BAB IV
DEMOKRASI,
RADIKALISME, DAN KEKERASAN
Orang
berharap banyak dari demokrasi. Dengan demokrasi diharapkan keputusan-keputusan
yang menentukan kehidupan kolektif akan berdasarkan pada pertimbangan public
yang luas. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidak adilan dan membuat
pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional. Selain itu,
demokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warga Negara dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Orang begitu percaya kepada sistem politik ini sehingga
demokrasi seakan identik dengan kebebasan, hormat terhadap martabat manusia,
kesamaan, keadilan, keamanan, dan pertumbuhan ekonomi. Demokrasi dianggap
sebagai pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan kehendak
umum karena tekanan pada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas.
Orang
kecewa ketika menyaksikan dan mengalami bahwa demokrasi tidak otomatis
menghasilkan apa yang diharapkan itu. Ironisnya, demokrasi harus lahir melalui
konflik yang berkepanjangan: kerusuhan terjadi dimana-mana; pertumbuhan ekonomi
tidak juga menampakkan batang hidungnya, bahkan pengangguran semakin
merajalela; banyak kasus di mana pertumbuhan ekonomi bisa terwujud tanpa
demokrasi; tiadanya rasa aman karena kriminalitas semakin meluas dan nekat;
korupsi tidak juga mereda; angka kemiskinan semakin tinggi. Kebanyakan Negara
demokrasi cenderung meminggirkan kelompok minoritas yang pada dasarnya sudah
dalam posisi rentan.
Terhadap
keberatan bahwa janji redistribusi kekayaan yang adil tidak terwujud dan klaim
sistem representasi tidak lain hanyalah rekayasa perlu memperhatikan
penjelasaan Adam Przeworski (2001, hlm. 23-55). Dalam masyarakat dimana konflik
kepentingan sangat mendominasi, nilai demokrasi pertama-tama tidak terletak dalam
janji akan adanya redistribusi kekayaan yang adil, tetapi terutama lebih pada
kemampuan untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai.
Representativitas
menjadi suatu mekanisme keputusan demokrasi yang tidak jelas. Atas pernyataan
ini, Przeworski mengemukakan dua hal: pertama, para politikus wakil rakyat itu
sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan, atau nilai tersendiri. Mereka
juga mengetahui sesuatu dan melakukan tindakan yang tidak mungkin semuanya
dapat diamati dan dimonitor oleh rakyat banyak; kedua, para politikus itu tentu
ingin terpilih kembali karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh
keuntungan bagi kepentingan mereka, tetapi sering tujuan mereka berbeda dengan
kepentingan rakyat yang diwakilinya. Motivasi-motivasi seperti itu mendorong
mereka melakukan sesuatu yang kadang tidak mencerminkan aspirasi yang
diwakilinya.
Mekanisme
politik dalam demokrasi tidak seefektif dan representative seperti yang
dijanjikan karena akhirnya hanya beberapa orang yang menjalankan kekuasaan itu.
Dalam keseharian hidup, masyarakat selalu dalam posisi dibawah belas kasih
Negara dan pasar. Kalau politik berarti kekuasaan untuk memutuskan didalam
kehidupan kolektif, politik hanya merupakan bidang beberapa orang saja. Kalau
disuruh mengidentifikasi siapa beberapa orang itu, dengan mudah orang akan
menunjuk mereka yang menguasai operasi-operasi pasar, yang menguasai
seluk-beluk politik, dan para jenderal. Mereka ini yang sebetulnya mengatur
Negara. Negara terdiri dari lembaga-lembaga yang tersentralisasi. Negara
mengendalikan sumber-sumber serta kesetiaan baik dengan paksa maupun secara
persuasive. Akhirnya hanya segelintir orang yang memiliki akses
kelembaga-lembaga tersebut. Sedangkan pasar diandaikan dikendalikan melalui
kompetisi bebas, tetapi dalam kenyataan sangat jarang ada kompetisi bebas.
Biasanya apa yang dikatakan kompetisi bebas itu berakhir pada dominasi oleh
beberapa yang menang saja. Pola pembagian kekayaan dan keputusan yang
ditentukan oleh kedua mekanisme kekuasaan tersebut tidak memungkinkan warga
Negara bisa berada dalam lingkarang pengambil keputusan. Janji sistem
representative yang seharusnya memperluas pertimbangan public atau partisipasi,
akhirnya kandas diserap kedua mekanisme tersebut.
Bukan
berarti demokrasi gagal, tetapi mekanisme dan proses demokrasi harus selalu
dikontrol dan dikoreksi agar aspirasi masyarakat sungguh-sungguh mendapat
tempat. Memang lebih rasional bertaruh menerapkan sistem demokrasi daripada
menentangnya. Setidaknya dalam demokrasi masih ada kebebasan berpendapat, masih
bisa berharap kepada kebebasan melawan berbagai bentuk dominasi. Selain itu,
dalam demokrasi dimungkinkan untuk mempertanyakan keputusan kolektif atau
penguasa, serta masih bisa berharap adanya pengawasan yang lebih efektif.
Pandangan
Przeworski yang mempertanyakan sistem representativitas mendapat inspirasi
Schumpeter dalam capitalism, socialism, and democracy (1942). Schumpeter
memodifikasi teori klasik demokrasi. Ia mempertanyakan gagasan tentang kehendak
umum yang dianggap sebagai inti demokrasi. Presentasi politikus bahwa dirinya
merupakan wakil pemilih harus dipisahkan dari legitimasi demokrasi. Yang
menyatakan diri wakil rakyat tidak lain kecuali orang yang piawai menjual
gagasan. Ia sendiri mengusulkan teori demokrasi yang mendasarkan pada teori
neoklasik tentang kompetisi harga (bdk. Ian Shapiro, 2001). Kedudukan politikus
disamakan dengan perusahaan. Para pemimpin politik tidak lain kecuali seperti
perusahaan yang berkompetisi untuk bisnis di dalam sistem pasar, mereka
berkompetisi untuk pemilih. Oleh karena itu, demokrasi bukan pertama-tama
masalah representasi, tetapi masalah menjual produk, dalam hal ini adalah apa
yang menjadi output pemerintah. Lalu output ini dipertukarkan dengan dukungan
pemilih. Sudut pandang ini tidak mengabaikan prinsip demokrasi karena tetap
mempertahankan kompetisi kekuasaan yang dilembagakan.
Dengan
kata lain, demokrasi masih mempertahankan nilainya dengan tetap melembagakan
kemampuan untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai dalam
kompetisi tesebut. Yang kalah mengakui kekalahannya dengan janji akan ada
perdamaian dan kemungkinan untuk menang dimasa-masa mendatang. Pemenang
mengendalikan diri dan dituntut juga melayani mereka yang tidak menjadi
pendukungnya. Dalam konteks ini, mayoritas yang memerintah dituntut peka
terhadap informasi tentang nilai, aspirasi, dan kepentingan yang harus
diperhitungkan. Dengan demikian, kompetisi didalam pemilihan umum
sungguh-sungguh mencegah terjadinya pemberontakan atau penggulingan kekuasaan
yang tidak konstitusional. Demokrasi memungkinkan kekuatan-kekuatan politik
yang dalam konflik menaati hasil pemilihan. Konflik diatur sesuai dengan aturan
main yang disetujui bersama dan dalam arti tertentu dibatasi. Maka, kekerasan
bukan menjadi sarana, melainkan persuasi melalui wicara.
Kebebasan Berpendapat Dan Kekerasan
Demokrasi
diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan
berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik terancam. Hipotesis
ini mau mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti kemampuan
komunikasi, menjalankan fungsinya, yaitu menggantikan kekerasan. Oleh karena
itu, sudah sejak demokrasi yunani kuno, orang mendefinisikan kebebasan
berpendapat sebagai wacana yang menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan
politik.
Di
Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan
eksklusif bagi tindakan politik, meskipun demokrastisasi terus bergulir.
Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana
dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Mungkin benar kata Machiavelli
bahwa hokum tanpa pedang tidak akan ditaati, demikian pula pendapat tanpa
dukungan kekuatan yang menekan tidak akan didengarkan. Sudut pandang ini
menempatkan etika politik seakan-akan tidak relevan, bukankah berarti
bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri.
Kekerasan
bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme.
Ada pula kecenderungan beberapa kelompok yang mengatasnamakan tatanan moral
menghalalkan kekerasan. Dalih yang dipakai karena aparat tidak efektif. Tidak
efektifnya aparat itu dikaitkan dengan dua alasan: pertama, yaitu kurangnya
personel, tempat tidak terjangkau; sedangkan alasan yang memicu peradilan
massa, kekerasan massa adalah tuduhan bahwa petugas korup, terlibat, melindungi
pelaku kejahatan. Alasan kedua ini biasanya dipakai untuk alibi penggunaan
kekerasan massa. Jadi, kekerasan berperan ganda sebagai alat kritik efektif
terhadap aparat, serta untuk meningkatkan kekuatan tawar kelompok tersebut.
