8:00:00 PM
DR.H.Nurudin Siraj.MA.MSi
BAB I
MENGAPA
MASALAH TOTALITARIANISME SELALU AKTUAL?
Dalam
The Origins Of Totalitarianism, Hannah
Arendt menunjukkan kondisi sosial politik yang memungkinkan munculnya kekuasaan
totaliter. Meski Arendt merujuk kepada Nazisme dan
Stalinisme, bukan berarti hal itu tidak terjadi di wilayah lain.
Menurut penulis, mekanisme kekuasaan yang
dijalankan Orde Baru memiliki kemiripan dengan kedua rezim totaliter tersebut.
Berbagai peristiwa di awal berdirinya Orde Baru, memperlihatkan kekuasaan
Negara menjadi terror yang menakutkan, seperti kasus-kasus penangkapan
pembuangan dan hukuman penjara tanpa proses pengadilan menimpa ratusan ribu
orang yang dianggap terlibat G30S. Tak heran, jika ada yang mengatakan sejarah
kekerasan dan pembunuhan massal oleh Negara pada masa Orde Baru hampir sama
massifnya dengan apa yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja.
Jumlah korban peristiwa 1965-1966 berkisar
antara 78.000 sampai 2.000.000 yang tewas, termasuk yang hilang (Hermawan
Sulistiyo 2000:43-46). Data korban tahun 1965-1966 di atas, bukan data terakhir
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Orde Baru. Jumlah korban yang meninggal
pada kasus pelanggaran HAM akibat diterapkannya Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh sejak pertengahan 1980-an, jadi sebelum diperkenalkannya DOM, sekitar 5000
orang. Sedangkan korban yang melapor pada Tim Pencatat Fakta (TPF) berjumlah
sekitar 1.387 kasus. Khusus untuk kasus Aceh Utara, dilaporkan sekitar 344
kasus pembunuhan, 475 penghilangan atau penculikan, 1.010 korban penyiksaan, 18
kasus pemerkosaan dan 295 unit rumah terbakar, 618 ibu menjada (Tim Peneliti
LIPI, 2001:40).
Tumbangnya pertahanan rezim Soeharto dan
Orde baru tahun 1998, bukan akhir dari tindak kekerasan yang mengarah pada
pelanggaran HAM. Bebagai media menjadi saksi dari tindak kekerasan seperti di
Aceh, Ambon, Poso, dan tentu saja kasus-kasus pemboman.
Kekerasan yang mengarah pada pelanggaran
HAM, ternyata tidak hanya dilakukan oleh aparatur Negara. Pada konflik seperti
yang terjadi di Sampit dan Ambon, terlihat masyarakat sipil terlibat dalam
berbagai tindak kekerasan. Ketika aparatur Negara terlibat, biasanya dalih yang
digunakan adalah patuh terhadap perintah demi stabilitas pertahanan dan
keamanaan. Namun, apabila masyarakat sipil terlibat, seperti juga pada
kasus-kasus Mei 1998, alasan yang dikemukakan adalah karena termakan provokasi
dari pihak-pihak yang tidak jelas identitasnya.
Selama ini telah banyak kajian yang
mengulas tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh Negara, oleh aparaturnya,
maupun oleh masyarakat sipil. Meskipun kekerasan telah menjadi topic kajian
berbagai ilmu sosial, mulai dari filsafat, psikologi, politik, hukum, budaya,
ataupun bahasa, ia tetap saja merupakan sebuah topic yang layak untuk diteliti.
Hal ini terjadi bukan hanya karena kekerasan, terutama kekerasan oleh Negara
terus-menerus terjadi menimpa siapa saja, tetapi juga karena ia terus-menerus
ditutup-tutupi, dianggap tidak ada, dilupakan, sampai kemudian dianggap sebagai
sesuatu yang biasa dan lumrah. Menjadi hal yang mengerikan jika situasi
tersebut diterima dan ditiru oleh warga Negara, tanpa melalui pemikiran kritis.
Hannah Arendt adalah salah satu dari
sekian banyak peneliti dan penulis yang menggali permasalahan politik dari
sudut pandang filsafat, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Lalu apa
yang menjadi kelebihan dari Arendt? Arendt adalah filsuf perempuan yang
melengkapi galaksi pemikir politik dewasa ini. Arendt diakui seorang teoritisi
politik yang controversial, yang memiliki keberanian dan kecerdasan. Selain
itu, ia juga dianggap sebagai pemikir-pemikir politik yang meiliki
rumusan-rumusan dengan cakupan wilayah pembahasan yang sangat luas dan beragam.
Kajian Arendt mulai dari totalitarianism, revolusi, hakikat kebebasan dan
berpikir menilai, sampai sejarah pemikiran politik.
Hal lain yang menjadi daya tarik arendt
adalah refleksivitasnya masih relevan untuk kondisi politik di Indonesia.
Mengapa? Karen, alasan pertama, rezim
totaliter berkembang dari suatu situasi yang non-totaliter. Totaliter bukan
sesuatu yang datang tiba-tiba, seperti halilintar di siang bolong. Sebaliknya,
ada kondisi-kondisi kondusif yang mematangkan masyarakat untuk mau mendukung
kemunculan totalitarianism. Sehingga, ketika ada pihak yang mengatakan bahwa
Orde Baru tidak “berbau” totaliter, pendapat tersebut sulit dipertahankan.
Mekanisme pemerintahan Orde Baru mengarah pada tipe kekuasaan totaliter.
Tendensi-tendensi totaliter pada kekuasaan Orde Baru tidak dapat dimungkiri.
A.
Tendensi-Tendensi
Totaliter
Magnis-Suseno mengatakan, dalam kata
penggantar Asal-Usul Totalitarianisme:
Jilid III Totalitarisme, kita harus tetap mewaspadai adanya
tendensi-tendensi totaliter, atau potensial menjadi totaliter.
Tendensi-tendensi totaliter berupa: 1) legitimasi gampang atas pelanggaran hak
asasi manusia atas nama tujuan-tujuan ideologi; 2) monopolisasi informasi
dengan alasan pemerintah lebih tahu apa yang harus dielakkan masyarakat.
Pemerintah tahu apa yang boleh dan tidak boleh ditonton, dibaca, didiskusikan;
3) pembatasan pengorganisasian masyarakat pada organisasi-organisasi yang
disiapkan pemerintah; 4) penggunaan cara-cara diluar hukum untuk mengancam,
tidak hanya yang dianggap penjahat, tapi juga seluruh masyarakat agar takut dan
tidak berani mempertanyyakan kebijakan pemerintah.
Tendensi-tendensi totalitar lain yang
diperlihatkan Arendt dalam The Origins
Totalitarianism(1951), terunggkap dalam bentuk: 1) kekuasaan ada di tangan
satu orang yang dianggap pemimpin tertinggi; 2) menerapkan sistem satu partai,
menggunakan polisi rahasia atau intel yang berfungsi mengontrol dan melakukan
terror terhadap masyarakat; 3) melakukan pembersihan berulang-ulang dengan cara
menerapkan paham “musuh objektif”; 4) menerapkan metode penghancuran hubungan
sosial dan keluarga melalui paham “kesalahan disebabkan oleh hubungan” dan jasa
diukur dengan jumlah-jumlah laporanmu mengenai teman dekat”. Tendeni-tendensi
totalitar, menurut penulis, sebetulnya sudah merupakan bentuk-bentuk kekerasan
Negara, dan pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari tendensi-tendensi
tersebut.
Alasan kedua, pemikiran
Arendt relevan dengan kondisi politik Indonesia berkaitan dengan konsepnya
mengenai banaliy of evil. Dengan
menulis Eichmann in Jerusalem: Report in
Banality of Evil, Arendt telah mengungkapkan bagaimana menciptakan
kejahatan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Lewat kepatuhan warga Negara
yang diperoleh melalui propaganda dan terror, kekerasan yang dilakukan Negara
dapat membuat orang menjadi enggan berpikir dan tidak mampu menilai secara
kritis. Dari kedua hal tersebut, kekerasan Negara kemudian menjalar pada
warganya, menularkan pada warganya sikap tanpa sungkan-sungkan terlibat
kejahatan. Kepribadian yang lahir darinya adalah kepribadian yang diwarnai oleh
mandulnya dan kesadaran nurani. Karakter ini tidak hanya terbatas pada kalangan
terbatas, seperti golongan biokrat, namun juga menjadi penyakit yang diderita
masyarakat sipil, bahkan diadopsi pula oleh mereka yang menjadi korban.
Konflik-konflik berdarah di Indonesia,
baik vertical maupun horizontal, mempertontonkan hadirnya banality of evil. Lihat saja aparatur Negara yang terlibat korupsi
namun memiliki dalih lepas dari jerat hukum, atau para petinggi militer yang
terlibat pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok, penembakan mahasiswa
Trisakti, dan Kerusuhan Semanggi I dan II, serta peristiwa pembumihangusan
Timor timur. Tidak hanya aparatur Negara yang melakukan pelanggaran HAM,
masyarakat sipil pun seringkali menjadi pelaku. Jika kita kembali pada sejarah
pembantaian orang-orang yang dituduh PKI, atau peristiwa tragis yang menimpa
etnis Tionghoa tahun 1998, kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak sedikit
sipil yang justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Masyarakat sipil dalam dua
sejarah pahit Indonesia itu terlibat pembunuhan, penculikan, pemerkosaan,
penyiksaan, dan perampasan hak milik sipil lainnya.
Ada beberapa peneliti di Indonesia yang
sudah mengkaji pemikiran Arendt untuk menganalisa problem kekerasan, di
antaranya E. Kristie Poerwandari. Peneliti ini melihat gagasan Arendt mengenai
kekerasan dapat membawa kita pada kesadaran, bahwa kekerasan, bagaimana pun,
disadari atau tidak, terjadi karena kebebasan manusia untuk berkehendak.
Tulisan ini memiliki sudut pandang yang berbeda dari Poerwandari. Menurut
penulis, kekerasan justru terjadi karena manusia tidak bebas dalam berkehendak.
