5:59:00 PM
DR.H.Nurudin Siraj.MA.MSi
Kepelikan Birokrasi
Memasuki
tahun 2014, indonesia belum seutuhnya lepas dari permasalahan kebangsaan.
Selain permasalahan hukum dengan maraknya kasus korupsi, indonesia juga masih
dibelit dengan permasalahan birokrasi
yang belum menjadi problem solving yang bisa diandalkan oleh masyarakat.
Ada tiga masalah permasalah mendasar yang kini membelit birokrasi kita. YANG PERTAMA, jumlah
birokrat kita terlalu gemuk. Bayangkan kini Indonesia memiliki 4,47 juta
birokrat. Jumlah PNS didominasi oleh kaum pria berjumlah 52, 21 persen atau
sebanyak 2.332.549 orang. Sedangkan perempuan hanya 49 persen atau sebanyak
2.135.443 orang.
Jumlah ini
tentunya akan menggerogoti APBN negeri ini yang kini mencapai 1,600 triliun.
Karena di banyak daerah gaji untuk PNS ini, anggarannya melebihi untuk biaya
pembangunan. Dari data di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan, pada 2013 banyak daerah porsi belanja pegawai di atas 50 persen. Kabupaten Magetan-Jawa Timur dan
Tasikmalaya-Jawa Barat merupakan dua daerah dengan porsi belanja gaji pegawai
sebesar 75 persen dari APBD. Belanja gaji pegawai dalam APBD 2010 sebesar Rp
500,664 miliar. Sementara total pendapatan daerah itu Rp666,548 miliar. Untuk
pendapatan asli daerah (PAD) sendiri hanya Rp45 miliar. Sementara Kabupaten
Tasikmalaya belanja pegawai menghabiskan dana Rp779,805 miliar. Sementara total
pendapatan Rp1,039 triliun. Namun PAD daerah ini hanya Rp76,875 miliar.
Sementara itu dari sisi pendidikan,
ternyata PNS kita masih banyak yang
hanya lulusan SMU dan SMP. Lulusan SMP mencapi 108.348 orang (2,4%) dan SMA
sebanyak 1.374.851 orang (30,7%). Sedangkan lulusan S1 yang menjadi PNS ini
mencapai 36 persen atau sekitar 1.637.716. Sisanya bergelar s2 dan s3.
Rendahnya pendidikan ini juga teryntara berdampak langsung pada kinerja PNS
kita. Bukan hanya dilihat dari kinerjanya yang masih jauh dari membanggakan,
tetapi banyak birokrat kita juga yang terjerat kasus hukum, khususnya kasus
korupsi.
Dari data di Dirjen otonomi daerah
kementrian dalam negeri, sejak tahun sejak tahun 2004 sampai Februari 2013,
sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus
korupsi. Rinciannya, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156
orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Ini
belum termasuk gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang baru baru ini mendekem di rumah tahanan Bambu Apus.
Selain kepala daerah, korupsi di daerah juga menjerat
anggota parlemen. Jumlahnya cukup mencengangkan. Ada sebanyak 2.545 anggota
DPRD tingkat kota kabupaten dan 431 DPRD provinsi yang terjerat korupsi.
Tetapi ternyata tingginya pendidikan juga tidak berbanding
lurus dengan akhlak penyelenggara yang lurus. Karena ternyata, ada fakta
mengejutkan terdapat tujuh profesor yang juga terjerat kasus korupsi.
Mereka adalah Rahardi Ramelan (ITS Surabaya) dalam kasus
korupsi dana non-bujeter Bulog saat menjabat Menteri Perdagangan dan
Perindustrian; Nazaruddin Syamsuddin (UI) dalam kasus korupsi di Komisi
Pemilihan Umum (KPU); Miranda Goeltom (UI) dalam kasus cek perjalanan kepada
anggota DPR RI; Rokhmin Dahuri (IPB) dalam kasus dana non-bujeter di
Kementerian Perikanan dan Kelautan yang dipimpinnya.
Kemudian, Burhanuddin Abdullah (UI) dalam kasus
penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) saat
menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia; dan Abdus Salam (IAIN Syekh Nurjati
Cirebon) dalam kasus pengadaan alat komunikasi dan teknologi informasi serta
sistem informasi manajemen pendidikan (EMIS) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Terakhir Rudi Rubiandi kepala SKK Migas yang dicokok oleh
KPK.
PERMASALAHAN
KEDUA..birokrasi kita
kinerjanya masih lamban dan belum profesional. Dari data Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi PNS yang profesional
hanya 20 persen. Dat aini merupakan hasil penelitian akademisi yang tergabung
dalam konsorsium beberapa perguruan tinggi.
