Jumat, 28 April 2017

Sang Hamba Shaleh Part 9 " Lantunan Dzikir Terakhir"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 9 " Lantunan Dzikir Terakhir"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 8 "Baju Perang"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 7 "Pelajaran Tentang Sebuah Harapan"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 6 "Putra-putra Ruhullah"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 6 "Putra-putra Ruhullah"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 5 "Revolusi Qurani"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 1 "Wasiat Sang Pemimpin"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 2 "Jangan Takut Kepada Amerika"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 3 "Puncak Keimanan"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 4 "Sang Guru Akhlak"

0 komentar

Sang Hamba Shaleh Part 4 "Sang Guru Akhlak"

0 komentar

Memacu Semangat Spiritual di Bulan Rajab

0 komentar

AS Pasok Bahan Kimia untuk Teroris

0 komentar

Rusia Patahkan Kebohongan Amerika Terhadap Iran

0 komentar

Wal 'Ashri (Demi Masa Kemunculan Imam Mahdi afs)

0 komentar

Memacu Semangat Spiritual di Bulan Rajab

0 komentar

Karena Allah dan Rasul-Nya Mencintai Syam

0 komentar

Selasa, 11 April 2017

PENCIPTAAN NUR MUHAMMAD

3 komentar

NUR MUHAMMAD SEBUAH ANALOGI

0 komentar

NUR MUHAMMAD DAN EKSISTENSI TUHAN

0 komentar

EBOOK NUR MUHAMMAD DALAM PEMIKIRAN SUFISTIK DATU ABULUNG

0 komentar

Jumat, 07 April 2017

NUKILAN BUKU ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN KARYA HARIYATMOKO

13 komentar




Nukilan Buku   Etika Politik& Kekuasaan
Karangan             :  Haryatmoko



BAB 1
FILSAFAT POLITIK DAN ETIKA POLITIK DALAM KONSTRUKSI BUDAYA POLITIK

Budaya Politik dan Filsafat Politik
            Budaya politik dalam konteks ini, pertama, mau menekankan aspek normative, kaidah politik, dan terutama pembinaan nilai dan perwujudan cita-cita seperti kesejahteraan umum, keadilan, dan keharuman bangsa. Kedua, budaya politik dimaksudkan sebagai yang mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, dan juga etos bangsa. Dengan demikian aktifitas politik bukan pertama-tama karena kodrat social manusia, melainkan sesuatu yang diusahakan. Jadi budaya politik yang baik adalah apabila politik mampu menjamin prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. (etika politik& kekuasaan; hal 8-9; 2014)
Filsafat Politik Bukan Ilmu Politik
            Ilmu politik mendasarkan pada pengamatan empiris, sedangkan filsafat politik lebih pada suatu penafsiran hakikat politik yang dari definisinya sendiri bersifat hipotesis. Tugas filsafat politik bukan mendeskripsikan fakta, melainkan membangunkan konsep-konsep yang membuat politik semakin dipahami secara lebih dalam. Konsep civil society tidak hanya berhenti pada pengertian yang dikontraskan dengan political society, tetapi syarat dengan makna sejarah dan etika. (etika politik&kekuasaan; hal 9-10; 2014 )
            Dengan kata lain, filsafat politik tidak bias mengabaikan perkembangan ilmu-ilmu politik. Ilmu-ilmu politik memiliki ciri khas deskriptif, analitis, dan penjelasan karena ambisi keilmiahannya, ilmu politik ingin menjangkau ideal sebuah pengetahuan yang objektif dan merepkan prinsip bebas nilai atau netralitas aksiologis ( yang tentu tidak mungkin). Sedangkan filsafat politik lebih reflektif, sintesis, dan menyeluruh sehingga menuntut pengambilan jarak untuk tetap kritis terhadap realitas politik. (etika politik&kekuasaan; hal 10 ; 2014)
            Maka, pendekatan filsafat politik tidak bias lepas dari acuan kesejarah filsafat politik yang sudah berkembang sejak zaman yunani. Pendekatan ini berfungsi sebagai pembanding kritik ideology, kontekstalisasi maupun apa yang disebut oleh Jean Ladriere peran mendasar: “ Filsafat merupakan upaya rasional untuk memahami struktur-struktur dasar pengalaman dan realitas” (etika politik&kekuasaan; hal 11; 2014)
            Filsafat politik merupakan refleksi untuk memperdalam segi-segi politik dan dengan upaya ini kehidupan politik dapat mengungkap struktur-strukturnya, maknanya, dan nilainya. Jadi, filsafat politik tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk merefleksikan munculnya politik, makna, dan nilai kategori politik dalam kehidupan manusia. (etika politik&kekuasaan; hal 11; 2014 )

