12:36:00 PM
DR.H.Nurudin Siraj.MA.MSi
CUPLIKAN BUKU MEMETICS
Karangan : Eko Wijayanto
BAB 1
DARWIN,
DAWKINS, dan MEMETIKA
Sepulang
dari ekspedisi kapal Beagle, Charles
Darwin mengumpulkan banyak fakta tentang evolusi. Satu dasawarsa kemudian
perumusan teori evolusi dan gagasan tentang seeksi alam telah ia rampungkan. Namun,
ia menunda publikasi teori itu dan menyimpannya selama hampir dua dasawarsa. Suatu
ketika Darwin dikejutkan oleh surat dari sahabatnya, Alfred Russel Wallace,
seorang naturalis muda. Wallace menulisakan gagasan yang sangat mirip dengan
teorinya. Ia pun jadi resah dan bimbang. Atas dorongan sahabat dekatnya, T. H.
Huxley, akhirnya Darwin menerbitkan buku On
the Origin of Species pada 24 November 1859.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 1)
Dalam
ekspedisi Beagle, Darwin memperoleh
kenangan unik ketika bertemu dengan suku primitif di Teluk Tierra del Fuego.
Bayagannya tentang suku primitif yang barbar dan kejam sedikit berubah ketika
orang Fuegian menunjukkan sikap bersahabat, ramah-tama, dan ingin mengenl orang
luar.Seperti yang dikatakan oleh Darwin:
[Setelah
kami menghadiahi mereka dengan pakaian merah tua, yang langsung mereka
lingkarkan pada leher mereka, mereka menjadi teman yang baik. Hal ini
ditunjukkan oleh seorang tua yang menepuk dada kami, dan membuat suara cekikik,
seperti orang yang sedang memberi pakan ayam. Saya berjalan dengan si orang
tua, dan bentuk persahabatan ini terulang beberapa kali, terangkum dalam tiga
tepukan keras pada dada dan punggung saya secara bersamaan. Ia kemudian
memperlihatkan dadanya kepda saya agar saya membalas sanjungannya, dan begitu
saya melakukannya, dia nampak sangat senang.]
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 2)
Pemahaman
Darwin tentang “kemanusiaan” suku primitif (orang-orang Fuego) mulai muncul
setelah dilakukan eksperimen pertukaran budaya. Pada kenyataannya Beagle sebelumnya Kapten FizRoy membawa
empat orang suku Fuegian ke Inggris. Kemudian tiga orang dari mereka di
kembalikan ke tempat asalnya setelah di bekali pendidikan dan pakaian yang
pantas, guna membantu penyebaran agama
Kristen. Tetapi bukan berarti eksperimen ini tak bermasalah misalnya, pernah
terjadi seorang Fuegian yang sudah di didik ini mencuri barang temannya. Setidaknya
eksperimen ini menghasilkan tiga orang Fuegian yang mampu berbahasan Inggris. Darwin
pun mengambil kesimpulam]n, meskipun ada pemilahan antara masyarakat beradab
dan masyarat barbar, tetapi tetap ada sesuatu yang sama tentang sifat dasar
manusia. Salah satunya adalah keinginan untuk menjalin persahabatan dengan
“orang luar”. Memahami kesamaan mendasar pada manusia (human nature) adalah langkah awal untuk memasuki kajian kebudayaan.
Dan dalam mengkaji kebudayaan, salah satu topic yang menjadi problem
fundamentalnya terutama dalam perspektif Darwinian adalah persoalan altruisme.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 3)
Seleksi
kekerabatan bias sedikit menjelaskan perilaku altruis pada manusia. Antropolog
Bronislaw Malinowski, pada awal abad ke-20 mencatat bahwa penduduk Kepualauan
Trobriand mempunyai dua makna untuk kata “teman” yakni “teman” dalam satu marga
dan “teman” di luar marga. Malinowski menerjemahkannya sebagai “teman di dalam
perbatasan” (friend within the barrier)
dan teman di luar perbatasan (friend
across the barrier). Sejauh ini, kita dapati bahwa seleksi kekerabatan
memang dipengaruhi oleh faktor genetis, yakni informasi yang dikodekan di dalam
DNA (deoxyribonucleic acid).
DNA
mengodekan informasi (genotipe)
sekaligus menjalankan replikasi. Informasi ini di perlukan sebagai resep untuk
membentuk satu tubuh baru. Misalnya, sel telur seekor kelinci membawa informasi
untuk merakit seekor kelinci baru. Gagasan ini mengingatkan kita pada
Aristoteles yang mengatakan bahwa “konsep” seekor anak itik tersirat alam
sebutir telur. DNA berpern aktif dalam menentukan aktivitas biokimia dan
sifat-sifat khusus sel. Dengan demikian, sifat-sifat bawaan manusia seperti
penyakit tertentu, kepribadian, naluri, dan lainnya sudah terkodekan dalam DNA.
Fredrich Miescher, seorang dokter Swiss, menduga DNA merupakan kunci dalam
memahami hereditas, karena menyiratkan pesan-pesan hereditas melalui kombinasi
nucleobase (guanine [G], adenine [A], thymine [T], cytosine [C]
yang terdapat pada nukleotida (nucleotides)
DNA. Melali DNA inilah gen diwariskan dari generasi ke generasi. Yang unik pada
manusia adalah terdapatnya replikator lain selain gen yang jga diwariskan,
yakni replikator yang di sebut meme. Meme
meliputi segala sesuatu yang kita pelajari melalui imitasi, termasuk kosakata,
legenda, kemampuan dan tingkah laku, permainan, lagu, ataupun peratururan. Meme
mudah menyebar, menular, dan melompat dari satu pikiran ke pikiran lain. Meme
menyebarkan diri tanpa melihat apakah ia akan berguna, netral, ataupun
merugikan manusia. Namun demikian, dalam proses evolusi imitasi ini tak
selamaya berjalan dengan sempurna. Seringkali terjadi perubahan pada gen dan
meme karena interferensi dari lingkungan sehingga menghasilkan perbedaan pada
perrilaku dan kebudayaan yang berevolusi sejak nenek moyang manusia. Sementara
keeradaan menjelaskan perubahan evolusionis yang terjadi di tataran biologis,
keberadaan meme berguna untuk menjelaskan perubahan evolusinonal yang terjadi
dalam kebudayaan. Misalnya, pada perkembangan ide-ide yang akhirnya menjadi
sistem kepercayaan (agama). Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan merupakan penyimpangan dari meme
otentik yang sebenarnya hanyalah ide atau pendapat tentang suatu hal. Contoh
meme yang akhirnya menjadi sebuarh kepercayaan adalah kepercayaan akan adaya
Tuhan. Dahulu kala manusai prasejarah menganal ide-ide tentang sesuatu yang
lebih tinggi dari kehidupan manusia dan melakukan pemujaan terhadapnya untuk
mendapatkan kesejahteraan. Seiring perkembangan zaman, meme awal tersebut dianut
oleh semakin banyak orang dan kemungkinan juga mengalami distorsi sampai
akhirnya memiliki kekuatan untuk bertahan sampai sekarang.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 6)
DNA
memuat indtruksi genetis dan dengan setia mewariskan informasi tersebut dari
generasi ke generasi lain. Determenisme menengok masa lalu yang menjadi
penyebab masa sekarang, sesuatu yang tidak bisa kita elakan, seperti rambut
kita yang sejak lahir berwarna hitam dank kulit kita yang cokelat. Tujuan orang
mempelajari genetika adalah mencari upaya untuk memperbaiki cacat genetik,
seperti obesitas, parkison, Alzheimer, dan lain-lain. Selain itu
dengan genetika kita juga mampu memanipulasi gen-gen yang memengaruhi
kepribadian dan perilaku kita.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 7)
Kita
menyebut “determenisme genetik”, persepsi yang kerap muncul di benak kita
adalah seakan manusia hanya di takdirkan untuk mengikuti secara buta apa yang
sudah diperintahkan oleh gen nya dan perilaku setiap orrang punya penjelasan
gentiknya masing-masing. Gen, seperti yang dikatakan oleh Richard Dawkins
memiliki jaringan yang begitu kompleks. Variasi individual dan heretabilitas
memang dipengaruhi oleh faktor genetik. Dengan demikian, tingkah laku manusia