Manusia melakukan atau terlibat kekerasan dalam arti tertentu karena
ketidakbebasannya. Ketidakbebasan membuat manusia tidak mampu berpikir dan
memberikian penilaian kritis. Tindakan yang akan dilakukannya bukan berdasarkan
kehendak pribadi, namun karena terkondisikan dan atau dikondisikan oleh tekanan
di luar dirinya.
Selanjutnya, kita dapat pula menemukan pemikiran
Arendt dalam tulisan Sony Keraf untuk memperlihatkan korelasi antara modernitas
dengan lahir dan beroperasinya kekerasan Negara. Sementara tulisan ini tidak
berhenti pada mekanisme pemerintahan yang totaliter. Penulis mencoba menelusuri
pula gagasan banality of evil.
Tujuannya adalah untuk memperlihatkan dampak negative yang ditularkan kekerasan
Negara pada warganya. Dengan kata lain, kekerasan Negara ibarat penyakit
menular bagi masyarakat.
Beranjak dari analisa Arendt pada
kekerasan yang terjadi dalam rezim totaliter, penulis akan menggali
bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan Negara. Kekuasaan dalam politik
totaliter diciptakan bukan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, namun untuk
mengendalikan kehendak setiap individu. Kemajemukan manusia diarahkan agar
menjadi individu tunggal. Akibatnya, warga Negara kehilangan kemampuan berpikir
dan menilai kritis. Pembiasaan kejahatan menjadi tujuan dari kekerasan. Pada
akhirnya, bahkan tanpa paksaan, masyarakat akan bersedia untuk melakukan berbagai
tindak kekerasan yang mengarah pada kejahatan ekstrem. Tak ada lagi rasa
bersalah, tak ada lagi beban untuk bertanggung jawab ketika melakukan
kejahatan, kejahatan menjadi hal yang wajar, menjadi biasa terjadi. Inilah yang
Arendt namakan banality of evil.
Untuk selanjutnya pada tulisan ini istilah banality
of evil disebut dengan banalitas
kejahatan.
Permasalahan yang sudah disampaikan di
awal tulisan ini memunculkan beberapa pertanyaan yang memberikan arah pada
kajian yang dilakukan penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupa: 1) apakah
tindak kekerasan yang terjadi pada konflik-konflik vertical dan horizontal
dalam sebuah Negara disebabkan oleh kesalahan sistem? Atau kekerasan tersebut
merupakan kesalahan pelaku, atau karena ada interaksi antara sistem dan
pelaku?; 2) mekanisme kekuasaan seperti apa yang dapat menyebabkan keterlibatan
masyarakat pada kekerasan?; 3) apa yang menjadi penyebab dan akibat banalitas
kejahatan?
Dari pertanyaan-pertanyaan diatas,
setidaknya ada tiga hal yang ingin diperlihatkan dari tulisan ini. Pertama, relasi antara kekerasan oleh
Negara dengan keterlibatan individu-individu dalam berbagai tindakan kejahatan.
Kedua, menelusuri penyebab dan akibat
yang dapat ditimbulkan oleh banalitas kejahatan. Ketiga, mengungkap hal-hal yang dapat digunakan sebagai benteng,
agar manusia tidak terlibat atau terhindar dari banalitas kejahatan.
Tulisan ini diharapkan mampu memberikan
kesdaran bahwa lahirnya tindakan kekerasan tidak hanya dilatarbelakangi
dorongan psikologis, tapi dapat pula tercipta karena kepentingan penguasa.
Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan konseptual dalam
bidang filsafat politik untuk menyikapi dan mencegah terjadinya kekerasan yang
dilakukan oleh Negara. Maksudnya untuk menghindarkan warga Negara dari
perbuatan kejahatan yang direkayasa oleh Negara. Hal lain yang juga penting
dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan perlunya pengenalan terhadap Diriku melalui dialog “dua dalam satu”.
Dialog tersebut mensyaratkan adanya kesadaran dan nurani. Tujuannya agar opini
yang diperoleh benar-benar melalui pengujian dalam diri sendiri dan tidak
bersandar pada “suara pihak luar”.
B.
Kekuasaan
Negara dan Banalitas Kejahatan
Pada bagian iniakan dijabarkan konsep
mengenai kekerasan sacara umum, konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh
Negara, serta banality of evil
menurut Hannah Arendt. Selain itu, konsep filsafat politik dan modernitas juga
akan diulas secara singkat, mengingat pemikiran Arendt dalam filsafat politik,
termasuk perhatiannya terhadap kekeraasan yang dilakukan oleh Negara, tidak
terlepas dari kritiknya terhadap modernitas.
Kekerasan sulit untuk didefinisikan, namun
setidaknya, seperti Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, kekerasan dapat
digunakan sebagai istilah yang menggambarkan perilaku, baik yang bersifat
terbuka, menyerang, ataupun bertahan,
yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Empat jenis kekerasan
yang dapat diidentifikasikan adalah: pertama,
kekerasan terbuka, bentuk kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; kedua, kekerasan tertutup, kekerasan
tersembunyi atau kekerasan yang tidak dilakukan langsung, seperti tindakan mengancam;
ketiga, kekerasan agresif, kekerasan
yang dilakukan tidak untuk mendapatkan sesuatu; keempat, kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai
tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensive dapat
bersifat terbuka dan tertutup.
Sementara itu, Poerwandari menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan istilah kekerasan adalah semua bentuk tindakan,
intensional dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan, yang menyebabkan
manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan Cuma dalam artian
fisik, lebih lanjut, Poerwandari menyatakan.
“Kekerasan yang dimaksudkan dapat
dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin oleh Negara (baik oleh
aparatnya, maupun sebagai suattu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang yang
dekat dengan korban maupun yang tidak dikenal korban, dapat merupakan suatu
bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk
kebencian suka dan agama, dan sebagainya. Masuk di dalamnya kekerasan laki-laki terhadap
lain, individu maupun kelompok, kekerasan laki-laki (masyarakat) terhadap
perempuan, mungkin pula kekerasan perempuan terhadap manusia lain, tidak
mustahil pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutuilasi,
masokisme, ataupun pembunuhan diri.”
Dalam perspektif tulisan ini, definisi
kekerasan yang dipakai adalah kekerasan terbuka dan kekerasan tertutup, serta
Negara sebagai pelaku kekerasan tersebut. Berikut iini akan disampaikan secara
singkat konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh Negara, serta banalisasi
kejahatan.
Dilihat dari penjelasan yang dituturkan
oleh Poerwandari di atas maka kekerasan dapat dilakukan oleh Negara, baik
aparatnya, maupun Negara sebagai suatu sistem. Dengan demikian, pengertian dari
“Negara” perlu dijelaskan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Negara memiliki dua arti. Pertama, Negara adalah
organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah yang
ditaati oleh rakyat. Kedua, Negara adalah kelompok sosial yang diorganisasikan
di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan
politik.
Negara, atatu state dalam bahasa inggris juga memiliki dua arti. Pertama, Negara
adalah a body of people living under a
single government; a nation. Arti yang kedua, adalah the teorritory oof such a government.
Pengertian Negara dalam filsafat dapat
dipahami sebagai suatu entitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan
organisasi politik yang menjalankan kekuasaan yang berdaulat. Dalam filsafat
poolitik, Negara didefinisikkan sebagai lembaga pusat pemersatu suatu
masyarakat. Karenanya, fungsi dasar dan hakiki Negara adalah penetapan
aturan-aturan kelakuan yang mengikat. Hal ini memperlihatkan bahwa terbentuknya
Negara didasarkan pada legimitasi dari komunitasnya terhadap peran Negara
tersebut. Tanpa legitimasi dari komunitasnya, sebuah Negara mustahil terbentuk.
Hannah Arendt cenderung mendeskripsikan
Negara dengan mengacu pada filsafat klasik yunani, terutama pada pandangan
politik Aristoteles, demikian pula konsepnya mengenai Negara. Arendt memahami
Negara sebagai sistem polis
Yunani-Kuno, yang menempatkan kehidupan public pada hierarki tertinggi dalam
sistem tersebut. Arendt, dengan mengadaptasi pemikiran Aristoteles, menjelaskan
bahwa polis membentuk manusia sebagai
bios politicos dengan tindakan (praxis) dan pengungkapan diri lewat
komunikasi intersubjectif (lexis) sebagai cirri utamanya. Arent memaparkan pula
bahwa fungsi polis dalam masyarakat
Yunani Kuno, atau res publica dalam
masyarakat Romawi Kuno, menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah
kesia-siaan yang dihasilkan dalam kehidupan individualistic, menciptakan sebuah
ruang yang terlindungi dari kemubaziran hidup sekaligus memelihara ketahanan
dari kehidupan ituu sendiri.
Namun demikian, Arendt sesungguhnya tidak hanya
merujuk Negara kota Yunani dalam memahami polis,
yang terbatas waktu dan keadaannya. Polis
dalam pengertian Arendt bukanlah Negara kota dalam lokasi fisiknya. Polis merupakan semua contoh sejarah dimana
ruang tindakan dan ucapan public telah terbangun di antara komunitas warga yang
bebas dan sama. Polis merupakan ruang
penampakan public yang selalu dapat diciptakan kembali di mana pun individu
secara politis berkumpul bersama, ketika manusia melakukan aksi bersama melalui
tindakan dan wicara.
Dengan demikian, fungsi Negara adalah
menetapkan aturan-aturan yang mengikat ( seperti yang digunakan Arendt)
menjamin suatu kehidupan bersama. Selain itu, Negara juga berfungsi untuk
menciptakan ruang dan memelihara ketahanan. Oleh karena itu, dapat kita pahami
bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk menngatur masyarakat yang ada dalam
wilayahnya. Hal ini berarti keuasaan dalam konteks politik berkaitan dengan
keuasaan untuk mengatur masyarakat tersebut. Kesimpulan yang dapat kita ambil
adalah bahwa kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa, dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan Negara.
Kekuasaan dapat menimbulkan dua pengaruh yang
berbeda. Pertama, jika politik pada
dasarnya dilihat sebagai arena pertarungan dan medan pertempuran, maka dalam
perspektif ini, kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut kekuasaan
dan mengontrolnya dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Kedua, jika politik dianggap sebagai
suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, kekuasaan dalam hal ini
dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan
dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Dengan kata lain, kekuasaan
memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama
berhadapan dengan kepentingan golongan atau kelompok.