Filsafat Politik Dan Perkembangan Politik
            Filsafat politik dituntut memahami kebaruan yang berkembang dewasa ini seperti transformasi Negara, demokrasi, kewarganegaraan, kekerasan politik, dan kecenderungan pada primor dialesme. Tuntutan-tuntutan tersebut mencerminkan betapa semakin sulitnya hubungan antara filsafat politik dan politik ini sendiri. (etika politik&kekuasaan; hal 12 ; 2014)
            “Politik” menurut Pierre Bourdieu, “ adalah suatu perjuangan demi gagasan-gagasan, tetapi demi suatu tipe gagasan yang sama sekali khusus yaitu gagasan kekuasaan gagasan yang memberi kekuatan dengan berperan sebagai kekuatan memobilisasi. Sedangkan mobilisasi itu bukan politik itu sendiri, melainkan suatu penguasaan kekuatan yang memungkinkan suatu gagasan masuk kedalam mekanisme politik untuk dapat terwujud. (etika politik&kekuasaan; hal 13 ; 2014)
            Pada tahap teori, yang bekerja ialah landasan filsofis, argumentasi, kejelian analisis, sedangkan pada tahap praktik, menyimpan informasi, aktifitas politik, penggunaan atau penyalahgunaan kekuasaan. Namun pada tahap teori bisa saja terjadi refleksi filosofis partisan. (etika politik&kekuasaan; hal 14; 2014)
Filsafat Politik dan Tuntutan Politik Riil
            Filsafat politik selalu dalam ketegangan antara disatu pihak, tuntutan politik riil yang berarti mendasarkan pada politik deskripsi empiris situasi riil, praktik-praktik politik dan intitusi-institusi politik; dilain pihak, filsafat politik mengacu pada kehidupan politik yang baik ( plato, aristoteles ) kebebasan moral dan politik ( locke dan Rousseau) keadilan ( Rawls, Habermas ) (etika politik&kekuasaan; hal 15; 2014)
Filasafat Politik Sebagai Ungkapan Tanggung Jawab Politik
            Isi tanggung jawab itu ialah pembentukan mereka yang ambil bagian dalam upaya memberi kejelasan, dalam perubahan menjadi warga Negara yang mampu berfikir dan terutama mampu memberikan penilaian politik. (etika politik&kekuasaan; hal 17; 2014)
            Tanggung jawab politik dalam bentuk sumbangan pemikiran yang reflektif ini dengan sangat jeli diperlihatkan oleh Hannah Arendt. Filsafat politik ini mengatakan bahwa tiadanya pemikiran merupakan bentuk kejahatan atau awal dehumanisasi. (etika politik&kekuasaan; hal 18; 2014)
            Kegagalan filsafat politik terletak pada ketidakmampuan mengakui bahwa pencarian kebenaran menuntut perlakuan terhadap yang lain dengan penuh hormat, mengakui yang lain sebagai pribadi moral. Untuk menghindari kegagalan itu filsafat politik dipanggil untuk pengembangan suatu budaya politik  public. (etika politik&kekuasaan; hal 18; 2014)
Filsafat Politik dan Ideologi
            Salahsatu tugas filsafat politik ialah mencoba menjelaskan konsep-konsep prinsip-prinsip, mekanisme dan cara penalaran khas ideology-ideologi politik. (etika politik&kekuasaan; hal 20; 2014 )
            Sebagai perkembangan gagasan ideology yang pertama bisa ditemukan dalam definisi Raymond Aron, pemikir politik Prancis beraliran Kanan. Raymon Aron mendefinisikan ideology dengan dua model. Pertama ideology merupakan system global penfsiran dan tindakan. Kedua ideology disamakan dengan apa yang disebut sebagai agama secular. Dengan istilah agama secular dimaksudkan suatu perumusan semi sistematis tentang suatu visi global dunia nyata, visi yang memberi makna sekaligus pada masa lalu dan sekarang. (etika politik&kekuasaan; hal 21; 2014)
            Konsep umum  ideology mengacu pada suatu ideology kelompok social yang konkret, suatu kelas social, pada saat kita tertarik pada ciri-ciri khas dan susunan struktur menyeluruh jiwa kelompok social itu. (etika politik&kekuasaan; hal 22; 2014)
            ideologi berperan sebagai perantara peristiwa pendirinya dan keberadaannya sekarang dan yang akan datang. Ideologi dianggap sebagai gejala umum pemikiran manusia sebagai suatu pencarian pembentukan gagasan-gagasan dan strukturasi tindakan. (etika politik& kekuasaan : hal 24 ; 2014 )
Mekanisme Ideologi dalam Strukturasi Tindakan Sosial
            Ideologi sangat berperan dalam strukturasi tindakan social. Semua upaya untuk memahami secara sistematis tindakan social tidak bisa lepas dari fenomena ideologi. Oleh karena itu fenomena ideologi mengandaikan suatu kemapanan dan dan adanya suatu system makna yang dapat diperhitungkan. System makna tak bisa lepas dari penafsiran. Jadi, sistematisasi tindakan social merupakan bidang penafsiran. (etika politik&kekuasaan; hal 24; 2014)
            Sifat negative ideologi yang mencolok ialah disimulasi, terutama apabila terkait peran kekuasaan. Jika segi hirarki suatu organisasi social ikut dipertaruhkan, maka kepentingan lalu mendominasi. (etika politik&kekuasaan; hal 27; 2014)
 Tiga Bentuk Pemiskinan Politik
            Pemiskinan politik itu terungkap dalam tiga bentuk; pertama, dalam penafian perdebatan ideologi, diskusi tentang nilai-nilai, dan perdebatan tentang prioritas. Kedua, pemiskinan politik itu terjadi ketika ruang public direduksi menjadi pesar. Politik menjadi area untuk mempertaruhkan kepentingan kelompok dan pribadi serta untuk mendapatkan pengakuan. Ketiga, pemiskinan itu terjadi juga dalam lingkup etika politik. Jika menolak pluralitas dan mempraktikan diskriminasi tentu bertentangan dengan arah yang dibidik oleh etika politik. Itu berarti pelecehan terhadap kebebasan. (etika politik&kekuasaan; hal 30; 2014)
Etika Politik sebagai Titik filsafat Politik
            Pemiskinan politik itu bisa dihadapi apabila filsafat politik mendapat tempat karena dua alasan; pertama, dalam filsafat politik orang tidak hanya berhenti pada cara berfikir monokausal. Orang diajak mencari hakikat politik, meneliti sumber dan dasarnya; menganalisis beragam system politik, yang riil dan yang mungkin; menspesifikasi tujuan-tujuan politik; menentukan kategori-kategori institusional dan rezimnya. Dengan demikian orang diajak kritis, mampu membuat perbandingan dan ditantang membuka alternative sehingga tidak terjerat pada keyakinan ideologis ideologi yang sempit. (etika politik& kekuasaan; hal 30; 2014)
            Alasan kedua terkait dengan etika politik. Eric Weil, yang mengambil posisi bertentangan dengan Machiavelli, mengatakan bahwa filsafat politik merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang Negara. Jadi, perku ditunjukan bahwa filsafat politik beranjak dari moral. Moral sebagai titi tolak filsafat politik menjadi penting karena akan mengetuk nurani. (etika politik& kekuasaan; hal 31; 2014)
            Tampak jelas bahwa filsafat politik mengandaikan tiga hal; pertama, pengambilan jarak dan kritis terhadap realitas politik; kedua, filsafat politik menuntut perspektif tertentu dan pengujian nilai-nilai, termasuk nilai-nilai moral; ketiga, filsafat politik hanya mungkin dalam perbandingan dengan suatu ideal yang melibatkan suatu konsepsi tentang manusia dan tujuannya. Jadi, warna normative filsafat politik sangat kuat. (etika politik&kekuasaan; hal 32; 2014)
Dimensi-Dimensi Etika Politik
Etika politik memiliki tiga dimensi; tujuan, sarana, dan aksi politik itu. Etika politik mengandung aspek individual dan social. Di satu pihak, etika politik sekaligus adalah etika individual dan etika social; etika individual karena membahas  masalah kualitas moral pelaku; etika social karena merefleksikan masalah hukum, tatanan social, dan institusi yang adil. (etika politik& kekuasaan; hal  33; 2014)
Etika politik ini memiliki tiga dimensi, pertama, adalah tujuan politik; kedua, menyangkut masalah pilihan saran; ketiga, berhadapan dengan aksi politik. Yang terakhir ini langsung terkait dengan prilaku politikus. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. (etika politik&kekuasaan; hal 33-34; 2014)
Dimensi etika politik kedua ialah saran yang memungkinkan pencapaian tujuan (polity). Dimensi ini meliputi system dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan Negara dan yang mendasari institusi-institusi social. (etika politik&kekuasaan; hal 35; 2014)
Dimensi ketiga etika politik adalah aksi politik (politics). Dalam dimensi etika ketiga ini pelaku memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku). (etika politik&kekuasaan; hal 37; 2014)
Kesimpulan
            Kalau filsafat politik dan etika politik mau menyumbang konstruksu budaya politik, ada dua kemungkina; aspek normative dan penalaran politik yang benar. Etika politik menunjuk aspek normative budaya politik santun. Pertama, etika politik mengajak untuk berpikir secara kritis dalam arti menempatkan pada posisi oranglain. Kedua, etika politik membantu untuk memberikan penjelasan isi normative yang ditnjukan pleh sejarah, fakta ekonomi, social, atau budaya. Ketiga, etika polituk menguji dan mengkritik legitimitas keputusan politik, institusi, dan praktik politik. Dasar pemikirannya ialah semua tindakan dan praktik kekuasaan membutuhkan legitimasi. (etika politik&kekuasaan; hal 37-38; 2014)

BAB II
KEJAHATAN STRUKTURAL, KEKERASAN TERLEMBAGA, DAN HASRAT MIMESIS
            Kejahatan yang menjadi akibat langsung politik kekuasaan ialan kejahatan structural. Pemahaman kejahatan structural tidak dipisahkan dari tindakan moral. Menimpakan kesalahan dan tanggung jawab, terutama dalam kasus kekerasan terlembaga, tidak mudah. Struktur-struktur yang mendukung kekerasan itu seakan memberi peluang bagi alibi tanggung jawab. Maka, pemahaman hasrat mimesis pelaku dari perspektif Rene Girard akan melengkapi refleksi ini dengan demikian, factor kemarahan, kebencian, dan  balas dendam diperhitungkan dalam memahami kekerasan. (etika politik&kekuasaan; hal 41; 2014)
Tiga Dimensi Tindakan Manusia, Kejahatan Struktual, dan Etika Sosial
            Kejahatan atau keutamaan ditentukan oleh tiga dimensi tindakan manusia. Pertama yang terkait dengan diri subjek pelaku, yaitu masalah kehendak baik atau jahat masalah kebebasan, masalah pengetahuan. Kedua, masalah konteks atau situasi yaitu masalah tempat maupun waktu, termasuk konteks komunitas konteks tindakan dilihat dari tiga dimensi waktu yang lalu sekarang dan yang akan datang. Orang bisa bekerja sama melakukan kejahatan dengan tiga cara. 1. Menjadi pendorong dilakukannya kejahatan. 2. Bekerja sama melakukan kejahatan. 3. Tidak berusaha mencegah atau menghindarkan terjadinya kejahatan. Ketiga adalah masalah tujuan, hasil, resiko, atau konsekuensi. (etika politik&kekuasaan; hal 42-43; 2014 )
            Tiga dimensi sturkturasi yang dominan didalam masyarakat ialah pemaknaan, dominasi, dan legitimasi. Maka kejahatan structural harus dilihat dari kacamata dimensi-dimensi strukturasi tersebut, terutama dari dominasi dan pencarian legitimasi. Interaksi kekuasaan yang akan menghasilkan suatu dominasi sangat dipengaruhi oleh fasilitas yang ada ( ekonomi, budaya, politik, dan ideologi.) (etika politik&kekuasaan; hal 43 ; 2014 )
            Oleh karena itu, struktur-struktur kejahatan itu cenderung semakin kuat, terbesar, dan menjadi sumber kejahatan-kejahatan lain. (etika politik&kekuasaan; hal 46;  2104)
Kekerasaan Terlembaga
            Kejahatan structural yang paling berbahaya ialah yang langsung terkait dengan kekerasaan dan kekerasan yang sulit dibongkar ialah kekerasan psikologis yang dipakai dalam system social politik. Disebut kekerasan yang terlembagakan karena kekerasan ini bukan sekedar Sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau sesaat saja, tetapi didukung oleh bangunan system social dan politik. (etika politik&kekuasaan; hal 54; 2014)
            Dalam kebanyakan Negara-negara dunia ketiga, kekerasan yang dilembagakan ini memakan korban kaum oposan, orang-orang miskin dan tersingkir kelompok minoritas. Kejahatan hanya akan menumbuhkan balas dendam dari penguasa, artinya kekerasan hanya menjadi alat penguasa. (etika politik&kekuasaan; hal 55; 2014)
            Jadi kekerasan dalam konteks ini lahir dari kepahitan-kepahitan yang menumpuk karena dikondisikan dan karena perasaan bersalah oleh kesediaannya, baik sadar atau tidak sadar, digunakan oleh yang lain. Ada tiga macam perasaan yang terselip didalam situasi seperti itu. Pertama, perasaan campur aduk antara perasaan terhina, kebencian, dan permusuhan. Kedua, suatu perasaan tanpa daya untuk mengungkapkan apa yg dirasakan berhadapan dengan struktur yg menindas dan tergoyahkan. Ketiga, suatu pengalaman selalu kembali rasa permusuhan yang tak mampu merealisasikannya. (etika politik&kekuasaan; hal 58; 2014)
Hasrat Mimesis dan Kemarahan
            Kemarahan adalah buta, maka akan dengan mudah ditipu dan dialihkan. Kemarahan akan menyesuaikan sarana apa saja atau kerjasama macam apa saja yang akan membantu untuk melampiaskan balas dendam. (etika politik&kekuasaan; hal 60 ; 2014)
            Kemarahan, perasaan terhina, dan keinginan balas dendam sulit dialihkan kekorban pengganti. Korban penganti itu hanya akan mampu memuaskan hasrat balas dendam itu apabila korban pengganti mempunyai hubungan entah langsung atau tidak dengan objek kemarahan. Jadi mimesis konfliktual tidak akan berakhir didalam korban pengganti. (etika politik&kekuasaan; hal 61; 2014)
            Hasrat dasaryah manusia ialah mimesis (meniru). Mimesis atau meniru yang telah berubah menjadi hasrat untuk memperoleh tidak dapat dihindarkan berubah menjadi mimesis konfliktual. Jadi hasrta itu bersifat metafisik karena berakar pada kekurangan diri subjek dan didasarkan kepada keyakinan bahwa perantara akan menutup kekurangan itu. (etika politik&kekuasaan; hal 62;  2014 )
            Kekerasan merupakan perwujudan kecenderungan mimesis yang alamiah sebagai suatu persaingan melalui perantara yang kemudian menjadi penghalang. Jadi kekerasan adalah bentuk deformasi hasrat atau keinginan. (etika politik&kekuasaan; hal 63; 2014)
Kesimpulan
            Kejahatan structural bukan suatu kejahatan anonym yang tidak bisa ditimpakan tanggung jawabnya kepada pelaku. Ia merupakan kejahatan moral (juga hukum)sebagai akibat dari kejahatan pribadi dan kolektif yang menghasilkan struktur-struktur yang mengondisikan tindakan baik individu maupun kolektif mengarah ke kejahatan. (etika politik&kekuasaan; hal 66; 2014)








