepada suatu bangsa atau kelompok warga Negara yang menyetujui entah
sadar atau tidak (konspirasi atau connvience)
tindakan criminal (pembantaian warga yahudi oleh nazi, warga bosnia oleh
Serbia, dan korupsi yang menghancurkan suatu bangsa). Ketiga, kesalahan moral
bukan pelaku kesalahan yang berhadapan dengan sanksi dan kewajiban untuk
reparasi, tetapi pelaku yang bersalah dihadapan pertama-tama pada tanggungjawab
terhadap oranglain yang harus menanggung risiko, konsekuensi atau akibat dari
tindakanya. (etika politik&kekuasaan; hal 153; 2014)
Dengan demikian tanggung jawab tidak
pertama-tama diarahkan pada penilaian hubungan antara pelaku dan
akibat-akibatnya, tetapi meluas pada hubungan antara pelaku dan mereka yang
menanggung akibatnya. (etika politik&kekuasaan; hal 154; 2014)
Keempat, kesalahan metafisik dimana
pelaku yang bersalah di hadapkan didepan tuhan dan mengaku betapa ia telah di
abaikan solidaritas total (dosa). Untuk menutupi masalah ino, para koruptor
menyumbangkan sebagian hasil korupsi untuk pembangunan rumah ibadat, atau
melakukam ziarah ke tempat-tempat kudus. (etika politik&kekuasaan; hal 155;
2014)
Kesimpulan
Kejahatan structural dikondisikan
atau dipicu oleh keputusan atau aturan-aturan. Ia juga dipicu oleh perangkat
perubahan hubungan-hubungan yang diorganisasi sebagai milik dari system-sistem
social. Dua pemicu kejahatan structural ini juga menjadi factor pendorong
korupsi. Etika politik berfungsi memantapkan struktur-struktur social politik
itu agar pengorganisasian hidup bersama semakin rasional, artinya sesuai dengan
moral. Korupsi merupakan bentuk negasi terhadap etika politik. Etika politik
dipahami sebagai upaya untuk hidup baik bersama dan untuk orang laim dalam
kerangka memperluas kebebasan dan menciptakan institusi yang adil. Pertama,
koru[si merusak sendi-sendi penopang hidup baik bersama orang laim karena hanya
kepentingan pribadi atau kelompok yang diutamakan. Kedua, korupsi menghalangi
upaya membangun institusi-institusi yang adil karena pada dasarnya korupsi
adalah wujug ketidakadilan dan beroperasi melawan perwujudan kesejahteraan
bersama. (etika politik&kekuasaan; hal 161; 2014)
BAB VI
MEMBANGUN BUDAYA POLITIK DAN
MEMBANGKITKAN INGATAN SOSIAL
Obsesi
Siklus Produksi Konsumsi Pasar Menghalangi Penerimaan Pluralitas
Bertitik tolak
dari tiga kegiatan dasariah manusia; kerja, karya, dan aksi politik, pemahaman
tentang pluralitas mendapatkan penjelasanya. Kerja merupakan tuntutan agar
manusia bisa hidup. Seperti binatang manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasariah untuk hidup. Maka manusia pada tingkat ini disebut animal laborans (binatang yang bekerja),
yang mengonsentrasikan diri pada eksistensinya, artinya fokusnya masih pada
tubuh dan kodrat biologisnya. “ bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup,
dan perbudakan ini melekat pada kondisi kehidupan manusia”. (etika
politik&kekuasaan; hal 173; 2014)
Sedangkan melalui karya, manusia
menghasilkan objek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari
ketertundukan binatang. Maka, manusia disebut homo faber (manusia yang mencipta). Sebagai homo faber manusia menciptakan objek yang berguna untuk dunia agar
pantas bagi habitat manusia. (etika politik&kekuasaan; hal 174; 2014)
Apa makna perbedaan kerja dan karya?
Kerja merupakan pengalaman yang sama bagi semua orang agar bisa hidup. Tidak
ada karya tanpa kerja. Karya mengandaikan kerja, kerja mengharapkan bisa
menjadi karya sebagai ungkapan khas manusia. (etika politik&kekuasaan; hal
175; 2014)
Aksi
Politik Membangun Ruang Publik Menuju Politik Santun
Konsep aksi
politik tidak bisa dilepaskan dari konsep ruang public. Ruang public terdiri
dari dua dimens; pertama, ialah ruang kebebasan politik dan kesamaan. Kedua
ialah dunia bersama, maksudnya semua bentuk institusi dan lingkup yang memberi
konteks permanen bagi kegiatan warga Negara. (etika politik&kekuasaan; hal
176; 2014)
Ada saling keterkaitan antara ruang
public, pluralitas dan aksi politikseperti dikatakan Hannah Arendt;” aksi
politik merupakan satu satunya aktivitas yang menghubungkan secara langsung
antar manusia tanpa perantara objek maupun materi. (etika
politik&kekuasaan; hal 177; 2014)
Ingatan
Sosial: Mencegah Terulangnya Kekerasan?