Tetapi, bukankah kekerasan semacam itu mengkhianati demokrasi itu sendiri,
suatu bentuk pemerkosaan ruang public?
Memang,
dengan memberi kebebasan berpendapat bukan berarti bahwa lingkup public bisa
dibersihkan dari tindakan kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap
ada dan akan tetap terjadi bahkan didalam wicara. Memang benar wicara merupakan
alternative terhadap kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternative
terhadap kekerasan simbolis yang masih sering terjadi di dalam wacana. Demagogi
(wacana politik untuk tujuan “mengobok-obok”, memancing, dan mengeksploitasi
hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi
merupakan bentuk-bentuk kekerasan simbolis yang menggunakan wacana public. Pada
akhirnya kekerasan simbolis ini bermuara kembali pada kekerasan fisik.
Bagaimana kalau para pelaku kekerasan simbolis ini membela diri dengan
mengatakan bahwa sejauh masih merupakan wacana itu tidak bertentangan dengan
demokrasi? Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada wacana yang
sudah merupakan tindakan. Orang yang berbicara didepan massa didekat gudang
beras milik seseorang/perusahaan tertentu dengan mengatakan bahwa krisis
ekonomi yang menyebabkan kekurangan pangan karena ada segelintir orang yang menimbun
bahan-bahan pokok, bukan lagi sekedar wacana. Wicara dengan retorika seperti
itu sudah merupakan tindakan menghasut massa untuk melakukan penjarahan.
Kedua,
bisakah seorang mahasiswa dari sebuah universitas yang memberlakukan kebebasan
berbicara suatu hari mengundang seorang penceramah yang akan berbicara
menentang kebebasan berbicara? Jika universitas tersebut memandang kebebasan
berbicara sebagi prinsip, seharusnya membolehkan kedatangan pembicara tersebut
karena ketidaksetujuannya itu masih berupa wacana. Tetapi, kalau kebebasan
berbicara menjadi tujuan, memang masuk akal kalau orang tersebut dilarang.
Apalagi kalau antikebebasan berbicara dari pembicara tersebut menjadi praktik
kehidupannya. Kalau demokrasi merupakan prinsip politik, seharusnya segala
bentuk wacana politik dan aliran tidak bisa dilarang. Namun, ada batas-batas
yang harus ditetapkan untuk melindungi kerentanan demokrasi. Dua catatan kritis
tersebut perlu dipertimbangkan.
Hampir
tidak ada rezim politik, bahkan yang paling antidemokrasi, yang tidak memoles
diri sebagai rezim demokrasi. Dari sejarah orang dapat belajar bahwa demokrasi
bukan sistem politik instan, yang akan terwujud begitu dikehendaki. Dunia barat
sejak mengenal demokrasi mengalami kemunduran berulang kali dalam upaya menerapkannya.
Setelah enam abad demokrasi, di yunani, kemudian di roma, kemunduran terjadi
dalam bentuk kekaisaran. Dan, sejak itu para dictator silih berganti memerintah
rakyatnya dengan tangan besi. Padahal, sudah bergenerasi-generasi mereka
terbiasa berdebat bersama tentang apa yang hendak dicapai dalam kehidupan
sosial dan politik. Ternyata tradisi itu tidak cukup untuk melindungi mereka
dari kecenderungan menggunakan kekerasan. Apakah itu suatu pembenaran terhadap
kekerasan dan kekacauan di Indonesia setelah menerapkan sistem demokrasi?
Tidak! Tetapi, untuk menjawab romantisisme yang mendambakan kembali masa rezim
orde baru, karena keamanan dan stabilitas dijamin. Orang lupa akan harga yang
harus dibayar.
Sebetulnya
yang paling menghantui dunia politik adalah sarana politik itu sendiri, yaitu
wicara. Ketika penguasa adalah tunggal, tidak ada lagi tempat bagi wicara.
Tiada lagi debat politik, dan dengan demikian institusi demokrasi dikosongkan
dari isinya. Lalu seni wicara hanya berusaha menyesuaikan diri sehingga
kemunafikkan, intimidasi, dan sindiran mewarnai wacana. Orang cenderung
bersembunyi dibalik kalimat-kalimat yang kabur, kata-kata yang tidak jelas,
istilah-istilah yang mendua, gaya bahasa yang merendah, padahal ingin
menunjukkan yang lebih. Model bahasa yang seperti ini menjadi alibi bagi
tuntutan penerapan wacana dalam situasi sekarang. Ini adalah cara bagaimana
politikus dengan mudah menghindar dari tanggung jawab atas pernyataannya.
Suasana politik semacam ini sangat subur bagi upaya menjilat penguasa,
kebohongan, dan kesaksian palsu. Wicara menjadi manipulasi.
Akan
tetapi, apakah berarti dalam demokrasi tidak ada lagi manipulasi wicara?
Politik tidak bisa dilepaskan dari retorika, seni membujuk rakyat, yang tentu
saja menjadi bagian dari manipulasi. Manipulasi wicara dan sistematisasinya,
terutama sepanjang abad xx, merupakan hasil dari ketegangan antara keinginan
menggalang sebanyak mungkin pendapat masyarakat melalui sistem demokrasi dan
ketidakmungkinan sistem politik ini mewadahi dan menyalurkan pendapat-pendapat
tersebut. Pelembagaan manipulasi tidak lepas dari pandangan bahwa rakyat
sendiri ingin diyakinkan. Jacques Ellul pernah mengatakan bahwa bangsa jerman
paada massa hitler dalam arti tertentu tidak menolak dimanipulasi melalui propaganda
nazi. Pada rezim demokratis sedikit terjadi kekerasan fisik, tetapi banyak
tekanan psikologis. Kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara dan
manipulasinya menggantikan kekerasan fisik. Di Indonesia kedua bentuk kekerasan
itu masih terus digunakan.
interogasi
terhadap beberapa orang yang terlibat dalam kerusuhan-kerusuhan yang disertai
pembunuhan anggota suku lain, etnis lain, atau pemeluk agama lain akhir-akhir
ini di Indonesia menunjukan bahwa mereka tidak hanya ikut-ikutan. Melihat
adanya kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk menolak terlibat, jelas
bahwa mereka tidak terpaksa. Mereka sendiri yakin akan legitimitas dari apa
yang mereka lakukan. Kekerasan dan pembunuhan itu adalah akibat; keyakinan
sempit itu. Keyakinan itu terbentuk melalui pengaruh wicara yang datang dari
luar, wicara yang dimanipulasi, bentuk kekerasan simbolik. Biasanya elite
politiklah yang berkepentingan. Kapan politik intimidasi dan kekerasan ini akan
berakhr?
Mochtar
Buchori dalam seminar pendidikan di Yogyakarta akhir agustus 2000 sempat
mengatakan bahwa perbaikan itu baru akan terjadi pada generasi politisi yang
akan datang. Generasi politisi sekarang
ini masih mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya. Agar politisi mempunyai
wawasan negarawan yang mengutamakan kepentingan semua warga Negara tanpa diskriminasi agama, suku, dan kelompok,
dibutuhkan pendidikan dasar yang kuat. Sejak pendidikan dasar, peserta didik
harus dibiasakan menghormati pluralism, dididik untuk menerima perbedaan, dan
dilatih untuk mampu mengelola konflik. Diberi kesempatan untuk mengembangkan
diri, terutama dalam hal kejujuran serta percaya kepada sesamanya. Dengan
demikian, bisa berkembang dalam dirinya rasa solidaritas dan empati,
keprihatinan yang harus tumbuh dalam politik.
Kekerasan Menjadi Biasa
Ambon,
sampit, dan poso masih meninggalkan trauma dan pengungsi. Kehidupan rakyat
selalu dibayangi kekerasan. Seakan-akan kekerasan selalu mengiringi
peristiwa-peristiwa sosial dan politik di Indonesia. Hannah Arendt, seorang
filsuf politik, menyebut fenomena semacam itu banalisasi kejahatan (menjadi
biasanya tindak kejahatan). Bagaimana kejahatan itu bisa dilakukan oleh
orang-orang tanpa ada perasaan bersalah? Beberapa hal menjelaskan pertanyaan
ini: korban kekerasan dibuat impersonal, lemahnya pertimbangan reflektif para
pelaku kekerasan, impunitas, dan fanatisme.