BAB III
JANGAN BIARKAN AGAMA MENJADI LANDASAN IDEOLOGI KEKERASAN!
Tiga Peran Agama yang Rentan Kekerasan
            Tiga pemahaman peran agama yang bisa menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan adalah pertama, agama sebagai kerangka penafsiran religious terhadap hubungan social(fungsi ideologis); kedua, agama sebagai factor identitas; ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan social. Pertama, peran agama sebagai ideologi. Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan social. Kedua, agama dalam perannya sebagai factor identitas dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok social tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas social status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos tertentu. Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan social. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, peran agama yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan soial, tetapi suatu tatanan social mendapat dukungan dari agama. (etika politik&kekuasaan; hal 71-72; 2014)
            Peran agama; pertama, kita diajak untuk menyadari agama bukan suatu entitas suci yang tak tersentuh, tetapi menjadi konkret dalam penghayatan pemeluknya dengan institusi, ritus, system ajaran norma, moral, dan pemuka-pemukanya. Kedua, menafisrkan ajaran atau teks kitab suci suatu agama bukan hanya masalah teknis atau normative, melainkan juga diukur dari buahnya, artinya apakah penafsiran itu membawa kita pada pemahaman diri lebih baik. Ketiga, penerimaan pluralitas tidak cukup kalau hanya atas dasar tuntutan realitas; demi keteraturan dan keselarasan hidup bersama. (etika politik&kekuasaan; hal 79-80; 2014)

BAB IV
DEMOKRASI, RADIKALISME, DAN KEKERASAN
Kebebasan Berpendapat dan Kekerasan
            Demokrasi diidentikan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai system politik terancam. Hipotesis ini mau mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti kemampuan komunikasi, menjalankan fungsinya, yaitu menggantikan kekerasan. Oleh karena itu sudah sejak demokrasi yunani kuno, orang mendefinisikan kebebasan berpendapat sebagai wacana yang menjadi sarana utama dan ekslusif bagi tindakan politik. Di Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi saran utama dan eklusif bagi tindakan politik, meskipun demokratisasi terus bergulir. Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. (etika politik&kekuasaan; hal 104; 2014)
            Memang, dengan memberi kebebasan berpendapat bukan berarti bahwa lingkup public bisa dibersihkan dari tindak kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap ada dan akan tetap terjadi bahkan di dalam wicara. Memang benar wicara merupakan alternative terhadap kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternative terhadap kekerasan simbolis yang masih sering terjadi di dalam wacana. (etika politik&kekuasaan; hal 105; 2014)
Terorisme dan Politik Porno
            Terorisme itu sering digunakan untuk mengkualifikasi tindakan musuh, seperti halnya arti ideologi menurut Napoleon. Raja prancis ini mendefinisikan ideologi sebuah pemikiran musuh-musuh politiknya (Jean Baechler, 1976). Demikian pula dianggap teroris oleh Amerika Serikat, bosan diouja sebagai pahlawan oleh pengikut dan simpatisan Osama bin Laden. Tetapi, apapun istilah yang dipakai, siapa pun yang menyebut fakta telah menunjukan telah terjadi kekerasan yang meninggalkan korban. Kebanyakan korban tidak bersalah dan dalam posisi lemah. Mereka adalah korban kekerasan politik. (etika politik&kekuasaan; hal 115; 2014)
Politik Porno dan Kekerasan
            Yves Michaud dalam Violence et Politique (1978) secara sarkastis menyebutkan politik porno semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu. Porno berasal dari bahasa yunani, porneia, yang berarti ‘hal-hal yang tidak senonoh’. Politik porno merupakan manajemen kekerasan sebagai cara yang efisien dan andal. (etika politik&kekuasaan; hal 115; 2014)
            Masuk dalam kategori politik porno ini demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan, untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalnan oleh kelompok tertentu. Politik porno ini mengakibatkan korban yang tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi trauma. Prinsip yang di pegang politik porno ini ialah “tujuan menghalalkan cara”. (etika politik&kekuasaan; hal 116; 2014)
Kesimpulan
            Melihat masih meluasnya penggunaan kekerasan sebagai alat politik, cita-cita demokrasi menjadi lebih riil apabila menekankan kemampuan system politik ini untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai. Untuk tujuan ini, perlu ada koreksi terhadap demokrasi, terutama, pertama, terhadap masalah representavitas. Masalah kedua yaitu yang perlu dikoreksi adalah system representasi yang disamakan dnegan masalah menjual produk. Apabila mekanisme ini yang ditekankan kompetisi kekuasaan yang dilembagakan masih menjadi motivasi utama. (etika politik&kekuasaan; hal 131-132; 2014)