Istilah ingatam social merupakan
pilihan yang disengaja daripada ingatan kolektif. Kedua istilah ini dipakai
oleh sosiolog Prancis, Maurice Halbwachs (1877-1945). Pada tahun 1950
diterbitkan post-hume bukunya dengan
judul La Memoire Collective (ingatan kolektif). Pemikiran
tentang ingatan ini bagi Halbwachs dalam Les
Cadres Sociauax merupakan
perjuangan politik dan epistemology melawan Bergson dimana ia di mengumumkan
suatu rasionalisme baru, suatu teori baru tentang kemajuan yang sekaligus
psikologi dan politik. (etika politik&kekuasaan; hal 188; 2014)
Ingatan social adalah abadi,
sementara sekarang (sejarah) hanya berlangsung pada suatu saat sebagai ingatan
kolektif. (etika politik&kekuasaan; hal 189; 2014)
Ingatan social menjadi actual untuk
dibahas di Indonesia dewasa ini karena kekerasan dan pembunuhan masal yang
selalu terulang. Orang mulai curiga jangan-jangan tiadanya proses hukum
terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematis untuk
mengubur ingatan social. Korban pun sulit mendapat pengakuan sebagai korban, bahkan
mengalami viktimisasi kedua. (etika politik&kekuasaan; hal 189; 2014)
Bangsa
Tanpa Ingatan Sosial, Bangsa Tanpa Masa Depan
Mengapa perlu
ingatan social? Jawabannya sederhana, yaitu untuk bertindak lebih bijaksana dan
lebih hati-hati. Menghidupkan ingatan social berarti membangun bersama proyek
perdamaian dan berusaha tidak mengulang kekeliruan masa lampau yang tragis,
yang masih menghantui dan melukai ingatan social. Bangsa yang tanpa ingatan
social adalah bangsa tanpa masa depan. (etika politik&kekuasaan; hal 190;
2014)
Menata
Kembali Ingatan Sosial
Untuk menata
kembali ingatan social, upaya yang dilakukan tidak sekadar meluruskan atau
mengoreksi sejarah dengan menulis kembali secara benar, tetapi harus di arahkan
untuk menata kembali infrastruktur ingatan social atau sejarah. Pertama, hukum
dan masyarakat sekarang ini harus mengakui adanya pelaku kejahatan dan korban
kejahatan pada masa lalu. Kedua, keadilan harus ditegakan yaitu dengan
dilaksanakan sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan dan restitusi (pemulihan)
serta rehabilitas terhdapa korban. Ketiga, pengampunan jangan mengaburkan
kepastian hukum dan tidak bisa diberikan atas nama korban. (etika
politik&kekuasaan; hal 192; 2014)
Membangun ingatan social adalah
untuk memberi pembenaran akan harapan. Harapan bahwa hari esok akan lebih baik,
bahwa kekejian, kekerasan, dan ketidakadilan itu tidak akan terulang. (etika
politik&kekuasaan; hal 193; 2014)
Ingatan
Sosial dan Syarat-syarat Rekonsiliasi
Diangkatnya
kasus pelanggaran HAM, sesudah penentuan pendapat di Timor Timur menimbulkan
polemic pro dan kontra. Lepas dari kontroversi tersebut, apabila proses
peradilan ini berjalan fair,
Indonesia akan menggoreskan sejarah baru bagi perjuangan HAM, terutama dalam
upaya klarifikasi sejarah gelap pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu.
(etika politik&kekuasaan; hal 194; 2014)
Dalam kasus pelanggaran HAM,
terungkap implikasi hukum dan lahirnya social
memory. Pertama, implikasi hukum; petinggi TNI atau polri tidak bisa lagi
mengelak atas tanggungjawabnya terhadap pelanggaran HAM di wilayahnya;
kerusuhan, perusakan, penganiayaan, pembunuhan. Kelambanan, omisi, instigasi,
membiarkan pelanggaran HAM terjadi, atau bahkan konspirasi, merupakan tuduhan
yang bisa dikenakan kepada penguasa. Dengan deikian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, peristiwa
27 Juli, 13-14 Mei 1998, Ambon, Mataram, menuntut pertanggungjawaban
panglima kodam atau kepala polda dan atasan mereka saat kejadian tersebut.