Korban Kekerasan Dibuat Impersonal
Korban
dibuat impersonal berarti korban dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dianggap
lagi sebagai seorang pribadi manusia. Proses impersonalisasi korban kekerasan
itu bisa ditempuh dengan berbagai cara. Dalam novel tulisan Alexander
Soljenitsyne yang berjudul sehari-hari kehidupan Ivan Denissovitch, para
narapidana direduksi menjadi angka-angka. Choukov, salah seorang narapidana,
diberi label angka ch 854. Reduksi menjadi angka itu merupakan ilustrasi bahwa
kamp konsentrasi telah mengubah pribadi manusia menjadi suatu hal saja. Dengan
cara ini, pembunuhan menjadi impersonal orang tidak merasa membunuh seorang
pribadi, tetapi hanya menghilangkan angka. Dan, untuk mencegah timbulnya
solidaritas masyarakat terhadap korban, dibentuk opini yang mengisolasi korban
dengan menuduhnya sebagai biang keributan, melawan kepentingan umum. Semua
bentuk simpati dan solidaritas akan dianggap identik dengan berkomplot melawan
kepentingan umum. Masyarakat akan berusaha menjauhkan diri dari korban.
Bentuk
kekerasan atau pembunuhan impersonal dimungkinkan dengan menempatkan korban
sebagai musuh. Musuh didefinisikan atas dasar kepemihakkan agama atau suku:
yang berbeda adalah musuh. Status musuh itu sudah cukup untuk mengobarkan
fanatisme yang tak segan membunuh. Provokator tidak akan berhasil kalau
kebencian itu tidak ada. Pembunuhan menjadi impersonal karena mistifikasi motif
kebencian itu: agama memberi landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Para
pembunuh itu merasa membela iman dan kebenaran, atau tradisi seakan-akan
pembunuhan itu demi tuhan sendiri.
Hilangnya
perasaaan bersalah bisa ditunjang pula oleh pembunuhan yang dilakukan secara
beramai-ramai. Ada alibi tanggung jawab pribadi. Pernyataan kita semua
bertanggung jawab sama saja tak ada yang bertanggung jawab. Impunitas (tiadanya
sanksi hukum) adalah konsekuensi logisnya. Impunitas mengabaikan dimensi sosial
kejahatan: menciptakan suasana tiadanya perlindungan terhadap korban-korban
potensial dan mendorong pelaku-pelaku potensial untuk mewujudkan maksud jahat
tanpa dibayangi sanksi hukum.
Yang Legal Belum Tentu Moral
Mereka
yang mengorganisasikan kerusuhan tentunya orang-orang professional yang
terlatih. Nurani mereka sudah bebal. Mereka terasing dari pencarian makna.
Agama bagi mereka hanyalah kedok dan alat untuk menggapai kekuasaan. Mereka tak
terlatih didalam pertimbangan reflektif yang mengandaikan pengambilan jarak
terhadap apa yang dilakukan, yang menuntut sikap kritis. Padahal, pertimbangan
reflektif membantu orang untuk mengubah kebiasaan. Kebiasaan tidak kritis
membentuk alibi tanggung jawab. “saya tidak merasa bersalah. Saya melakukan itu
karena taat.” Persis seperti itu juga jawaban Eichmann ketika dalam proses
peradilan ditanya mengapa dia tega membunuh puluhan ribu orang yahudi. Orang
macam ini tidak bisa membedakan yang legal dan yang moral.
Mereka
memegang prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Cara berpikir utilitarian ini
menumpulkan nurani dan memperlakukan orang lain sebagai alat bagi kepentingan
dirinya dan kelompoknya. Orang-orang macam ini tidak mempunyai perasaan
bersalah. Mereka tidak menyaksikan langsung korban yang mengerang kesakitan,
yang berlumuran darah. Mereka tidak berhadapan langsung dengan anak-anak yang
menangis karena kehilangan ayahnya. Mereka tidak bertemu muka dengan gadis yang
menjadi bisu Karena trauma pemerkosaan. Orang-orang ini sangat berbahaya karena
nurani mereka tak tersentuh oleh penderitaan. Korban tidak lebih hanyalah
angka; pembunuhan berarti berkurangnya jumlah penduduk yang tidak saya kenal;
sengsara adalah derita yang dialami orang lain; pembakaran dan penjarahan tidak
membahayakan rumah dan harta milik saya. Auktor intelektual tidak bertemu
sendiri dengan korban, tidak menyaksikan penderitaan mereka, padahal moralitas
mulai pada saat berjumpa dengan wajah, kata E Levinas.
Terasing Dari Realitas
Tidak
berjumpa wajah, terasing dari realitas membutakan nurani. Keterasingan dari
realitas ini sangat kental melekat pada fanatisme agama dan ideology. Sering
fanatisme ini didorong oleh motivasi yang saleh: menghendaki adanya perubahan
terhadap masyarakat yang dibusukkan oleh kemunafikan ideology. Fanatisme itu
menjanjikan pembaruan yang radikal sehingga banyak yang memeluknya. Dukungan
mereka ini sering tanpa pamrih. Tiadanya pamrih ini bukan berarti mereka siap mengorbankan kepentingan pribadi
mereka, tetapi hanya merupakan tanda keterasingan terhadap yang riil itu
sungguh total.
Keterasingan
terhadap realitas dan terhadap orang lain akhirnya menghancurkan hubungan
dengan dirinya sendiri , maksudnya ialah tidak ada lagi spontanitas yang
menjadi sumber kebebasan gagasan, keyankinan, dan pikiran kritis. Penolakan
diri ini melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. analisis
ini menunjuk adanya kaitan erat antara terasing dari realitas dan tindakan yang
tidak bertanggung jawab, yang tercermin dari gegabah dalam berpikir”. Contoh
karikatural cara berpikir yang terasing dari realitas adalah kalimat terkenal seorang
mayor tentara amerika serikat yang
setelah menghancurkan sebuah kota di Vietnam selatan. Ia mengatakan, “kita
terpaksa harus menghancurkan kota ini untuk menyelamatkannnya.” Dengan tercabut
dari pengalaman riil, pemikiran tercabut juga dari akar etikanya, terasing dari
realitas berarti terasing dari moralitas karena fanatisme mengasingkan manusia
dan kemanusiaannya yang konkret.
Fanatisme: Menolak Yang Berbeda
Dari
sisi pelaku, proses menjadi fanatic menyebabkan orang lepas dari tanggung jawab
terhadap tindakan-tindakannya dengan bersembunyi dibalik pembenaran simbolis,
ideologis, atau teologis. Dari impersonalisasi tindak kekerasan jangan cepat
mengambil kesimpulan bahwa pelajaran agama kurang mendapat tempat. Masalahnya
bukan pada pelajaran agama, tetapi pada bagaimana disampaikan. Sering ada kisah
memprihatinkan tentang pelajaran agama yang dipakai sebagai alat cuci otak.
Tidak ada ruang untuk kritis. Seorang anak dirumah dididik oleh orang tuanya
untuk menghargai teman-temannya yang beragama lain. Pulang dari sekolah,
setelah mendapat pelajaran agama, orang tua terkejut karena anaknya tidak mau
lagi bergaul dengan mereka karena menganggap bahwa teman-teman yang beragama
lain itu akan masuk neraka. Seorang anak ketika melintasi rumah ibadat orang beragama
lain berkomentar kepada ibunya, “bu, katanya rumah itu tempat orang-orang
jahat.” Sungguh sangat menyedihkan! Dan, semua itu mendapat pembenaran dari
agama dan guru agama yang mengajarkan itu.
Fanatisme
adalah bentuk penolakan terhadap yang berbeda dan menjadi lahan subur bagi para
pelaku kekerasan yang tak merasa bersalah. Jadi, proses impersonalisasi korban
itu beralihnya sudah ditebarkan oleh para guru agama, pengkhotbah, dan pemuka
agama sejak masih kanak-kanak. Pernah seorang peserta seminar dialog antar
agama dalam keputusasaannya mengatakan, “bukankah humanism dan local wishdom
akan lebih baik menggantikan agama, supaya orang tidak mencari pendasaran
teologis dan pembenaran simbolis dari tuhan dalam melakukan kekerasan dan
pembunuhan. Sejarah menunjukan bahwa konflik dan peperangan karena agama sering
terjadi. Dengan tidak usah mengacu pada yang transenden itu orang diajak
berpijak pada yang manusiawi. Pembunuhan apa pun alasannya tidak akan
dibenarkan oleh rasa kemanusiaan.” Hannah Arendt mengingatkan, kita tergoda
untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideology dan menodai usaha
yang kita perjuangkan melawan totalitarisme dengan suatu fanatisme adalah musuh
besar dari kebebasan.”