sebagaimana semua organisme dalam proses evolusi yang panjamg dapat dilacak dan
ditelusuri gennya. Perubahan gen akan menghasilkan persesuaian yang berbeda
pada pola perilaku. Hal ini akan berkontribusi pada adanya variasi daam
populasi. Fenotipe adalah karateristik organisme yang dapat diamati secara
langsung seperti warna iris, npanjang ekor, warna kulit, dan sebagainya. Variasi
makhluk hidup ini terjadi karena “pembentukan genetik”. Namun ia semata-mata
ditentukan oleh faktor genetik, lantaran fenotipe merupakan hasil dari
interaksi antara gen dengan lingkungan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 8)
Keberadaan
gen telah membantu banyak penjelasan dalam teori evolusi Darwin. Dan dengan
“menggeser sedikit” focus tentang gen, Dawkins mempercanggih teori evolusi
Darwin ini dengan mengembangkan gagasan bahwa kekuatan-kekuatan dalam seleksi
alam yakni kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan beroperasi bukan pada
tataran spesies ataupun individu, melainkan pada tataran gen. Dawkins
beralasan, teradapt begitu banyak contoh makhluk hidup yang bertindak
bertentangan dengan kepentingan perjuangan hidupnya sendiri. Untuk melegkapi
penjelsa tentang evolusi manusia yang sampai taraf tertentu cukup terbantu
oleh teori gen, Dawkins memperkenalkan
konsep meme sebagai unit pembentuk kebudayaan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 9)
Dawkins
berpendapat bahwa meme pada kenyataanya merupakan bagian esensial dari
pembentukan evolusioner spesies manusia. Kita adalah makhluk yang sejauh ini
mampu bertahan hidup paling baik bukan karena bentuk tubuh, melainkan karena
meme memampukan spesies manusia untuk memanpulasi lingkungan dengan menciptakan
perkakas-perkakas kehidupan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 10)
M
E M E T I K A
Ilmu memetika dipergunakan para
ilmuwan untuk memahami perekembangan diri seorang dalam kaitannya dengan budaya
di sekitarnya, karena cara kerjanya dinilai efektif untuk memahami bagaimana aspek-aspek
kebudayaan manusia berkembang. Jika
geneitika adalah ilmu yang mempelajari gen, maka memetika adalah ilmu yang
mempelajari meme. Meme memiliki daur hidup dan tersebar layaknya virus yang
berpindah dan bisa dipindahkan dari pikiran seorang ke pikirn orang lain. Untuk
memahami meme, kita bisa menganalogikannya dengan ca kerja gen. Gen terus menerus menggandakan diri untuk
menjaga kelangsungan replikasinya. Meme bekerja dengan prinsip yang sama, namun
pada tataran ide-ide dan nilai-nilai. Meme-meme, menurut Dawkins, juga saling
bersaing untuk dapat hidup abadi. Ssebagaimana halnya gen, meme akan mengalami
proses seleksi yang ketat. Untuk memberikan pengalaman yang lebih luas mengenai
meme, penelitian dalam buku ini menggunakan heurmeneutika evolusi (evolutionary heurmeuneutics) sebagai
metodenya. Sebagai perkakas teoritis untuk membedah kebudayaan, menrut Nick
Szabo, heurmeuneutika evolusi merupakan metode dalam kajian budaya yang
merupakan sintesis antara heurneuneutika di mana Heidegger adalah pionirnya,
dengan kajian meme sebagai unit informasi budaya dimana Richard Dawkins adalah
pionirnya. Heurneunitika evolusi, sebagai perkakas teoritis, mendaku bahwa
perilaku manusia dapat dipahami dan dijelaskan melalui telaah terhadap
interaksi antara evolusi genetik dan budaya.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 11)
Heurmenetika
evolusi sangat berguna untuk menelanjangi konstruksi budaya yang mapan, yakni
dengan menunjukkan bahwa sebuah budaya dapat mapan lantaran mempunyai nilai
kegunaan bagi keberlangsungan gen dan meme. Ko-evolusi gen dan meme ini ada
agar kepunahan spesies manusia tidak terjadi, tentu bukan demi spesies manusia
itu sendiri tetapi demi gen dan meme agar dapat harus bereplikasi. Heurmeuneutika
evolusi berfungsi untuk membongkar evolusi konstruksi budaya yang pada dasarnya
merupakan wahana keberlangsungan gen. Filsuf Daniel Dennet pernah mengemukakan,
kemajuan kesadaran manusia telah tiba pada titik dimana ia mampu mempertanyakan
cara-cara instingtual manusia dalam menjaga dan mempertahankan suatu bentuk
budaya.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 12)
Memetika
adalah ilmu pengetahuan yang menyingkap meme sebagai bahan dasar pembentuk
mental seseorang. Teori meme (memetika) dimulai dari kompetisi antar meme untuk
masuk ke dalam pikiran manusia. Jika teori ini valid, ia bisa menjadi teori
yang mandiri, bukan dari bagian genetika maupun biologi, melainkan sebuha
disiplin ilmu yang termasuk teori kebudayaan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 13)
BAB
2
Darwinisme
Terkembang:
Dari Gen ke Meme
Bab
ini membahas pemikiran Charles Darwin di luar ranah biologi, yakni di ranah
kebudayaan. Pemikiran yang di lanjutkan oleh para pemikir setelah Darwin ini
biasa kita sebut sebagai darwinisme. Pemikiran evolusi Darwin telah begitu
berkembang, bahkan melampaui apa yang terpikirkan oleh Darwin sendiri. Secara
khusus saya akan mengerucutkan pembahasan Darwinian dan neo-darwinisme ke dalam
persoalan budaya altruis. Unruk melihat disposisi teoritisnya, saya akan
mengulas sosiobiologi sebagai salah satu model neo-darwinisme dalam menerangkan
tingkah laku makhluk hidup.
SELEKSI
DARWINIAN
Manusia kerap menganggap dirinya
dapat melakukan kebaikan tanpa pamrih. Tetapi bila dibandingkan dengan serangga
social yang mengorbankan diri untuk koloni mereka, semut misalnya, manusia
bukanlah apa-apa. Untuk menjelaskan hal ini William D. Hamilton, seorang ahli biologi,
mengungkapkan teori seleksi kekerabatan (kin
selection). Teori Hamilton ini merupakan pengembangan teori Darwin.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 15)
Misalnya seekor tupai, yang tidak
memiliki keturunan, yang ada dalam jangkauan predator, akan mengeluarkan suara
yang dapat menarik perhatian predator dan membawanya kepada kematian. Apabila
dilihat sebagai proses seleksi alam sebagaimana dipahami oleh para ahli biologi
pertengahan abad ke-19, termasuk Darwin, mengeluarkan suara peringatan
merupakan hal yang tidak masuk akal karena sama saja bunuh diri. Kasus ini di
jawab oelh Hamilton dengan mengaitkannya pada gen. Menurut Hamilton, alasan
tupai itu mengeluarkan suara peringatan adalah untuk menyelamatkan tupai-tupai
lain di sekitarnya. Sekalipun mengorbankan pembawanya, gen pada tupai tersebut
akan membuat si tupai berkecenderungan untuk mengutamakan keselamatan atau
reproduksi pembawa lain yang memiliki gen yang sama sehingga gen mereka dapat
terus berkembang dengan baik.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 16)
Suatu organisme memiliki tingkah
laku yang dapat di anggap altruistic ketika tindakannya menguntungkan organisme
lain, sekaligus mendatangkan disinsentif bagi dirinya sendiri. Dalam evolusi
biologis, keuntungan dan disensentif itu diukur dengan terminologi reproductive fitness atau jumlah
keturunan yang diharapkan. Jadi, bisa kita katakan bahwa dengan bertindak
altruis satu organisme mengurangi jumlah keturunannya sendiri, tetapi
meningkatkan dalam jumlah besar kemungkinan organisme lain dalam spesiesnya
memiliki keturunan. Gagasan biologi mengenai altruisme ini tentu tidak bisa
kita identikkan begitu saja dengan altruisme dalam pengertian sehari-hari.