Kedua, lahirnya social memory
(ingatan social). Kalau individual memory bisa lenyap bersama dengan kematian
seseorang, social memory masih akan tetap hidup meskipun orang-orangnya sudah
meninggal. (etika politik&kekuasaan; hal 195; 2014)
Dalam rangka menghidupkan social
memory, berbagai satuan tugas dibentuk untuk mengejar para algojo, mencari
keadilan, mengadakan refleksi yang mendalam tentang penganiayaan dan pembunuhan
terhadap orang yahudi. Tujuan utama adalah pemulihan korban dan agar kejadian
serupa tidak terulang lagi. (etika politik&kekuasaan; hal 196; 2014)
Ada empat syarat agar social memory
bisa menunjukan vitalitasnya dan rekonsiliasi semakin menemukan maknanya:
pertama, hukum dan masyarakat mengakui adanya pelaku kejahatan dan korban
kejahatan; kedua, keadilan harus ditegakkan, berarti dilaksanakannya retribusi
(sanksi hukum) terhadap pelaku kejahatan dan restitusi (pemulihan) terhadap
korban; ketiga, pemisahan antara pengampunan dan kepastian hukum; keempat, bila
hukum positif yang berlaku tidak memiliki pasal-pasal yang mnegatur memberi
sanksi pelanggaran HAM itu, penyelesainnya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
(etika politik&kekuasaan; hal 196-197; 2014)
BAB VII
HUKUM, MORAL, DAN ETIKA POLITIK DALAM
MASYARAKAT MAJEMUK
Perbedaan
Moral dan Etika
Konsep
“moral” sering digunakan sinonim dnegan “etika”. Aristoteles di dalam uraian
teorinya tentang moral menggunakan istilah ethe
(bahasa yunani) yang berarti baik buruknya suatu sifat (kejahatan dan
keutamaan). Dalam bahasa latin, kata yunani ethikos
diterjemahkan menjadi mores yang
berarti kebiasaan. Istilah itu kemudian berubah arti dalam buku Aristoteles, ethique a Nicomaque, karena selain kata ethos yang berarti “kualitas suatu
sifat” digunakan juga istilah “etos” yang berarti kebiasaa. Makna istilah ini
sebetulnya sangat kaya; “etos” berarti suatu cara berpikir dan merasakan, suatu
cara bertindak dan bertingksh lsku ysng memberi ciri khas kepemilikan sesorang
terhadap kelompok sekaligus merupakan tugas. (etika politik&kekuasaan; hal
205; 2014)
Jadi
“moral” merupakan wacana normative dan imperative yang diungkapkan dalam
kerangka yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak atau
transeden, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban kita. Jadi, kata “moral”
mengacu pada baik buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya dan
cara mengungkapkanya. (etika politik&kekuasaan; hal 205; 2014)
Etika
biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Jadi, etika lebih
merupakan wacana normative, tetapi tidak selalu harus imperative, karena bisa
juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk,
yang dianggap sebagai nilai relative. (etika politik&kekuasaan; hal 206;
2014)
Pendekatan
Paul Ricoeur terhadap penggunaan istilah “moral” dan “etika” memberi nuansa
baru. Dia mengaitkan kedua istilah tersebut pada dua tradisi pemikiran filsafat
yang berbeda. Istilah “moral” dikaitkan dengan tradisi pemikiran filosofis
Immanuel Kant (segi pandang deontdogis). Moral mengacu pada kewajiban, norma,
prinsip bertindak, suatu imperaktif (katagoris= aturan atau norma yang berasal
dari akal budi yang mengacu pada dirinya sendiri sebagai keharusan). Sedangkan
“etika” dikaitkan dengan tradisipemikiran filosofis Aristoteles yang lebih
bersifat teledogis (dikaitkan dengan finalitas atau tujuan). Pembedaan moral dan
etika ini untuk lebih menajamkan refleksi hubungan moral dan hukum serta
menempatkan posisi etika politik. Maka, masalahnya bukan pertama-tama hubungan
etika dan hukum,, tetapi moral dan hukum. (etika politik&kekuasaan; hal 206; 2014)
Bagaimana
“De Facto” Hkum Berfungsi?
“hukum tidak
lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”, kata Trasymachus. Pernyataan ini
diungkapkan dalam konteks perdebatan dengan Socrates mengenai masalah keadilan
yang ditulis oleh Plato dalam The
Republic. Trasymachus berpendapat bahwa “keadilan adalah yang menguntungkan
bagi yang lebih kuat.” Pandangan ini bertitik tolak dari definisi “adil” adalah
yang sesuai dengan hukum atau sesuai dengan yang di anjurkan oleh kebiasaan dan
hukum di dalam Polis (Negara kota). (etika politik&kekuasaan; hal 207;
2014)
Hukum adalah nama yang diberikan a postereori oleh penguasa pada kelupaan
atas asal-usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik,
kekuatan menentukan sedangkan moralitas tidak berdaya. (etika politik&kekuasaan;
hal 2017; 2014)
Ketiga kandungan hukum dari zaman
yang berbeda itu mengisyaratkan dominasi positivisme hukum dan bagaimana de
facto hukum berfungsi. Pertama, dari pandangan trasymachus dapat disimpulkan
bahwa hukum merupakan kendaraan untuk kepentinga-kepentingan mereka yang kuat.
Kedua, pendapat Machiavelli memperlihatkan bahwa hukm tidak lain kecuali alat
legitimasi kekuatan dan dalam arti tertentu menjadi alat pembenaran kekerasan.
Ketiga, perspektif Hobbes menunjukan bahwa hukum tak berdaya bagi mereka yang
tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah. (etika
politik&kekuasaan; hal 208; 2014)
Masalah
Filosofis Paling Kontroversial: Sumber Hukum?