BAB V
STRUKTUR KEJAHATAN KORUPSI DAN TANGGUNG JAWAB
            Konflik antaragama, pertarunfan kekuatan demi kepentingan tertentu, dan kekerasan yang terlembaga membawa akibat adanya korban, kerusakan, atau kerugian yang bisa langsung dilihat. System ekonomi tertentu dan korupsi bisa mempunyai akibat lebih dahsyat tanpa bisa terlihat hubungan langsung sebab akibat karena antara keputusan atau tindakan dan konsekuensi-konsekuensi atau korban ada jarak. Keputusan teknokratis membangun industrri pesawat terbang nurtanio, usaha padat modal yang menguras dana anggaran pendapatan dan belanja Negara dan dianggap tidak berhasil itu, tidak bisa dilihat secara langsung siapa menjadi korban. Dalam kasus korupsi dan kolusi triliunan rupiah oleh konglomerat dan pejabat, dampak yang langsung merugikan rakyat juga tidak langsung terlihat. Maka korban tidak langsung terlihat karena adanya jarak keputusan dan korban. (etika politik&kekuasaan; hal 134-135; 2014)
            Memang hukum penal dengan system individualisasi kesalahan akan mempermudah pembongkaran kejahatan korupsi, tetapi cenderung menjadi proses penunjukan kambing hitam daripada membongkar jaringan kejahatan tersebut. Padahal masalah korupsi selain tanggng jawab moral dan hukum, tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab politik atau politik yang bertanggung jawab dimana praktik-praktik penyelenggaraan Negara diharapkan sesuai dengan etika politik. (etika politik&kekuasaan; hal 135; 2014)
            Etika politik membidik “tujuan hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam institusi-institusi yang adil dan dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan”. Dalam perspektif ini korupsi akan dilihat sebagai bentuk negasi terhadap ketiga unsur etika politik tersebut; pertama, korupsi merusak sendi-sendi penopang “hidup baik bersama dan untuk orang lain…” karena yang dicari adalah kepentingan diri atau kelompok saja. (etika politik&kekuasaan; hal 135; 2014)
            Pertama, korupsi jalan pintas, yaitu dalam kasus-kasusu penggelapan uang Negara, perantara ekonomi,dan politik, sector ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Kedua, korupsi upeti, yaitu bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Ketiga, korupsi kontrak, korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar, masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi pemerasan yang sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira menengah tentara nasional Indonesia atau polisi menjadi manajer human recources department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. (etika politik&kekuasaan; hal 136-137; 2014)
            Orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalis animal laborans (Hannah Arendt,1958) dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi konsumsi sangat dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencaharian utama.sindrom yang menyertai salah satunya adalah korupsi. Hal ini sangat mungkin karena fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (pejabat), dan ideologi (pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang mendorong korupsi itu. Modalitas tersebut sering dianggap sebagai sesuatu yang di peroleh dengan usaha atau suatu prestasi sehingga penggunaanya untuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap wajar. Maka, tidak mengherankan bahwa tidak ada perasaan bersalah. (etika politik&kekuasaan; hal 137; 2014)
Mengapa Koruptor Tidak Merasa Bersalah?
            Salah satu jawaban atas pertanyaan ini adalah karena banyak orang yang melakukannya atau suatu bentuk banalisasi korupsi. Karena banyak orang yang melakukannya dan sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah bisa mengubah yang jahat menjadi baik. Padahal yang sebenarya terjadi ialah bahwa kebiasaan jahat telah membungkan nurani pelaku. (etika politik&kekuasaan; hal 138; 2014)
Kebiasaan akan Membungkam Rasa Bersalah
            Seperti kata Aristoteles, keutamaan dipeerole bukan pertama-tama melalui pengetahuan, melainkan melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik. (etika politik&kekuasaan; hal 138; 2014)
            Kalau orang bisa hidup enak dari korupsi, dan banyak orang melakukannya, tidak perlu lagi berpikir, mengambil jarak, dan mempertanyakan makna dari tindakannya. Dan kiatnya justru “jangan sekali-kali berpikir tentang nilai moral!” kegiatan yang terakhir ini harus melibatkan kesadaran reflektif ( mengambil jarak, kritis, mempertanyakan, dan memberi makna tindakan ) yang merupakan kegiatan yang melelahkan. Apalagi implikasi kesadaran reflektif menuntut perubahan. (etika politik&kekuasaan; hal 139; 2014)
            Dalam upaya mencari pembenaran tindak korupsi ini, kelihatan proses bagaimana para koruptor bisa tidak merasa bersalah. Ada beberapa alasan: kenikmatan lebih besar daripada ancaman rasa sakit; impersonalisasi korban korupsi; mekanisme silih atas kejahatan. (etika politik&kekuasaan; hal 139; 2014)
Nikmat Lebih Besar berkat Impunitas
            Banyak koruptor di Indonesia menikmati impunitas (tiadanya sanksi hukum). Kemungkinan ketahuan sangat kecil karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan. Seandainya tertangkap dan diproses secara hukum besar kemungkinan, lepas dari jerat hukum. Bisa karena aparat penegak hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberi alibi, melemahkan bukti hukum mementahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan. Dalam banyak kasus, proses hukum seperti itu justru berbalik menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi pelaku korupsi. Dengan cara itu koruptor bisa merasa bisa dibebaskan dari beban rasa bersalah. Padahal yang legal tidak sama dengan yang moral. (etika politik&kekuasaan; hal 140; 2014)
Korban Korupsi Tak Berwajah
            Pemberian nama kejahatan kerah putihbsudah meringankan beban, artinya tidak diperlaukan seperti pencuri ayam atau penodong. Istilah kerah putih itu sendiri memberi aroma elite, sebuah eufemisme yang melegakan karena berarti tidak akan dilakukan oleh buruh kasar atau orang yang tak berpendidikan. (etika politik&kekuasaan; hal 140-141; 2014)
            Kalau yang dirugikan Negara, siapa itu Negara? Negara tidak bisa sedih, ia tidak bisa menangis. Kalau yang dirugikan rakyat, siapakah yang dimaksud rakyat? Orang banyak itu tidak punya wajah, berarti sama dengan anonym. Lagi-lagi berhadapan dengan korban anonym Karena yang namanya konsumen itu juga orang banyak. Orang banyak itu tak punya wajah. (etika politik&kekuasaan; hal 141; 2014)
            Kalau korupsi itu dilakukan dengan memeras orang-orang yang menginginkan jabatan tertentu, orang-orang itu akan mendapat untung jauh lebih banyak daripada yang harus dibayarkan. (etika politik&kekuasaan; hal 141; 2014)
            Semua ini gara-gara korban tidak punya wajah alias anonym, tetapi juga karena aparat penegak hukum yang sudah busuk. Jadi sekali lagi perasaan bersalah tidak ada gunanya alias tidak perlu. (etika politik&kekuasaan; hal 142; 2014)
Mekanisme Silih atas Kejahatan
            Dalam kegiatan politik, berkat hasil korupsi, partainya mendapat perolehan kursi wakil rakyat lebih banyak, akan semakin menghapus perasaan bersalah itu. Dana kampanye, biaya menyogok wakil rakyat bisa dipenuhi. Dan pada gilirannya, semakin memperkokoh kekuasaan sehingga terbuka peluang lagi untuk korupsi. Hal hal seperti ini mengacu partai –partai berebut jabatan-jabatan basah untuk mendanai pemilu berikutnya. (etika politik&kekuasaan; hal 142; 2014)
            Koruptor dapat menghilangkan rasa bersalahnya dengan bersembunyi dibalik kepentingan partai atau institusi tertentu. (etika politik&kekuasaan; hal 143; 2014)
            Para koruptor itu merasa di atas hukum. Mereka merasa akan di bela oleh institusi atau organisasi yang memperkerjakan. (etika politik&kekuasaan; hal 143; 2014)
            Ada tiga kesimpulan yang bisa ditarik dari masalah struktur-struktur korupsi ini. Pertama, praktik penyelenggaraan Negara yang sudah menyebar dan menjadi biasa menyebabkan distorsi di dalam pemaknaan perilaku politik, artinya pembedaan yang baik dan yang jahat menjadi kabur. Kedua, masalah impunitas para koruptor mencerminkan betapa lemahnya perangkat hukum, busuknya aparat penegak hukum, dan rendahnya wibawa kekuasaan. Kelemahan itu menunjukan bahwa interaksi social yang terkait dengan masalah sanksi atau moralitas (bdk. A. Giddens, 1986) mengalami kemerosotan sehingga legitimasi tindakan dengan mudah bisa diperoleh melalui rekayasa. Ketiga, campur tangan kekuasaan di dalam lembaga peradulan.  Campur tangan ini dimungkinkan karena fasilitas kekuasaan, yaitu dalam hal penunjukan pejabat-pejabat lembaga peradilan dann aparat hukum, fasilitas ekonomi, masalah dukungan politik (kekuatan tawar). Dengan demikian, legitimasi yang seharusnya ditentukan oleh hukum, norma, atau aturan tertentu menjadi sesuatu yang ditentukan oleh kekuasaan. (etika politik&kekuasaan; hal 145; 2014)
Sebab-sebab Korupsi
            Dari ketiga sudut pandang interaksi social itu, menjadi jelas sebab pertama meluasnya praktik korupsi adalah karena mengabaikan adanya konflik kepentingan. (etika politik&kekuasaan; hal 145; 2014)
            Masih terkait dengan hal menutup mata terhadap konflik kepentingan adalah sebab kedua korupsi yang berasal dari konsentrasi kekuasaan dan tidak efektifnya control. (etika politik&kekuasaan; hal 146; 2014)
            Sebab ketiga korupsi ialah pengambilan keputusan yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat berwenang, yang sebenarnya terjadi banyak keputusan melalui prosedur negoisasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan bidang social dan ekonomi. (etika politik&kekuasaan; hal 146; 2014)
            Titik rawan penyebab korupsi keempat ialah kebutuhan partai-partai politik untuk mendanai pemilu. Partai-partai politik berlomba-lomba dalam kampanye yang menjadi semakin mahal kalau mau memenangkan wakil mereka entah di dalam lembaga legislative maupun eksekutif. (etika politik&kekuasaan; hal 147; 2014)
            Korupsi merupakan masalah yang sudah parah di Indonesia. Bukan hanya masalah mentalitas orang, tetapi juga system social politik yang korup dan ketidakmampuan membangun mekanisme control yang efektif. (etika politik&kekuasaan; hal 147; 2014)
Tanggung Jawab Politik Moral
            Istilah tanggung jawab politik mau menggarisbawahi bahwa korupsi tidak hanya permasalahan hukum, tetapi korupsi di Indonesia sudah menyentuh sendi-sendi tanggung jawab sebagai warga Negara dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain korupsi sudah menghancurkan pilar kehidupan politik yang bertanggung jawab. Politik yang bertanggung jawab adalah politik yang memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuatan. (etika politik&kekuasaan; hal 148; 2014)
Kesulitan Identifikasi Pelaku dan Batas Tanggung Jawab
            Harus diakui dalam masalah korupsi terdapat tiga kesulitan utama; pertama, kesulitan mengidentifikasi yang bertanggung jawab dalam arti pelaku yang mengakibatkan kerugian; kedua, ialah sejauh mana tanggung jawab itu akan meluas baik yang terkait dengan tempat maupun waktu. Ketiga, ialah bagaimana nasib restitusi atau reparasi dalam pertanggungjawaban kalau tidak ada lagi hubungan timbal balik anatara pelaku yang telah merugikan dan korban yang menderita kerugian? (etika politik&kekuasaan; hal 149; 2014)
            Kesulitan identifikasi pelaku tak bisa dilepaskan dari individualisasi hukuman yang merupakan bagian dari system hukum penal. Jadi pertanggungjawaban itu berasal dari sejumlah keputusan individual, yang saling terkait dalam sejumlah campur tangan dan mempunyai makna pada tingkat system yang terlembagakan, mislanya birokrasi, militer, organisasi. (etika politik&kekuasaan; hal 149; 2014)
            Kesulitan kedua ialah bagaimana menghadapi akibat tindakan yang sering tidak dimaksudkan bahkan berlawanan dengan yang dimaksudkan dan tindakan yang tidak bisa diramalkan akibatnya. (etika politik&kekuasaan; hal 150; 2014)
            Kesulitan ketiga ialah bagaimana nasib aspek reparasi atau restitusi dalam pertanggungjawaban? Masalah ini diajukan terutama pada kasus-kasus dimana tidak ada lagi hubungan timbal balik antara pelaku yang merugikan dan korban. (etika politik&kekuasaan; hal 151; 2014)