Dalam sudut pandang Darwinian, eksistensi altruisme di alam bersifat natural. Meski
ada kecenderungan untuk berpikir bahwa organisme harus mengambil
tindakan-tindakan yang mampu meningkatkan kesempatannya senidri untuk survive
dan bereproduksi, namun kenyatannya beberapa organisme altruistik.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 17)
Problem altruisme sebetulnya terkait
erat dengan pertanyaan dasar pada tingkat apa seleksi alam berlaku? Jika
seleksi secara ekslusif terjadi pada tingkat individual, maka altruisme tidak
akan bisa bertahan dalam evolusi karena memberikan kerugian pada oragnisme
individual. Padahal bagaimanapun, sangat mungkin aktruisme memberikan
keuntungan pada tingkat kelompok. Sebuah kelompok memiliki begitu banyak pelaku
altruis yang siap mensubordinasi kepentingan egositik mereka demi kebaikan yang
lebih besar, yakni kebaikan kelompok. Dengan demikian, seleksi kelompok
memungkinkan tindakan altruis berevolusi. Di dalam setiap kelompok, perilaku
altruis akan berada pada kerugian selektif secara relatif terhadap kawannya
yang egois. Tetapi dengan demikian tingakt fitness kelompoknya secara umum akan
meningkat.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 18)
Gagasan menganai
kelompok barangkali mampu menerangkan altruisme. Di dalam The Descent of Man. Darwin telah mendiskusikan asal-muasal tindakan
altruis dan pengorbanan diri di antara manusia. Tindakan itu secara jelas
memberikan kerugian pada tngkat individu namun meningkatkan survavilitas
kelompok. Dengan demikian seleksi kelompok menyediakan suatu model penjelasan
Darwinian untuk menerangkan altruisme. Model mutakhir untuk menerangkan
tindakan altruis adalah gagasan Dawkins dalam buku The Selfish Gene, yang memiliki hipotesis teoritis bahwa organisme
(individu) hanyalah wahan bagi kepentingan gen egois. Anggota suatu spesies
tidak lain hanyalah mesin survavilitas dalam proses evolusi agen yang
sesungguhnya di dalam evolusi adalah gen. Adalah gen yang harus di wariskan dan
bereplikasi. Sementara tingkah laku individu sebelumnya hanyalah modus adaptif
untuk meningkatkan peluang tercapainya kepentingan gen. Dengan demikian, sangat
logis bila individu bersikap altruis karena altruisme dapat memperbesar peluang
gen nya dan gen dalam kolam gen asalnya untuk terwariskan ke generasi selanjutnya.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 19)
ALTRUISME
Dalam buku The Expression og Emotions in
Man and Animals (1872) karya Charles Darwin terdapat sebuah pernyataan yang
menegasakan bahwa seseorang lebih merasakan simpati kepada penderitaan orang
lain daripada penderitaannya sendiri. Hal ini membawa kita pada teori Darwin
tentang moral manusia. Dalam The Descent
of Man, Darwin menulis bahwa seseorang yang terbiasa berbuat baik kepada
orang lain akan mendapatakan balasan yang setimpa. Apabila ia terus menerus
mempetahankan perbuatan baik tersebut, maka rasa simpati pun ikut tertanam di
jiwanya. Rasa simpati ini mneurut Darwin, nantinya dapat diwariskan melalui
gen. Namun kini kita mengetahui, gagasan bahwa rasa simpati merupakan warisan
genetic tidaklah sepenuhnya benar. Rasa simpati tidak melulu diwariskan melalui
gen, melainkan melalui contoh dan teladan dari orang tua kepada anaknya. Sehubungan
dengan teori ini, munculah seorang ahli biologi yang juga seorang Darwinis yang
bernama George William. Di tahun 1966, dalam bukunya yang berjudul Adaptation and Natural Selection, William
memaksa para Darwinis unruk merenungkan kembali teori Darwin tentang pewarisan
rasa simpati melalui gen, tetapi njuga melihat tulisan Darwin tentang kemampuan
untuk memprediksi masa depan dan pembelajaran dari pengalaman yang dialami
manusia.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 20)
Menagcu pada tulisan Darwin dalam The Descent of Man, William menambahkan
beberapa hal tentang hubungan timbale balik, bahwa apabila seseorang
memaksimalkan hubungan pertemanan dan meminimalkan keegoisannya, maka orang
tersebut akan mendapat keuntungan evolusioner dan bertahan dalam seleksi alam. Menurutnya
hal tersebut dapat mengembangkan
optimisme dalam hubungan antar individu. Secara spesifik Darwin sendiri melihat
bahwa level keluarga altruisme benar-benar bekerja. Dengan kata lain, seleksi
(altruistik) terjadi pada level keluarga. Poin utama William, kecenderungan
hewan, termasuk manusia adalah sering melakukan suatu tindakan tanpa
menggunakan logika tetapi mengikuti perasaan mereka yang memang dirancang
sebagai pengawas logika. Dalam kasus ini William mensarankan, perasaan tersebut
sebaiknya diikuti rasa kasih saying dan terima kasih.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 21)
Teori William disempurnakan oleh
Robert Trivers. Pada tahun 1971 ia mempublikasikan tulisan yang berjudul “The
Evolution of Reciprocal Altruism” dalam The
Quarterly Review of Biology. Trivers
menyatakan bahwa persahabatan , ketidaksukaan, agresi, moral, rasa teima kasih,
simpati, kepercayaan, kecurigaan, dapat diandalkan, rasa bersalah, dan beberapa
sifat lain dapat dijelaskan sebagai adaptasi penting untuk mengatur sistem altruistik.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 22)
Game Theory (Teori Permainan) Dan Altruisme
Resiprokal
Game theory berkembang selam periode
1920-an dan 1930-an di bidang ekonomi
dan ilmu social. Baru pada tahun 1970-an teori ini diperluas hingga mencakup biologi.
Game theory dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup terkenal, yakni
bagaimana prang itu bisa bekerja sama dalam masyarakat apabila masing-masing
dari mereka cenderung berusaha unruk menjadi pemenang. Untuk mengetahui
bagaimana Gamw Theory berperan dalam teori evolusi, Trivers atas saran William
Hamilton menjalankan permainan klasik yang disebut dilemma narapidana (prisoner’s dilemma). Gagasan
permainannya adalah untuk menirukan konflik-konflik yang ada di dunai nyata, di
mana satu sisi pemenang memperoleh segalanya, namun di sisi lain kerja sama dan
kompromi diperlukan unruk memperoleh keuntungan yang berkelanjutan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 23)
Logika yang mengarahakan pada
kerjasama semacam ini sama dengan logika yang mengarahkan pada altruisme resiprokal
di alam. Hal inilah yang kemudia membawa kita pada kestabilan evolusioner. Dari
percobaan ini terlihat bahwa orang-orang yang akan bertahan dalam seleksi alam
adalah mereka yang mampu bekerja sama.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 25)
PENTINGNYA
SOSIOBIOLOGI
Sosiobiologi memliki premis dasar
bahwa beberapa tingkah laku, baik social maupun individual, setidaknya
sebagiannya terwarisi dan dipengaruhi oleh seleksi alam. Sosiobiologi dimulai
dengan gagasan bahwa tingkah laku bisa berevolusi melalui cara yang seupa
dengan cara sifat-sifat fiskal berevolusi. Dengan demikian, sosiobiologi mampu
memprediksi bahwa hewan akan bertindak sesuai cara-cara yang telah terbukti
sukses berevolusi sepanjang waktu. Bisa di bilang disiplin ini bermaksud
mengejar penjelasan mengenai tingkah laku sebagai prdouk dari seleksi alam. Wilson
percaya bahwa tingkah laku manusia, sebagaimana tingkah laku hewan selebihnya, bisa
dijelaskan (setidaknya sebagian) sebagai hasil dari seleksi alam. Konsep alam
sangat fundamental di dalam teori evolusi. Variasi sifat-sifat herediter yang
meningkatkan kemampuan organisme unuk bertahan hidup dan bereproduksi akan
semakin kentara direproduksi pada generasi-generasi selanjutnya. Jadi, tingkah
laku yang member orgnisme kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup dan
bereproduksi di masa lampau akan lebih mungkin bertahan diwariskan pada