Persoalannya
menjadi rentan konflik ketika sudah menyangkut sumber-sumber hukum. Sumber-sumber
hukum dipahami dalam beberapa pengertian. Pertama, sumber hukum sebagai asal
usul hukum, asal usul teknis yuridis, seperti dari mana datangnya hukum,
pengalaman yuridis macam apa yang kita ketahui di dalam masyarakat. Pengertian
kedua adalah asal usul teknis yuridis bukan dalam arti sejarawi, tetapi
dasar-dasar metafisiknya, misalnya apa yang memberi pembenaran adanya hukum
dalam masyarakat? Kehendak tuha, hukum kodrat, dan kesejahteraan umum? Ketiga,
sumber hukum sebagai isi normative dari hukum yang beralku, berbagai norma hkum
yang membentuknya. (etika politik&kekuasaan; hal 209; 2014)
Lima
Pola Hubungan Moral dan Hukum
Ada lima pola
hubungan moralhukum yang bisa di bagi dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka
pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang memengaruhi hukum. Moral tidak
lain hanyalah bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri universalitas.
Misalnya “hendaklah hukum bersifat adil!” atau “jangan merugikan orang lain!”
sebagai bentuk, rumusan moral semacam itu belum mempunyai isi, maksudnya
bagaimana hukum yang adil itu belum dirumuskan. (etika politik&kekuasaan;
hal 210; 2014)
Pertama, moral dimengerti sebagai
yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan social politik, kesejahteraan
bersama dan keadilan social. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal
itu, tetapi sesempurna apapun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal
tersebut. (etika politik&kekuasaan; hal 211; 2014)
Kedua, hanya perjalanan sejarah
nyata, antara lain melalui kondifikasi hukum positif yang berlaku, sanggup
memberikan bentuk moral dan eksistensi kolektif. (etika politik&kekuasaan;
hal 212; 2014)
Pola ketiga adalah voluntaries
moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna;
dilain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang tresenden yang tidak
dapat dirreduksi ke dalam hukum dan politik. Pola keempat, moral Nampak sebagai
diluar politik. Dimensi moral menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari
luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan tertentu. (etika politik&kekuasaan;
hal 213; 2014)
Dalam pola kelima, politik dikaitkan
dengan campur tangan suatu kekuatan dalam sejarah seperti partai politik,
organisasi buruh, militer yang masuk ke kekuasaan. Kekuataan ini adalah tidakan
kolektif yang berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral
dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya
bentuk tindakan. (etika politik&kekuasaan; hal 214; 2014)
Prinsip-prinsip
agar Tujuan Hukum Dijamin
Apa pun pola
yang di pakai, kecuali revolusi puritan, tujuan hukum (keadilan, kesejahteraan
umum, perlindungan individu, solidaitas) perlu menjadi kriteria utama. Maka,
beberapa prinsip akan membantu agar finalitas hukum itu tercapai. Pertama,
adanya political will untuk mengubah
orientasi politik yang sangat bias kepada Negara menuju ke politik yang memihak
warga Negara. Tolak ukur keberhasilan politik semacam ini ialah pemenuhan
hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya dari warga Negara. Kedua, keadilan
procedural perlu menjadi orientasi utama. Keadilan procedural adalah hasil
persetujuan melalu prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama
peraturan-peraturan, hukum-hukum dan undang-undang. Jadi procedural ini terkait
dengan legitimasi. (etika politik&kekuasaan; hal 217-218; 2014)
Kebangsaan,
Partikularisme Agama, dan Etika
Partikularisme
yang dimaksud adalah Mohammad Hatta yang tumbuh besar dengan patriotismenya
berkat pendidikanya dan keislamannya; Dr. Radjiman Wedyodiningrat berkat
lingkungan priayi dan kejawean; Kasimo berkat imam katoliknya. Jadi, nation
merupakan buah dari tingkat kesadaran moral maju yang telah mengatasi
ikatan-ikatan primordial. Dengan menggunakan istilah L. Kohlberg, kesadaran
semacam itu masuk dalam tingkat post-adat, artinya keputusan-keputusan moral
merupakan hasil dari hak-hak, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang dapat
mengantar konsesus dari anggota-anggota masyarakat. (etika
politik&kekuasaan; hal 221; 2014)
Kekhasan
Etika Politik
Tujuan etika
politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam
rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil
(Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik ini membantu untuk menganalisis
korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur
yang ada.pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga
tuntutan; pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain..; kedua,
upaya memperluas lingkup kebebasan..; ketiga, membangun institusi-institusi
yang adil. (etika politik&kekuasaan; hal 224; 2014)
Dalam etika politik, yang merupakan
etika social, untuk dapat mewujdukan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari
sebanyak mungkin warga Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Etika
politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan
symbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur social, politik,
ekonomi, dan budaya yang mengondisikan tindakan kolektif. (etika
politik&kekuasaan; hal 225; 2014)
Etika
Politik Versus Machiavellisme
Tuntutan pertama
etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat
ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus
atau warga Negara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki
integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan
untuk kesejahteraan umum, tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang
menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan
moral. (etika politik&kekuasaan; hal 225; 2014)
Etika
Politik dan “Politik Riil”
Realisme politik
akan memisahkan politik dari etika,. Kalau yang riil adalah identic dengan yang
rasional, maka yang terjadi adalah seperti “dilemma dua narapidana” tersebut:
pertama, bertindak rasional adalah apabila tujuan tindakan di arahkan untuk
kepentingan diri atau kelompok, maka saranya harus di sesuaikan dengan tujuan
tersebut; kedua, keberhasilan strateginya tergantung dari strategi yang
digunakan lawannya. Dalam situasi seperti ini, masyarakat dipandang bukan
terdiri dari individu-individu subjek hukum, melainkan terdiri dari
kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. (etika
politik&kekuasaan; hal 228; 2014)
“Civil
Society” dan Prinsip Subsidiaritas
Civil
society tidak
bisa dilepaskan dari mekanisme control tersebut. Bagi John Locke, civil society
adalah lingkup asosiasi politik yang dibedakan dari tatanan kodrat yang diatur
oleh tuhan atau oleh raja. Manusia menjadi anggota civil society melalui persetujuan bersama dan kontrak. Jadi, bagi
filsuf ini, civil society dan masyarakat politik adalah satu dan sama. (etika
politik&kekuasaan; hal 230; 2014)
Hegel mengabaikan paradigm klasik civil society sebagai representasi
social. Dia membedakan antara masyarakat politik dan civil society:masyarakat politik adalah bidang Negara dan civil society adalah lingkup
hubungan-hubungan pasar atau dunia pertukaran di antara individu-individu yang
bertransaksi secara mandiri. Dalam pemikiran Hegel, civil society merasuk diri di dalam Negara universal. Hegel
meandang civil society sebagai
lingkup dari yang duniawi, arena masalah-masalah sipil dan manusia, yang selalu
dalam konflik yang berkepanjangan dengan dirinya sendiri. (etika
politik&kekuasaan; hal 230; 2014)
Dari kesulitan ini, Jean L.Cohen,
dan Andrew Arato, penulis buku Civil
Society and Political Teory, mendefinisikan civil society sebagai “sebuah
lingkup interaksi soial antara ekonomi dan Negara, yang pertama-tama teridiri
dari lingkup intim (khususnya keluarga), lingkup asosiasi (khususnya
asosiasi-asosiasi sukarela), gerakan-gerakan social (LSM-LSM), dan
bentuk-bentuk komunikasi public lainnya”. 1. Civil society tumbuh berkembang
melalui pembentukan diri dan mobilisasi diri atau pemberdayaan diri. Kemudian
di lembagakan melalui hukum, dan khususnya melalui hak-hak subjektif. Tetapi, civil society harus dibedakan dengan
masyarakat politik, lembaga-lembaga politik, partai-partai politik,
organisasi-organisasi politik, dan sebagainya, dan dengan masyarakat ekonomi yang
terdiri dari organisasi-organisasi produksi dan distribusi. (etika
politik&kekuasaan; hal 232; 2014)
Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi
individu terhadap kesewenang-wenangan Negara dan berfungsi sebagai kekuatan
moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga
politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil
society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian
ekonomi global dari cengkraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi
mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. (etika
politik&kekuasaan; hal 232-233; 2014)
BAB VIII
POLITIK KEKUASAAN, TUBUH, DAN KEPATUHAN
Orisinalitas
Konsep Kekuasaan: Situasi Strategis dalam Masyarakat
Menurut
Foucault, kekuasaan itu terlaksanakan bukan pertama-tama melalui kekerasan atau
dari hasil persetujuan (Hobbes, Locke), melainkan seluruh struktur tindakan yang menekandan mendorong tindakan-tindakan
lain melalui rangsangan, persuasi, atau bisa juga melalui paksaan dan
larangan. Akan tetapi tentang kekuasaan ini Foucault mengatakan, “tentu saja
harus menjadi nominalis: kekeuasaan bukan suatu institusi, dan bukan struktur,
bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi
strategis kompleks dalam suatu masyarakat… kekuasaan ada dimana-mana; bukannya
bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana”. (etika
politik&kekuasaan; hal 238-239; 2014)
Beragam dan tersebarnya
hubungan-hubungan kekuasaan itu tampak jelas ketika ia berbicara tentang
seksualitas dalam kerangka strategis kekuasaan karena ia menempatkannya dalam
bingkai “hubungan-hubungan kekuasaan: antara laki-laki/perempuan, anak muda/
orang dewasa, orangtua/anak, pendidik/murid, pemuka agama/ umat, pemerintah/
penduduk”. (etika politik&kekuasaan; hal 239; 2014)
Beragamnya hubungan menandai
kekuasaan, bukan fungsi dominan satu kelas. Foucault menggarisbawahi bahwa
kekuasaan “harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan
kekuatan yang melekat pada banyak bidang dan organisasinya. Permainanya akan
mengubah, memperkuat, membalikan hubunga-hubungan itu melalui perjuangan dan
pertarungan terus-menerus. (etika politik&kekuasaan; hal 240; 2014)
Tujuan
dan Sasaran Kekuasaan: Tubuh dan Kepatuhan
Pada akhir bukunya, Surveiller et Punir (1975), Foucault
mengatakan bahwa “ kekuasaa yang menormalisasi “ tidak hanya dijalankan di
dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme social yang
dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan dan kesejahteraan. Jadi, seperti
halnya dipenjara, tujuan kekuasaan dalam masyarakat modern ialah membentuk individu yang berdisplin agar
menjadi tenaga yang produktif. (etika politik&kekuasaan; hal 243; 2014)
Dalam sejarah seksualitas, tujuan kekuasaan itu sangat memberi warna dominan.