Kesalahan dan Tanggung Jawab Politik Moral
            Pertama, kesalahan criminal ialah subjek dianggap bersalah karena melanggar hukum positif yang berlakumdalam suatu masyarakat. Individu criminal ini bisa dihadapkan ke pengadilan dan menerima hukuman (retribusi) atau harus membayar ganti rugi (reparasi,restitusi). (etika politik&kekuasaan; hal 152; 2014)
            Kedua, keslahan politik bisa ditimpakan kepada suatu bangsa atau kelompok warga Negara yang menyetujui entah sadar atau tidak (konspirasi atau connvience) tindakan criminal (pembantaian warga yahudi oleh nazi, warga bosnia oleh Serbia, dan korupsi yang menghancurkan suatu bangsa). Ketiga, kesalahan moral bukan pelaku kesalahan yang berhadapan dengan sanksi dan kewajiban untuk reparasi, tetapi pelaku yang bersalah dihadapan pertama-tama pada tanggungjawab terhadap oranglain yang harus menanggung risiko, konsekuensi atau akibat dari tindakanya. (etika politik&kekuasaan; hal 153; 2014)
            Dengan demikian tanggung jawab tidak pertama-tama diarahkan pada penilaian hubungan antara pelaku dan akibat-akibatnya, tetapi meluas pada hubungan antara pelaku dan mereka yang menanggung akibatnya. (etika politik&kekuasaan; hal 154; 2014)
            Keempat, kesalahan metafisik dimana pelaku yang bersalah di hadapkan didepan tuhan dan mengaku betapa ia telah di abaikan solidaritas total (dosa). Untuk menutupi masalah ino, para koruptor menyumbangkan sebagian hasil korupsi untuk pembangunan rumah ibadat, atau melakukam ziarah ke tempat-tempat kudus. (etika politik&kekuasaan; hal 155; 2014)

Kesimpulan
            Kejahatan structural dikondisikan atau dipicu oleh keputusan atau aturan-aturan. Ia juga dipicu oleh perangkat perubahan hubungan-hubungan yang diorganisasi sebagai milik dari system-sistem social. Dua pemicu kejahatan structural ini juga menjadi factor pendorong korupsi. Etika politik berfungsi memantapkan struktur-struktur social politik itu agar pengorganisasian hidup bersama semakin rasional, artinya sesuai dengan moral. Korupsi merupakan bentuk negasi terhadap etika politik. Etika politik dipahami sebagai upaya untuk hidup baik bersama dan untuk orang laim dalam kerangka memperluas kebebasan dan menciptakan institusi yang adil. Pertama, koru[si merusak sendi-sendi penopang hidup baik bersama orang laim karena hanya kepentingan pribadi atau kelompok yang diutamakan. Kedua, korupsi menghalangi upaya membangun institusi-institusi yang adil karena pada dasarnya korupsi adalah wujug ketidakadilan dan beroperasi melawan perwujudan kesejahteraan bersama. (etika politik&kekuasaan; hal 161; 2014)




BAB VI
MEMBANGUN BUDAYA POLITIK DAN MEMBANGKITKAN INGATAN SOSIAL

Obsesi Siklus Produksi Konsumsi Pasar Menghalangi Penerimaan Pluralitas
            Bertitik tolak dari tiga kegiatan dasariah manusia; kerja, karya, dan aksi politik, pemahaman tentang pluralitas mendapatkan penjelasanya. Kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Seperti binatang manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah untuk hidup. Maka manusia pada tingkat ini disebut animal laborans (binatang yang bekerja), yang mengonsentrasikan diri pada eksistensinya, artinya fokusnya masih pada tubuh dan kodrat biologisnya. “ bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup, dan perbudakan ini melekat pada kondisi kehidupan manusia”. (etika politik&kekuasaan; hal 173; 2014)
            Sedangkan melalui karya, manusia menghasilkan objek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari ketertundukan binatang. Maka, manusia disebut homo faber (manusia yang mencipta). Sebagai homo faber manusia menciptakan objek yang berguna untuk dunia agar pantas bagi habitat manusia. (etika politik&kekuasaan; hal 174; 2014)
            Apa makna perbedaan kerja dan karya? Kerja merupakan pengalaman yang sama bagi semua orang agar bisa hidup. Tidak ada karya tanpa kerja. Karya mengandaikan kerja, kerja mengharapkan bisa menjadi karya sebagai ungkapan khas manusia. (etika politik&kekuasaan; hal 175; 2014)
Aksi Politik Membangun Ruang Publik Menuju Politik Santun
            Konsep aksi politik tidak bisa dilepaskan dari konsep ruang public. Ruang public terdiri dari dua dimens; pertama, ialah ruang kebebasan politik dan kesamaan. Kedua ialah dunia bersama, maksudnya semua bentuk institusi dan lingkup yang memberi konteks permanen bagi kegiatan warga Negara. (etika politik&kekuasaan; hal 176; 2014)
            Ada saling keterkaitan antara ruang public, pluralitas dan aksi politikseperti dikatakan Hannah Arendt;” aksi politik merupakan satu satunya aktivitas yang menghubungkan secara langsung antar manusia tanpa perantara objek maupun materi. (etika politik&kekuasaan; hal 177; 2014)
Ingatan Sosial: Mencegah Terulangnya Kekerasan?
            Istilah ingatam social merupakan pilihan yang disengaja daripada ingatan kolektif. Kedua istilah ini dipakai oleh sosiolog Prancis, Maurice Halbwachs (1877-1945). Pada tahun 1950 diterbitkan post-hume bukunya dengan judul La Memoire Collective (ingatan kolektif). Pemikiran tentang ingatan ini bagi Halbwachs dalam Les Cadres Sociauax merupakan perjuangan politik dan epistemology melawan Bergson dimana ia di mengumumkan suatu rasionalisme baru, suatu teori baru tentang kemajuan yang sekaligus psikologi dan politik. (etika politik&kekuasaan; hal 188; 2014)
            Ingatan social adalah abadi, sementara sekarang (sejarah) hanya berlangsung pada suatu saat sebagai ingatan kolektif. (etika politik&kekuasaan; hal 189; 2014)
            Ingatan social menjadi actual untuk dibahas di Indonesia dewasa ini karena kekerasan dan pembunuhan masal yang selalu terulang. Orang mulai curiga jangan-jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematis untuk mengubur ingatan social. Korban pun sulit mendapat pengakuan sebagai korban, bahkan mengalami viktimisasi kedua. (etika politik&kekuasaan; hal 189; 2014)
Bangsa Tanpa Ingatan Sosial, Bangsa Tanpa Masa Depan
            Mengapa perlu ingatan social? Jawabannya sederhana, yaitu untuk bertindak lebih bijaksana dan lebih hati-hati. Menghidupkan ingatan social berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulang kekeliruan masa lampau yang tragis, yang masih menghantui dan melukai ingatan social. Bangsa yang tanpa ingatan social adalah bangsa tanpa masa depan. (etika politik&kekuasaan; hal 190; 2014)
Menata Kembali Ingatan Sosial
            Untuk menata kembali ingatan social, upaya yang dilakukan tidak sekadar meluruskan atau mengoreksi sejarah dengan menulis kembali secara benar, tetapi harus di arahkan untuk menata kembali infrastruktur ingatan social atau sejarah. Pertama, hukum dan masyarakat sekarang ini harus mengakui adanya pelaku kejahatan dan korban kejahatan pada masa lalu. Kedua, keadilan harus ditegakan yaitu dengan dilaksanakan sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan dan restitusi (pemulihan) serta rehabilitas terhdapa korban. Ketiga, pengampunan jangan mengaburkan kepastian hukum dan tidak bisa diberikan atas nama korban. (etika politik&kekuasaan; hal 192; 2014)
            Membangun ingatan social adalah untuk memberi pembenaran akan harapan. Harapan bahwa hari esok akan lebih baik, bahwa kekejian, kekerasan, dan ketidakadilan itu tidak akan terulang. (etika politik&kekuasaan; hal 193; 2014)
Ingatan Sosial dan Syarat-syarat Rekonsiliasi
            Diangkatnya kasus pelanggaran HAM, sesudah penentuan pendapat di Timor Timur menimbulkan polemic pro dan kontra. Lepas dari kontroversi tersebut, apabila proses peradilan ini berjalan fair, Indonesia akan menggoreskan sejarah baru bagi perjuangan HAM, terutama dalam upaya klarifikasi sejarah gelap pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu. (etika politik&kekuasaan; hal 194; 2014)
            Dalam kasus pelanggaran HAM, terungkap implikasi hukum dan lahirnya social memory. Pertama, implikasi hukum; petinggi TNI atau polri tidak bisa lagi mengelak atas tanggungjawabnya terhadap pelanggaran HAM di wilayahnya; kerusuhan, perusakan, penganiayaan, pembunuhan. Kelambanan, omisi, instigasi, membiarkan pelanggaran HAM terjadi, atau bahkan konspirasi, merupakan tuduhan yang bisa dikenakan kepada penguasa. Dengan deikian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, peristiwa 27 Juli, 13-14 Mei 1998, Ambon, Mataram, menuntut pertanggungjawaban panglima kodam atau kepala polda dan atasan mereka saat kejadian tersebut. Kedua, lahirnya social memory (ingatan social). Kalau individual memory bisa lenyap bersama dengan kematian seseorang, social memory masih akan tetap hidup meskipun orang-orangnya sudah meninggal. (etika politik&kekuasaan; hal 195; 2014)
            Dalam rangka menghidupkan social memory, berbagai satuan tugas dibentuk untuk mengejar para algojo, mencari keadilan, mengadakan refleksi yang mendalam tentang penganiayaan dan pembunuhan terhadap orang yahudi. Tujuan utama adalah pemulihan korban dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. (etika politik&kekuasaan; hal 196; 2014)
            Ada empat syarat agar social memory bisa menunjukan vitalitasnya dan rekonsiliasi semakin menemukan maknanya: pertama, hukum dan masyarakat mengakui adanya pelaku kejahatan dan korban kejahatan; kedua, keadilan harus ditegakkan, berarti dilaksanakannya retribusi (sanksi hukum) terhadap pelaku kejahatan dan restitusi (pemulihan) terhadap korban; ketiga, pemisahan antara pengampunan dan kepastian hukum; keempat, bila hukum positif yang berlaku tidak memiliki pasal-pasal yang mnegatur memberi sanksi pelanggaran HAM itu, penyelesainnya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil). (etika politik&kekuasaan; hal 196-197; 2014)