organisme sekarang.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 28)
Sampai saat titik ini kita melihat
bahwa sosiobiologi tertarik pada bagimana tingkah laku bisa dijelaskan sebagai
hasil dari tekanan selektif di dalam sejarah spesies. Jadi, seringkali
sosiobiologi lebih tertarik pada tingkah laku instingtif atau intuitif, serta
pada persamaan ketimbang perbedaan diantara berbagai kebudayaan. Sebagai
contoh, induk berbagai spesies mamalia, termasuk manusia sangat protektif
terhadap keturunan mereka. Sosiobiologi berargumen bahwa tingkah laku protektif
tersebut berevolusi sepanjang waktu karena membantu individu-individu untuk
memiliki kemampuan bertahan hidup dan bereproduksi. Individu-individu yang
menunjukkan tingkah laku protektif tersebut akan lebih banyak mempunyai
keturunan disbanding mereka yang tidak memiliki keturunan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 29)
SOSIOBIOLOGI
DAN KRITIK DANIEL DENNET
Darwin telah memberikan perspektif
dalam melihat signifikasi tingkah laku sosial dalam evolusi organis. Dalam The Descent of Man dia menunjukkan
betapa signifikannya tingkah lakupada evolusi manusia. Darwin berargumen bahwa
itu adalah produk seleksi alam. Puncak eksplanasi tingkah laku ini memang
bertumpu pada sosiobiologi yang di populerkan oleh Wilson. Namun, begitu banyak
simpulan Wilson yang membuatnya dituduh mendorong seksisme dan rasisme karena
memercayai bahwa sistem sosial Barat secara biologis adalah bawaan. Kritik
kepada Wilson memandang seluruh proyek sosiobiologi tidak lain adalah
manifestasi darwinisme sosial, sebuah filsafat abad ke-19 yang merujuk pada
Spencer, yang dianggap melegitismasi ekonomi laisses-faire secara eksrem dan mengizinkan konsep struggling for existense menjadi dasar
sosial. Beberapa kritik sangat serius, seperti yang dilontarkan Moore dalam
bukunya Principia Ethica, menduduh
gagasan seperti Spencerian telah melakukan naturalistic
fallary karena mencoba menderivasi apa yang seharusnya (ought) dari apa
yang secara alamiah ada, sehingga seolah-olah di alam organisme kuatlah yang
menang, maka secara moral pun yang kuat boleh melakukan apa saja terhadap yang
lemah. Kontrovensi yang berkembang didalam sosiobiologi menurut saya lebih
diwarnai kritik yang salah sasaran karena tiga alas an. Pertama, sosiobiologi
bukanlah sayap ideologis maupun turunan dari Darwinisme sosial yang dianut
Spencer yang memiliki dimensi normatif-ideologis. Kedua, simpulan-simpulan
sosiobiologi mengenai sifat-sifat umum tingkah laku sosial adalah hasil dari
prosedur ilmiah yang memiliki derajat fasibilitas sejauh reliable ia bisa
dipegang. Ketiga, simpulan-simpulan itu bersifat deskritptif dan tidak langsung
membimbing pada simpulan normative.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 30)
Daniel
Dennet adalah seorang yang sangat kritis terhadap Wilson dan sosiobiologi. Dennet
tidak menolak bahwa mekanisme seleksi alam telah berperan besar kepada
perubahan tingkah laku organisme, termasuk manusia. Namun menurutnya, satu
aspek yang luput dari Wilson dalam menganalisis tingkah laku manusia adalah
keberadaan otak. Sosiobiologi cenderung mencari persamaan, sehingga tidak
menaruh perhatian lebih pada struktur otak manusia. Keacuhan terhadap otak
menjadi dasar kritik Dennet kepada Wilson. Dennet, berbeda dengan Wilson member
kredit pada penelitian terhadap fungsi dan struktur otak manusia karena otak
inilah yang memampukannya bertingakh laku berbeda pada spesies lain. Kompleksitas
otaklah yang mendasari keyakinan bahwa manusia mengalami evolusi yang serupa
tapi tak sama dengan spesies lain, meski sama-sama mengalami evolusi biologis,
namun evolusi manusia kemudian berlanjut dengan evolusi kebudayaan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 31)
IKHTISAR
Meskipun persoalan altruisme sudah
dirintis oelh Darwin sendiri yang menganggap sifat altruis itu diwariskan namun
pandangannya kemudian direvisi oleh George William, seorang darwinis, yang
menganggap bahwa perkara altruisme ini transmisinya lebih signifikan pada
budaya ketimbang gen. Darwinisme konsisten dengan pandangan seleksi alam
terjadi di level individu maupun kelompok dan mekanisme ini berlangsung begitu
panjang sebagai akibat dari mutasi di level genetik. Sementara itu,
sosiobiologi yang dikemukakan oleh Wilson menolak pandangan demikian dengan
argument bahwa mekanisme seleksi alam berlangsung di level sosial atau
kelompok. Namun, satu aspek yang luput dari Wilson dalam menganalisis tingkah
laku manusia adalah keberadaan otak. Sodiobiologi cenderung mencari persamaan
sehingga tidak menaruh cukup perhatian pada struktur otak manusia. Adapun
dawkins, mengantisipasi pendekatan simpisistik sosiobiologi Wilson, dengan jeli
melihat gen sebagai actor dalam evolusi dan member pendekatan berbeda dalam
memahami manusia karena manusia juga mengalami evolusi kebudayaan. Dawkins
memperkenalkan istilah meme sebagai analogi bagi gen di tingkat kebudayaan. Banyak
yang menyamakan istilah meme dengan kebudayaan, padahal secara ontologis keduanya
sangat bertolak belakang. Dalam ontologi kebudayaan, manusia menciptakan kebudayaan,
sementara dalam ontologi meme, meme-lah yang menciptakan (kebudayaan) manusia.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 34)
BAB 3
TEORI Gen Egois
RICHARD
DAWKINS DAN TEORI GEN EGOIS
Pemeran utama dalam evolusi, menurut
Richard Dawkins, adalah gen. Terjadinya evulusi berawal dari gen-gen egois yang
berusaha berkelanjutan (universal).
Barulah kemudian organisme yang mulai
berpopulasi.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 36)
Dawkins meyakini bahwa kehidupam
manusia diatur oleh sejimlah hokum gen yang bersifat universal. Segala sesuatu
yang menyangkut seleksi alam pasti terkait dengan pola survavilitas yang
menimbulkan naluri egois (selfish). Altruisme
murni tidaklah cukup bai manusia karena manusia membutuhkan keuntungan (benefit) bagi kestabilan survavilitasnya,
sehingga gen menginstrusikan manusia (dan organisme lain) untuk menjadi egois
dalam rangka survive. Selama
berevolusi, makhluk hidup berusaha menuju perbaikan generasi melalui
reproduksi. Dalam hal ini evolusi terjadi jika hanya ada seleksi alam yang
sifatnya acak. Hanya makhluk yang mampu survive
dalam seleksi alam yang akan melanjutkan proses evolusi. Dalam kehidupan
kelompok, individu lemah terpaksa harus menyingkir jika mengganggu kelompok.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 37)
Berkenaan dengan hal ini, Dawkins
menunjukkan bahwa selfishness terdapat
diberbagai entitas kehidupan dan layak menjadi landasan seleksi alam. Sebagai
elemen dasar dalam seleksi alam, gen berfungsi sebagai agen self-interest. Gen merupakan reolikator,
sementara manusia hanyalah wahana survavilitas baginya. Spesies sebagai survival machine tampaknya memiliki
tujuan karena adanya faktor hasrat. Begitu pula dengan apa yang kita kenal
sebagai kesadaran, ia pun merupakan hasil dari adaptasi dan evolusi. Kesadaran
muncul ketika otak berkembang semakin kompleks. Uniknya, sampai pada taraf
tertentu dalam evolusi, beberapa otak (termasuk otak manusia) dalah
satu-satunya bagian tubuh yang dapat mengambil keputusan dan mengabaikan
perintah gen.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 37)
Masalah yang seringkali dialamatkan
pada Dawkins adalah kata sifat selfish yang
dia atributkan pada gen. Seolah-olah gen memiliki kesadaran dan tujuan yang
inheren pada dirinya sendiri. Namun kritik ini dapat diabaikan jika kita
memahami apa yang Dawkins coba lakukan, yaitu berusaha meng-antroporfisasi gen