Meskipun hasil penelitian ini masih merupakan perkiraan, tetapi
minimal menjadi indikasi harus ada perbaikan dalam profesionalitas para PNS
kita. Data ini juga menyampaikan jumlah 20 persen PNS yang profesional itu
didominasi oleh guru dan dosen.
PERMASALAHAN
KETIGA. PNS kita
masih belum mampu memnberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Mengenai
pelayanan PNS kepada masyarakat, ada data yang sangat mengejutkan. Ombudsman
Republik Indonesia melansir, ternyata pelayanan terburuk ditempati Pemerintah
Daerah (Pemda) bersama satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pada tahun 2012
saja lembaga ini menerima tidak kurang dari 2.209 laporan masyarakat yang
mengeluhkan lambannya pelayanan publik.
PERMASALAHAN
KEEMPAT. Pola pikir
dan budaya kerja. Dalam masalah ini salah satu indikasinya adalah belum
mendukungnya birokrasi yang efisien, efektip, dan produktif.
Birokrasi merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan
negara. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan publik, birokrasi juga bertugas
menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik. Di
samping itu, birokrasi juga berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan
berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Dapat dikatakan bahwa birokrasi
merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan.
Negara ini menyadari bahwa pengelolaan pemerintahan tidak
dapat berjalan dengan baik jika tidak dilaksanakan oleh sistem birokrasi yang
baik. Buruknya sistem birokrasi ditandai dengan buruknya pelayanan publik,
rendahnya produktivitas dan kinerja aparatur, serta masalah tingkat Korupsi
(KKN) yang tinggi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Masyarakat sangat mengeluhkan kondisi ini. Masyarakat yang
seharusnya mendapat pelayanan yang baik dari aparat pemerintahan, tetapi tidak
bisa mendapatkannya, kecuali bagi mereka yang mempunyai uang untuk menyogok
agar mendapat pelayanan tersebut.
Tidak hanya masyarakat. Tetapi para pimpinan pemerintahan
juga sering mengeluhkan kondisi ini. Mulai dari pusat sampai pada pimpinan di
daerah. Tidak jarang SBY mengeluhkan kondisi ini. Untuk itulah dari awal
pemerintahannya, SBY merasa perlu untuk terus melakukan reformasi birokrasi.
Tetapi sampai saat ini kita tidak melihat ada kemajuan yang signifikan, serta
tidak jelas maksud dan tujuannya.
Kinerja birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah,
dalam penyelenggaraan pelayanan publik sering mendapat kritik masyarakat luas.
Hal ini memaksa pemerintah pusat dan daerah selaku pemangku kekuasaan untuk
melakukan perbaikan manajemen pelayanan publik.
Bicara mengenai birokrasi di Indonesia selalu jadi sebuah
diskursus yang tidak pernah membosankan. Karena, hingga kini birokrasi di
Indonesia masih problematik dan jauh dari apa yang menjadi harapan. Dengan
semangat reformasi, pemerintah mulai memperbaiki tata pemerintahan dan sistem
birokrasi yang awalnya bersifat sentralistis dan patrimonial menjadi sebuah
sistem yang efektif serta efisien.
Kita sudah banyak mendengar program-program refomasi
birokrasi diterapkan di lingkungan instansi pemerintahan, namun belum juga
membawa hasil, bila tidak ingin disebut stagnan. Padahal reformasi birokrasi
bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan publik adalah harapan rakyat.
Dengan kata lain refomasi di negara ini menjadi tidak bermakna bagi rakyat
selama pelayanan publik tetap mengecewakan.
Bahkan, sebagaimana demokrasi yang tak kunjung memberi
kesejahteraan sosial pada rakyat dan reformasi birokrasi yang tak kunjung
meningkatkan kualitas pelayanan publik, akan membuat pemerintahan kehilangan
kredibilitasnya. Rakyat akan sinis dengan program reformasi birokrasi karena
tidak memberi nilai tambah pada kehidupan.
Yang perlu ditegaskan adalah bahwa reformasi birokrasi
tersebut akan berhasil jika ada perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur,
seperti tindak pidana korupsi dan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur
pemerintahan.
Reformasi birokrasi dikatakan berhasil jika tidak ada lagi
korupsi. Pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional reformasi birokrasi
untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan aparatur pemerintah
yang bersih. Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan aparatur
pemerintahan yang bersih, pemerintah juga telah menetapkan kebijakan nasional
reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi hanya akan berhasil jika ada perubahan
pola pikir dan budaya kerja aparatur.
Dalam aspek politik dan hukum, reformasi birokrasi memang
menjadi isu penting untuk mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan
secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan birokrasi pemerintah Indonesia
telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan
bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah
dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi
yang kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Namun demikian, pemerintahan pascareformasi pun tidak
menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi dapat terealisasi dengan baik.
Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini
cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap
pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan
Indonesia selama ini.
Untuk itulah diperlukan suatu proses reformasi birokrasi.
Birokrasi diharapkan menjadi pelayan masyarakat, abdi negara dan teladan bagi
masyarakat. Namun pada prakteknya, reformasi birokrasi yang bertujuan luhur
tersebut belum sepenuhnya berhasil diterapkan dalam pemerintahan kita.
Walaupun usaha reformasi birokrasi telah dilakukan, ternyata
birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru
sebaliknya inefisien, berbelit-belit, dan banyak aturan formal yang tidak
ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan
pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin
besar dan membesar. Mereka juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat
dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Proses reformasi birokrasi paling tidak membutuhkan empat
langkah fundamental yang menjadi syarat agar proses birokrasi dapat berjalan
dengan baik. Langkah yang pertama
adalah perubahan mindset. Keberadaan birokrasi adalah untuk melayani seluruh
kepentingan rakyat bukan untuk dilayani. Birokrasi harus mampu mempermudah
bukan mempersulit suatu urusan. Jadi mindset yang selama ini berkembang pada
birokrat kita harus dirombak total. Mereka adalah public servant. Mereka harus
memberi pelayan terbaik, mudah, dan cepat kepada rakyat sebagai pemilik sah
republik ini.
Langkah
yang kedua, adalah
reformasi politik. Reformasi politik memang salah satu tujuan dari kemunculan
orde reformasi. Tetapi reformasi politik yang terjadi tidak membawa pengaruh
kepada reformasi birokrasi. Praktik pemerintahan dan birokrasi semakin
diperparah oleh kondisi perpolitikan kita saat ini.
Dalam proses politik terjadi tarik-menarik kepentingan
antara elite-elite yang berkuasa dengan birokrasi, sehingga birokrasi kita
cenderung tidak lagi netral dan teromabang-ambing dalam pusaran perebuatn
kekuasan. Untuk itu perlu dilakukan reformasi politik yang terarah yang
membebaskan birokrasi dalam situasi dilematis. Bagaimanapun aparatur harus
steril dari berbagai kepentingan elite-elite yang yang berkuasa maupun yang
mencari kekuasaan.
Langkah
yang ketiga adalah
reformasi hukum. Reformasi hukum ditujukan agar produk hukum berupa
undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan tidak tumpang tindih satu dengan
yang lainnya serta mampu implementasikan dengan baik dan benar. Kita dapat
memperoleh akuntabilitas dari aparatur yang menjalankan birokrasi sebagai
bentuk pertanggungjawaban kepada bangsa dan rakyat.
Langkah yang keempat adalah desentralisasi kewenangan.
Selama ini para birokrat pada level menengah dan bawah sangat tergantung sekali
pada top level dalam birokrasi. Kondisi ini sangat menghambat kinerja birokrat
tersebut. Setiap pekerjaan yang dilaksanakan harus menunggu petunjuk dan
persetujuan atasan. Dan tak jarang birokrat yang berada top level
mengintervensi pekerjaan bawahannya.
Terakhir dengan adanya desentralisasi kewenangan tersebut
maka setiap tingkatan pada birokrasi mampu melaksanakan tugas sebaik mungkin
sesuai dengan tugas dan kewenangannya, sehinggga mudah dilakukan pengawasan
terhadap akuntabilitas dan profesionalisme dari kinerja para birokrat tersebut.
Jadi proses reformasi birokrasi di Indonesia harusnya dimulai dengan
memperbaiki empat kondisi fundamental tersebut agar proses reformasi birokrasi
dapat mencapai tujuannya.
Permasalahan
birokrasi indonesia bermuara pada ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat.
Hal ini terlihat jelas dalam APBN 2014 yang telah ditetapkan. Jumlah dana perjalanan
dinas para penyelenggara negara mencapai 32 triliun. Kondisi ini sangat ironis
bila dibandingkan dengan alokasi anggaran bantuan untuk rakyat miskin seperti
program perumahan, program penanggulangan kemiskinan antaralain Program
Keluarga Harapan (PKH).
Karena
dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 untuk
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) tahun 2014 hanya sebesar Rp 4,56
triliun. Anggaran perumahan tahun depan tidak mendapatkan penambahan.