Arendt melihat politik sebagai upaya untuk
menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dapat tercipta hanya jika kata
dan perbuatan tidak terpecah. Kekuasaan akan terbangun ketika kata-kata bukan
sesuatu yang kosong dan perbuatan bukan hal yang brutal. Kata-kata tidak
digunaan untuk melanggar dan merusak tetapi untuk membentuk relasi dan
menciptakan realitas yang baru. Melalui pengertiannya mengenai Negara (polis) dan kekuasaan, Arendt seakan
ingin memperlihatkan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menipu, melegitimasi
tindak kekerasan atau kejahatan. Dengan kata lain, kekuasaan dalam konsep
Arendt, bukan sebagai biang konflik atau alat untuk menindas. Kekuasaan,
baginya, menjadi media untuk menciptakan relasi yang baik diantara anggotanya
sehingga tercipta sebuah realitas kehidupan yang berkualitas.
Telah dipaparkan sebelumnya, kekuasaan
yang dijalankan penguasa dapat diartikan sebagai tindakan Negara. Ketika
kekuasaan dijadikan alat untuk menindas dan merupakan biang konflik, maka kakuasaan
yang ada di tangan penguasa dapat melahirkan tindak kekerasan.
Apakah tindakan Negara dalam memaksakan
hukum agar ditaati oleh warganya dapat dikatakan sebagai tinda kekerasan, atau
apakah kekerasan Negara selalu legitim? Dalam sebuah Negara hukum, hukum yang
diterapkan oleh Negara tidak dapat menjadi sewenang-wenang. Ada lima syarat
yang harus dipenuhi Negara agar penerapan hukum tidak menjadi tindak kekerasan.
Pertama, pemerintahan didasarkan pada
konstitusi; kedua, ada asas legalitas
yang menunjukkan tindakan pemerintah semata-mata atas dasar hukum yang berlaku.
Bahkan dalam membuat peraturan, pemerintah harus melakukan selbsbindung. Maksudnya, dalam membuat peraturan, atas kemauan
sendiri, Negara harus membatasi kekuasaannya; ketiga, ada pemiasahan kekuasaan dalam fungsi pemerintahan; keempat, ada asas kebebasan kekuasaan
kehakiman. Kehakiman menjadi salah satu pilar penegak keadilan, kebenaran, dan
kepastian hukum; dan kelima, ada
jaminan perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Segala otoritas
yang diberikan dan dimiliki kekuasaan harus ditunjukkan dan diabdikan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kelima syarat tersebut menjadi prinsip
penting dalam penerapan hukum, yaitu bahwa yang
legal belum tentu moral.
Lalu bagaimana dengan sifat koersif hukum?
Apakah sifat memaksa hukum dianggap sebagai kekerasan? Hukum memang bersifat
koersif. Di dalamnya terdapat dua unsure yang saling terkait. Unsure pertama, sistem hukum memiliki
bagian yang koersif, yaitu bagian hukum yang menyediakan ketetapan untuk
dimungkinkannya tindakan-tindakan pemaksaan. Sedangkan unsure kedua berupa sistem hukum yang memiliki institusi yang
bersifat memaksa. Institusi tersebut berupa aparat penegak hukum yang bertugas
member efek paksaan pada hukum. Tetapi bila dikaitkan dengan lima syarat yang
harus dipenuhi dalam penerapan hukum, maka pemaksaan dalam hukum sesungguhnya
bukan, atau bahkan tidak mengizinkan diberlakukannya tindak kekerasan. Jadi,
jika ditilik dari sisi koersif hukum sekalipun, tindak kekerasan Negara tidak
dapat dibenarkan. Fungsi hukum yang harus
diperhitungkan bukan fungsinya untuk memaksa, namun harus lebih ditekankan pada
fungsinya sebagai pengorganisir tanggung jawab.
Dalam Negara totaliter, kekerasan Negara
timbul akibat penguasa dalam membuat peratyran atau hukum tidak membatasi
kekuasaannya. Rezim totaliter bertindak sebaliknya, peraturan dan hukum
diterapkan justru untuk memperluas kekuasaan. Tujuannya adalah mewujudkan
dominasi total atas manusia.
Kekerasan Negara dapat mempengaruhi
individu-individu yang ada di dalam kekuasaannya untuk melakukan kejahatan.
Individu-individu tersebut akan kehilangan kemampuan berpikir den menilai
secara kritis, seperti yang terjadi pada Adolf Eichmann. Berdasar pengamatan
Arendt, Eichmann merasa tidak bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Eichmann merasa apa yang dilakukannya tak lebih dari sekedar tanggung jawab
terhadap petugas dan sikap patuh, loyal terhadap penguasa bukan sebuah
kejahatan, meski ia tahu tindakannya menimbulkan banyak korban. Sikap seperti
Eichmann inilah yang disebut banalitas kejahatan, kejahatan sebagai hal yang
biasa. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh warga Negara tidak muncul
dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat atau produk dari kekerasan yang
dilakukan Negara.
Kekerasan negara berawal dari ideology
yang disebarkan melalui mekanisme propaganda dan terror. Masyarakat dibunuh
sisi yuridis dan moralnya, dilumpuhkan nuraninya, dihilangkan kemampuan spontanitasnya.
Berbagai hal tersebut melahirkan banalitas kejahatan. Kejahatan ini berawal
dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Arendt menghubungkan
kedua hal tersebut dengan dialog antara Aku
dan Diriku. Dialog tersebut membutuhkan kesadaran dan nurani, serta
kebebasan dan pluralitas. Jika manusia mampu melakukan dialog tersebut, dengan
sendirinya ia akan bertindak tidak berdasarkan perintah orang lain, namun
menurut kesadaran dan nuraninya. Dengan kata lain, ia akan menolak berbagai
ajaran, teori, ideology, dan keyakinan yang tidak sesuai atau belum melewati
proses pengujian melalui dialog Aku dan
Diriku. Manusia seperti ini dapat membentengi dirinya, sehingga terhindar
dari banalitas kejahatan.
Uraian diatas merupakan bagian dari filsafat
politik yang ditawarkan Arendt. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik.
Sementara ilmu politik berdasarkan pada pengamatan empiris, filsafat politik
lebih menekankan pada penafsiran hakikat politik yang bersifat hipotetis. Tugs
filsafat pollitik bukan mendeskripsikan fakta, namun membangun konsep-konsep
yang membuat politik dapat dipahami secara mendalam.
Pandangan filsafat politik Arendt
berangkat dari usahanya menawarkan perspektif baru yang memungkinkan kita memahami
dua kejadian mengerikan yang terjadi pada abad 20, Nazisme dan Stalinisme.
Pemikiran Arendt dalam politik mengadaptasi konsep klasik civic republicanism (republikanisme sipil) yang pernah muncul pada
zaman Aristoteles, selanjutnya diperjelas oleh tulisan-tulisan Machiavelli, Montesquieu,
Jefferson, dan Tocqueville. Tradisi politik ini menkankan adanya tindakan
bersama masyarakat dalam ramah politik. Warga negara dituntut keaktifannya
dalam dalam menyelesaikan masalah bersama.partisipasi warga ini tidak hanya
mengarah pada terciptanya kesepakatan bersama mengenai kebaikan, melainkan
sebagai cara untuk mengafirmasi eksistensi diri setiap warga negara.
Sedikitnya, ada tiga keuntungan yang dapat dilihat dengan penerapan civic republicanism, yaitu: pertama,memberikan kesempatan pada setiap
warga untuk menguji kekuatan dirinya sebagai pelaku politik; kedua,kapasitas penilaian politis dapat
berkembang; ketiga, diperolehnya
ukuran efektifitas politik tertentu melalui tindakan bersama.
Arendt kerapkali dianggap sebagai pembela
konstitusi dan supremasi hukum, serta pembela hak asasi manusia. Arendt tidak
hanya memasukan ide mengenai hak untuk hidup, kemerdekaan dan kebebasan, serta
berekspresi, tetapi menekankan juga perlunya hak untuk bertindak dan
berpendapat. Artinya, dibutuhkan partisipasi tindakan aktif warga negara dalam
kehidupan politik. Lebih jelasnya, pemikiran Arendt yang merupakan
warisantradisi civic republicanism
dapat dilihat dari konsep politik yang didasarkan pada gagasan active citizenship. Arendt memfokuskan
visinya pada dua nilai dan makna yang penting dari: pertama, civic engagement,
yaitu keterlibatan warga negara; kedua,
mengenai collective deliberation,
yaitu penilaian kolekftif yang diperoleh melalui perdebatan public tentang
berbagai persoalan yang mempengaruhi komunitas politik dan kepentingan hidup
masyarakat.
Tradisi pemikiran yang mempengaruhi cara
pandang Arendt dapat ditelusuri dalam pembedaan Aristotelian pada oikos dan polis. Konsep politik Aristoteles mempekenalkan bahwa kodrat
manusia adalah zoom politikon,
sebagai makhluk yang mendiami polis. Polis adalah sistem dan struktur negara
di zaman Yunani Kuno. Aktivitas manusia pada zaman ini terbagi menjadi dua,
aktivitas dalam oikosi (keluarga,
rumah tangga) dan aktivitas dalam polis
(negara, kota).
Aktivitas dalam oikos selanjutnya disebut aktivitas dalam ruang privat dan
bersifat non-politis. Dalam ryang privat, manusia memikirkan kepentingan
pribadi dan kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Pada awal Politics, Aristoteles mengutip puisi
dari Hesiod:
Yang utama
dan paling utama adalah rumah, istri, dan kerbau untuk membajak.
Menurut Aristoteles, rumah menjadi tempat
berlindung keluarga. Istri diperlukan dalam proses reproduksi untuk memperoleh
keturunan. Sementara kerbau yang membajak merupakan symbol dari kegiatan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh hak milik pribadi.