Tanggung jawab Kolektif: Masalah Politik
Tanggung
jawab kolektif lebih bermuatan politik dari pada yuridis dan moral. Hukum dan
moral mengacu kekriteria yang kurang lebih sama, yaitu ke pribadi pelaku dan
tindakannya. Jika seseorang terlibat dalam kejahatan yang direncanakan oleh
satu kelompok, yang diadili adalah selalu pribadi pelaku tersebut, tingkat
keterlibatannya, perannya, dan sebagainya dan bukan kelompoknya. Kepemilikan
seseorang dalam suatu kelompok tidak berperan kecuali bila semakin memperkuat
kemungkinan melakukan kejahatan. Apakah tuduhan merupakan anggota partai
politik tertentu atau anggota organisasi keagamaan atau suku tertentu yang
diadili adalah pribadi pelaku itu. Bahkan pengakuannya bahwa dirinya hanya
bidak yang melaksanakan perintah atasan (orang lain dalam posisi yang sama
tentu tidak akan dapat menolak) tidak mengubah situasi bahwa dia diadili atas
dasar tindakannya. Pengakuan itu tidak otomatis bisa dijadikan landasan untuk
menuntut tanggung jawab kolektif.
Mungkinkah
orang dianggap bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dilakukannya karena
kepemilikan orang tersebut pada suatu kelompok? Tanggung jawab seperti itu
sifatnya pertama-tama adalah politik. Setiap pemerintahan bertanggung jawab
atas apa yang dilakukan pendahulunya, setiap bangsa bertanggung jawab atas masa
lalunya. Bangsa jerman ikut memikul beban atas apa yang dilakukan hitler
terhadap bangsa yahudi. Jika para pelaku kejahatan dimasa lalu tetap hidup
nyaman dan tidak diadili, semua diskusi atau upaya bantuan terhadap korban
tidak akan mampu melepaskan dari beban sejarah yang menggelayuti bangsa
Indonesia. Tidak ada criteria moral yang dapat melepaskan orang dari tanggung
jawab kolektif, termasuk terorisme dimana yang menjadi korban adalah bangsa
lain.
Terorisme Dan Politik Porno
Terorisme
itu sering digunakan untuk mengkualifikasi tindakan musuh, seperti halnya arti
ideology menurut Napoleon. Raja perancis ini mendefinisikan ideology sebuah
pemikiran musuh-musuh politiknya (Jean Baechler,1976). Demikian pula dianggap
teroris oleh Amerika Serikat, bosan dipuja sebagai pahlawan oleh pengikut dan
simpatisan osama bin laden. Tetapi, apa pun istilah yang dipakai, siapa pun
yang menyebut, fakta telah menunjukan telah terjadi kekerasan yang meninggalkan
korban. Kebanyakan korban tidak bersalah dan dalam posisi lemah. Mereka adalah
korban kekerasan politik.
Politik Porno Dan Kekerasan
Yves
Michaud dalam violence et politique (1978) secara sarkastis menyebutnya politik
porno semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu. Porno berasal dari
bahasa yunani, porneia, yang berarti ‘hal-hal yang tidak senonoh’.
Politik-porno merupakan manajemen kekerasan sebagai cara yang efesien dan
andal. Ini bukan pujian ironis, tetapi istilah ini mau menggambarkan betapa
kasar dan tidak senonohnya realitas politik itu sehingga tidak tepat disebut
kekejian dan kepala dingin gangsterisme politik. Realitas ini bukan
romantisisme revolusi, bukan pula banditisme robinhood, tetapi keseharian biasa
bentuk kejahatan besar yang dilakukan dalam profesi politik.
Masuk
dalam kategori politik-porno ini demonstrasi dengan kekerasan, penculikan,
penyanderaan, perampokan, untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu
domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi
situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu. Politik-porno ini
mengakibatkan korban yang tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi
trauma. Prinsip yang dipegang politik-porno ini ialah “tujuan menghalalkan
cara”.
Kriminalisasi Politik Dan Politisasi Kriminalitas
Ketika
tujuan menghalalkan cara, cara bisa sewenang-wenang sehingga sulit dibedakan
dari tujuan. Oleh karena itu, sulit dibedakan antara demonstrasi dengan
kekerasan itu bayaran atau murni aspirasi pendemo, kerusuhan, pembakaran rumah
ibadat, saling bunuh itu konflik agama atau rekayasa. Kriminalisasi politik
menghasilkan politisasi kriminalitas. Situasi seperti ini tidak disia-siakan
oleh para preman dan kelompok yang memiliki kekuatan fisik riil. Mereka inilah
yang diuntungkan.
Kekerasan
semacam itu juga ada batasnya. Tetapi, batas itu justru dipakai sebagai alat
pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap membutuhkan
legitimasi. Kekerasan tidak akan beroperasi jika lepas sama sekali dari hukum.
Maka, kekerasan bersembunyi dibalik lubang hukum: kerussuhan masih dipakai
sebagai sarana karena para pelaku tidak ditindak keras, bahkan menikamati
impunitas; intimidasi dan teror digunakan karena sulit dibuktikan secara hukum;
para saksi tidak berani membuka mulut. Kekerasan politik bisa berjalan karena
memperhitungkan aspek hukum itu. Dengan membuktikan alibi, prosedur hukum telah
dijalani. Terorisme juga butuh pembenaran.
Terorisme,
yang merupakan bagian dari politik-porno, apa pun alasannya tidak bisa
dibenarkan dari segi etika. Terorisme mencerminkan tindakan dari argument
keharusan. Argument keharusan bukan merupakan argument eika. Etika selalu
merupakan hasil dari suatu pilihan, sedangkan keharusan mengandaikan tiadanya
pilihan lain. Lalu dari perspektif mana kekerasan politik berusaha mencari
pembenaran?
Tujuan Menghalalkan Cara
Biasanya
pembenaran itu bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian max
weber: tujuan menentukan pemilihan sarana. Prinsip rasionalitas tindakan ini
membawa ke perbedaaan atara pandangan pakar dan politik itu sendiri. politik
mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini, sedangkan
analisis rasional tindakan adalah masalah koherensi tujuan, penyesuaian sarana
yang efektif, akibat-akibat yang dapat diperhitungkan. Jika yang dikehendaki
dipisahkan dari sarana untuk mencapainya, tujuan dengan mudah melegitimasi
sarana apa pun yang dipakai. Risiko dan korban diabaikan, yang penting tujuan
bisa tercapai. Bahkan lebih sadis lagi korban dianggap sebagai ukuran
keberhasilan atau bagian dari strategi. Maka, kekerasan dianggap sebagai salah satu
sarana itu tanpa ada perbedaan normative.
Pemahaman
ini memberi peluang masuk didalam suatu proses legitimasi kekerasan melalui
prinsip kasuistik (pada kasus tertentu kekerasan dibenarkan). Seakan-akan orang
masuk dalam etika tanggung jawab dengan mengkualifikasikan kekerasan sebagai
sarana yang telah diuji dan terseleksi atas Dasar kriteria efektivitas.
Efektivitas adalah prinsip realisme. Padahal, kebanyakan wacana yang realis
ternyata sering mengabaikan masalah legitimitas tujuan. Pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan
dapat dijelaskan dengan analisis rasional, tetapi tidak ditentukan olehnya.
Rasionalitas berhenti dipintu masuk keputusan. Hal ini jelas dari kritik Jurgen
Hebermas (1968) terhadap analisis weberian tentang rasionalisasi keputusan. Dia
menangkap analisis Max weber justru menunjukan kecenderungan untuk
sewenang-wenang dalam pengambilan keputusan, karena ruang lingkup keputusan di
persempit oleh analisis metodologis, sedangkan keputusan itu sendiri menjadi
irasional. Irasionalitas itu tampak ketika masalah pilihan nilai-nilai
diabaikan seperti dalam rumusan tujuan
menghalalkan cara. Penalaran seperti itu menutup kemungkinan konfrontasi
teoritis, debat ideologis, diskusi tentang prioritas, dan itu berarti menutup
diri terhadap diskusi tentang legitimasi tindakan.
Rasionalisme Instrumental dan Nihilisme
Dengan
mengabaikan maslah pilihan nilai-nilai itu, orang dibawa masuk ke rasionalitas
instrumental. Rasionalitas instrumental ditandai oleh dominasi sarana atas
tujuan atau sarana menjadi diktator. Akibatnya, realisme berubah menjadi sikap
yang biasa menghendaki apa saja. Dengan demikian, tindakan rasional bisa
direduksi menjadi hanya masalah penyesuaian tujuan dan sarana-sarana. Dari
persfektif etika seakan-akan netral. Sedangkan komitmen terhadap nilai-nilai
tertentu lebih merupakan masalah kenyakinan. Maka, etika yang dianut tidak
mungkin didiskusikan secara rasionalitas hanya untuk bidang instrumental.