Dengan
berbagai macam permasalahan ini solusi yang harus dikedepankan kini adalah
percepatan reformasi birokrasi di segala bidang. Reformasi dalam bidang
birokrasi ini bisa dimulai dengan rekonstruksi birokrasi yang bersih dari KKN
dan jauh dari unsur-unsur politis. Tidak hanya itu kompetensi birokrasi juga
harus kembali digaungkan dengan cara penguatan kemampuan para birokrat agar
lebih profesional dan melayani.
Pada
akhirnya untuk menciptakan birokrasi yang mumpuni tetap bermuara pada
bagaimanan rekrutmen PNS dilakukan. Transparansi dan profesional adalah dua hal
yang Fardu Ain dikedepankan dalam penerimaan PNS. Sudah bukan zamannya lagi ada
kongkalikong, titip menitip dan sogok menyogok bawah meja. Jika sudah dilakukan
rekrutmen PNS yang transparan dan profesional, para PNS yang diterima pun harus
didistribusikan sesuai dengan kebutuhan. Jangan lagi ada penumpukan PNS di
daerah tertentu, atau perkotaan, tetapi di pelosok hanya untuk mencari guru
matematika saja sangat kesulitan.
Jika
rekrutmen telah dilakukan, penempatan telah sesuai dengan kebutuhan, tentunya
ada satu hal Maha penting yang tidak bisa dilepaskan. Yaitu akuntabilias PNS.
Kenapa akuntalibiltas? Karena dengan akuntabilitas para penyelenggara
masyarakat akan semakin percaya kepada penyelenggara negara. Lebih dari itu,
akan ada penyelamatan uang negara.
Demikian
Terima Kasih...
6 comments
Assalamualaikum wr.wb
suka sekali dengan tulisan-tulisan bapak. :)
Salam super dari Mahasiswi unswagati tk.III smst 6.
A.N IIM ROHIMATUN NAHDIYYAH:)
matur nuwun pak.
Assakamualaikum wr.wb
kesimpulan dari tulisan bapak ,
alangkah baiknya apabila pemerintah kita lebih memperhitungkan anggaran belanja pembangunan utk masyarakat yang lebih besar dibandingkan anggaran belanja pegawai,
mengingtat kinerja PNS yang masih jauh dr harapan masyarakat .
:)
-- PUTRI ANGGRAENI SETYAWATI --
111090033
III AN - A
FISIP - UNSWAGATI
Assalamualaikum wr. wb
Dari pemaparan Bapak di atas, memang benar saat ini perekrutan PNS sedang bermasalah. Mereka yang tidak seharusnya ada di posisi tersebut justru menempatinya—tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Sehingga hanya akan membebani anggaran yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat.
Nur Alita Fauziah (111090004)
3 AN – A
FISIP – UNSWAGATI
Assalamualaikum wr.wb
Dari tulisan tersebut memang benar bahwa Indonesia masih diguncang berbagai permasalahan birokrasi yang salah satunya tentang anggaran PNS yang jumlahnya melebihi anggaran pembangunan. Disisi lain, dengan adanya permasalahan seperti ini,pemerintah harus lebih jeli dalam memperhitungkan akan anggaran agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan, sehingga hal tersebut tidak meresahkan dan menimbulkan suatu gejolak anggaran yang seharusnya diberikan pada rakyat.
Okky Pancawati
1-AN C
FISIP UNSWAGATI
Assalamualaikum Wr.Wb.
saya suka sekali dengan tulisan tulisan bapak dan saya sangat setuju dengan bapak :)
salam hangat dari mahasiswa Unswagati Tingkat III semester 6.
*ASEP WARDOYO*
112090035
AN B
FISIP UNSWAGATI CIREBON
Assalamualaikum Wr.Wb
Saya Tri Puji Lestari dari kelas AN C tingkat 1 Unswagati. Melihat dari tulisan yang bapak tulis pada point pertama mengenai masih rendahnya pendidikan pada PNS ternyata benar adanya setelah saya crosscheck pada link tersebut https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1175. Tingginya minat masyarakat akan pekerjaan yang menjamin serta tuntutan ekonomi membuat mereka berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang layak seperti Pegawai Negri Sipil. Karena saat ini sedang dibukanya lowongan cpns, saya kira BKN sudah meningkatkan kualifikasi pendidikan terakhir pada tiap instansi dilihat dari beberapa persyaratan yang hanya menerima gelar doktor atau S3.
Untuk permasalahan pada point kedua sampai keempat saya setuju dengan tulisan bapak, karena sampai sekarangpun saya masih merasakan kurangnya layanan yang diberikan untuk masyarakat
serta lambannya kinerja yang diberikan oleh pemerintah.
Aparatur pemerintahan baiknya meminimalisir penyimpangan, korupsi serta kinerja yang kurang karena sejatinya pemerintah harus memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakakatnya.
Terimakasih.