Relasi yang tercipta dalam rumah tangga
menampilkan hubungan antara tuan dan budak, suami dan istri, ayah dan
anak-anak. Pengaturan rumah tangga berlangsung atas dasar dominasi pihak yang
memerintah yang berada di tangan kepala rumah tangga. Keluarga dikepalai orang
seorang ayah atau suami yang mengatur istri, anak-anak, dan budak, agar
kebutuhan hidup tercukupi. Budak dalam rumah tangga diibaratkan sebagai alat
kehidupan (live tool), yang bertugas
melayani. Menurut Aristoteles, dominasi tuan terhadap anggota keluarga yang
lain adalah hal yang dibenarkan. Karena itu, jika menganut konsep Aristoteles
mengenai oikos, pemaksaan dan
kekerasan dalam ruang privat menjai hal yang lumrah.
Bebeda dengan ruang privat, aktivitas yang
berlangsung pada ruang public bersifat politis. Tujuan aktivitas dalam polis adalah untuk mencapai kehidupan
bersama yang baik. Manusia hidup dalam polis
mewujudkan tindakannya demi kehidupan bersama. Polis menjadi wahan tampat penampakan diri antar sesama warga
melalui komunikasi yang sederajat, dengan menggunakan bahasa.
Pembedaan antara oikos dan polis menjadi
landasan dalam gagasan politik Arendt. Polis,
bagi Arendt, merupakan wilayah kebebasan, tempat penyikapan perihal “siapa”
yang berbiacara dan bertindak dalam komunikasi yang sederajat. Arendt
menerapkannya dalam ide mengenai aksi komunikatif dalam kekuasaan politik. Aksi
komunikatif memunggkinkan munculnya dua hal yang telah disebutkan sebelumnya,
yaitu keterlibatan aktif warga negara dalam politik dan debat politik untuk
memecahkan persoalan bersama. Pemisahan aktivitas manusia dalam konsep Arendt
selanjutnya tidak terbatas pada aktivitas diruang privat dan ruang public.
Arendt mengembangkannya dalam konsep via
aktiva, dengan membedakan ativitas manusia dalam kerja, karya, dan
tindakan.
Arendt tidak sepenuhnya setuju dengan
pembedaan yang dikatakan Aristoteles. Pembedaan antara oikos dan polis, antara
privat dan ruang public dianggap dapat menimbulkan bahaya. Praktik-praktik yang
terjadi di ruang privat dalam konsep Yunani Kuno berdampak negative bagi ruang
public. Dominasi tanpa batas yang terjadi dalam oikos ternyata dapat tumbuh dengan subur dalam polis. Hal ini menjadi salah satu kajian Arendt dalam mengkritik
modernitas.
Berbicara tentang modernitas, tek dapat
terlepas dari kata “modern”. Modern adalah terminology yang dibentuk dalam
periodisasi, doktrin, model yang berbeda-beda. Secara umum, kata “modern”
mengandung makna sebuah perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang. Dalam
sejarah filsafat, “filsafat modern” merupakan label yang sering digunakan dalam
filsafat baru yang berkembang pada awal era modern, yang dipelopori oleh Bacon
dan Descartes, pada awal abad ke-17. Bacon, Locke, Barkeley, Hume, dan
sebagainya dapat dikatakan sebagai kelompok filsuf modern. Tetapi penjabaran
tersebut dapat pula digunakan sebagai para filsuf di abad duapuluh, seperti
Mach, Schlick, Carnad, dan Reichenbach.
Hannah Arendt membedakan antara era modern
(modern age) dengan dunia modern (modern world). Pembedaan yang dilakukan
Arendt didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan. Era modern dimulai pada
abad ke- 17 dan berakhir pada abad ke- 20. Dunia modern sendiri, ungkap Arendt,
berawal dari peristiwa jatuhnya bom atom untuk pertama kali.
Sementara itu, modernitas adalah sebuah
periodisasi sejarah, yang menjelaskan karakter modern. Peride ini
terspesifikasi secara berragam. Substansi terpenting dari konsep modernitas
adalah memandang kondisi dunia pada abad 19 dan abad 20. Kondisi tersebut
berkatan dengan gagasan tentang negara (nation
state), demokrasi politik, kapitalisme, urbanisasi, budaya massa, media massa,
rasionalitas, antitradisionalisme, sekularisasi, kepercayaan pada ilmu
pengetahuan. Selain itu, kedua abad ini memperlihatkan kondisi industrialisasi
dalam skala besar, individualisme, pencerahan ide dan ideology massa yang
liberal dan progresif, serta ide-ide humanitarian yang terproyeksikan.
Masing-masing gagasan mengenai kondisi dunia tersebut tidak hanya berdiri
sendiri, namun dapat dikombinasikan menjadi sebuah hakikat dalam kehidupan
modern.
Arendt memandang modernitas sebagai sebuah
keterputusan kondisi manusia. Keterputusan ini, muncul akibat ketidakpuasan
manusia modern terhadap seluruh batasan yang mendefinisikan eksistensi manusia
(kematian, kerja, dan kebutuhan alamiah). Modernitas merujuk pada sikap manusia
yang tidak mau menerima apa yang belum ia hasilkan. Manusia modern merubah
realitas dengan menggunakan instrument pengetahuan modern dan teknologi. Tujuan
yang ingin dicapai manusia modern adalah membentukk dunia sampai ia merasa
dunia sebagai rumah pribadi.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
modernitas dalam konsep Arendt mengambil substansi rasionalitas. Manusia modern
cenderung hanya menerima sesuatu jika hal tersebut dapat diterima secara
rasional, patokan hidup adalah realitas yang dihadapi. Dengan menaruh
kepercayaan yang berlebihan terhadap pengetahuan dan teknologi, manusia modern
tidak terlalu memperhitungkan kemampuan berpikir dan memberikan penilaian
kritis (thinking and judging).
Akibatnya, manusia modern menjadi individualis, menginginkan dunia hanya untuk
dirinya sendiri, bukan untuk kehidupan bersama. Situasi tersebut membawa
manusia ke dalam ketersaingan dunia. Arendt menggambarkan keadaan masyarakat
modern sebagai berikut,
sebuah masyarakat manusia, yang
tanpa dunia bersama, yang sesekali menghubungkan dan memisahkan mereka, hidup
dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan bersama menjadi massa.
Karena masyarakat massa tak lain jenis kehidupan formal yang secara otomatis
menegakkan dirinya diantara umat manusia yang masih terkait satu sama lain
(karena menjadi anggota dari spesies manusia), tetapi teelah kehilangan duunia
yang dimiliki bersama.
Kutipan diatas
menunjukan bahwa konsep masyarakat massa dalam pemikiran Arendt adalah
masyarakat yang hidup bersama dalam ketertekanan. Masyarakat massa adalah
masyarakat yang terasing dari dunianya, mereka hidup bersama, tetapi kehilangan
kebersamaan, dalam arti diabaikannya struktur kolektif, redupnya solidaritas,
dan hilangnya empati. Kritik Arendt terhadap modernitas tercermin dalam karya-karyanya.
Kajian lebih dalam akan disampaikan pada bab-bab selanjutnya.
Catatan
kaki :
1
Lihat table 1 pada lampiran.
2
Henk Schulte Nordholt, Een Staat van Geweld (pidato pengukuhan professor luar
biasa dalam sejarah asia, Erasmus Universiteit, 22 juni 2000), hal7.
3
Andi Mulya Fakhri, Di Balik Tragedi
Sampit: Data, Fakta, dan Prospek penyelesaian, Jakarta: Sarana Media
Investama, 2001, hlm. 29”… warga menyerang pengungsi yang ketakutan. Warga
men-sweeping setiap pendatang yang ingin mengungsi. … massa kedua pihak
terkonsentrasi di wilayahnya, siap saling menyerang…” atau lihat Human Right Watch: Indonesia, The Violence in Ambon, vol. 11, No.
1(c), March, 1999, hlm. 13
Dalam
The Origins Of Totalitarianism, Hannah
Arendt menunjukkan kondisi sosial politik yang memungkinkan munculnya kekuasaan
totaliter. Meski Arendt merujuk kepada Nazisme dan
Stalinisme, bukan berarti hal itu tidak terjadi di wilayah lain.
Menurut penulis, mekanisme kekuasaan yang
dijalankan Orde Baru memiliki kemiripan dengan kedua rezim totaliter tersebut.
Berbagai peristiwa di awal berdirinya Orde Baru, memperlihatkan kekuasaan
Negara menjadi terror yang menakutkan, seperti kasus-kasus penangkapan
pembuangan dan hukuman penjara tanpa proses pengadilan menimpa ratusan ribu
orang yang dianggap terlibat G30S. Tak heran, jika ada yang mengatakan sejarah
kekerasan dan pembunuhan massal oleh Negara pada masa Orde Baru hampir sama
massifnya dengan apa yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja.
Jumlah korban peristiwa 1965-1966 berkisar
antara 78.000 sampai 2.000.000 yang tewas, termasuk yang hilang (Hermawan
Sulistiyo 2000:43-46). Data korban tahun 1965-1966 di atas, bukan data terakhir
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Orde Baru. Jumlah korban yang meninggal
pada kasus pelanggaran HAM akibat diterapkannya Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh sejak pertengahan 1980-an, jadi sebelum diperkenalkannya DOM, sekitar 5000
orang. Sedangkan korban yang melapor pada Tim Pencatat Fakta (TPF) berjumlah
sekitar 1.387 kasus. Khusus untuk kasus Aceh Utara, dilaporkan sekitar 344
kasus pembunuhan, 475 penghilangan atau penculikan, 1.010 korban penyiksaan, 18
kasus pemerkosaan dan 295 unit rumah terbakar, 618 ibu menjada (Tim Peneliti
LIPI, 2001:40).
Tumbangnya pertahanan rezim Soeharto dan
Orde baru tahun 1998, bukan akhir dari tindak kekerasan yang mengarah pada
pelanggaran HAM. Bebagai media menjadi saksi dari tindak kekerasan seperti di
Aceh, Ambon, Poso, dan tentu saja kasus-kasus pemboman.