BAB VII
HUKUM, MORAL, DAN ETIKA POLITIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

Perbedaan Moral dan Etika
Konsep “moral” sering digunakan sinonim dnegan “etika”. Aristoteles di dalam uraian teorinya tentang moral menggunakan istilah ethe (bahasa yunani) yang berarti baik buruknya suatu sifat (kejahatan dan keutamaan). Dalam bahasa latin, kata yunani ethikos diterjemahkan menjadi mores yang berarti kebiasaan. Istilah itu kemudian berubah arti dalam buku Aristoteles, ethique a Nicomaque, karena selain kata ethos yang berarti “kualitas suatu sifat” digunakan juga istilah “etos” yang berarti kebiasaa. Makna istilah ini sebetulnya sangat kaya; “etos” berarti suatu cara berpikir dan merasakan, suatu cara bertindak dan bertingksh lsku ysng memberi ciri khas kepemilikan sesorang terhadap kelompok sekaligus merupakan tugas. (etika politik&kekuasaan; hal 205; 2014)
Jadi “moral” merupakan wacana normative dan imperative yang diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transeden, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban kita. Jadi, kata “moral” mengacu pada baik buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya dan cara mengungkapkanya. (etika politik&kekuasaan; hal 205; 2014)
Etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Jadi, etika lebih merupakan wacana normative, tetapi tidak selalu harus imperative, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai relative. (etika politik&kekuasaan; hal 206; 2014)
Pendekatan Paul Ricoeur terhadap penggunaan istilah “moral” dan “etika” memberi nuansa baru. Dia mengaitkan kedua istilah tersebut pada dua tradisi pemikiran filsafat yang berbeda. Istilah “moral” dikaitkan dengan tradisi pemikiran filosofis Immanuel Kant (segi pandang deontdogis). Moral mengacu pada kewajiban, norma, prinsip bertindak, suatu imperaktif (katagoris= aturan atau norma yang berasal dari akal budi yang mengacu pada dirinya sendiri sebagai keharusan). Sedangkan “etika” dikaitkan dengan tradisipemikiran filosofis Aristoteles yang lebih bersifat teledogis (dikaitkan dengan finalitas atau tujuan). Pembedaan moral dan etika ini untuk lebih menajamkan refleksi hubungan moral dan hukum serta menempatkan posisi etika politik. Maka, masalahnya bukan pertama-tama hubungan etika dan hukum,, tetapi moral dan hukum. (etika politik&kekuasaan; hal  206; 2014)
Bagaimana “De Facto” Hkum Berfungsi?
            “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”, kata Trasymachus. Pernyataan ini diungkapkan dalam konteks perdebatan dengan Socrates mengenai masalah keadilan yang ditulis oleh Plato dalam The Republic. Trasymachus berpendapat bahwa “keadilan adalah yang menguntungkan bagi yang lebih kuat.” Pandangan ini bertitik tolak dari definisi “adil” adalah yang sesuai dengan hukum atau sesuai dengan yang di anjurkan oleh kebiasaan dan hukum di dalam Polis (Negara kota). (etika politik&kekuasaan; hal 207; 2014)
            Hukum adalah nama yang diberikan a postereori oleh penguasa pada kelupaan atas asal-usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik, kekuatan menentukan sedangkan moralitas tidak berdaya. (etika politik&kekuasaan; hal 2017; 2014)
            Ketiga kandungan hukum dari zaman yang berbeda itu mengisyaratkan dominasi positivisme hukum dan bagaimana de facto hukum berfungsi. Pertama, dari pandangan trasymachus dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan kendaraan untuk kepentinga-kepentingan mereka yang kuat. Kedua, pendapat Machiavelli memperlihatkan bahwa hukm tidak lain kecuali alat legitimasi kekuatan dan dalam arti tertentu menjadi alat pembenaran kekerasan. Ketiga, perspektif Hobbes menunjukan bahwa hukum tak berdaya bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah. (etika politik&kekuasaan; hal 208; 2014)
Masalah Filosofis Paling Kontroversial: Sumber Hukum?
            Persoalannya menjadi rentan konflik ketika sudah menyangkut sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum dipahami dalam beberapa pengertian. Pertama, sumber hukum sebagai asal usul hukum, asal usul teknis yuridis, seperti dari mana datangnya hukum, pengalaman yuridis macam apa yang kita ketahui di dalam masyarakat. Pengertian kedua adalah asal usul teknis yuridis bukan dalam arti sejarawi, tetapi dasar-dasar metafisiknya, misalnya apa yang memberi pembenaran adanya hukum dalam masyarakat? Kehendak tuha, hukum kodrat, dan kesejahteraan umum? Ketiga, sumber hukum sebagai isi normative dari hukum yang beralku, berbagai norma hkum yang membentuknya. (etika politik&kekuasaan; hal 209; 2014)
Lima Pola Hubungan Moral dan Hukum
            Ada lima pola hubungan moralhukum yang bisa di bagi dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang memengaruhi hukum. Moral tidak lain hanyalah bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri universalitas. Misalnya “hendaklah hukum bersifat adil!” atau “jangan merugikan orang lain!” sebagai bentuk, rumusan moral semacam itu belum mempunyai isi, maksudnya bagaimana hukum yang adil itu belum dirumuskan. (etika politik&kekuasaan; hal 210; 2014)
            Pertama, moral dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan social politik, kesejahteraan bersama dan keadilan social. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apapun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal tersebut. (etika politik&kekuasaan; hal 211; 2014)
            Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain melalui kondifikasi hukum positif yang berlaku, sanggup memberikan bentuk moral dan eksistensi kolektif. (etika politik&kekuasaan; hal 212; 2014)
            Pola ketiga adalah voluntaries moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna; dilain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang tresenden yang tidak dapat dirreduksi ke dalam hukum dan politik. Pola keempat, moral Nampak sebagai diluar politik. Dimensi moral menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan tertentu. (etika politik&kekuasaan; hal  213; 2014)
            Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan dalam sejarah seperti partai politik, organisasi buruh, militer yang masuk ke kekuasaan. Kekuataan ini adalah tidakan kolektif yang berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk tindakan. (etika politik&kekuasaan; hal 214; 2014)
Prinsip-prinsip agar Tujuan Hukum Dijamin
            Apa pun pola yang di pakai, kecuali revolusi puritan, tujuan hukum (keadilan, kesejahteraan umum, perlindungan individu, solidaitas) perlu menjadi kriteria utama. Maka, beberapa prinsip akan membantu agar finalitas hukum itu tercapai. Pertama, adanya political will untuk mengubah orientasi politik yang sangat bias kepada Negara menuju ke politik yang memihak warga Negara. Tolak ukur keberhasilan politik semacam ini ialah pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya dari warga Negara. Kedua, keadilan procedural perlu menjadi orientasi utama. Keadilan procedural adalah hasil persetujuan melalu prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum dan undang-undang. Jadi procedural ini terkait dengan legitimasi. (etika politik&kekuasaan; hal 217-218; 2014)
Kebangsaan, Partikularisme Agama, dan Etika
            Partikularisme yang dimaksud adalah Mohammad Hatta yang tumbuh besar dengan patriotismenya berkat pendidikanya dan keislamannya; Dr. Radjiman Wedyodiningrat berkat lingkungan priayi dan kejawean; Kasimo berkat imam katoliknya. Jadi, nation merupakan buah dari tingkat kesadaran moral maju yang telah mengatasi ikatan-ikatan primordial. Dengan menggunakan istilah L. Kohlberg, kesadaran semacam itu masuk dalam tingkat post-adat, artinya keputusan-keputusan moral merupakan hasil dari hak-hak, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang dapat mengantar konsesus dari anggota-anggota masyarakat. (etika politik&kekuasaan; hal 221; 2014)