Terorisme didasari oleh etika keyakinan.
Rasionalitas
tindakan yang mengklaim bebas nilai ini ternyata menyembunyikan suatu komitmen
terhadap nilai tertentu. Nilai tersebut hanya mengacu ke satu tujuan, yaitu
kemajuan tindakan rasional sebagai tindakan instrumental yang mengabaikan semua
pertimbangan mengenai tujuan. Kekosongan nilai yang tercermin dalam prinsip tujuan menghalalkan cara, karena tidak
ada lagi tujuan, sarana/cara menjadi mutlak dan memberikan pembenaran diri
inilah yang disebut nihilisme, legitimasi kekerasan dilakukan dengan
mengosongkan substansi tujuan dan akhirnya kekerasan memberi pembenaran diri
sebagai sarana yang efektif. Kekerasan baik karena efektif. Ini menjadi prinsip
politik porno, prinsip terorisme. Prinsip ini mengabaikan korban. Bahkan korban
dijadikan sarana untuk meningkatkan kekuatan tawar.
Etika Diskursus dan Proposionalisme
Akan
tetapi, bagaimana dengan masalah ‘tujuan menghalalkan cara’ yang bisa diterima
dari sudut pandang etika? Misalnya, menyiksa satu orang untuk menyelamatkan
seribu orang. Dalam etika, kasus ini masuk dalam kategori konflik kewajiban.
Tetapi, perlu dua catatan. Pertama, ketika oarang berusaha melegetimasi sarana
melalui tujuannya, entah sarana yang dipilih itu berupa kekerasan atau yang
lain, harus terbuka terhadap evaluasi. Dengan kata lain, pilihan sarana harus
terbuka bagi perdebatan, kritik, dan
bukan hanya berhenti pada kenyakinan. Bukan etika yang hanya mendasar
pada kenyakinan, tetapi etika tanggung jawab yang terasah melalui perdebatan.
Kedua,
dalam kasus itu, proposionalisme bisa menolong memberi argumen lain. Pendekatan
ini menuntut empat syarat agar dari segi etika bisa diterima. Pertama, tujuan
harus baik (mau menyelamatkan seribu orang). Kedua, hanya akibat baik yang
benar-benar dicari dan efek yang jelek tidak diperbolehkan atau hanya
ditolerir. Ketiga, ada alasan yang proporsional untuk mempertanyakan sebabnya
(urgensi pemecahan), yang dalam kasus itu ada keselamatan seribu orang.
Keempat, perbandingan harus seimbang antara dua akibat tersebut (seribu orang
diselamatkan, tetapi satu orang disiksa). Kalau akibat jeleknya lebih besar,
berarti melawan moralitas.
Memang
pendekatan proposionalisme ini akan ditentang etika deontologis. Pendekatan
yang terakhir ini akan mengatakan bahwa dalam situasi apapun manusia harus
menjadi tujuan, bukan sarana bagi tujuan-tujuan lain. Tetapi, dalam situasi
dilematis orang sering terpaksa harus menggunakan prinsip minus malum, artinya
memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang lebih jahat. Pilihan kekerasan
sering lebih didasarkan pada emosi daripada rasionalitas. Habisnya argumen.
Tiadanya komunikasi lagi, seperti dikatakan Hanah Arendt: “kekeerasan adalah
komunikasi bisu par exellence”. Padahal, kekerasan akan memancing kekerasan
yang lain. Meskipun dengan alasan untuk menghadapi penindas, kekerasan mampu
merubah siapapun yang menggunakannya mirip dengan penindas. Tak seorang pun
yang menggunakan kekerasan akan bisa lepas tanpa ternodai oleh kekerasan itu.
Demagogi: Wacana Manipulatif dan Penuh Kebencian
Fenomena
jean-Marie le pen (prancis), Fortuyn (Belanda), dan Joerg Haider (Austria)
mengguncang demokrasi di Eropa. Berkat perolehan suara yang banyak, partai
ekstrem kanan yang mereka pimpin mendapat simpati dari cukup banyak penduduk
asli. Reaksi keras biasanya bermunculan pada kasusu austria, israel memanggil
pulang duta besarnya. Menteriluar negeri amerik aserikat waktu itu, Madelaine
albright, memberi peringatan keras. Negara – negara uni eropa mengancam akan
mengisolasi austria. Di dalam negeri dilanda gelombang demonstrasi menentang
pemerintah baru. Bukankah itu hasil pemilihan yang demokratis? Mengapa
ditentang? Apa yang keliru? Dalam konferensi peers Joerg Haider pernah membuat
pernyataan yang meremehkan arti pembaitaian jutaan warga yahusdi oleh Nazi
Jerman: Trageddi itu hanya sebagian kecil dari sejarah. Tidak hanya karena
pernyataan itu joerg Hieder di tentang. Ada alasan lebih mendasr. Ideologi
partai politik itu kebencin, kebencian terhadap orang asing.
Alasan
yang mendasari kebencian terkesan logis. Pertama, angka pengangguran di austria
cukup tinggi. Orang asing dianggap merebut pekerjaan warga austria asli. Kedua,
orang asing di austria menjadi parassit karena memanfaatkan sistem asuransi
sosial. Ketiga, angka kejahatan serta kekerasantinggi dan kebanyakan pelakunya
adalah orang asing. Siapa warga Austria yang tidak tergiur oleh program yang
menjanjikan dapat memberantas ketiga penyakit ini. Bebas dari pengangguran,
bebas dari rasa takut akan kekerasan dan kejahatan. Kemakmuran karena Austria
hanya untuk orang Austria. Caranya yang bukan orang austri minggir! Xenofobia,
takut orang asing, berubah menjadi benci terhadap orang asing, itulah inti
ideologi partai Joerg haider.
Akan
tetapi, bila dianalisis dengan cermat, argumen yang kelihatan logis itu sangat
bias. Argumen bahwa orang asing merebut pekerjaan warga austria sulit
dibuktikan karena kebanyakan orang asing bekerja pada sektor yang disingkiri
warga asli, alias pekerjaan kasarkrisis ekonomi yang menjadi penyebab utama
pengangguran tidak di kaitkan. Orang asing yang mendapat santunan asuaransi
sosial sudah lama tinggal di negara tersebut. Dulu orang tua mereka atau mereka
sendiri dinutuhkan untuk pekerjaan kasar itu. Angka kejahatan yang tinggi dari
warga asing tentu sulit dihindari. Mereka selalu menjadi korban pertama apabila
ada PHK. Mencari kerja sulit.
Bagaiman
argumen yang bias itu mempunyai daya tarik yang luar biasa? Pengangguran dan
rawan kejahatan adalah pengalaman yang nyata, yang membuat takut dan marah.
Perasaan cemaskan masa depan krena belum melihat tanda-tanda perbaikan ekonomi.
Lalu partai ekstern kanan ini menjanjikan pemecahan dengan mengekploitasi
perasaan takut, cemas, dan marah itu kepentingan politik, demagogi. Mereka
mereduksi semua persoalan itu menjadi “karena orang asing”. Berkobarlah
kebencian terhadap orang asing, “biang kerok” semua masalah sosial.
Itulah
demagogi. Joerg haider itu adalah seorang demagog. Demagog secara harfiah
berarti orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Di Indonesia fenomena
demagog seperti itu menghinggapi juga beberapa politikus, politikus yang gemar
mengaduk-ngaduk perasaan masyarakat, biasanya dengan menggunakan isu agama,
untuk kepentingan politiknya, dari mengajak berfikir secara objektif dalm
mencari jalan keluar. Sayangnya, warna wacana yang dominan dari pada banyak
pemuka agama, para pengkhotbah dan guru-guru agama adalah demagogi. Demagogi
ini lebih berbahaya lagi ketika koran, tabloid, dan majalah tertentu
mengadopsinya sebagai gaya pemberitaan penyebaran kebencian semakin efektif dan
luas. Sanagt efektif untuk orang sederhana, tetapi tak jarang kaum intelektual
terkena juga, bahkan menjadi ideolog kebencian.
Demagogi,
tipe wacana manipulatif, efektif untuk menggalang dukungan politik dari
khalayak karena mempunyai mekanismeyang khas. Pertama, seorang demagog selalu
mencari kambing hitam atas segala masalah. Maka, kebencian terhadap suatu
kelompok tertentu ditumbuhkan, dipelihara, dan kalau perlu diperdahsyat
intensitasnya. Dengan cara ini, fanatisme kelompok dijamin karena jalan keluar
masalah diidentikan dengan menghancurkan suatu kelompok tertentu. Jika
kepentingan politik memerlukannya, lalu tinggal menarik picu untuk diledakan.