Kekerasan yang mengarah pada pelanggaran
HAM, ternyata tidak hanya dilakukan oleh aparatur Negara. Pada konflik seperti
yang terjadi di Sampit dan Ambon, terlihat masyarakat sipil terlibat dalam
berbagai tindak kekerasan. Ketika aparatur Negara terlibat, biasanya dalih yang
digunakan adalah patuh terhadap perintah demi stabilitas pertahanan dan
keamanaan. Namun, apabila masyarakat sipil terlibat, seperti juga pada
kasus-kasus Mei 1998, alasan yang dikemukakan adalah karena termakan provokasi
dari pihak-pihak yang tidak jelas identitasnya.
Selama ini telah banyak kajian yang
mengulas tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh Negara, oleh aparaturnya,
maupun oleh masyarakat sipil. Meskipun kekerasan telah menjadi topic kajian
berbagai ilmu sosial, mulai dari filsafat, psikologi, politik, hukum, budaya,
ataupun bahasa, ia tetap saja merupakan sebuah topic yang layak untuk diteliti.
Hal ini terjadi bukan hanya karena kekerasan, terutama kekerasan oleh Negara
terus-menerus terjadi menimpa siapa saja, tetapi juga karena ia terus-menerus
ditutup-tutupi, dianggap tidak ada, dilupakan, sampai kemudian dianggap sebagai
sesuatu yang biasa dan lumrah. Menjadi hal yang mengerikan jika situasi
tersebut diterima dan ditiru oleh warga Negara, tanpa melalui pemikiran kritis.
Hannah Arendt adalah salah satu dari
sekian banyak peneliti dan penulis yang menggali permasalahan politik dari
sudut pandang filsafat, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Lalu apa
yang menjadi kelebihan dari Arendt? Arendt adalah filsuf perempuan yang
melengkapi galaksi pemikir politik dewasa ini. Arendt diakui seorang teoritisi
politik yang controversial, yang memiliki keberanian dan kecerdasan. Selain
itu, ia juga dianggap sebagai pemikir-pemikir politik yang meiliki
rumusan-rumusan dengan cakupan wilayah pembahasan yang sangat luas dan beragam.
Kajian Arendt mulai dari totalitarianism, revolusi, hakikat kebebasan dan
berpikir menilai, sampai sejarah pemikiran politik.
Hal lain yang menjadi daya tarik arendt
adalah refleksivitasnya masih relevan untuk kondisi politik di Indonesia.
Mengapa? Karen, alasan pertama, rezim
totaliter berkembang dari suatu situasi yang non-totaliter. Totaliter bukan
sesuatu yang datang tiba-tiba, seperti halilintar di siang bolong. Sebaliknya,
ada kondisi-kondisi kondusif yang mematangkan masyarakat untuk mau mendukung
kemunculan totalitarianism. Sehingga, ketika ada pihak yang mengatakan bahwa
Orde Baru tidak “berbau” totaliter, pendapat tersebut sulit dipertahankan.
Mekanisme pemerintahan Orde Baru mengarah pada tipe kekuasaan totaliter.
Tendensi-tendensi totaliter pada kekuasaan Orde Baru tidak dapat dimungkiri.
A.
Tendensi-Tendensi
Totaliter
Magnis-Suseno mengatakan, dalam kata
penggantar Asal-Usul Totalitarianisme:
Jilid III Totalitarisme, kita harus tetap mewaspadai adanya
tendensi-tendensi totaliter, atau potensial menjadi totaliter.
Tendensi-tendensi totaliter berupa: 1) legitimasi gampang atas pelanggaran hak
asasi manusia atas nama tujuan-tujuan ideologi; 2) monopolisasi informasi
dengan alasan pemerintah lebih tahu apa yang harus dielakkan masyarakat.
Pemerintah tahu apa yang boleh dan tidak boleh ditonton, dibaca, didiskusikan;
3) pembatasan pengorganisasian masyarakat pada organisasi-organisasi yang
disiapkan pemerintah; 4) penggunaan cara-cara diluar hukum untuk mengancam,
tidak hanya yang dianggap penjahat, tapi juga seluruh masyarakat agar takut dan
tidak berani mempertanyyakan kebijakan pemerintah.
Tendensi-tendensi totalitar lain yang
diperlihatkan Arendt dalam The Origins
Totalitarianism(1951), terunggkap dalam bentuk: 1) kekuasaan ada di tangan
satu orang yang dianggap pemimpin tertinggi; 2) menerapkan sistem satu partai,
menggunakan polisi rahasia atau intel yang berfungsi mengontrol dan melakukan
terror terhadap masyarakat; 3) melakukan pembersihan berulang-ulang dengan cara
menerapkan paham “musuh objektif”; 4) menerapkan metode penghancuran hubungan
sosial dan keluarga melalui paham “kesalahan disebabkan oleh hubungan” dan jasa
diukur dengan jumlah-jumlah laporanmu mengenai teman dekat”. Tendeni-tendensi
totalitar, menurut penulis, sebetulnya sudah merupakan bentuk-bentuk kekerasan
Negara, dan pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari tendensi-tendensi
tersebut.
Alasan kedua, pemikiran
Arendt relevan dengan kondisi politik Indonesia berkaitan dengan konsepnya
mengenai banaliy of evil. Dengan
menulis Eichmann in Jerusalem: Report in
Banality of Evil, Arendt telah mengungkapkan bagaimana menciptakan
kejahatan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Lewat kepatuhan warga Negara
yang diperoleh melalui propaganda dan terror, kekerasan yang dilakukan Negara
dapat membuat orang menjadi enggan berpikir dan tidak mampu menilai secara
kritis. Dari kedua hal tersebut, kekerasan Negara kemudian menjalar pada
warganya, menularkan pada warganya sikap tanpa sungkan-sungkan terlibat
kejahatan. Kepribadian yang lahir darinya adalah kepribadian yang diwarnai oleh
mandulnya dan kesadaran nurani. Karakter ini tidak hanya terbatas pada kalangan
terbatas, seperti golongan biokrat, namun juga menjadi penyakit yang diderita
masyarakat sipil, bahkan diadopsi pula oleh mereka yang menjadi korban.
Konflik-konflik berdarah di Indonesia,
baik vertical maupun horizontal, mempertontonkan hadirnya banality of evil. Lihat saja aparatur Negara yang terlibat korupsi
namun memiliki dalih lepas dari jerat hukum, atau para petinggi militer yang
terlibat pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok, penembakan mahasiswa
Trisakti, dan Kerusuhan Semanggi I dan II, serta peristiwa pembumihangusan
Timor timur. Tidak hanya aparatur Negara yang melakukan pelanggaran HAM,
masyarakat sipil pun seringkali menjadi pelaku. Jika kita kembali pada sejarah
pembantaian orang-orang yang dituduh PKI, atau peristiwa tragis yang menimpa
etnis Tionghoa tahun 1998, kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak sedikit
sipil yang justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Masyarakat sipil dalam dua
sejarah pahit Indonesia itu terlibat pembunuhan, penculikan, pemerkosaan,
penyiksaan, dan perampasan hak milik sipil lainnya.
Ada beberapa peneliti di Indonesia yang
sudah mengkaji pemikiran Arendt untuk menganalisa problem kekerasan, di
antaranya E. Kristie Poerwandari. Peneliti ini melihat gagasan Arendt mengenai
kekerasan dapat membawa kita pada kesadaran, bahwa kekerasan, bagaimana pun,
disadari atau tidak, terjadi karena kebebasan manusia untuk berkehendak.
Tulisan ini memiliki sudut pandang yang berbeda dari Poerwandari. Menurut
penulis, kekerasan justru terjadi karena manusia tidak bebas dalam berkehendak.
Manusia melakukan atau terlibat kekerasan dalam arti tertentu karena
ketidakbebasannya. Ketidakbebasan membuat manusia tidak mampu berpikir dan
memberikian penilaian kritis. Tindakan yang akan dilakukannya bukan berdasarkan
kehendak pribadi, namun karena terkondisikan dan atau dikondisikan oleh tekanan
di luar dirinya.
Selanjutnya, kita dapat pula menemukan pemikiran
Arendt dalam tulisan Sony Keraf untuk memperlihatkan korelasi antara modernitas
dengan lahir dan beroperasinya kekerasan Negara. Sementara tulisan ini tidak
berhenti pada mekanisme pemerintahan yang totaliter. Penulis mencoba menelusuri
pula gagasan banality of evil.
Tujuannya adalah untuk memperlihatkan dampak negative yang ditularkan kekerasan
Negara pada warganya. Dengan kata lain, kekerasan Negara ibarat penyakit
menular bagi masyarakat.
Beranjak dari analisa Arendt pada
kekerasan yang terjadi dalam rezim totaliter, penulis akan menggali
bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan Negara. Kekuasaan dalam politik
totaliter diciptakan bukan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, namun untuk
mengendalikan kehendak setiap individu. Kemajemukan manusia diarahkan agar
menjadi individu tunggal. Akibatnya, warga Negara kehilangan kemampuan berpikir
dan menilai kritis. Pembiasaan kejahatan menjadi tujuan dari kekerasan. Pada
akhirnya, bahkan tanpa paksaan, masyarakat akan bersedia untuk melakukan berbagai
tindak kekerasan yang mengarah pada kejahatan ekstrem. Tak ada lagi rasa
bersalah, tak ada lagi beban untuk bertanggung jawab ketika melakukan
kejahatan, kejahatan menjadi hal yang wajar, menjadi biasa terjadi. Inilah yang
Arendt namakan banality of evil.
Untuk selanjutnya pada tulisan ini istilah banality
of evil disebut dengan banalitas
kejahatan.
Permasalahan yang sudah disampaikan di
awal tulisan ini memunculkan beberapa pertanyaan yang memberikan arah pada
kajian yang dilakukan penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupa: 1) apakah
tindak kekerasan yang terjadi pada konflik-konflik vertical dan horizontal
dalam sebuah Negara disebabkan oleh kesalahan sistem? Atau kekerasan tersebut
merupakan kesalahan pelaku, atau karena ada interaksi antara sistem dan
pelaku?; 2) mekanisme kekuasaan seperti apa yang dapat menyebabkan keterlibatan
masyarakat pada kekerasan?; 3) apa yang menjadi penyebab dan akibat banalitas
kejahatan?