sebagai metode eksplanasi untuk mendemostasikan karakter deskriptif gen, terutama
dalam evolusi. Proses evolusi senantiasa disertai tekanan-tekanan terhadap
proses reproduksi untuk berhasil. Karakter adaptif adalah kunci dalam
keberhasilan ini. Dawkins mengemukakan pertanyaan provokatif dalam buku The Selfish Gene, mengapa kita menjadi
manusia. “Kebenaran” yang dibawa Darwin menawarkan satu versi jawaban tentang
asal-usul kehidupan. Dan dengan demikian, juga jawaban alternative untuk
perntanyaan tersebut. Setelah Darwin dan teori evolusinya, kita tidak lagi
dihadapkan pada jawaban-jawaban gaib dan misterius karena berbeda dengan agama,
teori evolusi dapat secara terbuka diperdebatkan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 38)
SANG
PERANCANG BUTA
Richard Dawkins dalam buku The Blind Watchmaker (1986) mencoba
memberikan penjelasan tentang DNA. DNA adalah protein dalam tubuh makhluk hidup
yang membawa informasi genetic yang akan memengaruhi fenotipe dan genotipe
kita. DNA terdiri atas empat nukleotida berbeda. Setiap nukleotida ini menyusun
rangkaian protein yang berbeda-beda pada setiap makhluk hidup sehingga setiap
makhluk hidup memiliki sifatnya masing-masing. DNA diturunkan dari generasi ke
generasi. Namun setiap generasi tidak mungkin mewarisi DNA yang sama. Pasti
terjadi sebuah “error” yang disebut mutasi. Mutasi inilah yang dimaksud oleh
Dawkins sendiri bukanlah eror yang
berarti kesalahan. Dawkins mengibaratkannya dengan sebuah resep. Trkadang
setiap resep keliru justru menghasilkan sesuatu yang lebih. Alkisah ada seorang
penjual susu yang tempat berjualannya dekat dengan seorang penjual kopi. Seiring
berjalannya waktu, dagangan penjual kopi lebih laris daripada penjual susu. Karena
kedengkiannya, suatu hari penjual susu dating ke dapur penjual kopi dan diam-diam
mencampurkan susunya kedalam kopi yang dijual oleh penjual kopi. Si penjual
susu membayangkan, para pembeli kopi itu akan marah dan tidak mau lagi membeli
kopi. Namun tanpa diduga, saat kopi (yang sudah dicampur dengan susu tadi)
dihidankan kepada pembeli, mereka malah menyukai rasa baru “kopi” tersebut dan
bertanya-tanya dengan penuh kekaguman pada sang pembuat kopi, bagaimana
menciptakan minuman seenak itu. Mungkin “kesalahan” secara inilah yang dimaksud
Dawkins, kesalahan yang tidak melulu berarti negatif, tetapi dapat juga menjadi
positif. Hal inilah yang terjadi pada proses evolusi DNA yang diteruskan dari
generasi ke generasi mengalami “kesalahan” atau mutasi dan menghasilkan
generasi yang kebuh baik. Dawkins senidiri mengemukakan dua analogi yang
inspiratif. Pertama analogi diantara berbagai proses evolusi berdasarkan
kemiripan untuk (menciptakan) “ledakan”. Kedua analogi antara teori evolusi
Darwin dengan evolusi budaya.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 40)
Ledakan yang dikenal oleh para
insinyur pada umumnya berupa positive
feedback (umpan balik positif). Untuk dapat memudahkan pemahaman tentang
umpan balik positif, perlu dijelaskan pula pengertian umpan balik negatif (negative feedback) yang merupakan lawan
dari umpan balik positif. Contoh, umpan balik dapat kita temukan pada
pengontrol aln uap dalam mesin uap yang disebut dengan Watt steam governor. Pengontrol ini berfungsi untuk menjaga agar
mesin bekerja pada putaran yang tetap. Jika mesin berputar dengan cepat maka
katup uap yang dibuka lebih kecil agar aliran atau tekanan uap yang masuk ke
mesin lebih sedikit. Mekanisme ini merupakan umpan balik negatif. Namun
demikian, pada mesin yang sama apabila mesin berputar lebih lambat maka lairan
uap yang masuk ke mesin pun akan lebih sedikit, sehingga pada suatu saat aliran
uap akan nol dan mesin berhenti bekerja. Dalam hal ini yang terjadi adalah
umpan balik positif. Umpan balik positif dapat mengakibatkan penurunan
aktivitas sampai mencapai titik nol. Kendati demikian, umumnya umpan balik
positif yang dikenal bukanlah sesuatu yang mengakibatkan penurunan aktivitas,
melainkan meningkatkn aktivitas sampai pada kondisi yang tak terkendali. Oleh
karena itu proses pada umpan balik positif bersifat tidak stabil dan dapat
mengakibatkan “ledakan”.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 41)
Gen yang egois harus melakukan
segala upaya agar ia lestari tanpa batas. Hal inilah yang membuat evolusi terus
berjalan. Akar dari teori gen eois Richard Dawkins adalah teori evolusi dan
seleksi alam Charles Darwin. Namun berbeda dengan Darwin, Dawkins menganggap
evolusi terjadi tidak hanya pada kehidupan biologis semata, terlebih pada
manusia. Menurutnya terdapat evolusi kebudayaan yang replikatornya adalah meme.
Meme mampu bereplikasi dalam kehidupan manusia karena manusia memiliki otak
yang mampu berfungsi sebagai “mesin imitasi”.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 42)
BAB
4
Meme sebagai Gen Kebudayaan
PROBLEM
MEME
Menurut
Dawkins, hal yang tak biasa yang secara unik dimiliki manusia dan membedakannya
dari hewan lain adalah kebudayaan. Transmisi kebudayaan bisa kita analogikan
dengan transmisi generik, termasuk selama menjalani proses evolusi. Memamng
transmisi kebudayaan tidak hanya terdapat pada manusia karena kebudayaan
bukanlah monopoli manusia. Beberapa binatang, khususnya binatang sosial, cenderung
“membentuk” kebudayaan. Misalnya, burung yang berkicau. Kasus semacam ini
didapati oleh seorang etolog yang bernama Jenkins dalam penelitian terhadap
burung saddleback yang dilakukannya di
Selandia Baru. Jenkins mendapati bahwa pola nyanyian burung saddleback tidak diturunkan secara
genetis, karena pejantan mudanya mengambil nyanyian dari tetangga teritori
mereka dengan cara imitasi. Hal semacam ini bisa kita analogikan dengan bahasa
pada manusia. Namun demikian, hanya pada manusia kita dapat melihat apa yang
dapat dilakukan oleh meme dalam evolusi kebudayaan.
Bahasa
mengalami evolusi, bahkan evolusinya lebih cepat disbanding evolusi gen. Begitu
pula cara kita memilih gaya hidup, berpakaian, tradisi, upacara, seni,
arsitektur, teknologi, semuanya bereolusi dan sepertinya tidak ada kaitan
langsung dengan evolusi gen. Dalam hal evolusi bahasa ini, replikator yang
dilibatkan adalah meme. Menurut Richard Dawkins, meme adalah unit kebudayaan
yang dapat dipindahkan, dikomunikasikan, digandakan, dan diwariskan. Contohnya
lagu, puisi, teknik matematika, mode pakaian, dan berbagai pemanfaatan
teknologi.
(EKO WIJAYANTO :2013 : 46)
Meme
yang terdapat pada pikiran seseorang secara harfiah mnjadi parasit dalam otak
tersebut. Meme mengubah manusia tersebut menjadi perangkat untuk memperbanyak
diri dengan cara yang sama dengan virus yang menjadi parasit pada mekanisme
genetic sel inangnya.Lantass mnegapa suatu meme mempunyai kelangsungan hidup yang
sangat tinggi? Dawkins mencoba menjawab pertanyaan ini dengan memberikan contoh
meme ide tentang Tuhan. Apa yang membuat gagasan tentang Tuhan mempunyai
stabilisasi dan penetrasi dalam kebudayaan? Gagasan ini dikonstruksikan oleh
meme-meme yang mempunyai niali kelangsungan hidup yang tinggi lantaran snaggup
memberikan jawaban yang terkesan masuk akal untuk berbagai pertanyaan mendalam
dan menggelisahkan arti keberadaan manusia. Misalnya, pertanyaan tentang adakah
kehidupan setela kematian, adanya problema ketidakadilan di dunia, dan lain-lain.
Sebagaimana dinyatakan oleh Dawkins:
[Nilai survival dari
meme tuhan dalam kolam memedihasilkan dari daya tarik psikologisnya yang
tinggi. Ia menyediakan jawaban yang terkesan masuk akal untuk
pertanyaan-pertanyaan yang mendalam dan menggelisahkan tentang keberadaan kita.
Ia menawarkan, ketidakadilan di dunia ini bakal diluruskan dikehidupan
mendatang.]