Menganalisis sejarah seksualitas sebetulnya merupakan cara untuk memahami
bagaiman dengan memaksakan norma-norma moral, kekuasaan ingin mendapatkan
tenaga produktif, memudahkan distribusi kekayaan, dan mendapatkan kepatuhan
dari seluruh tubuh social. (etika politik&kekuasaan; hal 244; 2014)
Tujuan dan sasaran kekuasaan itu
bukan oleh individu atau satu kelas, melainkan dalam bentuk anonym. Maka dalam
kerangka tujuan dan sasaran inilah, hubungan kekuasaan bisa lebih mudah
dipahami, bukan dalam bentuk kausalitas. (etika politik&kekuasaan; hal 245;
2014)
Tujuan lain kekuasaan ialah memberi
struktur-struktur kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat. Orang hanya bisa ambil
bagian atau menderita kekuasaan melalui jaringan-jaringan atau gugusan-gugusan
kekuasaan local yang tersebar (micro-pouvoirs), seperti keluarga, sekolah,
barak militer, pabrik, penjara, dan asrama. Dari situ kelihatan bahwa kekuasaan
memberi struktur kegiatan-kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan
terhadap perubahan. (etika politik&kekuasaan; hal 246; 2014)
Kekuasaan-Pengetahuan;
Pengetahuan adalah Politik
Pengetahuan
adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi
kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu karena kriteria keilmiahan
seakan-akan mandiri terhadap subjek. (etika politik&kekuasaan; hal 247;
2014)
Semua pengetahuan adalah politik
karena syarat-syarat kemungkinannya bersumber pada hubungan-hubungan kekuasaan.
Anatomi politik menunjukan bahwa teknik kekuasaan, produksi, dan pengetahuan
lahir dari sumber yang sama. Anatomi politik itu tidak menciptakan pengetahuan,
tetapi menunjukan genealogi. (etika politik&kekuasaan; hal 248; 2014)
Objek dan sasaran kekuasaan
disipliner agama paling utama adalah seksualitas. Cara berpakaian, wacana,
sampai ritus diarahkan untuk mengontrol perilaku agar hanya pasangan suami
istri yang mempunyai akses. Penyeragaman cara berpaikaian membuahkan identitas
yang jelas dan memudahkan pengawasan. (etika politik&kekuasaan; hal 253;
2014)
Panoptisme:
Teknologi dan Mekanisme Kekuasaan
Untuk mencapai
tujuan atau sasarannya, kekuasaan menggunakan teknik dan mekanisme tertentu;
disiplin, norma pengelompokan identitas, penyeragaman, dan pengawasan. (etika
politik&kekuasaan; hal 253; 2014)
Dengan metode panoptic, pengawasan
bisa menyeluruh, total, dan penegakan disiplin bisa terlaksanakan dengan lebih
mudah. Inti mekanisme panoptic itu terletak dalam bentuk arsitekturnya.
Dipinggir terdapat bangunan melingkar yang merupakan sel-sel tahanan dengan dua
jendela terbuka yang diperkuat oleh jeruji besi; yang satu mengarah ke dalam
sehingga terlihat jelas dari menara pengawas yang terletak ditengah lingkaran
bangunan itu. Jendela terbuka lainnya diarahkan keluar supaya sinar menerangi
sel. Dengan demikian, bukan hanya siluet narapidana yang kelihatan, melainkan
seluruh gerak-geriknya terpantau jelas. Narapidana tidak tahu siapa atau berapa
yang megawasi. Mereka hanya tahu bahwa dirinya di awasi. (etika
politik&kekuasaan; hal 255; 2014)
Efek dari sitem panoptic ini
menyebabkan pada diri narapidana suatu kesadaran selalu dalam pengawasan atau
dalam situasi terlihat secara permanen. Panoptic merupakan bentuk pengawasan
yang memungkinkan untuk memperoleh ketaatan dan keteraturan dengan meminimalkan
tindakan-tindakan yang sulit diperhitungkan atau tidak bisa diramalkan. Akibat
utama system panoptic; membawa narapidana dalam situasi sadar dan secara
permanen terlihat yang menjamin berfungsinya kekuasaan secara otomatis. (etika politik&kekuasaan;
hal 255; 2014)
Ada tiga tujuan pembentukan
masyarakat disipliner melalui system panoptic ini; pertama, membuat pelaksaan
kekuasaan lebih murah dari segi ekonomi; kedua, dari segi politik merupakan
bentuk control yang tidak kelihatan; ketiga, memaksimalkan manfaat sarana
pedagogi, militer industri, sehingga meningkatkan kepatuhan dan kegunaan
seluruh unsur system. (etika politik&kekuasaan; hal 256-257; 2014)
Kekuasaan-Pengetahuan;
Kebenaran Tidak Ada di Luar Kekuasaan?