Dari pertanyaan-pertanyaan diatas,
setidaknya ada tiga hal yang ingin diperlihatkan dari tulisan ini. Pertama, relasi antara kekerasan oleh
Negara dengan keterlibatan individu-individu dalam berbagai tindakan kejahatan.
Kedua, menelusuri penyebab dan akibat
yang dapat ditimbulkan oleh banalitas kejahatan. Ketiga, mengungkap hal-hal yang dapat digunakan sebagai benteng,
agar manusia tidak terlibat atau terhindar dari banalitas kejahatan.
Tulisan ini diharapkan mampu memberikan
kesdaran bahwa lahirnya tindakan kekerasan tidak hanya dilatarbelakangi
dorongan psikologis, tapi dapat pula tercipta karena kepentingan penguasa.
Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan konseptual dalam
bidang filsafat politik untuk menyikapi dan mencegah terjadinya kekerasan yang
dilakukan oleh Negara. Maksudnya untuk menghindarkan warga Negara dari
perbuatan kejahatan yang direkayasa oleh Negara. Hal lain yang juga penting
dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan perlunya pengenalan terhadap Diriku melalui dialog “dua dalam satu”.
Dialog tersebut mensyaratkan adanya kesadaran dan nurani. Tujuannya agar opini
yang diperoleh benar-benar melalui pengujian dalam diri sendiri dan tidak
bersandar pada “suara pihak luar”.
B.
Kekuasaan
Negara dan Banalitas Kejahatan
Pada bagian iniakan dijabarkan konsep
mengenai kekerasan sacara umum, konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh
Negara, serta banality of evil
menurut Hannah Arendt. Selain itu, konsep filsafat politik dan modernitas juga
akan diulas secara singkat, mengingat pemikiran Arendt dalam filsafat politik,
termasuk perhatiannya terhadap kekeraasan yang dilakukan oleh Negara, tidak
terlepas dari kritiknya terhadap modernitas.
Kekerasan sulit untuk didefinisikan, namun
setidaknya, seperti Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, kekerasan dapat
digunakan sebagai istilah yang menggambarkan perilaku, baik yang bersifat
terbuka, menyerang, ataupun bertahan,
yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Empat jenis kekerasan
yang dapat diidentifikasikan adalah: pertama,
kekerasan terbuka, bentuk kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; kedua, kekerasan tertutup, kekerasan
tersembunyi atau kekerasan yang tidak dilakukan langsung, seperti tindakan mengancam;
ketiga, kekerasan agresif, kekerasan
yang dilakukan tidak untuk mendapatkan sesuatu; keempat, kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai
tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensive dapat
bersifat terbuka dan tertutup.
Sementara itu, Poerwandari menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan istilah kekerasan adalah semua bentuk tindakan,
intensional dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan, yang menyebabkan
manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan Cuma dalam artian
fisik, lebih lanjut, Poerwandari menyatakan.
“Kekerasan yang dimaksudkan dapat
dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin oleh Negara (baik oleh
aparatnya, maupun sebagai suattu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang yang
dekat dengan korban maupun yang tidak dikenal korban, dapat merupakan suatu
bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk
kebencian suka dan agama, dan sebagainya. Masuk di dalamnya kekerasan laki-laki terhadap
lain, individu maupun kelompok, kekerasan laki-laki (masyarakat) terhadap
perempuan, mungkin pula kekerasan perempuan terhadap manusia lain, tidak
mustahil pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutuilasi,
masokisme, ataupun pembunuhan diri.”
Dalam perspektif tulisan ini, definisi
kekerasan yang dipakai adalah kekerasan terbuka dan kekerasan tertutup, serta
Negara sebagai pelaku kekerasan tersebut. Berikut iini akan disampaikan secara
singkat konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh Negara, serta banalisasi
kejahatan.
Dilihat dari penjelasan yang dituturkan
oleh Poerwandari di atas maka kekerasan dapat dilakukan oleh Negara, baik
aparatnya, maupun Negara sebagai suatu sistem. Dengan demikian, pengertian dari
“Negara” perlu dijelaskan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Negara memiliki dua arti. Pertama, Negara adalah
organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah yang
ditaati oleh rakyat. Kedua, Negara adalah kelompok sosial yang diorganisasikan
di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan
politik.
Negara, atatu state dalam bahasa inggris juga memiliki dua arti. Pertama, Negara
adalah a body of people living under a
single government; a nation. Arti yang kedua, adalah the teorritory oof such a government.
Pengertian Negara dalam filsafat dapat
dipahami sebagai suatu entitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan
organisasi politik yang menjalankan kekuasaan yang berdaulat. Dalam filsafat
poolitik, Negara didefinisikkan sebagai lembaga pusat pemersatu suatu
masyarakat. Karenanya, fungsi dasar dan hakiki Negara adalah penetapan
aturan-aturan kelakuan yang mengikat. Hal ini memperlihatkan bahwa terbentuknya
Negara didasarkan pada legimitasi dari komunitasnya terhadap peran Negara
tersebut. Tanpa legitimasi dari komunitasnya, sebuah Negara mustahil terbentuk.
Hannah Arendt cenderung mendeskripsikan
Negara dengan mengacu pada filsafat klasik yunani, terutama pada pandangan
politik Aristoteles, demikian pula konsepnya mengenai Negara. Arendt memahami
Negara sebagai sistem polis
Yunani-Kuno, yang menempatkan kehidupan public pada hierarki tertinggi dalam
sistem tersebut. Arendt, dengan mengadaptasi pemikiran Aristoteles, menjelaskan
bahwa polis membentuk manusia sebagai
bios politicos dengan tindakan (praxis) dan pengungkapan diri lewat
komunikasi intersubjectif (lexis) sebagai cirri utamanya. Arent memaparkan pula
bahwa fungsi polis dalam masyarakat
Yunani Kuno, atau res publica dalam
masyarakat Romawi Kuno, menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah
kesia-siaan yang dihasilkan dalam kehidupan individualistic, menciptakan sebuah
ruang yang terlindungi dari kemubaziran hidup sekaligus memelihara ketahanan
dari kehidupan ituu sendiri.
Namun demikian, Arendt sesungguhnya tidak hanya
merujuk Negara kota Yunani dalam memahami polis,
yang terbatas waktu dan keadaannya. Polis
dalam pengertian Arendt bukanlah Negara kota dalam lokasi fisiknya. Polis merupakan semua contoh sejarah dimana
ruang tindakan dan ucapan public telah terbangun di antara komunitas warga yang
bebas dan sama. Polis merupakan ruang
penampakan public yang selalu dapat diciptakan kembali di mana pun individu
secara politis berkumpul bersama, ketika manusia melakukan aksi bersama melalui
tindakan dan wicara.
Dengan demikian, fungsi Negara adalah
menetapkan aturan-aturan yang mengikat ( seperti yang digunakan Arendt)
menjamin suatu kehidupan bersama. Selain itu, Negara juga berfungsi untuk
menciptakan ruang dan memelihara ketahanan. Oleh karena itu, dapat kita pahami
bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk menngatur masyarakat yang ada dalam
wilayahnya. Hal ini berarti keuasaan dalam konteks politik berkaitan dengan
keuasaan untuk mengatur masyarakat tersebut. Kesimpulan yang dapat kita ambil
adalah bahwa kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa, dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan Negara.
Kekuasaan dapat menimbulkan dua pengaruh yang
berbeda. Pertama, jika politik pada
dasarnya dilihat sebagai arena pertarungan dan medan pertempuran, maka dalam
perspektif ini, kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut kekuasaan
dan mengontrolnya dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Kedua, jika politik dianggap sebagai
suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, kekuasaan dalam hal ini
dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan
dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Dengan kata lain, kekuasaan
memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama
berhadapan dengan kepentingan golongan atau kelompok.
Arendt melihat politik sebagai upaya untuk
menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dapat tercipta hanya jika kata
dan perbuatan tidak terpecah. Kekuasaan akan terbangun ketika kata-kata bukan
sesuatu yang kosong dan perbuatan bukan hal yang brutal. Kata-kata tidak
digunaan untuk melanggar dan merusak tetapi untuk membentuk relasi dan
menciptakan realitas yang baru. Melalui pengertiannya mengenai Negara (polis) dan kekuasaan, Arendt seakan
ingin memperlihatkan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menipu, melegitimasi
tindak kekerasan atau kejahatan. Dengan kata lain, kekuasaan dalam konsep
Arendt, bukan sebagai biang konflik atau alat untuk menindas. Kekuasaan,
baginya, menjadi media untuk menciptakan relasi yang baik diantara anggotanya
sehingga tercipta sebuah realitas kehidupan yang berkualitas.
Telah dipaparkan sebelumnya, kekuasaan
yang dijalankan penguasa dapat diartikan sebagai tindakan Negara. Ketika
kekuasaan dijadikan alat untuk menindas dan merupakan biang konflik, maka kakuasaan
yang ada di tangan penguasa dapat melahirkan tindak kekerasan.
Apakah tindakan Negara dalam memaksakan
hukum agar ditaati oleh warganya dapat dikatakan sebagai tinda kekerasan, atau
apakah kekerasan Negara selalu legitim? Dalam sebuah Negara hukum, hukum yang
diterapkan oleh Negara tidak dapat menjadi sewenang-wenang. Ada lima syarat
yang harus dipenuhi Negara agar penerapan hukum tidak menjadi tindak kekerasan.
Pertama, pemerintahan didasarkan pada
konstitusi; kedua, ada asas legalitas
yang menunjukkan tindakan pemerintah semata-mata atas dasar hukum yang berlaku.
Bahkan dalam membuat peraturan, pemerintah harus melakukan selbsbindung. Maksudnya, dalam membuat peraturan, atas kemauan
sendiri, Negara harus membatasi kekuasaannya; ketiga, ada pemiasahan kekuasaan dalam fungsi pemerintahan; keempat, ada asas kebebasan kekuasaan
kehakiman. Kehakiman menjadi salah satu pilar penegak keadilan, kebenaran, dan
kepastian hukum; dan kelima, ada
jaminan perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Segala otoritas
yang diberikan dan dimiliki kekuasaan harus ditunjukkan dan diabdikan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kelima syarat tersebut menjadi prinsip
penting dalam penerapan hukum, yaitu bahwa yang
legal belum tentu moral.