Kedua, argument yang menjadi senjata utama biasanya menyerang pribadi orangnya
dan argumen kepemilikan kelas yang penuh kebencian. Orang tahu bentuk argumen
ini rentan terhadap SARA, mudah untuk membangkitkan sentimen agama dan
kelompok. Argumen itu cenderung mengalihkan perhatian dari substansi
permasalahan, karena hanya akan mencari kambing hitam. Dengan memojokan
seseorang pada kepemilikan agama atau etnis tertentu, mereka berupanya mengisolasinya
untuk mencegah semua bentuk simpati atau solidaritas sehingga semua usahanya
akan dicurigai dan ditentang. Ketiga, seorang demagog biasanya sanagt canggih
dalam membuat skematisasi. Dalam fenomena ideologi, ada mekanisme yang disebut
skematisasi. Upaya menyederhanakan suatu gagasan atau pemikiran agar bisa
memiliki efektivitas sosial. Maka pemikiran atau gagasan itu harus menjadi
opini, opini inilah yang membentuk ketyakinan. Dari keyakinan tinggla satu
langkah untuk sampai ke tindakan. Oleh karena itu, pemikiran harus rela
kehilangan rigoritasnya menjasi lebih sederhana dan mudah di tangkap khalayak
agar menjadi opini. Sampai titik ini skematisasi tidak menjadi masalah. Wjar
dalam proses pemahaman butuh penyederhanaan. Tetapi, bahayanya mulai terasa pada
saat penyederhanaan menjadi reduksi.
Reduksi ketika sebuah koran memberitakan suatu konflik hanya memperlihatkan
foto-foto dari satu pihak saja. Tetapi sanag efektif untuk menigkatkan
kebencian.
kebencian
itu penyebab utama kekerasan massal yang mewabah di Indonesia akhir-akhir ini
perusakan dan pembakaran tempat ibadah,
penjarahan, pemerkosaan, penganiyaan, dan pembantaian. orang boleh mengatakan
sebab utama adalah kesenjangan ekonomi atau sistem politik yang represif.
tetapi, sangat naif kalau menagabaikan peran kebencian. jujur, kebencian itu
riil ada dan dirasakan, lebih-lebih kebencian antarkelompok agama, terutama
Isalam berhadapan dengan Kristen dan Katolik. tidak semua penganut agama yang
satu membenci enganut agama yang lain. ada yang banyak membangun persahabatan
dan kerjasama. Namun,jumlah yang memendam kebencian itu cukup banyak untuk
dengan mudah mnyulutkonfilk dan ketegangan. provokator tidak akan bisa berhasil
kalau kebencian itu tidak ada.
Kebencian
itu atasa nama agama ini lebih sulit diredam daripada kebencian yang ditebarkan
oleh nasionalisme sempit dari partai kebebasan Joerg Haider. lebih sulit
karena, pertama, mistifikasi motif kebencian itu agama memberi landasan
ideologisdan pembenaran simbolis. mereka merasa membela iman dan kebenaran,
dengan kata lain, demi tuhan sendiri. kedua, alasan historis pertentangan
bertobat menjadi kawan. Demagog dan pengikutnya tidak akan bisa menerima
perbedan dan pluralitas. Kebencian itu diskriminatif dan menafikan yang lain,
yang berbeda. maka, ada pepetah Prancis: le demagoge est le pire ennemi de la
democratize ( Demagog adalah musuh terbesar demokrasi). Karena Demokrasi
mengandaikan pengakuan pluralisme dan meneriama perbedan. Jadi, bisa dipahami
bahwa partai Joerg Haider meskipun menang secara demokratis tetapi ideologinya
bertentangan dengan nilai-nilai ddemokrasi dan etika politik. kebencian dan
deskriminasi bertentangan dengan kebebasan dan keadilan. Tidakah para demagog
itu sadar upayanya menebar kebencian itu mendatangkan malapetaka bagi rakyat?
Politik selalu melahirkan demagog. Demagogi mendorong tumbuh subur radikalisme.
Utopia Politik dan Radikalisme
secara
berkala masyarakat muncul suatu utopia. Utopia biasanya disambut hangat dalam
masyarakat yang sedang dilanda krisis. Di jawa pada masa penjajahan orang
mengenal utopia dalam bentuk mesianisme janji akan datangnya ratu adil. Di
Eropa, pengaruh teks Thomas More, Utopia, terhadap ideologi sosialis utopis
abad XIX tidak bisa diabaikan. Utopia sosialis dari Charles Fourier sampai Karl
Marx, dari Saint Simon sampai robert owen, mempunyai kesamaan, yaitu
mempertanyakan gagasan-gagasan zaman itu, mengguncang keyakinan kebanyakan
orang protes terhadap tatanan sosial yang ada dan mengusulkan konsepsi
kehidupan sosio-politik alternatif.
hampir
semua agama menjadi sumber inspirasi gagasan utopia politik. Dalam kristianisme
dikenal tokoh seperti savonarola di firenze (1498) dan Jan Beukels di Munster
(1536). Dalam islam, masa Nabi Muhammaad SAW selalu menjadi acuan utopia
kehidupan sosio-politik bagi pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan sosial -
politik muslim. satu hal yang menandai gerakan-gerakan utopis ini ialah
radikalisme. dari mana radikalisme? Radikalisme berasal dari struktur utopia
itu sendiri visi manikean revolusi sudah di ambang pintu cobaan akan datang
tenor dan pengawasan politik.
Visi
"manikean"
Dunia
ini pada dasarnya hanya dibagi menjadi dua kelompok, baik dan jahat, terang dan
gelap, benar dan salah. Musuh adalah wujud nyata kejahatan itu. dalam utopia
sosialis, pilihan antara sosialisme (wujud nyata yang baik) atau borjuasi/
kapitalisme 9wujud nyata kejahatan). dalam utopia poltik religius, tidak hanya
dua kelompok yang seagam atau musuh. Model manikean utopia politik-religius
membagi tiga kelompok yang terpilih (militan). masa pemeluk(simpatisan), dan
para pendosa atau kaum kafir yang ada di luar agama pilihan.
Visi
Manikean ini mendorong ke radikalisasi tindakan melalui tiga cara, yaitu
satanisai musuh, heirarkikasi keanggotaan, dan puritanisasi gerakan. Pertam,
pemisahan baik-jahat, berfungsi untuk satanisasi musuh. Dengan cara itu,
pembunuhan musuh menjadi sesuatu yang impersonal karena nusuh negasi terhadap
nilai-nilai yang diperjuangkan oleh agama pilihan. Jadi, tidak mungkin ada
perdamaian denganorang orang semacam itu. Robespierre pernah mengtakan,
"mereka yang memerangi rakyat untuk menghentikan kebebasan dan meniadakan
hak asasi manusia harus dilawan bukan sebagai musuh biasa, tetapi sebagai
pembunuh dan bandit pemberontak".
kejahatan
ada dimana-mana, licik dan penuh jebakan, maka harus diahancurkan. "Ada
konspirasi jahat" adalah senjata kaum utopis politik-religius untuk
mendiskualifikasi setiap upaya mengahalanginta. Komplotan jahat yang merupakan
jaringan disinformasi, penghianatan, dan pembunuhan adalah setrategi musuh untuk
menghambat perwujudan utopia itu. Kedua, heirarkisasi keanggitaan. semakin
besar keingina menjadi bagian inti dari organisasi semakin nekat dan radikal
tindakan nya. Penagkuan militansi hanya datang melalui fanatisme semacam itu.
ketiga, puritanisasi gerakan adalah upaya menghindari segala macam bentuk
kontaminasi ajaran, tradisi, kebiasaan, serta usaha untuk menyeleksi anggota
atas dasar militansi. Tuduhan penghianatan merupakin cara menyingkirkan anggota
yang dianggap tak berguna. Maka, pepatah "revolusi memakan anaknya
sendiri" berlaku juga pad utopia politiko-religius. Mereka yang seagama
pun pada akhirnya akan dibersihkan apabila dianggap tidak segaris dengan
kelompok inti.