Tiga contoh menggambarkan hubungan
kekuasaan-pengetahuan dan rezim kebenaran; wacana ekonomi, masyarakat madani,
serta jender, dan dialog antaragama. (etika politik&kekuasaan; hal 259;
2014)
Ilmu eknomi adalah primadona.
Dominanya wacana ekonomi menunjukan bukan hanya bahwa pengetahuan merupakan
bentuk kekuasaan, melainkan kekuasaan menetukan apakah pengetahuan dapat
diterapkan dan dalam kondisi macam apa. Pengetahuan tak terpisahkan dari
kekuasaan, bukan karena pengetahuan memiliki otoritas kebenaran, melainkan
pengetahuan memiliki kekuasaan yang bisa mengklaim dirinya benar. (etika
politik&kekuasaan; hal 259; 2014)
Pengetahuan juga bisa diterapkan
karena kekuasaan. Contoh menarik adalah wacana tentang civil society. Di
Indonesia, Cak Nur (Nurcgolish Madjid) mengintrodusi istilah masyarakat madani
sebagai padanannya. Konsep masyarakat madani itu menjadi model acuan wacana
tentang “lingkup interaksi social antara ekonomi dan Negara yang terdiri dari
lingkup intim (keluarga), lingkup asosiasi sukarela, gerakan-gerakan social (LSM),
dan bentuk-bentuk komunikasi public lainnya” (Cohen & Arato, 1992). (etika
politik&kekuasaan; hal 260; 2014)
Disiplin dan norma menjadi konsep
kunci untuk memahami teknik kekuasaan. Teknik kekuasaan membidik kepatuhan.
Salah satu cara mengatur atau mendisiplinkan tubuh dan masyarakat itu adalah
melalui pengawasan. Foucault mengacu pada panoptikon. (etika
politik&kekuasaan; hal 261; 2014)
KESIMPULAN DAN PERMASALAHAN PERSPEKTIF
EKONOMI
Etika politik, menurut Paul Ricoeur,
mau membidik hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas
lingkup kebebasan dan menciptakan institusi-institusi yan lebih adil ( menurut
Eric weil, titik tolak refleksi filsafat politik adalah etika politik).
Kualitas moral pelaku merupakan factor stabilisasi tindakan yang berasal dari
dalam diri pelaku, sedangkan isntitusi menjamin stabilitas tindakan dari luar
diri pelaku. Maka, etika politik juga merefleksikan masalah hukum, tatanan
social, dan institusi yang adil. Maka penjelasan filsafat politik dan perbedaannya
dengan ilmu-ilmu politik dan ideologi dimaksudkan untuk menekankan fungsi
reflektif dan kritisnya (Bab I)reflektif karena filsafat politik merupakan
upaya rasional untuk memahami struktur-struktur dasar pengalaman dan realita
politik. Ia menentukan cara pandang tertentu, menuntut suatu penilaian, melalu
penjelasan sebuah ideal yang mengandaikan konsepsi tentang manusia dan
tujuannya. Maka, pendekatan ini berfungsi sebagai pembanding, kritik ideologi,
konsektualisasi. Pembanding karena membandingkan realitas politik yang ada
dengan model-model pemikiran yang berkembang dalam sejarah pemikiran. Kritis
karena menguji legitimasi keputusan-keputusan politik, institusi-institusi, dan
praktik-praktik kekuasaan. Konsektualisasi karena relevansi etika politik harus
digali berhadapan dengan politik riil. Relevansi ini ditentukan oleh cara
pemahaman konsep kekuasaan. (etika politik&kekuasaan; hal 264-265; 2014)
Karena etika mulai dengan suatu indignation (tidak menerima dan protes
terhadap ketidakadilan), penting memulai refleksi etika politik dengan
membongkar bentuk-bentuk ketidakadilan: kejahatan structural, kekerasan
terlembaga, dan politik yang di warnai oleh kemarahan dan balas dendam (Bab
II). (etika politik&kekuasaan; hal 265; 2014)
Teknik kekuasaan itu cenderung
tergoda untuk merekayasa tiga factor agama yang rentan kekerasan, yaitu
pertama, factor identitas; kedua, agama sebagai kerangka penfsiran hubungan
social (ideologis); dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan social
(Bab III). Dalam pemahaman ini, kekuasaan agama lebih menonjol dalam peran
menyembunyikan tujuan dan kepentingan ketika akhirnya masalah pengaruh,
kepentingan politik atau ekonomi yang dipertaruhkan. (etika
politik&kekuasaan; hal 266; 2014)
Bentuk hubungan kekuasaan dan etika
politik yang ketiga ialah konflik. Dua hal itu tidak bisa dipersatukan dan
saling menafikan (Machiavelli). Tekanan lebih memihak kepada kekuasaan. Bagi
Machiavelli politik yang baik pertama-tama adalah politik yang bisa mencapai
tujuannya dengan tidak harus bisa dibenarkan secara moral, meskipun diakuinya
bahwa keberhasilan tidak akan mengubah kejahatan menjadi kebaikan. Dalam koteks
ini kekuasaan haidr dengan segala caranya untuk mencapai tujuan. Kekerasan,
terorisme, radikalisme, demagogi mengincar kerentanan demokrasi untuk
menghambat perjuangan menegakan politik yang etis (Bab IV). (etika
politik&kekuasaan; hal 266-267; 2014)
Bentuk interaksi etika politik dan
kekuasaan yang ketiga dilihat dalam kerangka pemahaman kekuasaan yang
didasarkan penguasaan ekonomi dan manipulasi ideologi. Dalam konteks ini,
kekuasaan cenderung menyembunyikan kepentingan serta tujuannya yang tidak lain
adalah ekonomi. Maka, etika politik hanya akan di manipulasi sebagai ideologi
yang memberikan pembenaran kepada kepentingan ekonomi tersebut. Akibatnya,
kekuasaan cenderung korup, dan korupsi menjadi bentuk kejahatan structural
karena melekat pada struktur kekuasaan (Bab V). (etika politik&kekuasaan;
hal 267; 2014)
Bentuk usulan kedua ialah menerapkan
pola hubungan moral dan hukum yang mampu melandasi penerimaan pluralitas.
Dengan cara ini, praktik penyelenggaraan Negara atau praktir kekuasaan akan di
atur oleh hukum yang menyesuaikan diri dengan tuntutan etika politik. Pemaksaan
suatu sumber hukum yang melandaskan pada agama tertentu dipertanyakan secara
kritis karena mengkhianati akta pendirian Negara yang mengakui pluralitas.
Dengan demikian, menempatkan warga Negara yang beragama lain menjadi warga
Negara kelas dua (Bab VII). (etika politik&kekuasaan; hal 268; 2014)
Akhirnya pendekatan kritis Michel
Foucault terhadap kekuasaan membantu membongkar mekanisme, strategi dan
teknik-teknik kekuasaan (Bab VIII). (etika politik&kekuasaan; hal 268;
2014)
Tekanan
Ekonomi: Kerja Menjadi Semantik dan Pendidikan Didikte Pasar
Pada akhir tulisan
etika politik dan kekuasaan ini, orang tentu menyadari bahwa refleksi ini masih
menyisahkan pertanyaan yang mendasar, yaitu sejauh mana ekonomi mempengaruhi
atau diperhitungkan dalam refleksi etika politk? Padahal, ilmu ekonomi dianggap
sebagai alat analisis yang sangat menjanjikan untuk memahami perilaku social
politik. Bahkan ilmu ini menembus masuk bidang-bidang ilmu social lain. Di
dalam ilmu politik, misalnya konsep pertukaran juga dipakai untuk menjelaskan
system demokrasi. Politikus dibandingkan degan pengusaha dalam pasar politik.
Adapun memilih adalah konsumen barang politik yang ditawarkan oleh pasar yang
kompetitif. (etika politik&kekuasaan; hal 269; 2014)
Ilmu ekonomi relative lebih berhasil
daripada ilmu-ilmu social lainnya dalam hal perbaikan kemampuan untuk
menjelaskan dan memprediksi. (etika politik&kekuasaan; hal 270; 2014)
Masalah politik hanyalah cermin
keterasingan ekonomi. Maka, setiap rezim politik akan di anggap legitim apabila
dapat menghilangkan keterasingan ekonomi, bahkan rezim yang paling otoriter.
Seperti dikatakan oleh Ernest Gellner: “ legitimasi masyarakat modern
tergantung pada dua hal, yaitu kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Jika gagal
memberikan kedua hal tersebut, masyarakat itu kehilangan hormat dan kesetiaan dari
warganya. Mereka mengharap hidup lebih baik dan standar hidup mereka berkembang
naik. (etika politik&kekuasaan; hal 271; 2014)
Etika politik dituntut untuk
berpijak pada yang konkret itu, yaitu di dalam perjuangan ditengah pertarungan
kekuatan dan kekuasaan yang sangat diwarnai kepentingan ekonomi. Masyarakat
yang menekankan orientasi pada ekonomi merupakan masyarakat yang hanya kenal
satu pola hubungan, yaitu bertarung dalam kompetisi. Masyarakat seperti ini
menjadi arena dimana kelompok-kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi.
(etika politik&kekuasaan; hal 272; 2014)
Maka ilmu ekonomi yang juga
merupakan rezim wacana, perlu dilihat jugasecara kritis. Sebagai pengetahuan,
ilmu ekonomi merupakan bentuk kekuasaan karena menentukan apakah dapat diterapkan
dan dalam kondisi macam apa. Kemampuannya untuk menjelaskan dan memprediksi
patut dipertanyakan dengan keterpurukan ekonomi akan mampu menemukan alibi
degan menunjuk pada adanya factor-faktor lain diluar ekonomi. Bukankah justru
itu yang menjadi tantangannya dan juga tantangan bagi etika politik. (etika
politik&kekuasaan; hal 272-273; 2014)