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 47)
Sama
halnya dengan gen, cirri penting dari meme adalah kemungkinannya untuk
digandakan. Bedanya, gen menggunakan enzim sel, sementara meme melalui imitasi
atau jiplakan. Meme cepat menyebar, sementara penggandaan gen terbatas pada
kemampuan reproduksi manusia. Selain itu, meme juga tidak membedakan
baik-buruknya suatu gagasan dalam menggandakan diri. Suatu meme dapat tetap
populer karena beberapa faktor. Pertama karea sifatnya yang tak pernah
dibantah. Kedua, murah dalam hal waktu, uang, dan usaha. Ketiga, terasa menyenangkan
dan menentramakan tak peduli apakah doa kita berhasil atau tidak, berdoa kerap
kali melegakan. Dengan lain kata, orang akan senantisa mempraktikan serta me meneruskan
meme ini. Ketik orang-orang dengan kepercayaan yang sama bekerja sama, mereka
meningkatkan peluang meme-meme yang menjangkiti mereka untuk bertahan hidup. Misalnya,
meme tentang kewajiban sunat, mengenakan jubah kuning, memakai sorban, dan lain
sebagainya. Kunci pembahasan Dawkins tentang meme adalah sifatnya yang selfish (egois) dan ruthless (kejam). Namun demikian, Dawkins menegaskan bahwa sifat
meme yang egois dan kejam ini semata-mata hanyalah metfora.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 49)
[Kita
mesti benar-benar jelas tentang apakah maksud dari egois dalam konteks ini. Ini
bukan berarti gen memiliki keegoisan. Gen tertentu bisa saja membuat pemiliknya
bertindak egois, namun hal ini adalah berbeda. Kata egois (selfish) di sini berarti bahwa gen bertindak semata-mata demi diri
mereka sendiri, apa yang mereka inginkan hanyalah berlanjut ke generai
berikutnya]. Keberadaan meme, seperti halnya gen, saling beradaptasi secara
kompleks di dalam kolam meme.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 50)
Namun
demikian, Dawkins menyebutkan adanya kemampuan tertentu pada manusia yang dapat
menyelamatkan kita dari dampak parah yang diakibatkan oelh replikator kita yang
egois itu. Salah satu kemampuan ini adalah kemampuan untuk secara sadar menatap
ke depan menyimulasikan masa depan dalam imajinasi kita. Kita terlahir sebagai
mesin gen dan terbudayakan sebagai mesin meme. Namun, kita sebenarnya punya
kekuatan untukmelawan pencipta kita, sang replikator tiran yang egois.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 51)
MEME
SEBAGAI UNIT TRANSMISI BUDAYA
Tokoh penting yang ikut
menyumbangkan pemikiran dalam mengembangkan konsep evolusi ini, salah satunya
Stuart Kauffman. Kaiffman menarh perhatian lebih kepada kompleksitas sebuah
teori dalam menafsirkan gejala kebudayaan, dimana segala penafsiran kebudayaan
juga akan mengalami kekaburan dalam perjalanannya. Gagasan Kuaffman ini berbeda
dengan Dawkins yang lebih mengarah kepada teori evolusi Darwin yang memberikan
penekanan pada seleksi alam. Namun demikian, gagasan kedua pemikir ini pada
dasarnya mengarah pada tujuan utama, yakni memahami proses-proses yang bekerja
dalam kebudayaan. Meme bekerja melalui replikasi atau imitasi ide dan
pemikiran. Terkait meme di ranah kebudayaan, Susan Blackmore mengemukakan
konsep replikasi diri (self-replicating)
dan memeplexes. Sebagai sesuatu yang
senantiasa mereplikasi diri, meme dianalogikan dengan virus komputer yang
memiliki bagian varian, semuanya sama-sama memiliki efek terhadap proses yang
berjalan dalam sebuah komputer. Sebagai respons, para pengguna komputer akan
berusaha memberikan proteksi serangan virus-virus tersebut dengan membuat
antivirus. Pada dasarnya, dalam menjalani replikasi dari mememudah berkembang
dan mengalami perubahan bentuk.Akan tetapi, sebagian memeplex merupakan
konsepsi kuat yang dipegang teguh sehingga sulit untuk diubah, Dawkins
menyebutnya sebagai virus in minal,
virus pikiran yang tertanam dalam benak dan pemikiran seseorang sehingga sulit
diubah dari bentuk awalnya. Virus pikiran ini sangat efektif ditanamkan
terutama pada masa kanak-kanak, jika diterapkan pada orang dewasa konsep ini
kerap mengalami hambatan dalam replikasinya.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 53)
Para arkeolog sepakat bahwa hingga
10.000 tahun lalu, manusia masih hidup dengan cara berburu dan meramu. Hingga kemudian
pertanian ditemukan dan dianggap sebagai penemuan terpenting dalam sejarah
manusia. Pertama kali ditemukan di Timur Tengah, pertanian sebagai meme
menyebar hingga menjangkau Irlandia dan Skndinavia pada 4.500 tahun lalu. Namun
demikian, mengapa penemuan ini dapat tersebar luas? Sekilas kita dapat menduga
pertanian segera tersebar karena membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan
memberikan keuntungan generik bagi orang-orang yang mempraktikannya. Namun dari
perspektif memetika, jawabannya tidak tepat demikian. Oleh karena meme tidak
peduli apakah suatu penemuan, termasuk pertanian, bermanfaat atau tidak bagi
kehidupan manusia, meme hanya peduli pada berhasil atau tidaknya ia diimitasi
dan bereplikasi di dalam masyarakat. George Basalla dalam The Evolution of Technology (1988) melihat bagaimana suatu penemuan
berkembnag bukan karena bermanfaat bagi manusia, nemun karena adanya situasi
tertentu dengan tujuan yang sanagt spesifik. Memetika adalah sebuah teori yang
melihat meme sebagai replikator otonom. Memetika mulai muncul seiring dengan
munculnya pemikir-pemikir seperti Dawkins, yang melihat bahwa evolusi genetic
hanyalah salah satu bentuk evolusi.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 55)
MEME DAN MEMEPLEXEX
Sebenarnya
siapakh diri kita? Francis Crick, seorang ahli genetika peraih Nobel,
mengemukakan teori “The Asthonishing Hypnotis” yang menekankan betapa
pentingnya keberadaan neutron. Tidak hanya menganggap tubuhnya sendiri atas
sel-sel, teori ini bahkan sekedar melihatnya sebagai sekumpulan neutron. Ada
pula pendekatan lain oleh ahli spiritual Victorian yang mempercayai kepribadian
yang terbentuk dari berbagai pengalaman pribadi sebagai esensi diri yang dapat
bertahan setelah kematian raga.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 58)
Benjamin
Libet mengemukakan adanya tiga tahapan yang diperlukan dalam proses bertindak,
yaitu memulai tindakan, saat diambilnya keputusan untuk bertindak, dan mulainya
pada gelombang otak khusus yang disebut kesiapan potensial.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 60)
Memetika
hadir untuk menyediakan cara baru dalam melihat diri sendiri. Dalam memetika,
diri merupakan memeplex besar yang
terdiri atas berbagai pemikiran dan pengalaman yang mendukung tindakan
sehari-hari. Memeplex merupakan sekumpulan meme yang berhimpun bersama demi
keuntungan bersama dan membentuk suatu kesatuan yang dapat melakukan seleksi
untuk menerima ataupun menolak meme baru yang ingin masuk.Dengan kata lain,
memeplex menjadi filter bagi kita dalam berinteraksi dengan dunia luar. Meme
yang berhasil masuk ke dalam diri dan menjadi ide atau opini adalah para
pemenang dalam kompetisi antar meme. Kepemilikam manusia atas sesuatu mempunyai
banyak fungsi, termasuk menentukan status personal. Dalam hal ini, kepemilikan
yang dimaksud adalah segala sesuatu yang tanpanya kita akan merasakan
kehilangan dengan kata lain, kepemilikan inilah yang member kita perasaan akan
diri.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 63)
Singkat kata , suatu selfplex diri yang di konstruksikan oleh
meme-meme disebut sukses bukan karena ia benar, baik, atau indah, bukan pula
karena ia membuat kita bahagia dan mendukung kelanjutan gen kita. Melainkan selfplex tersebut sukses tatkala meme
yang masuk ke dalam diri mendorong dan berhasil membuat kita bekerja demi kepentingan
replikasi mereka. Denagn kata lain, hidup kita ini merupakan bentukan meme,
dimana kita terjebak dalam tirani meme. Sekarang kita mengerti dari sudut
pandang memetika siapa diri kita sesungguhnya. Setiap orang adalah memeplex
yang bergerak dengan mesin fisik berupa tubuh (termasuk otak). Alhasil, secara
tidak langsung manusia dapat disebut sebagai mesin meme, karena meme itulah
yang menggerakkan kita sebagai seorang individu. Dengan demikian, manusia
adalah produk seleksi alam yang berbaur menjadi satu dengan meme-meme.
Lantas siapakah kita sebenarnya? Dari
kita, yang merupakan selfplex, sejatinya
adalah produk dari proses panjang evolusi memetis, produk dari meme-meme yang
berhasil massuk dan bertahan dalam tiap individu. Hal itu bisa terjadi baik
karena faktor evolusi biologis telah menyediakan otak yang kondusif bagi meme
maupun karena keuntungan selektif yang disediakan oleh lingkungan setempat
kita. Dengan demikian, cara-cara kita bertindak dan mengambil keputusan
merupakan hasil dari struktur kompleks yang berupa serangkaian memeplexes yang diaplikasikan pada
sistem yang dikonstruksikan secara biologis. Disinilah jelas terlihat betapa
besarnya peran meme sebagai replikator dalam hidup.