Lalu bagaimana dengan sifat koersif hukum?
Apakah sifat memaksa hukum dianggap sebagai kekerasan? Hukum memang bersifat
koersif. Di dalamnya terdapat dua unsure yang saling terkait. Unsure pertama, sistem hukum memiliki
bagian yang koersif, yaitu bagian hukum yang menyediakan ketetapan untuk
dimungkinkannya tindakan-tindakan pemaksaan. Sedangkan unsure kedua berupa sistem hukum yang memiliki institusi yang
bersifat memaksa. Institusi tersebut berupa aparat penegak hukum yang bertugas
member efek paksaan pada hukum. Tetapi bila dikaitkan dengan lima syarat yang
harus dipenuhi dalam penerapan hukum, maka pemaksaan dalam hukum sesungguhnya
bukan, atau bahkan tidak mengizinkan diberlakukannya tindak kekerasan. Jadi,
jika ditilik dari sisi koersif hukum sekalipun, tindak kekerasan Negara tidak
dapat dibenarkan. Fungsi hukum yang harus
diperhitungkan bukan fungsinya untuk memaksa, namun harus lebih ditekankan pada
fungsinya sebagai pengorganisir tanggung jawab.
Dalam Negara totaliter, kekerasan Negara
timbul akibat penguasa dalam membuat peratyran atau hukum tidak membatasi
kekuasaannya. Rezim totaliter bertindak sebaliknya, peraturan dan hukum
diterapkan justru untuk memperluas kekuasaan. Tujuannya adalah mewujudkan
dominasi total atas manusia.
Kekerasan Negara dapat mempengaruhi
individu-individu yang ada di dalam kekuasaannya untuk melakukan kejahatan.
Individu-individu tersebut akan kehilangan kemampuan berpikir den menilai
secara kritis, seperti yang terjadi pada Adolf Eichmann. Berdasar pengamatan
Arendt, Eichmann merasa tidak bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Eichmann merasa apa yang dilakukannya tak lebih dari sekedar tanggung jawab
terhadap petugas dan sikap patuh, loyal terhadap penguasa bukan sebuah
kejahatan, meski ia tahu tindakannya menimbulkan banyak korban. Sikap seperti
Eichmann inilah yang disebut banalitas kejahatan, kejahatan sebagai hal yang
biasa. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh warga Negara tidak muncul
dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat atau produk dari kekerasan yang
dilakukan Negara.
Kekerasan negara berawal dari ideology
yang disebarkan melalui mekanisme propaganda dan terror. Masyarakat dibunuh
sisi yuridis dan moralnya, dilumpuhkan nuraninya, dihilangkan kemampuan spontanitasnya.
Berbagai hal tersebut melahirkan banalitas kejahatan. Kejahatan ini berawal
dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Arendt menghubungkan
kedua hal tersebut dengan dialog antara Aku
dan Diriku. Dialog tersebut membutuhkan kesadaran dan nurani, serta
kebebasan dan pluralitas. Jika manusia mampu melakukan dialog tersebut, dengan
sendirinya ia akan bertindak tidak berdasarkan perintah orang lain, namun
menurut kesadaran dan nuraninya. Dengan kata lain, ia akan menolak berbagai
ajaran, teori, ideology, dan keyakinan yang tidak sesuai atau belum melewati
proses pengujian melalui dialog Aku dan
Diriku. Manusia seperti ini dapat membentengi dirinya, sehingga terhindar
dari banalitas kejahatan.
Uraian diatas merupakan bagian dari filsafat
politik yang ditawarkan Arendt. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik.
Sementara ilmu politik berdasarkan pada pengamatan empiris, filsafat politik
lebih menekankan pada penafsiran hakikat politik yang bersifat hipotetis. Tugs
filsafat pollitik bukan mendeskripsikan fakta, namun membangun konsep-konsep
yang membuat politik dapat dipahami secara mendalam.
Pandangan filsafat politik Arendt
berangkat dari usahanya menawarkan perspektif baru yang memungkinkan kita memahami
dua kejadian mengerikan yang terjadi pada abad 20, Nazisme dan Stalinisme.
Pemikiran Arendt dalam politik mengadaptasi konsep klasik civic republicanism (republikanisme sipil) yang pernah muncul pada
zaman Aristoteles, selanjutnya diperjelas oleh tulisan-tulisan Machiavelli, Montesquieu,
Jefferson, dan Tocqueville. Tradisi politik ini menkankan adanya tindakan
bersama masyarakat dalam ramah politik. Warga negara dituntut keaktifannya
dalam dalam menyelesaikan masalah bersama.partisipasi warga ini tidak hanya
mengarah pada terciptanya kesepakatan bersama mengenai kebaikan, melainkan
sebagai cara untuk mengafirmasi eksistensi diri setiap warga negara.
Sedikitnya, ada tiga keuntungan yang dapat dilihat dengan penerapan civic republicanism, yaitu: pertama,memberikan kesempatan pada setiap
warga untuk menguji kekuatan dirinya sebagai pelaku politik; kedua,kapasitas penilaian politis dapat
berkembang; ketiga, diperolehnya
ukuran efektifitas politik tertentu melalui tindakan bersama.
Arendt kerapkali dianggap sebagai pembela
konstitusi dan supremasi hukum, serta pembela hak asasi manusia. Arendt tidak
hanya memasukan ide mengenai hak untuk hidup, kemerdekaan dan kebebasan, serta
berekspresi, tetapi menekankan juga perlunya hak untuk bertindak dan
berpendapat. Artinya, dibutuhkan partisipasi tindakan aktif warga negara dalam
kehidupan politik. Lebih jelasnya, pemikiran Arendt yang merupakan
warisantradisi civic republicanism
dapat dilihat dari konsep politik yang didasarkan pada gagasan active citizenship. Arendt memfokuskan
visinya pada dua nilai dan makna yang penting dari: pertama, civic engagement,
yaitu keterlibatan warga negara; kedua,
mengenai collective deliberation,
yaitu penilaian kolekftif yang diperoleh melalui perdebatan public tentang
berbagai persoalan yang mempengaruhi komunitas politik dan kepentingan hidup
masyarakat.
Tradisi pemikiran yang mempengaruhi cara
pandang Arendt dapat ditelusuri dalam pembedaan Aristotelian pada oikos dan polis. Konsep politik Aristoteles mempekenalkan bahwa kodrat
manusia adalah zoom politikon,
sebagai makhluk yang mendiami polis. Polis adalah sistem dan struktur negara
di zaman Yunani Kuno. Aktivitas manusia pada zaman ini terbagi menjadi dua,
aktivitas dalam oikosi (keluarga,
rumah tangga) dan aktivitas dalam polis
(negara, kota).
Aktivitas dalam oikos selanjutnya disebut aktivitas dalam ruang privat dan
bersifat non-politis. Dalam ryang privat, manusia memikirkan kepentingan
pribadi dan kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Pada awal Politics, Aristoteles mengutip puisi
dari Hesiod:
Yang utama
dan paling utama adalah rumah, istri, dan kerbau untuk membajak.
Menurut Aristoteles, rumah menjadi tempat
berlindung keluarga. Istri diperlukan dalam proses reproduksi untuk memperoleh
keturunan. Sementara kerbau yang membajak merupakan symbol dari kegiatan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh hak milik pribadi.
Relasi yang tercipta dalam rumah tangga
menampilkan hubungan antara tuan dan budak, suami dan istri, ayah dan
anak-anak. Pengaturan rumah tangga berlangsung atas dasar dominasi pihak yang
memerintah yang berada di tangan kepala rumah tangga. Keluarga dikepalai orang
seorang ayah atau suami yang mengatur istri, anak-anak, dan budak, agar
kebutuhan hidup tercukupi. Budak dalam rumah tangga diibaratkan sebagai alat
kehidupan (live tool), yang bertugas
melayani. Menurut Aristoteles, dominasi tuan terhadap anggota keluarga yang
lain adalah hal yang dibenarkan. Karena itu, jika menganut konsep Aristoteles
mengenai oikos, pemaksaan dan
kekerasan dalam ruang privat menjai hal yang lumrah.
Bebeda dengan ruang privat, aktivitas yang
berlangsung pada ruang public bersifat politis. Tujuan aktivitas dalam polis adalah untuk mencapai kehidupan
bersama yang baik. Manusia hidup dalam polis
mewujudkan tindakannya demi kehidupan bersama. Polis menjadi wahan tampat penampakan diri antar sesama warga
melalui komunikasi yang sederajat, dengan menggunakan bahasa.
Pembedaan antara oikos dan polis menjadi
landasan dalam gagasan politik Arendt. Polis,
bagi Arendt, merupakan wilayah kebebasan, tempat penyikapan perihal “siapa”
yang berbiacara dan bertindak dalam komunikasi yang sederajat. Arendt
menerapkannya dalam ide mengenai aksi komunikatif dalam kekuasaan politik. Aksi
komunikatif memunggkinkan munculnya dua hal yang telah disebutkan sebelumnya,
yaitu keterlibatan aktif warga negara dalam politik dan debat politik untuk
memecahkan persoalan bersama. Pemisahan aktivitas manusia dalam konsep Arendt
selanjutnya tidak terbatas pada aktivitas diruang privat dan ruang public.
Arendt mengembangkannya dalam konsep via
aktiva, dengan membedakan ativitas manusia dalam kerja, karya, dan
tindakan.
Arendt tidak sepenuhnya setuju dengan
pembedaan yang dikatakan Aristoteles. Pembedaan antara oikos dan polis, antara
privat dan ruang public dianggap dapat menimbulkan bahaya. Praktik-praktik yang
terjadi di ruang privat dalam konsep Yunani Kuno berdampak negative bagi ruang
public. Dominasi tanpa batas yang terjadi dalam oikos ternyata dapat tumbuh dengan subur dalam polis. Hal ini menjadi salah satu kajian Arendt dalam mengkritik
modernitas.
Berbicara tentang modernitas, tek dapat
terlepas dari kata “modern”. Modern adalah terminology yang dibentuk dalam
periodisasi, doktrin, model yang berbeda-beda. Secara umum, kata “modern”
mengandung makna sebuah perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang. Dalam
sejarah filsafat, “filsafat modern” merupakan label yang sering digunakan dalam
filsafat baru yang berkembang pada awal era modern, yang dipelopori oleh Bacon
dan Descartes, pada awal abad ke-17. Bacon, Locke, Barkeley, Hume, dan
sebagainya dapat dikatakan sebagai kelompok filsuf modern. Tetapi penjabaran
tersebut dapat pula digunakan sebagai para filsuf di abad duapuluh, seperti
Mach, Schlick, Carnad, dan Reichenbach.
Hannah Arendt membedakan antara era modern
(modern age) dengan dunia modern (modern world). Pembedaan yang dilakukan
Arendt didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan. Era modern dimulai pada
abad ke- 17 dan berakhir pada abad ke- 20. Dunia modern sendiri, ungkap Arendt,
berawal dari peristiwa jatuhnya bom atom untuk pertama kali.
Sementara itu, modernitas adalah sebuah
periodisasi sejarah, yang menjelaskan karakter modern. Peride ini
terspesifikasi secara berragam. Substansi terpenting dari konsep modernitas
adalah memandang kondisi dunia pada abad 19 dan abad 20. Kondisi tersebut
berkatan dengan gagasan tentang negara (nation
state), demokrasi politik, kapitalisme, urbanisasi, budaya massa, media massa,
rasionalitas, antitradisionalisme, sekularisasi, kepercayaan pada ilmu
pengetahuan. Selain itu, kedua abad ini memperlihatkan kondisi industrialisasi
dalam skala besar, individualisme, pencerahan ide dan ideology massa yang
liberal dan progresif, serta ide-ide humanitarian yang terproyeksikan.
Masing-masing gagasan mengenai kondisi dunia tersebut tidak hanya berdiri
sendiri, namun dapat dikombinasikan menjadi sebuah hakikat dalam kehidupan
modern.
Arendt memandang modernitas sebagai sebuah
keterputusan kondisi manusia. Keterputusan ini, muncul akibat ketidakpuasan
manusia modern terhadap seluruh batasan yang mendefinisikan eksistensi manusia
(kematian, kerja, dan kebutuhan alamiah). Modernitas merujuk pada sikap manusia
yang tidak mau menerima apa yang belum ia hasilkan. Manusia modern merubah
realitas dengan menggunakan instrument pengetahuan modern dan teknologi. Tujuan
yang ingin dicapai manusia modern adalah membentukk dunia sampai ia merasa
dunia sebagai rumah pribadi.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
modernitas dalam konsep Arendt mengambil substansi rasionalitas. Manusia modern
cenderung hanya menerima sesuatu jika hal tersebut dapat diterima secara
rasional, patokan hidup adalah realitas yang dihadapi. Dengan menaruh
kepercayaan yang berlebihan terhadap pengetahuan dan teknologi, manusia modern
tidak terlalu memperhitungkan kemampuan berpikir dan memberikan penilaian
kritis (thinking and judging).
Akibatnya, manusia modern menjadi individualis, menginginkan dunia hanya untuk
dirinya sendiri, bukan untuk kehidupan bersama. Situasi tersebut membawa
manusia ke dalam ketersaingan dunia. Arendt menggambarkan keadaan masyarakat
modern sebagai berikut,
sebuah masyarakat manusia, yang
tanpa dunia bersama, yang sesekali menghubungkan dan memisahkan mereka, hidup
dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan bersama menjadi massa.
Karena masyarakat massa tak lain jenis kehidupan formal yang secara otomatis
menegakkan dirinya diantara umat manusia yang masih terkait satu sama lain
(karena menjadi anggota dari spesies manusia), tetapi teelah kehilangan duunia
yang dimiliki bersama.
Kutipan diatas
menunjukan bahwa konsep masyarakat massa dalam pemikiran Arendt adalah
masyarakat yang hidup bersama dalam ketertekanan. Masyarakat massa adalah
masyarakat yang terasing dari dunianya, mereka hidup bersama, tetapi kehilangan
kebersamaan, dalam arti diabaikannya struktur kolektif, redupnya solidaritas,
dan hilangnya empati. Kritik Arendt terhadap modernitas tercermin dalam karya-karyanya.
Kajian lebih dalam akan disampaikan pada bab-bab selanjutnya.
Catatan
kaki :
1
Lihat table 1 pada lampiran.
2
Henk Schulte Nordholt, Een Staat van Geweld (pidato pengukuhan professor luar
biasa dalam sejarah asia, Erasmus Universiteit, 22 juni 2000), hal7.
3
Andi Mulya Fakhri, Di Balik Tragedi
Sampit: Data, Fakta, dan Prospek penyelesaian, Jakarta: Sarana Media
Investama, 2001, hlm. 29”… warga menyerang pengungsi yang ketakutan. Warga
men-sweeping setiap pendatang yang ingin mengungsi. … massa kedua pihak
terkonsentrasi di wilayahnya, siap saling menyerang…” atau lihat Human Right Watch: Indonesia, The Violence in Ambon, vol. 11, No.
1(c), March, 1999, hlm. 13
14 comments
Assalamualaikum..
Tulisan bapak bagus sekali bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswanya
Nama: Anna Agustin
Kelas: AN A
Semester 1
Assalamu'alaikum pak nurudin.
Saya mau bertanya,ada salah satu kalimat dalam artikel bapak yg mengatakan bahwa "Kekerasan Negara dapat mempengaruhi individu-individu yang ada di dalam kekuasaannya untuk melakukan kejahatan". Yg merupakan contoh-contoh dari kekerasan negara itu apa saja pak selain yg ada dalam artikel bapak tersebut?
Saras Ayuningtyas
AN 1A
NPM 114090019
Assalamualaikum
Bagus pak nurudin buat wawasan dan pengetahuan mahasiswa nya
Nama:Dicky Abdul Rahman
Kelas:AN 1A
Assalamu'alaikum
Tulisan bapak bagus, menarik serta menambah pengetahuan baru bagi mahasiswa dan saya juga setuju jika kekerasan oleh Negara terus-menerus terjadi sampai kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah akan menjadi hal yang mengerikan apabila seseorang mengikutinya tanpa pemikiran kritis.
Risa Maylinda
AN 1A
NPM 114090029
Assalamualaikum..
Tulisannya bagus bapak sangat memberi wawasan sekali tapi sebelumnya saya mau bertanya dalam artikel bapak itu ada yang disebut dengan "Tendensi-tendensi Totaliter" saya agak kurang paham dengan tendensi totaliter mungkin bapak bisa menjelaskan lebih jelas lagi arti dari tendensi totaliter itu apa dan contoh dari tendensi totaliter itu seperti apa ? Terimakasih
Wassalamualaikum..
Cindy Novita
AN 1A
Semester 1
NPM 114090010
Assalamu'alaikum wr.wb
Artikel nya sangat bagus dan menarik pak, menambah pengetahuan dan pembelajaran di dalam nya, ilmu dari bapak sangat bermanfaat bagi kami.
Terima kasih
Wassalamu'alaikum wr.wb
Nama: Artika ameliani rezillah
NPM: 114090011
Kelas: AN 1A
Assalamualaikum...
Tulisan bapak bagus, menarik, dan juga dapat menambah wawasan bagi saya tentang politik, sebelumnya saya mau bertanya menurut pandangan bapak apa yang melatarbelakangi kekuasaan itu dijadikan sebagai alat untuk menindas dan merupakan sebagai biang konflik?
Terimakasih.
Nama : Ima Naimah
Kelas : AN 1A
Semester 1
Assalamualaikum pak
Tulisan bapak sangat bagus dan bermanfaat menambah pengetahuan dan wawasan untuk mahasiswa
Ulfani Rizki
AN 1A
NPM 114090027
Assalamu'alaikum wr.wb
Tulisannya bagus, menarik bapak, serta dapat menambah pengetahuan baru bagi saya tentang politik, dan bermanfaat bagi kami, bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswanya .
Terimakasih
Wassalamu'alaikum wr.wb
Nama: Hani Oktaviani
Kelas: AN 1A
NPM: 114090006
Assalamu'alaikum wr.wb
Tulisan yang bapak share bermanfaat bagi saya selaku mahasiswa baru dengan jrusan prodi fisip dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang ilmu politik, ternyata terdapat perbedaan mengenai definisi yang terkandung antara ilmu politik dengan filsafat politik. Ada benarnya HAM tersebut sangat penting bagi keberlangsungan manusia dalam bersosialisasi di lingkungan masyarakat, di tingkat nasional, maupun di dunia. Namun, apakah penegakkan hukum itu masih berlaku di negara kita?terutama teruntuk terjadi kesenjangan hidup antara si miskin dan si kaya...
Terimakasih
Wassalamu'alaikum wr.wb
Nama: Tomi Lestaruna
Kelas: AN 1A
NPM: 114090008
Assalamualaikum Wr.Wb.
tulisan tulisan bapak sangat bermanfaat sekali untuk para pembacanya khususnya saya. disini ssaya dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk selalu belajar, belajar dan belajar.
nama saya ASEP WARDOYO
KELAS: AN B
SEMESTER 6
NPM: 112090035
FISIP UNSWAGATI
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas tugas yang di berikan bapak kepada kami,
khususnya saya sebagai mahasiswa baru FISIP UNSWAGATI. Berkat tugas ini saya lebih berantusias untuk membaca setiap apa yang di tulis bapak. Kedepannya semoga saya bisa punya waktu membaca apa yang di tulis bapak entah itu bidang politik ataupun tentang keislaman.
Dari tulisan di atas yang dapat saya simpulkan dari pemikiran saya adalah bahwa komunikasi hal yang terpenting agar tindak kekerasan di suatu kekuasaan tidak terjadi. Antara masyarakat dan pemerintah harus saling terbuka dan kritis. Ada satu kalimat yang paling saya ingat dari Hanna Arendt yaitu "kekuasaan dapat terbangun ketika kata-kata bukan sesuatu yang kosong dan perbuatan bukan hal yang brutal"
Terimakasih
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Fiky Yudhistira
Semester 1
Kelas Ilmu Administrasi Negara C