Revolusi sudah di Ambang Pintu
saatnya
tiba, besok kemenangan akan diperoleh berkat perjuanagn partai pekerja, buruh
dan petani bersatu menuntut hak-hak mereka. Pada tahun 1848, Karl Marx
mengumumkan kehancuran borjuasi. "tiba-tiba masyarakat jauth dalam situasi
biadab, kelaparan dan perang yang menghancurkan telah memisahkan dari sarana
kehidupan. Industri dan perdaganagn bangkrut. Borjuasi tidak mampu
mempertahankan diri sebagai kelas dominan. Harus berubah! Aksi reolusioner
menjadfi keharusan, karena masyarakat terlalu muak terhadap peradaban zaman
ini. Kemiskinan berkembang jauh lebuh cepat daripada jumlah penduduk dan
kekayaan"
Utopia
politiko-religius hanya mengumumkan perubahan yang didahului oleh bencana alam,
kemiskinan, konfilk, perang yang menghancurkan bangsa. Kata klisme, kemiskinan
dan perang itu hanyalah sindrom dari kebobrokan moral. Maka, fokus utam
revolusi agama adalah mengatasi dekadensi moral. Banyak revolusioner agama
mengumumkan saatnya sudah tiba. situasi yang ada sudah tidak bisa ditorelir
lagi. Saat yang dijanjikan sudah dekat, tetapi juga fatal, sudah di kendaki
Tuhan. Kalau dalam manifesto Komunis (1848) marx meramalkan "borjuasi
mempersiapkan senjata yang kan menjadi alat pembunuh dirinya sendiri",
dalam utopia politiko-religius, self acomplished prophecty menjadi mekanisme
penghancuran musuh agama pilihan. Biasanya seorang Nabi meramalkan sesuatu,
tetapi Tuhan yang menentukan. Dalam self acomplished prophecty, yang meramalkan
sekaligus adalah pelaksanaanya. dalam rapat akbar di Nurenberg, Hitler pernah
meramalkan bahwa penghisap darah rakyat jerman/yahudi suatu saat akan binasa.
dalam benak Hitler sudah ada rencana pengejaran dan pembunuhan massal terhadap
orang-orang yahudi, janji dan ramalan bahwa para musuh agama pilihan akan
binasa menjadi alat pembenaran untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasn terhadap
siapa saja yang di anggap musuh ' saatnya tiba lalu memang mempunyai efek
redikalisasi gerakan. Bukan berarti situasi yang tidak dapat ditorelir itu akan
segera bisa diakhiri, tetapi pendderitaan, cobaan dan kekurangan itu ,ulai
sekarang mempunyai makna positif. Harapan akan masa depan yang lebih baik
membuat pengorbanan yang sekarang ini menjadi lebih bermakna.
Cobaan akan Datang
Betapa
pedihnya cobaan, penantian yang lama, saat-saat putus asa selalu mempunyai
makna. Cobaan-cobaan itu menjadi pemurnian dan cara seleksi mereka yang
terpilih, tanda keterpilihan itu adalah tahan menghadapi semua tantangna dan
cobaan. Ideologi memberi makna terhadap cobaan, kegagalan, atau kekalahan
dengan menyakinkan kemenangan akhir sudah dekat. Karl Marx (1848) menulis :
"kadang-kadang kaum borjuis menang, tetapi kemenangan mereka hanya
sememntara. "tidak ada alasan yang bisa mengendurkan semangat dan
militansi mereka.
keyakinan
ideologis semacam itu mendorong dedikasi dan pengorbana, tetapi juga membawa
kepada tiadanya toleransi, tidak peka lagi terhadap kekejaman dan kekerasan.
Kesetiaan tanpa syarat memberi makna kepada hidup dan kekecewan mereka. Pahit
karena kekalahan dilihat sebagai sesuatu yang sementara. melemahnya ideologi
ditanggapi dengan optimisme bahwa gagasan besar akan bisa bertahan hidup.
Proses ini tanpa disadari menjadi proses proses dari keyakinan agama menjadi
keyakinan politik yang memuncak pada utopia. Semua ini terjadi karena perasaan
dianaikan atau disingkirkan dari kekuasaan dialami kelompok sosial tertentu
mengkristal menjadi perlawanan dan mendorong radikalisasi gerakan.
Teror
bukan hanya menjadi seleksi anggota terpilih, tetpi juga sebagai pendagogi
unttuk menjamin hukuman bagi musuh dan mobilisasi para pengikut. dalam bawah
sadar kolektif, kekejaman hukuman tidakn dirasakan sebagai yang menghancurkan,
tetapi dilihat sebagai pendidikan, bentuk moralisasi indivindu, sarana
integrasi ke dalam struktur kelompok tersebut. kekejaman hukuman akan semakin
berat bagi mereka yang menolak, bahkan bisa sampai pada isolasi atau kematian.
seakan-akan pepatah "yang sungguh mencintai, tak segan menghukum"
mendapat pembenaran. Hal ini untuk menghindari sifat pasif. "sifat pasif
merupakan kejahatan melawan revolusi, " kata lenin. Jadi, teror tidak
hanya sarana untuk menguasai manusia, tetapi juga sarana untuk memobilisasi
ddengan keyakinan bahwa revolusi belumselesai, musuh masih hidup.
Kebenaran
itu ada satu. Hanya pemimpin yang bisa menafsirkan secara benar. Pemimpin
mempunyai tugas membawa anghota kedunia yang lebih baik dengan segala cara.
Mekanisme perilaku kejam berjalan dengan kesadaran peenuh. Saling curiga
merupakan akibat yang tak terhindarkan sehinggga berkembang mentalitas menjilat
dan fitnh. Mekanisme ini menjadi bentuk pengawasan yang efektif. Pemimpin tidak
perlu selalu hadir, tetapi ada perasaan selalu diawasi pada diri
anggota-anggotanya. Pengawasan diskontinu, effeknya kontinu. Ideologi ingin
menjamin kebahagiaan manusia, bukan menindas. tetapi, visi menyeluruh tentang
masyarakat mengandaikan kontrol yang
total dan permanenterhadap indivindu. Radikalisasi merupakan efek dari teror
pengawasan. Orang ingin membuktikan dirinya loyal dan militan.
Kesimpulan
Melihat
meluasnya penggunaan kekerasan sebagai alat politik, cita-cita demokrasi
menjadi lebih riil apabila menekankan kemampuan sisitem politik ini untuk
memebereskan konflik-konflik kepentingan secara damai. Untuk tujuan ini, perlu
ada koreksi terhadap demokrasi, terutama. Pertama, terhadap masalah
representativitas. Jangan sampai representativitas yang menjadi mekanisme
pengambilan keputusan untuk kepentingan rakyat ini dimonopoli oleh beberapa
orang saja. Mereka yang menguasai operasi-operasi pasar, mereka yang menguasai
seluk beluk politik dan para jenderal. Sedangkan pasar diandaikan dikendalikan
melalui kom petensi bebas, tetapi dalam kenyataan sangat jarang terjadi
kompetensi beas. Biasanya apa yang dikatakan kompetensi bebas itu berakhir pada
dominasi oleh beberapa yang menag saja. Maka, janji sisitem representativitas
untuk memperluas pertimbangn publik atau pertisiapsi warga negara harus
ditepati melalui konsultasi yang lebih sering dan intensif dengan konsituen.
Masalah
kedua yang perlu dikoreksi ialah sistem representasi yang disamakan dengan
masalah menjual produk. Apa yang menjadi output pemerintah dipertukarkan dengan
dukungan pemilih. Apabila mekanisme ini yang ditekankan kompetensi kekuasaan
yang dilembagakan masih menjadi kompetensi utama. Lalu kenyataan justru bukan
prestasi yang di kejar, melainkan demagogi. Bentuk kekerasan simbolik yang
menggunakan wacana publik ini semakin akan merebak. Pada akhirnya, kekerasan
simbolis ini akan bermuara pada kekerasan fisik. Tidak mengherankan jalan
ditempuh untuk menyampaikan aspirasi yang tersumbat itu cenderung kekerasan.
Maka fanatisme radikalisme, dan politik
kebencian ini yang menjanjikan pembaruan yang radikal menjadi subur karena
menghidupkan utopia masyarakat yang sedang di landa krisis. janji siap unutk
apa saja, termasuk jalan kekerasan. Kekerasan menjadi subur pelampiasan
kebencian. Kebencian riil diraskan. Bukankah politikus, guru agama, pemuka
agama berperan dalam penanaman kebencian?
Berbagai
kerusuhan di Indonesia memberi kesan bahwa kekerasan menjaddi biasa(banalisasi
kejahatan). Ada setidaknya empat hal nyang menyebabkan kecenderungan pada
kekersan, yaitu korban dibuat impersonal, lemahnya pertimbangan reflektif dalam
arti pelaku tidak terbiasa berfikir krittis menempatkan diri pada posisi orang
lain, para pelaku menikmati impunitas, dan demagogi yang menumbuh suburkan
radikalisme. Radikalisme ini muncul dari ketidakpuasan dan protes terhadap
tatanan yang ada. Ia menginginkan perubahan, biasanya utopiss. Struktur utopia
ini adalah sumber radikalisme. Struktur itu terdiri dari. Pertama, visi
manikean bahwa mayarakat hanya di bagi dua yang baik dan jahat. Kedua,
peringatan revolusi sudah di ambang pintu. Ketiga, kewaspadaan untuk tabah dan
tidak takut karena cobaan akan datang. Keempat, pembenaran teror dan pengawasan
diskontinu, tetapi efek kesadaran diawasi kontinu.
Teror
dan kekerasan mempunyai akibat langsung pada korban dalam bentuk penderitaan
baik fisik maupun moral(trauma). Kejahatan yang tidak langsung melukai secara
fisik korbannya, tetapi berakibat lebih dahsyat adalah korupsi.
Review
Bab IV
DEMOKRASI, RADIKALISME, DAN KEKERASAN
Orang berharap
banyak dari demokrasi. Dengan demokrasi diharapkan keputusan-keputusan yang
menentukan kehidupan kolektif akan berdasarkan pada pertimbangan public yang
luas. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidak adilan dan membuat
pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional. Selain itu,
demokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warga Negara dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Orang begitu percaya kepada sistem politik ini sehingga
demokrasi seakan identik dengan kebebasan, hormat terhadap martabat manusia,
kesamaan, keadilan, keamanan, dan pertumbuhan ekonomi.
Orang kecewa
ketika menyaksikan dan mengalami bahwa demokrasi tidak otomatis menghasilkan
apa yang diharapkan itu. Ironisnya, demokrasi harus lahir melalui konflik yang
berkepanjangan: kerusuhan terjadi dimana-mana; pertumbuhan ekonomi tidak juga
menampakkan batang hidungnya, bahkan pengangguran semakin merajalela; banyak
kasus di mana pertumbuhan ekonomi bisa terwujud tanpa demokrasi; tiadanya rasa
aman karena kriminalitas semakin meluas dan nekat; korupsi tidak juga mereda;
angka kemiskinan semakin tinggi.
Kebebasan berpendapat dan kekerasan
Demokrasi
diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan
berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik terancam. Hipotesis
ini mau mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti kemampuan
komunikasi, menjalankan fungsinya, yaitu menggantikan kekerasan. Oleh karena
itu, sudah sejak demokrasi yunani kuno, orang mendefinisikan kebebasan
berpendapat sebagai wacana yang menjadi sarana utama dan eksklusif bagi
tindakan politik.
Di
Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan
eksklusif bagi tindakan politik, meskipun demokrastisasi terus bergulir.
Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana
dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Kekerasan bukan hanya monopoli
politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Ada pula kecenderungan
beberapa kelompok yang mengatasnamakan tatanan moral menghalalkan kekerasan.
Dalih yang dipakai karena aparat tidak efektif. Tidak efektifnya aparat itu
dikaitkan dengan dua alasan: pertama, yaitu kurangnya personel, tempat tidak
terjangkau; sedangkan alasan yang memicu peradilan massa, kekerasan massa
adalah tuduhan bahwa petugas korup, terlibat, melindungi pelaku kejahatan.
Alasan kedua ini biasanya dipakai untuk alibi penggunaan kekerasan massa.
Memang,
dengan memberi kebebasan berpendapat bukan berarti bahwa lingkup public bisa
dibersihkan dari tindakan kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap
ada dan akan tetap terjadi bahkan didalam wicara. Memang benar wicara merupakan
alternative terhadap kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternative
terhadap kekerasan simbolis yang masih sering terjadi di dalam wacana.
Kekerasan menjadi biasa
Kehidupan
rakyat selalu dibayangi kekerasan. Seakan-akan kekerasan selalu mengiringi
peristiwa-peristiwa sosial dan politik di Indonesia. Hannah Arendt, seorang
filsuf politik, menyebut fenomena semacam itu banalisasi kejahatan (menjadi
biasanya tindak kejahatan).
Korban kekerasan dibuat impersonal
Korban
dibuat impersonal berarti korban dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dianggap
lagi sebagai seorang pribadi manusia. Proses impersonalisasi korban kekerasan
itu bisa ditempuh dengan berbagai cara. para narapidana direduksi menjadi
angka-angka. Choukov, salah seorang narapidana, diberi label angka ch 854.
Reduksi menjadi angka itu merupakan ilustrasi bahwa kamp konsentrasi telah
mengubah pribadi manusia menjadi suatu hal saja. Dengan cara ini, pembunuhan
menjadi impersonal orang tidak merasa membunuh seorang pribadi, tetapi hanya
menghilangkan angka.
Yang legal belum tentu moral
Mereka
yang mengorganisasikan kerusuhan tentunya orang-orang professional yang
terlatih. Nurani mereka sudah bebal. Mereka terasing dari pencarian makna.
Agama bagi mereka hanyalah kedok dan alat untuk menggapai kekuasaan. Mereka
memegang prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Cara berpikir utilitarian ini
menumpulkan nurani dan memperlakukan orang lain sebagai alat bagi kepentingan
dirinya dan kelompoknya. Orang-orang macam ini tidak mempunyai perasaan
bersalah.
Orang-orang
ini sangat berbahaya karena nurani mereka tak tersentuh oleh penderitaan.
Korban tidak lebih hanyalah angka; pembunuhan berarti berkurangnya jumlah
penduduk yang tidak saya kenal; sengsara adalah derita yang dialami orang lain;
pembakaran dan penjarahan tidak membahayakan rumah dan harta milik saya. Auktor
intelektual tidak bertemu sendiri dengan korban, tidak menyaksikan penderitaan
mereka, padahal moralitas mulai pada saat berjumpa dengan wajah, kata E
Levinas.
Terasing dari realitas
Tidak
berjumpa wajah, terasing dari realitas membutakan nurani. Keterasingan dari
realitas ini sangat kental melekat pada fanatisme agama dan ideology. Keterasingan
terhadap realitas dan terhadap orang lain akhirnya menghancurkan hubungan
dengan dirinya sendiri , maksudnya ialah tidak ada lagi spontanitas yang
menjadi sumber kebebasan gagasan, keyankinan, dan pikiran kritis.
Fanatisme: menolak yang berbeda
Dari
sisi pelaku, proses menjadi fanatic menyebabkan orang lepas dari tanggung jawab
terhadap tindakan-tindakannya dengan bersembunyi dibalik pembenaran simbolis,
ideologis, atau teologis. Fanatisme adalah bentuk penolakan terhadap yang
berbeda dan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tak merasa
bersalah. Jadi, proses impersonalisasi korban itu beralihnya sudah ditebarkan
oleh para guru agama, pengkhotbah, dan pemuka agama sejak masih kanak-kanak.
Tanggung jawab kolektif: masalah politik
Tanggung
jawab kolektif lebih bermuatan politik dari pada yuridis dan moral. Hukum dan
moral mengacu kekriteria yang kurang lebih sama, yaitu ke pribadi pelaku dan
tindakannya. Setiap pemerintahan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
pendahulunya, setiap bangsa bertanggung jawab atas masa lalunya. Bangsa jerman
ikut memikul beban atas apa yang dilakukan hitler terhadap bangsa yahudi. Jika
para pelaku kejahatan dimasa lalu tetap hidup nyaman dan tidak diadili, semua
diskusi atau upaya bantuan terhadap korban tidak akan mampu melepaskan dari
beban sejarah yang menggelayuti bangsa Indonesia. Tidak ada criteria moral yang
dapat melepaskan orang dari tanggung jawab kolektif, termasuk terorisme dimana
yang menjadi korban adalah bangsa lain.
Politik porno dan kekerasan
Politik-porno
merupakan manajemen kekerasan sebagai cara yang efesien dan andal. Masuk dalam
kategori politik-porno ini demonstrasi dengan kekerasan, penculikan,
penyanderaan, perampokan, untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu
domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi
situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu. Politik-porno ini
mengakibatkan korban yang tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi
trauma. Prinsip yang dipegang politik-porno ini ialah “tujuan menghalalkan
cara”.
Kriminalisasi politik dan politisasi kriminalitas
Ketika
tujuan menghalalkan cara, cara bisa sewenang-wenang sehingga sulit dibedakan
dari tujuan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas.
Situasi seperti ini tidak disia-siakan oleh para preman dan kelompok yang
memiliki kekuatan fisik riil. Mereka inilah yang diuntungkan.
Kekerasan
semacam itu juga ada batasnya. Tetapi, batas itu justru dipakai sebagai alat
pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap membutuhkan
legitimasi. Kekerasan tidak akan beroperasi jika lepas sama sekali dari hukum.
Maka, kekerasan bersembunyi dibalik lubang hukum.