Kekhasan Etika Politik
            Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik ini membantu untuk menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada.pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan; pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain..; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..; ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. (etika politik&kekuasaan; hal 224; 2014)
            Dalam etika politik, yang merupakan etika social, untuk dapat mewujdukan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan symbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur social, politik, ekonomi, dan budaya yang mengondisikan tindakan kolektif. (etika politik&kekuasaan; hal 225; 2014)
Etika Politik Versus Machiavellisme
            Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga Negara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. (etika politik&kekuasaan; hal 225; 2014)
Etika Politik dan “Politik Riil”
            Realisme politik akan memisahkan politik dari etika,. Kalau yang riil adalah identic dengan yang rasional, maka yang terjadi adalah seperti “dilemma dua narapidana” tersebut: pertama, bertindak rasional adalah apabila tujuan tindakan di arahkan untuk kepentingan diri atau kelompok, maka saranya harus di sesuaikan dengan tujuan tersebut; kedua, keberhasilan strateginya tergantung dari strategi yang digunakan lawannya. Dalam situasi seperti ini, masyarakat dipandang bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum, melainkan terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. (etika politik&kekuasaan; hal 228; 2014)
“Civil Society” dan Prinsip Subsidiaritas
            Civil society tidak bisa dilepaskan dari mekanisme control tersebut. Bagi John Locke, civil society adalah lingkup asosiasi politik yang dibedakan dari tatanan kodrat yang diatur oleh tuhan atau oleh raja. Manusia menjadi anggota civil society melalui persetujuan bersama dan kontrak. Jadi, bagi filsuf ini, civil society dan masyarakat politik adalah satu dan sama. (etika politik&kekuasaan; hal 230; 2014)
            Hegel mengabaikan paradigm klasik civil society sebagai representasi social. Dia membedakan antara masyarakat politik dan civil society:masyarakat politik adalah bidang Negara dan civil society adalah lingkup hubungan-hubungan pasar atau dunia pertukaran di antara individu-individu yang bertransaksi secara mandiri. Dalam pemikiran Hegel, civil society merasuk diri di dalam Negara universal. Hegel meandang civil society sebagai lingkup dari yang duniawi, arena masalah-masalah sipil dan manusia, yang selalu dalam konflik yang berkepanjangan dengan dirinya sendiri. (etika politik&kekuasaan; hal 230; 2014)
            Dari kesulitan ini, Jean L.Cohen, dan Andrew Arato, penulis buku Civil Society and Political Teory, mendefinisikan civil society sebagai “sebuah lingkup interaksi soial antara ekonomi dan Negara, yang pertama-tama teridiri dari lingkup intim (khususnya keluarga), lingkup asosiasi (khususnya asosiasi-asosiasi sukarela), gerakan-gerakan social (LSM-LSM), dan bentuk-bentuk komunikasi public lainnya”. 1. Civil society tumbuh berkembang melalui pembentukan diri dan mobilisasi diri atau pemberdayaan diri. Kemudian di lembagakan melalui hukum, dan khususnya melalui hak-hak subjektif. Tetapi, civil society harus dibedakan dengan masyarakat politik, lembaga-lembaga politik, partai-partai politik, organisasi-organisasi politik, dan sebagainya, dan dengan masyarakat ekonomi yang terdiri dari organisasi-organisasi produksi dan distribusi. (etika politik&kekuasaan; hal 232; 2014)
            Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan Negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian ekonomi global dari cengkraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. (etika politik&kekuasaan; hal 232-233; 2014)

BAB VIII
POLITIK KEKUASAAN, TUBUH, DAN KEPATUHAN
Orisinalitas Konsep Kekuasaan: Situasi Strategis dalam Masyarakat
            Menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksanakan bukan pertama-tama melalui kekerasan atau dari hasil persetujuan (Hobbes, Locke), melainkan seluruh struktur tindakan yang menekandan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi, atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Akan tetapi tentang kekuasaan ini Foucault mengatakan, “tentu saja harus menjadi nominalis: kekeuasaan bukan suatu institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat… kekuasaan ada dimana-mana; bukannya bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana”. (etika politik&kekuasaan; hal 238-239; 2014)
            Beragam dan tersebarnya hubungan-hubungan kekuasaan itu tampak jelas ketika ia berbicara tentang seksualitas dalam kerangka strategis kekuasaan karena ia menempatkannya dalam bingkai “hubungan-hubungan kekuasaan: antara laki-laki/perempuan, anak muda/ orang dewasa, orangtua/anak, pendidik/murid, pemuka agama/ umat, pemerintah/ penduduk”. (etika politik&kekuasaan; hal 239; 2014)
            Beragamnya hubungan menandai kekuasaan, bukan fungsi dominan satu kelas. Foucault menggarisbawahi bahwa kekuasaan “harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada banyak bidang dan organisasinya. Permainanya akan mengubah, memperkuat, membalikan hubunga-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus-menerus. (etika politik&kekuasaan; hal 240; 2014)
Tujuan dan Sasaran Kekuasaan: Tubuh dan Kepatuhan
            Pada akhir bukunya, Surveiller et Punir (1975), Foucault mengatakan bahwa “ kekuasaa yang menormalisasi “ tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme social yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan dan kesejahteraan. Jadi, seperti halnya dipenjara, tujuan kekuasaan dalam masyarakat modern ialah membentuk individu yang berdisplin agar menjadi tenaga yang produktif. (etika politik&kekuasaan; hal 243; 2014)
            Dalam sejarah seksualitas, tujuan kekuasaan itu sangat memberi warna dominan. Menganalisis sejarah seksualitas sebetulnya merupakan cara untuk memahami bagaiman dengan memaksakan norma-norma moral, kekuasaan ingin mendapatkan tenaga produktif, memudahkan distribusi kekayaan, dan mendapatkan kepatuhan dari seluruh tubuh social. (etika politik&kekuasaan; hal 244; 2014)
            Tujuan dan sasaran kekuasaan itu bukan oleh individu atau satu kelas, melainkan dalam bentuk anonym. Maka dalam kerangka tujuan dan sasaran inilah, hubungan kekuasaan bisa lebih mudah dipahami, bukan dalam bentuk kausalitas. (etika politik&kekuasaan; hal 245; 2014)
            Tujuan lain kekuasaan ialah memberi struktur-struktur kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat. Orang hanya bisa ambil bagian atau menderita kekuasaan melalui jaringan-jaringan atau gugusan-gugusan kekuasaan local yang tersebar (micro-pouvoirs), seperti keluarga, sekolah, barak militer, pabrik, penjara, dan asrama. Dari situ kelihatan bahwa kekuasaan memberi struktur kegiatan-kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. (etika politik&kekuasaan; hal 246; 2014)
Kekuasaan-Pengetahuan; Pengetahuan adalah Politik
            Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. (etika politik&kekuasaan; hal 247; 2014)
            Semua pengetahuan adalah politik karena syarat-syarat kemungkinannya bersumber pada hubungan-hubungan kekuasaan. Anatomi politik menunjukan bahwa teknik kekuasaan, produksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama. Anatomi politik itu tidak menciptakan pengetahuan, tetapi menunjukan genealogi. (etika politik&kekuasaan; hal 248; 2014)
            Objek dan sasaran kekuasaan disipliner agama paling utama adalah seksualitas. Cara berpakaian, wacana, sampai ritus diarahkan untuk mengontrol perilaku agar hanya pasangan suami istri yang mempunyai akses. Penyeragaman cara berpaikaian membuahkan identitas yang jelas dan memudahkan pengawasan. (etika politik&kekuasaan; hal 253; 2014)