BAB 5
Teori Evolusi Budaya (Memetika)
ANALOGI
TEORI EVOLUSI BUDAYA (MEMETIKA) DENGAN TEORI EVOLSI DARWIN
Dawkins sebenarnya tidak setuju
sepenuhnya menganalogikan teori evolusi budaya dengan teori evolusi Darwin. Problem pertamanya, secara umum memang terdapat
perubahan-perubahan yang konsisten, seperti sarana transportasi yang semakin
bertambah kecepatannya. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjamin meningkatnya
kualias hidup. Juga terdapat dalam beberapa hal, terdapat perubahan pada
kebudayaan manusia yang sifatnya tidak selalu maju. Dalam mode pakaian
misalnya, kerap terjadi pengulangan dari mode beberapa dekade sebelumnya. Namun
demikian, tak dimungkiri bahwa kebudayaan beserta inovasinya merupakan faktor penunjsng
survavilitas manusia dalam mengatasi tekanan genetic dan lingkungan. Dengan
kemapuannya melakukan transimisi budaya, manusia mampu mengembangkan berbagai
teknologi, terutama teknik pertanian, pendidikan, dan kesehatan. Bagi kehidupan
manusia kebudayaan lebih berperan penting dibanding evolusi genetik inilah yang
menjadikan manusia spesies yang unik dan berbeda dari spesies lain. Dan
sebagaimana dalam evolusi biologis, dalam evolusi budaya, juga akan terlihat
budaya-budaya mana yang mampu bertahan dan mana kemudian tersingkir dalam
seleksi. Antara manusia (gen) dan budaya terdapat hubungan kausalitas. Manusia
menciptakan budaya, budaya tercipta demi kepentingan gen sebagai replikator
utama. Problem keduanya, kita tidak
mengetahui mekanisme imitasi dan penyimpanan meme. Hal ini memang sangat ionis
lantaran kita sudah banyak mengetahui tentang DNA dan gen, namun sangat sedikit
tentang meme. Dugaan awal yang bisa kita ambil adalah bahwa meme memang
tersimpan dalam otak. Hal ini terkait dengan memori manusia yang mampu menyimpan
berbagai hal termasuk meme. Problem
ketiga, adalah benarkah evolusi meme bersifat lamarckian dan bukan
Darwinian? Lamarckian merupakan terminologi yang diambil dari nama ilmuwan Jean
Baptise de Lamarck. Menurut Lamarck, upaya individu untuk mencapai kebaikan
dirinya merupakan sifat yang diturunkan (herediter). Kini istilah Lamarckian mengacu
pada karateristik individu yang diperoleh dalam hidupnya yang dapat diturunkan.
Bila dalam hidpu individu memperoleh keahlian baru, maka keahlian itu dapat
diturunkan. Pandangan ini tidak terlalu tepat karena mengasumsikan keahlian
akan berpengaruh terhadap gen seseorang. Hal ini terkait dengan fenotipe dan
genotipe dalam evolusi biologis. Genotipe merupakan karakter fisik yang nampak,
seperti warna rambut, atau warna kulit. Fenotipe jelas sanga bergantung kepada
genotipe, namun tidak sebaliknya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan
evolusi meme kita mesti ingat bahwa meme tidak si terikat secara biologis, ia
bisa melompat jauh ke generasi yang lain.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 70)
Kemampuan untuk melakukan imitasi
seperti inilah yang membuat menusia unik jika dibandingkan dengan hewan yang
lain. Manusia melakukan imitasi secara alamiah. Misalnya, ketika ada orang
tersenyum atau melambaikan tangan, kita pun membalas dengan melakukan hal yang
sama. Meski sangat sederhana, hal ini sebenarnya adalah suatu hal yang cerdas. Ketika
kita meniru tingkah laku seseorang, ada sesuatu yang kemudian bisa terus
menerus berpindah dari satu oarng ke orang lain. “Sesuatu” inilah yang oleh
Dawkins disebut meme. Meme adalah segala sesuatu yang bertransmisi dari pikiran
satu orang ke orang yang lain, termasuk kosakata, legenda, kemampuan, dan
tingkah laku, permainan, lagu, ataupun peratuaran. Sebagai contoh lagu “Happy
Birthday to You”. Barangkali jutaan oang diseluruh dunia menyanyikan lagu ini
setelah mengalami proses imitasi ke jutaan orang sebagai “sesuatu” yang
dinyanyikan bersama pada pesta ulang tahun.Terakhir perlu diingat, bahwa meme
menyebut tanpa peduli apakah dirinya berguna, netral, atau bahkan merugikan
kehidupan manusia. Yang penting bagi meme adalah dia bisa terus mereplikasi
dirinya.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 71)
INTERAKSI
GEN DAN MEME
Gen dan meme memiliki interaksi yang
terkait erat satu sama lain. Pada kenyataanya peran meme dan gen salig
melengkapi. Meme dapat membantu tereplikasinya gen, begitu pula sebaliknya, gen
dapat membantu tereplikasinya meme. Gen merupakan produk biologis yang sudah
ada sejak kita lahir. Keberadaan gen dapat diamati secara empiris. Interaksi
suatu gen dengan gen yang lain berada pada lingkup biologis dan bisa saja
saling mendukung, namun bisa juga sebaliknya. Gen pada satu individu juga bisa
berdampak pada gen individu lain. Gen pada dua organisme yang saling
berkompetisi, misalnya gen “berlari cepat” pada tikus yang memengaruhi gen
“melompat lebih jauh”. Akan tetapi, meskipun menguntungkan organisme terkait, semua
gen ini see=benarnya egois yang benar-benar mereka pedulikan hanyalah replikasi
dirinya, bukan kepentngan pemburu, kucing, tikus, atau organisme mana pun.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 72)
EVOLUSI
BAHASA
Darimanakah bahasa berasal? Dan
menagapa bahwa menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia? Terdapat
dua bentuk pendekatan dalam upaya memahami bagaimana bahasa berkembang dan
bersinergi dalam kehidupan. Pertama pendekatan gen. Termasuk dalam pendekatan
ini adalah penjelasan-penjelasan psikologi-evolusi, sosiobiologi, dan biologi.
Menurut psikologi-evolusi, alasan mengapa kita dapat menggunakan bahsa adalah
karena kelebihan nenek moyang kita yang telah menemukan bahasa dan
mewariskannya pada keturunan mereka. Dalam sosiobiologi, bahasa adalah
kebudayaan “liar” yang disebarluaskan untuk menambah khazanah budaya, namun
ternyata dapat digunakan sampai sekarang. Adapun dalam biologi bahasa dianggap
bagian dari interaksi makhluk hidup dengan sesamanya, sehingga bahasa juga
memengaruhi suara yang dikeluarkan makhluk hidup tersebut berdasarkan gennya. Kedua,
pendekatan meme. Dalam pendekatan meme, bahasa berkembang melalui komuikasi
verbal di antara beberapa pihak yang saling menyalurkan pesan secara persuasif kepada
lawan bicaranya. Dalam penyebaran verbalini di ada seleksi meme oleh pikiran
manusia. Menurut Carlson, ada bagian dari otak kita yang memang memungkinkan
dimilikinya kemampuan verbal. Juga menurutnya manusia memiliki kemampuan verbal
masing-masing tergantung kapasitas otaknya. Adapun M. Smith dan Szothmary
berpendapat bahwa seleksi alam juga menentukan bagaimana kita membiasakan diri
berbicara dan bahasa apa yang kita gunakan umtuk berkomunikasi.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 75)
Dawkins mengidentifikasi tiga kriteria
bagi suksesnya replokator, yaitu bisa dikopi seacara akurat, bisa dikopi dalam
jumlah banyak, dan bisa bertahan untuk waktu yang lama. Hal serupa juga
dimiliki oleh meme.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 78)
MEME
ALTRUISME
Salah satu misteri terbesar dalam
sosiobiologi adalah proble altruisme. Altruisme didefinisikan sebagai sikap
berkorban dan berbuat kebaikan demi kepentingan orang lain, baik dengan
mengorbankan suatu usaha, waktu, pengeluaran, atau apa pun. Padahal manusia
secara instingsif dan rasional selalu mengejar kepentingan, kesenangan, dan
kebahagiaannya sendiri. Pengasuhan orangtua misalnya, menunjukkan adanya
altruisme. Dalam menjelaskan altruisme orang tua kepada anaknya, darwinisme
tidak begitu menghadapi persoalan sendiri. Dalam perspektif Darwinian, orang
tua tertentu memiliki dorongan genetis untuk menyayangi, merawat, dan
melindungi anaknya. Hal ini karena anak adalah keturunan yang akan mewarisi
sifat genetis mereka.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 80)
Altruisme merupakan perilaku
kooperatif yang dapat memudahkan interaksi kita dengan orang lain. Kini kita
kerap kali berurusan dengan orang yang tidak begitu kenal. Mungkin saja,
setelah berurusan tersebut selesai kita pun tidak akan pernah bertemu lagi
dengannya. Dalam kasus seperti ini kooperatif akan sangat membantu agar
interaksi kita dengan orang tersebut menghasilkan sesuatu yang positif.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 81)
Menurut Darwin, jika seseorang
membantu temannya, maka ia akan pula mendapatkan bantuan. Robert Trives
mengubah gagasan Darwin tersebut menjadi teori altruisme timbal balik, yang
menjelaskan bahwa hewan yang membalas persahabatan seperti tolong menolong sesame
rekan mungkin akan terbantu dalam seleksi alam. Dalam menjelaskan altruisme
pada manusia, Dawkins memberikan contoh donor darah yang menurutnya merupakan
contoh altruisme murni. Altruisme sudah melekat pada kehidupan manusia, yakni
lewat kebudayaan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 81)
Terdapat trik-trik altruisme yang
bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Trik penyebaran meme altruis misalnya,
saat seseorang melakukan suatu kebaikan tertentu, maka akan terpikir dalam
kepala orang yang menyaksikannya, bahwa si pelaku kebaikan ini adalah orang
yang begitu baik atau begitu dermawan. Kedua, trik terlihat seperti altruis.
Dengan bertindak seperti seorang altruis, seseorang akan lebih mudah disukai
dan menjadi populer. Ini adalah alasan mengapa seseorang melakukan trik ini
demi popularitas dan menciptakan kesan pada banyak orang. Dengan cara ini dia
akan dikenal sehingga meme yang demikian akan bertendensi pula untuk ditiru.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 86)
BAB 6
MEME dan KESADARAN
KEHENDAK BEBAS
Kehendak bebeas sebenarnya baru
terjadi ketika seseorang secara sadar dan sepenuhnya bebas memutuskan untuk
melakukan sesuatu. Dalam hal ini, seseorang itu harus benar-benar menjadi agen
yang memiliki kewenangan untuk melakukannya tanpa campur tangan faktor lain. Namun
demikian, pada kenyataanya semua tindakan manusia hadir dari interaksi kompleks
antara meme, gen, dan semua produknya di dalam limgkungan yang rumit. Dengan
kata lain, ide kehendak bebas itu sebenarnya hanyalah produk dari ilusi belaka.
Dalam pandangan filsuf Daniel Dennet, kesadaran manusia hanyalah serangkaian
meme yang kompleks dan besar, yang kemudian membentuk selfplex. Semua alat berpikir
yang kita gunakan selama ini sebenarnya telah disediakan secara tidak
langsung oleh meme. Oleh karena itu binatang tidak dapat melakukan imiasi
maupun memproduksi meme, maka binatang tidak akan bisa memiliki kesadaran diri
seperti halnya manusia.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 87)
Namun fakta bahwa kini kita memiliki
kesadaran tentu saja punya konsekuensi tertentu, yakni evolusi tidak menyokong
kesadaran. Kontribusi terbesar dalam melakukan kesadaran barangkali muncul
ketika Descartes merumuskan dualisme subtansi bahwa kesadaran merupakan
subtansi mental yang terpisah sama sekali dengan subtansi ketubuhan yang fiscal
dan berkeluasan.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 96)
IKHTISAR
Manusia pada akhirnya hanyalah
gabungan sehimpunan neuron plus sehimpunan meme. Manusia adalah suatu unit
biologis tertentu dengan segala organ dan anggota tubuhnya, sekaligus sekumpulan
unit replikator sosial denagn segala bahasa, kreativitas, dan kemampuannya. Dengan
kata lain, kita adalah “mesin-meme” kebebasan memilih, kesadaran, kreativitas,
dan dugaan, semua adalah bagain dari memeplex
sementara memeplex itu sendiri
dianggap manusia sebagai “diri” mereka. Denagn demikian, memetika menurut
Blackmore, membawa pandangn baru tentang bagaimana Anda akan menjalani hidup,
tentang siapa Anda, siapa yang bertanggung jawab atas pilihan Anda, dan apa
yang membuat Anda menjadi diri Anda sendiri. Anda bisa memilih untuk hidup
dalam ilusi atau hidup dengan kesadaran bahwa Anda adalah suatu replikator
kompleks yang terdiri atas gen dan meme sehingga dalam artian tertentu Anda
bisa menjadi bebas, bebas karena memengaruhi “kenyataanya”, dan karena ia tidak
perlu memberontak terhadap apa pun.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 102)
BAB 7
Evolusi Kebudayaan dalam Pandangan
Filsafat
Richard Dawkins
menganggap sebyah kerangka piker yang memandang kebudayaan bekerja dalam skema
evolusi Darwinian. Perkembangan kebudayaan ditentukan oleh relasi yang kompleks
antara meme sebagai unit transmisi kebudayaan dengan lingkungna. Sifat
deterministik evolusi kebudayaan ini dilimitasi oleh faktor kesadaran manusia.
Dennet berbeda dengan Wilson,
memberikan kredit pada penelitian fungsi dan struktur otak manusia yang
memampukannya bertingkah laku berbeda dari spesies lain. Kompleksitas otak
inilah yang mendasari keyakinan bahwa manusia mengalami evolusi yang serupa
tapi tak sama dengan spesies lain. Hal ini menjadi lebih terang dalam pandangan
Dawkins, yang dengan jeli melihat gen sebagai aktor dalam evolusi dan
menempatkan manusia berbeda dari spesies lain lantaran ia juga mengalami
evolusi biologis. Dawkins memperkenalkan istilah meme sebagai analogi bagi gen
di tingkay kebudayaan. Meme, sama seperti gen, acuh tak acuh dalam berevolusi,
karena itulah Dawkins menyebutnya dengan egois.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 106)
Hal yang orisinal dari pendekatan
Dawkins adalah pandangannya bahwa evolusi bukan sebuah kompwtisi di antara
individu atau spesies, melainkan diantara gen. Berdasarkan gagasan Dawkins dan
Dennet, dapat dikatakan bahwa secara teoritis seluruh properti organisme
dihasilkan melalui proses seleksi alam, dimana unit seleksi ini bukanlah
individu melainkan molekul replikatif bernama gen. Meme sendiri merupakan fitur
netral yang terwujud sebagai unit informasi yang ditransmisikan secara sosial. Transmisi
sosial ini disebarkan melalui pembelajaran sosial.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 108)
Setiap perilaku yang menyebar dari
satu orang ke orang lain melalui proses imitasi merupakan meme, termasuk
bahasa, praktik-praktik sosial, dan kebiasaan personal. Meme bersifat egois
dalam pengertian yang sama dengan yang diatributkan oleh Dawkins kepada gen. Tentu
saja keberadaan meme sebagai unit transmisi budaya membutuhkan prasyarat
biologis, yakni ukuran otak yang cukup besar sebagai hasil dari evolusi
genetis. Dengan kata lain, evolusi meme pada awalnya merupakan dampak dari
adanya otak yang berukuran besar yang merupakan hasil dari evolusi genetis.
(EKO WIJAYANTO : 2013 : 109)
Kesimpulan dan Saran
Secara
teoritis, seluruh kebudayaan manusia termasuk konsep diri dapat diterangkan
sebagai hasil dari proses seleksi pada unit replikasi budaya yang bernama meme.
Dalam kasus meme pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran melalui
imitasi. Dengan demikan sudut pandang memetika, hal terpenting yang membuat
mansuia distingif dari spesies lain adalah kemampuannya untuk melakukan
imitasi.Secara umum teori evulusi kebudayaan memiliki penolakan diam-diam
terhaap pilihan rasional sebagai eksplansi valid bagi seluruh tindakan manusia.
Kendati begitu, kasus otak yang besar ini kita mendapati pula bagaimana meme
bisa memegang kendali diatas gen. Teori gen egois yang dikemukakan oleh Dawkins
member kita pengetahuan bahwa seleksi alam terjadi melalui replikator-replikator
yang berbeda. Dimensi yang unik ada pada manusia adalah terjadinya evolusi
kebudayaan disamping evoulusi genetis. Evolusi genetis telah membentuk otak
manusia sebagai perangkat berkesadaran yang pada akhirnya secara kualitatif
membedakan manusia dengan spesies lainnya. Melalui perangkat inilah manusia dan
kehidupannya mengalami evolusi budaya, menciptakan simbol, mempertukarkan, dan
memperbaruinya.
SARAN
Dari keseluruhan buku yang berjudul
“MEMETICS” yang saya baca ini, menurut saya didalamnya mengajarkan agar kita
untuk selalu memperhatikan dan mendalami tentang kebudayaan khususnya. Karena
dalam kebudayaan kita tidak membeda-bedakan dalam hal apapun, semua objek yang
ada didalamnya pun patut dihargai, walaupun banyak pendapat-pendapat dari
beberapa tokoh yang berbeda mempunyai persepsi masing-masing tentang
kebudayaan. Baiknya kita sebagai generasi penerus harus menjaga kebudayaan kita
ini, agar tidak di klaim oleh negara lain yang mengakui budaya ini. Karena dari
kebudayaan inilah kita dapat bersatu.
1 comment
Malam. Saya Silvina. Saya ingin bertanya, bagaimana mendapatkan buku Memetics karya Eko Wijayanto ini? Soalnya saya sangat membutuhkannya untuk bahan skripsi.