Panoptisme: Teknologi dan Mekanisme Kekuasaan
            Untuk mencapai tujuan atau sasarannya, kekuasaan menggunakan teknik dan mekanisme tertentu; disiplin, norma pengelompokan identitas, penyeragaman, dan pengawasan. (etika politik&kekuasaan; hal 253; 2014)
            Dengan metode panoptic, pengawasan bisa menyeluruh, total, dan penegakan disiplin bisa terlaksanakan dengan lebih mudah. Inti mekanisme panoptic itu terletak dalam bentuk arsitekturnya. Dipinggir terdapat bangunan melingkar yang merupakan sel-sel tahanan dengan dua jendela terbuka yang diperkuat oleh jeruji besi; yang satu mengarah ke dalam sehingga terlihat jelas dari menara pengawas yang terletak ditengah lingkaran bangunan itu. Jendela terbuka lainnya diarahkan keluar supaya sinar menerangi sel. Dengan demikian, bukan hanya siluet narapidana yang kelihatan, melainkan seluruh gerak-geriknya terpantau jelas. Narapidana tidak tahu siapa atau berapa yang megawasi. Mereka hanya tahu bahwa dirinya di awasi. (etika politik&kekuasaan; hal 255; 2014)
            Efek dari sitem panoptic ini menyebabkan pada diri narapidana suatu kesadaran selalu dalam pengawasan atau dalam situasi terlihat secara permanen. Panoptic merupakan bentuk pengawasan yang memungkinkan untuk memperoleh ketaatan dan keteraturan dengan meminimalkan tindakan-tindakan yang sulit diperhitungkan atau tidak bisa diramalkan. Akibat utama system panoptic; membawa narapidana dalam situasi sadar dan secara permanen terlihat yang menjamin berfungsinya kekuasaan secara otomatis. (etika politik&kekuasaan; hal 255; 2014)
            Ada tiga tujuan pembentukan masyarakat disipliner melalui system panoptic ini; pertama, membuat pelaksaan kekuasaan lebih murah dari segi ekonomi; kedua, dari segi politik merupakan bentuk control yang tidak kelihatan; ketiga, memaksimalkan manfaat sarana pedagogi, militer industri, sehingga meningkatkan kepatuhan dan kegunaan seluruh unsur system. (etika politik&kekuasaan; hal 256-257; 2014)
Kekuasaan-Pengetahuan; Kebenaran Tidak Ada di Luar Kekuasaan?
            Tiga contoh menggambarkan hubungan kekuasaan-pengetahuan dan rezim kebenaran; wacana ekonomi, masyarakat madani, serta jender, dan dialog antaragama. (etika politik&kekuasaan; hal 259; 2014)
            Ilmu eknomi adalah primadona. Dominanya wacana ekonomi menunjukan bukan hanya bahwa pengetahuan merupakan bentuk kekuasaan, melainkan kekuasaan menetukan apakah pengetahuan dapat diterapkan dan dalam kondisi macam apa. Pengetahuan tak terpisahkan dari kekuasaan, bukan karena pengetahuan memiliki otoritas kebenaran, melainkan pengetahuan memiliki kekuasaan yang bisa mengklaim dirinya benar. (etika politik&kekuasaan; hal 259; 2014)
            Pengetahuan juga bisa diterapkan karena kekuasaan. Contoh menarik adalah wacana tentang civil society. Di Indonesia, Cak Nur (Nurcgolish Madjid) mengintrodusi istilah masyarakat madani sebagai padanannya. Konsep masyarakat madani itu menjadi model acuan wacana tentang “lingkup interaksi social antara ekonomi dan Negara yang terdiri dari lingkup intim (keluarga), lingkup asosiasi sukarela, gerakan-gerakan social (LSM), dan bentuk-bentuk komunikasi public lainnya” (Cohen & Arato, 1992). (etika politik&kekuasaan; hal 260; 2014)
            Disiplin dan norma menjadi konsep kunci untuk memahami teknik kekuasaan. Teknik kekuasaan membidik kepatuhan. Salah satu cara mengatur atau mendisiplinkan tubuh dan masyarakat itu adalah melalui pengawasan. Foucault mengacu pada panoptikon. (etika politik&kekuasaan; hal 261; 2014)
KESIMPULAN DAN PERMASALAHAN PERSPEKTIF EKONOMI
            Etika politik, menurut Paul Ricoeur, mau membidik hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi-institusi yan lebih adil ( menurut Eric weil, titik tolak refleksi filsafat politik adalah etika politik). Kualitas moral pelaku merupakan factor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku, sedangkan isntitusi menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku. Maka, etika politik juga merefleksikan masalah hukum, tatanan social, dan institusi yang adil. Maka penjelasan filsafat politik dan perbedaannya dengan ilmu-ilmu politik dan ideologi dimaksudkan untuk menekankan fungsi reflektif dan kritisnya (Bab I)reflektif karena filsafat politik merupakan upaya rasional untuk memahami struktur-struktur dasar pengalaman dan realita politik. Ia menentukan cara pandang tertentu, menuntut suatu penilaian, melalu penjelasan sebuah ideal yang mengandaikan konsepsi tentang manusia dan tujuannya. Maka, pendekatan ini berfungsi sebagai pembanding, kritik ideologi, konsektualisasi. Pembanding karena membandingkan realitas politik yang ada dengan model-model pemikiran yang berkembang dalam sejarah pemikiran. Kritis karena menguji legitimasi keputusan-keputusan politik, institusi-institusi, dan praktik-praktik kekuasaan. Konsektualisasi karena relevansi etika politik harus digali berhadapan dengan politik riil. Relevansi ini ditentukan oleh cara pemahaman konsep kekuasaan. (etika politik&kekuasaan; hal 264-265; 2014)
            Karena etika mulai dengan suatu indignation (tidak menerima dan protes terhadap ketidakadilan), penting memulai refleksi etika politik dengan membongkar bentuk-bentuk ketidakadilan: kejahatan structural, kekerasan terlembaga, dan politik yang di warnai oleh kemarahan dan balas dendam (Bab II). (etika politik&kekuasaan; hal 265; 2014)
            Teknik kekuasaan itu cenderung tergoda untuk merekayasa tiga factor agama yang rentan kekerasan, yaitu pertama, factor identitas; kedua, agama sebagai kerangka penfsiran hubungan social (ideologis); dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan social (Bab III). Dalam pemahaman ini, kekuasaan agama lebih menonjol dalam peran menyembunyikan tujuan dan kepentingan ketika akhirnya masalah pengaruh, kepentingan politik atau ekonomi yang dipertaruhkan. (etika politik&kekuasaan; hal 266; 2014)
            Bentuk hubungan kekuasaan dan etika politik yang ketiga ialah konflik. Dua hal itu tidak bisa dipersatukan dan saling menafikan (Machiavelli). Tekanan lebih memihak kepada kekuasaan. Bagi Machiavelli politik yang baik pertama-tama adalah politik yang bisa mencapai tujuannya dengan tidak harus bisa dibenarkan secara moral, meskipun diakuinya bahwa keberhasilan tidak akan mengubah kejahatan menjadi kebaikan. Dalam koteks ini kekuasaan haidr dengan segala caranya untuk mencapai tujuan. Kekerasan, terorisme, radikalisme, demagogi mengincar kerentanan demokrasi untuk menghambat perjuangan menegakan politik yang etis (Bab IV). (etika politik&kekuasaan; hal 266-267; 2014)
            Bentuk interaksi etika politik dan kekuasaan yang ketiga dilihat dalam kerangka pemahaman kekuasaan yang didasarkan penguasaan ekonomi dan manipulasi ideologi. Dalam konteks ini, kekuasaan cenderung menyembunyikan kepentingan serta tujuannya yang tidak lain adalah ekonomi. Maka, etika politik hanya akan di manipulasi sebagai ideologi yang memberikan pembenaran kepada kepentingan ekonomi tersebut. Akibatnya, kekuasaan cenderung korup, dan korupsi menjadi bentuk kejahatan structural karena melekat pada struktur kekuasaan (Bab V). (etika politik&kekuasaan; hal 267; 2014)
            Bentuk usulan kedua ialah menerapkan pola hubungan moral dan hukum yang mampu melandasi penerimaan pluralitas. Dengan cara ini, praktik penyelenggaraan Negara atau praktir kekuasaan akan di atur oleh hukum yang menyesuaikan diri dengan tuntutan etika politik. Pemaksaan suatu sumber hukum yang melandaskan pada agama tertentu dipertanyakan secara kritis karena mengkhianati akta pendirian Negara yang mengakui pluralitas. Dengan demikian, menempatkan warga Negara yang beragama lain menjadi warga Negara kelas dua (Bab VII). (etika politik&kekuasaan; hal 268; 2014)
            Akhirnya pendekatan kritis Michel Foucault terhadap kekuasaan membantu membongkar mekanisme, strategi dan teknik-teknik kekuasaan (Bab VIII). (etika politik&kekuasaan; hal 268; 2014)
Tekanan Ekonomi: Kerja Menjadi Semantik dan Pendidikan Didikte Pasar
            Pada akhir tulisan etika politik dan kekuasaan ini, orang tentu menyadari bahwa refleksi ini masih menyisahkan pertanyaan yang mendasar, yaitu sejauh mana ekonomi mempengaruhi atau diperhitungkan dalam refleksi etika politk? Padahal, ilmu ekonomi dianggap sebagai alat analisis yang sangat menjanjikan untuk memahami perilaku social politik. Bahkan ilmu ini menembus masuk bidang-bidang ilmu social lain. Di dalam ilmu politik, misalnya konsep pertukaran juga dipakai untuk menjelaskan system demokrasi. Politikus dibandingkan degan pengusaha dalam pasar politik. Adapun memilih adalah konsumen barang politik yang ditawarkan oleh pasar yang kompetitif. (etika politik&kekuasaan; hal 269; 2014)
            Ilmu ekonomi relative lebih berhasil daripada ilmu-ilmu social lainnya dalam hal perbaikan kemampuan untuk menjelaskan dan memprediksi. (etika politik&kekuasaan; hal 270; 2014)
            Masalah politik hanyalah cermin keterasingan ekonomi. Maka, setiap rezim politik akan di anggap legitim apabila dapat menghilangkan keterasingan ekonomi, bahkan rezim yang paling otoriter. Seperti dikatakan oleh Ernest Gellner: “ legitimasi masyarakat modern tergantung pada dua hal, yaitu kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Jika gagal memberikan kedua hal tersebut, masyarakat itu kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya. Mereka mengharap hidup lebih baik dan standar hidup mereka berkembang naik. (etika politik&kekuasaan; hal 271; 2014)
            Etika politik dituntut untuk berpijak pada yang konkret itu, yaitu di dalam perjuangan ditengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan yang sangat diwarnai kepentingan ekonomi. Masyarakat yang menekankan orientasi pada ekonomi merupakan masyarakat yang hanya kenal satu pola hubungan, yaitu bertarung dalam kompetisi. Masyarakat seperti ini menjadi arena dimana kelompok-kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi. (etika politik&kekuasaan; hal 272; 2014)
            Maka ilmu ekonomi yang juga merupakan rezim wacana, perlu dilihat jugasecara kritis. Sebagai pengetahuan, ilmu ekonomi merupakan bentuk kekuasaan karena menentukan apakah dapat diterapkan dan dalam kondisi macam apa. Kemampuannya untuk menjelaskan dan memprediksi patut dipertanyakan dengan keterpurukan ekonomi akan mampu menemukan alibi degan menunjuk pada adanya factor-faktor lain diluar ekonomi. Bukankah justru itu yang menjadi tantangannya dan juga tantangan bagi etika politik. (etika politik&kekuasaan; hal 272-273; 2014)























STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf