Senin, 29 September 2014

NUKILAN TEORI DIISIPLIN DIRI DAN kONSEP DIRI

18 komentar

 Konsep Diri

Menurut Anita E. Woolfolk, konsep diri adalah pandangan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini baik bersifat psikologis, emosional aspirasi dan prestasi yang dicapai. ( Anita E, Woolfolk., Boston: Allin and Bacon, 1993,h .73 )Dalam bahasa yang lain, konsep diri dapat diartikan sebagai pandangan dan sikap individu terhadap diri sendiri. Pujigoyanti, Konsep Diri dalam Pendidikan,( Jakarta : Arcan, 1995:h,2.) Hampir sama dengan pendapat tersebut, Calhoun dan Acocella yang menyatakan konsep diri meliputi pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri.Lihat James F. Caltoun and J.R Acocella, Psyshology of Adjustment and Humen Relationship ( New York: MCGraw Hill Inc, 1990), h.57. Setiap macam konsep diri mempunyai aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaianny dengan selisihnya arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata orang lain. Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuannya dan ketidakmampuannya, hanya terhadap dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Selanjutnya Rogers sebagaimana dikutip Burns mengemukakan bahwa konsep diri sebagai sebuah konfigurasi persepsi-persepsi tentang diri yang terorganisasi disusun dari unsure-unsur seperti mengenai karakteristik dan kemampuan seseorang.Liht.R.B Burn, The Self Concept, In Theory, Measuerment, Development, and Behavior (New York: Longman Inc, 1979),h 31. Keterampilan. Untuk konsep diri umum pada dasarnya relative sukar untuk diubah, sedangkan konsep diri mayor dan spesifik pada umumnya dapat diubah.http:/WWW.Katana-Point.com./ais/afig/chapters/chap30/chp3.
Komponen dan Dimensi Konsep Diri
Menurut Hurlock, konsep diri meliputi diri meliputi tiga komponen, yaitu:
Percepinal, concepinal, dan attitudinal component. (Elizabeth B. Hurlock, New Delphi: Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Ltd, 1978),h.2. Komponen percepinal (konsep diri fisik) merupakan gambaran diri seseorang yang berkaitan dengan tampilan fisiknya, termasuk daya tarik yang dimilikinya bagi orang lain. Adapun komponen conceptual (konsep diri psikhis) merupakan gambaran ciri khas seseorang atas dirinya, kemampuannya, asal usul serta masa depannya. Sedangkan komponen attitudenial adalah perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri, sikap terhadap statusnya, kehormatan, rasa harga diri, rasa kebanggaan, rasa malu dan sejenisnya. (Ibid, h,22).
Hakikat Konsep Diri
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. ( Jalaludin Rakhmat, Op Cit , h.104) Menurut Calhoun dan Accocella kualitas konsep diri seseorang dibagi berdasarkan tiga dimensi: pengetahuan, evaluasi dan pengharapan seseorang, atas dirinya, mereka mendiskripsikan beberapa karakter seseorang sesuai dengan kualitas konsep dirinya, yan secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. (Calhoun dan acocella, Op Cit.h.62-63)
Sedangkan menurut D.E Hamachek, yang dikutip oleh Rakhmat ada Sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif:
(1) ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.
(2) ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah atau menyesal tindakannya jika orang lain tidak menyetujuinya.
(3) ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mecemaskan sesuatu yang terjadi.
(4) ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi masalah dan mampu menghadapi kegagalan.
(5) ia merasa sama dengan orang lain.
(6) ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain.
(7) ia dapat menerima pujian dan penghargaan tanpa berpura-pura atau merasa bersalah.
(8) ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
(9) ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan dorongan dan keinginan.
(10) ia mampu memiliki dirinya utuh dalam berbagai kegiatan.
(11) ia peka pada kebutuhan orang lain. ( Jalaluddin Rakhmat, Ibid.h.106)

Disiplin Diri
Menurut Hurlock disiplin berasal dari kata “disciple” yang mempunyai makna yaitu seseorang yang belajar secara sukarela mengikuti perilaku seseorang pemimpin, orang tua dan guru. ( Elizabeth B. Hurlock, Terjemahan Meitasari Tjandra Jakarta : Erlangga,1993), h.82.
Empat unsur-unsur disiplin dari: (1) peraturan sebagai pedoman (2) hukuman untuk pelanggaran peraturan; (3) penghargaan untuk perilaku yang baik dan (4) konsistensi dalam pelaksanaan peraturan. ( Elizabet B. Hurlock, h.84).


IJTIHAD DAN TAKLID

7 komentar
بِسْÙ…ِ اللهِ الرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِÙŠْÙ…ِ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Muhammad dan keluarga beliau, serta laknat Allah semoga terlimpahkan atas para musuh mereka.

Ijtihad Dan Taklid
Berkenaan dengan masalah ibadah dan segala jenis transaksi (mu‘âmalah), walaupun berkenaan dengan hal-hal yang sunah dan mubah, setiap mukalaf yang belum mencapai jenjang ijtihad wajib bertaklid atau ber-ihtiyâth, asalkan ia mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth. Dan sangat sedikit sekali orang yang mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth ini. Kewajiban ini gugur berkenaan dengan hukum agama yang termasuk dalam kategori dharûriyât ad-dîn (ajaran agama yang wajibnya sudah gamblang). Atas dasar ini, amalan seorang awam—yang tidak mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth—adalah batal bila tidak didasari dengan taklid, sesuai dengan penjelasan berikut ini.
Masalah 1: Kita boleh ber-ihtiyâth, meskipun hal itu menuntut kita harus mengulangi (sebuah amalan).[1]
Masalah 2: Taklid adalah mengamalkan (sebuah amalan) dengan bersandarkan kepada fatwa seorang faqih. Ya, sesuatu yang menjadi legitimasi atas keabsahan sebuah amalan adalah pelaksanaan amalan tersebut atas dasar sebuah hujah, seperti fatwa seorang faqih, meskipun pelaksanaan amalan itu tidak dinamakan taklid.
Masalah 3: Marja‘ taklid harus seorang mujtahid, adil, berkelamin laki-laki, bermazhab Syi‘ah Imamiah, dan wara’ dalam agama Allah. Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, ia tidak boleh mencintai dan rakus terhadap harta dunia, baik berupa kedudukan maupun harta benda.[2]
Masalah 4: Setelah taklid terlaksana, kita boleh berpindah taklid[3] dari seorang marja‘ yang masih hidup kepada marja‘ lain yang juga masih hidup, asalkan mereka memiliki kedudukan yang sama dalam ilmu pengetahuan.[4] Dan berpindah taklid ini—berdasarkan ihtiyâth wajib¬—adalah wajib bila marja‘ yang kedua terbukti lebih a‘lam daripada marja‘ yang pertama.
Masalah 5: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[5] kita wajib bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, bila hal itu memungkinkan. Dan kita juga wajib mencari marja‘ yang a‘lam tersebut. Jika dua orang marja‘ memiliki kedudukan yang sama (dalam kelimuan), maka kita bisa memilih (salah satunya). Jika salah seorang dari mereka lebih wara’ atau lebih adil (dibandingkan dengan yang lainnya), maka berdasarkan ihtiyâth mustahab kita hendaknya memilih marja‘ yang lebih wara’ atau lebih adil.[6] Begitu juga, jika dua orang marja‘ memiliki kedudukan yang sama (dalam keilmuan), maka kita boleh memilah taklid dengan cara mengambil (hukum) sebagian masalah dari marja‘ pertama dan (hukum) sebagian masalah yang lain dari marja‘ kedua.[7]
Masalah 6: Dalam masalah kewajiban bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, kita harus bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam. Jika marja‘ itu berfatwa bahwa kita boleh bertaklid kepada marja‘ yang tidak a‘lam, maka kita bisa memilih bertaklid kepadanya atau kepada marja‘ lain (yang tidak a‘lam). Sementara itu, apabila ia berfatwa bahwa kita tidak wajib bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, maka kita tidak boleh bertaklid kepada marja‘ yang tidak a‘lam.
Masalah 7: Jika marja‘ yang a‘lam tidak memiliki fatwa berkenaan dengan suatu masalah, maka kita boleh merujuk kepada marja‘ yang lain dalam masalah tersebut. Tapi berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tetap harus memperhatikan urutan marja‘ yang a‘lam (yang hendak kita taklidi).
Masalah 8: Dalam taklid permulaan, kita tidak boleh bertaklid kepada marja‘ yang sudah meninggal dunia.[8] Ya, kita boleh[9] tetap meneruskan taklid kepadanya—walaupun dalam masalah-masalah yang kita belum pernah mengamalkannya—dengan syarat kita telah bertaklid kepadanya dengan mengamalkan sebagian fatwanya secara mutlak (dalam bab fiqih yang manapun).
Masalah 9: Jika kita mengerjakan sebuah ibadah, akad (transaksi), atau îqâ‘ sesuai dengan fatwa mujtahid yang kita taklidi, lalu ia meninggal dunia, dan kemudian kita bertaklid kepada mujtahid lain yang berfatwa bahwa amalan yang telah kita kerjakan itu adalah batal, maka kita boleh menganggap bahwa seluruh amalan yang telah dikerjakan itu sah.
Masalah 10: Jika kita bertaklid kepada seorang mujtahid tanpa meneliti hal ihwalnya terlebih dahulu, lalu kita ragu bahwa ia adalah seorang mujtahid yang memenuhi syarat-syarat (seorang marja‘), maka kita wajib untuk menelitinya. Tetapi apabila kita tahu bahwa ia memiliki sebuah kondisi seperti kefasikan, penyakit gila, atau kelupaan yang dapat menyebabkan ia kehilangan syarat-syarat tersebut setelah kita bertaklid kepadanya, maka kita wajib berpindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat.
Masalah 11: Ijtihad (seorang mujtahid) dapat dibuktikan dengan jalan menguji, ketenaran yang menyebabkan keyakinan,[10] dan kesaksian dua orang adil dari ahli khibrah.[11] Ke-a‘lam-annya juga dapat dibuktikan dengan (ketiga) jalan ini. Fatwa seorang mujtahid juga dapat kita peroleh dengan cara mendengar langsung darinya dan melalui penukilan dua orang adil atau satu orang adil. Bahkan berdasarkan pendapat yang zhâhir, kita bisa memperoleh fatwa seorang mujtahid melalui penukilan seorang tsiqah yang ucapannya dapat dipercaya. Begitu juga, kita dapat merujuk kepada buku risalah amaliahnya jika buku itu terjamin dari kesalahan.
Masalah 12: Kita wajib mempelajari masalah-masalah keraguan (syak), kelalaian (sahw), dan lain sebagainya yang—pada umumnya—sering kita alami (dalam kehidupan sehari-hari), kecuali jika hati kita mantap tidak akan mengalami masalah-masalah tersebut. Begitu juga, kita wajib mempelajari bagian-bagian ibadah, syarat-syarat, hal-hal yang membatalkan, dan mukadimah-mukadimahnya. Apabila kita yakin bahwa amalan kita memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi, maka amalan tersebut adalah sah.
Masalah 13: Jika kita yakin bahwa kita pernah melakukan ibadah tanpa bertaklid selama beberapa masa dan kita juga tidak tahu berapa jumlahnya, maka ibadah kita itu sah, asalkan kita tahu (baca: ingat) tata cara pelaksanaannya dan sesuai dengan fatwa mujtahid yang kita taklidi (sekarang) atau dengan fatwa mujtahid yang semestinya kita bertaklid kepadanya pada masa itu.[12] Jika tidak demikian, maka kita harus mengqadha seluruh ibadah tersebut sesuai dengan keyakinan kita terhadap kewajiban yang masih terdapat di pundak kita, meskipun yang ahwath adalah hendaknya kita mengqadhanya dalam jumlah yang dapat meyakinkan bahwa pundak kita telah terbebaskan dari kewajiban ibadah itu.
Masalah 14: Mufti dan hakim harus figur yang adil. Keadilan mereka dapat dibuktikan melalui kesaksian dua orang adil, bergaul dengannya (dalam kehidupan sehari-hari) yang dapat menyebabkan keyakinan atau kemantapan hati kita, dan ketenaran yang juga menyebabkan keyakinan kita. Bahkan, keadilan mereka juga dapat dibuktikan melalui kesalehan lahiriah (husn azh-zhâhir) dan ketekunan mereka dalam melaksanakan syariat dan ketaatan (kepada Allah), meskipun kita tidak memperoleh sangkaan atau keyakinan (akan keadilan mereka) melalui jalan ini.
Masalah 15: Keadilan[13] adalah sebuah karakteristik yang tertanam kokoh dalam diri seseorang (malakah râsikhah) dan muncul lantaran kontinuitas dalam melaksanakan takwa; yaitu meninggalkan hal-hal yang haram dan melakukan hal-hal yang wajib. Keadilan ini akan sirna—secara hukum—apabila ia melakukan dosa-dosa besar atau secara terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil. Dan bahkan berdasarkan ihtiyâth, keadilan itu juga akan sirna hanya dengan mengerjakan dosa-dosa kecil saja.[14] Keadilan ini akan ia miliki kembali bila ia bertobat, asalkan karakteristik yang tertanam kokoh itu ia miliki kembali.
Masalah 16: Jika kita mendapatkan sebuah masalah—yang tidak kita ketahui hukumnya dan juga tidak mungkin kita menanyakannya—di pertengahan salat, maka kita harus mengerjakan salah satu sisi (hukum masalah tersebut) dengan niat untuk menanyakan hukumnya setelah salat usai. Jika tindakan kita itu sesuai dengan hukum yang ada, maka salat kita itu sah.
Masalah 17: Kita tidak boleh meninggalkan ihtiyâth mutlak (ihtiyâth wajib) dalam sebuah fatwa; yaitu ihtiyâth yang tidak didahului atau disusul oleh sebuah fatwa yang bertentangan dengannya. Kewajiban kita adalah mengamalkan ihtiyâth tersebut atau merujuk kepada mujtahid lain dengan tetap memperhatikan urutan marja‘ yang a‘lam. Ya, jika ihtiyâth yang terdapat dalam buku-buku risalah amaliah didahului oleh sebuah fatwa yang bertentangan dengannya; seperti mujtahid berkata setelah mengeluarkan fatwanya, “... meskipun yang ahwath adalah demikian”, atau disusul oleh fatwa yang bertentangan dengannya; seperti ia berkata, “Yang ahwath adalah demikian, meskipun hukumnya adalah demikian atau meskipun yang lebih kuat adalah demikian”, atau “Yang paling utama (al-awlâ) dan ahwath adalah demikian,” maka kita boleh meninggalkan ihtiyâth dalam ketiga kondisi ini.
Masalah 18: Hukum (yang ditentukan oleh) seorang pemimpin yang memenuhi syarat-syarat (kepemimpinan politik Islam) tidak boleh dilanggar—meskipun—oleh mujtahid yang lain.[15]

________________________________________

[1] Masalah: Ihtiyâth adalah mengamalkan (sebuah kewajiban) sedemikian rupa sehingga kita yakin telah melaksanakan kewajiban syar‘î yang wajib atas kita. Hanya saja, karena melakukan ihtiyâth memerlukan pengetahuan atas tempat-tempat dan tata cara pelaksanaannya, dan hal ini memerlukan waktu yang tidak sedikit, maka yang lebih utama adalah hendaknya kita bertaklid.

[2] Imam Khamenei: Melihat sensitifitas dan urgensi yang dimiliki oleh kedudukan marja‘iyah, seorang marja‘ taklid—berdasarkan ihtiyâth wajib—disyaratkan harus dapat menguasai hawa nafsunya.

[3] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh berpindah dari seorang marja‘ yang masih hidup kepada marja‘ lain yang juga masih hidup, kecuali bila marja‘ yang kedua terbukti lebih a‘lam daripada marja‘ yang pertama dan fatwanya dalam suatu masalah berbeda dengan fatwa marja‘ pertama. Dengan demikian, berdasarkan ihtiyâth kita wajib berpindah taklid kepada marja‘ kedua itu.

Syaikh Bahjat: Kita boleh berpindah taklid (kepada marja‘ lain), bila kedua marja‘ itu sama-sama a‘lam. Tapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya hanya berpindah taklid kepada marja‘ yang lebih a‘lam atau lebih wara’.

[4] Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh berpindah taklid kecuali jika marja‘ kedua lebih a‘lam.

[5] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar.

[6] Syaikh Behjat: Bertaklid kepada marja‘ yang lebih wara’ adalah wajib (lâ yakhlû min wajhin).

[7] Masalah: Jika marja‘ yang a‘lam terbatas pada dua orang, dan kita memberi kemungkinan atau menyangka bahwa salah seorang dari mereka adalah lebih a‘lam daripada yang lainnya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita wajib bertaklid kepadanya.

Sayyid Khu’i: Jika kita mengetahui bahwa (fatwa dua orang marja‘) berbeda dan mungkin kita ber-ihtiyâth, maka kita harus mengambil fatwa yang lebih ahwath. Tapi jika tidak mungkin kita ber-ihtiyâth, maka kita harus bertaklid kepada marja‘ yang kita menyangka ia adalah marja‘ yang a‘lam. Jika kita tidak memiliki sangkaan (terhadap ke-a‘lam-an salah seorang dari mereka), maka kita dapat memilih salah seorang dari mereka (sebagai marja‘ taklid), asalkan kita memberi kemungkinan bahwa setiap orang dari mereka adalah marja‘ yang a‘lam. Jika tidak demikian, maka kita harus bertaklid kepada marja‘ yang dimungkinkan a‘lam. (Dinukil dari buku Al-‘Urwah Al-Wutsqâ).

[8] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Para fuqaha mensyaratkan mujtahid harus hidup supaya kita boleh memulai bertaklid kepadanya.

[9] Sayyid Khu’i: Kita wajib tetap meneruskan taklid kepadanya berkenaan dengan masalah-masalah yang telah kita pelajari dan belum lupa.

[10] Imam Khamenei: Dan dengan melalui jalan kemantapan hati (ithmi’nân); yaitu keyakinan yang râjih dan yang menyebabkan jiwa kita mantap (kepada kepribadiannya). Keyakinan semacam ini disebut ilmu ‘urfî.

[11] Sayyid Khu’i: Ijtihad dapat dibuktikan dengan jalan ketenaran yang menyebabkan kemantapan hati (ithmi’nân) dan juga dengan kesaksian satu orang yang adil, bahkan kesaksian satu orang yang tsiqah.

[12] Imam Khamenei: Begitu juga, ibadah kita itu sah apabila sesuai dengan realita hukum yang sebenarnya atau dengan ihtiyâth.

[13] Imam Khamenei: Keadilan adalah kondisi jiwa (al-hâlah an-nafsiyah) yang muncul lantaran kontinuitas dalam melaksanakan takwa dan dapat mencegah seseorang untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan dalam syariat Islam.

[14] Sayyid Khu’i: Tidak ada perbedaan antara dosa-dosa besar dan kecil.

[15] Imam Khamenei: Poin Khusus Tentang Wilâyah Faqih:

Masalah 1: Wilâyah Faqih dalam upaya memimpin masyarakat dan memanajemen problema-problema sosial kemasyarakatan di setiap masa adalah salah satu pondasi penting mazhab Syi‘ah Itsna ‘Asyariah. Konsep ini memiliki akar yang kokoh dalam konsep Imamah, dan hukum-hukum yang membahas seputar konsep ini disimpulkan dari dalil-dalil syar‘î, seperti lumrahnya hukum-hukum fiqih yang lain. Jika argumentasi seseorang menyebabkan ia tidak meyakini konsep Wilâyah Faqih ini, maka ia memiliki uzur (ma‘zûr). Tetapi, ia tidak boleh menyulut api perpecahan.

Masalah 2: Konsep Wilâyah Faqih—yang berarti kepemimpinan seorang faqih yang adil dan mengenal masalah-masalah agama—adalah sebuah hukum syar‘î ta‘abbudî yang dikuatkan oleh akal. Terdapat cara ‘uqala’î untuk menentukan siapa Wali Faqih itu seperti telah dijelaskan dalam UUD Republik Islam Iran.

Masalah 3: Sesuai dengan konsep fiqih mazhab Syi‘ah, muslimin wajib menaati perintah-perintah wilâ’î syar‘î yang telah ditetapkan oleh pemimpin muslimin (baca: Wali Faqih) dan pasrah diri kepada perintah dan larangannya. Seluruh fuqaha yang mulia juga harus bertindak demikian, apalagi dengan para muqallid mereka. Menurut pendapat kami, usaha berpegang teguh kepada konsep Wilâyah Faqih tidak dapat dipisahkan dari berpegang teguh kepada Islam dan wilâyah para imam maksum as.

Masalah 4: Maksud Wilâyah Mutlak Faqih yang memenuhi syarat adalah agama Islam yang suci—sebagai pamungkas seluruh agama samawi dan akan abadi hingga hari kiamat ini—merupakan agama hukum dan manajemen untuk seluruh urusan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah masyarakat Islami—dengan seluruh tingkat sosialnya—harus memiliki seorang Wali Amr dan pemimpin (hâkim syar‘î) untuk menjaga umat dari (bahaya) para musuh Islam dan muslimin, memelihara negara, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, mencegah kezaliman orang yang kuat atas orang orang yang lemah, dan menjamin seluruh sarana kemajuan dan perkembangan kultur, politik, dan sosial mereka.

Dalam merealisasikan tujuan ini secara praktis, kadang-kadang hal itu bertentangan dengan keinginan, kepentingan, dan kebebasan sebagian orang. Ketika pemimpin muslimin sedang melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin pemerintahan atas dasar konsep-konsep fiqih Islam, ia wajib mengambil keputusan-keputusan yang dianggap perlu, bila ia merasa perlu untuk mengambil sikap demikian.

Oleh karena itu, kehendak dan titik pandang kemaslahatan Wali Faqih—dalam ruang lingkup yang masih berhubungan dengan kemaslahatan umum Islam dan muslimin—harus berkuasa atas kehendak dan kemalsahatan masyarakat umum ketika terjadi kotradiksi kepentingan.

Ini adalah sekelumit penjelasan tentang arti Wilâyah Mutlak.

Masalah 5: Pendapat (baca: fatwa) Wali Amr Muslimin adalah pendapat yang harus diikuti berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan manajemen sebuah negara Islam dan problema-problema umum yang dihadapi oleh muslimin. Setiap mukalaf hanya boleh mengikuti fatwa marja‘ taklidnya berkenaan dengan masalah-masalah yang bersifat individual. Mengikuti hukum Wali Amr adalah wajib bagi semua lapisan masyarakat, dan fatwa sorang marja‘ taklid yang berbeda dengannya tidak boleh menentangnya.

Masalah 6: Jika hukum-hukum wilâ’î dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh seorang Wali Amr Muslimin tidak bersifat sementara dan juga tidak dibatasi oleh masa tertentu, maka seluruh hukum dan ketentuan itu tetap harus dijalankan, kecuali apabila Wali Faqih yang baru melihat sebuah kemaslahatan untuk membatalkannya. Maka, ia berhak untuk membatalkannya.

Masalah 7: Para pejabat militer tidak boleh memerintahkan bawahan mereka atau orang lain untuk melaksanakan pekerjaan pribadi mereka. Dan tindakan memerintah ini menyebabkan kewajiban ganti rugi yang sesuai dengan nilai kerja orang yang diperintah (ujrah al-mitsl)

di sadur dari Tulisan Haryatmoko Bab IV Demokrasi, Radikalisme, dan Kekerasan dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan

27 komentar


BAB IV
DEMOKRASI, RADIKALISME, DAN KEKERASAN
Orang berharap banyak dari demokrasi. Dengan demokrasi diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan kolektif akan berdasarkan pada pertimbangan public yang luas. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidak adilan dan membuat pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional. Selain itu, demokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warga Negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Orang begitu percaya kepada sistem politik ini sehingga demokrasi seakan identik dengan kebebasan, hormat terhadap martabat manusia, kesamaan, keadilan, keamanan, dan pertumbuhan ekonomi. Demokrasi dianggap sebagai pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan kehendak umum karena tekanan pada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas.
Orang kecewa ketika menyaksikan dan mengalami bahwa demokrasi tidak otomatis menghasilkan apa yang diharapkan itu. Ironisnya, demokrasi harus lahir melalui konflik yang berkepanjangan: kerusuhan terjadi dimana-mana; pertumbuhan ekonomi tidak juga menampakkan batang hidungnya, bahkan pengangguran semakin merajalela; banyak kasus di mana pertumbuhan ekonomi bisa terwujud tanpa demokrasi; tiadanya rasa aman karena kriminalitas semakin meluas dan nekat; korupsi tidak juga mereda; angka kemiskinan semakin tinggi. Kebanyakan Negara demokrasi cenderung meminggirkan kelompok minoritas yang pada dasarnya sudah dalam posisi rentan.
Terhadap keberatan bahwa janji redistribusi kekayaan yang adil tidak terwujud dan klaim sistem representasi tidak lain hanyalah rekayasa perlu memperhatikan penjelasaan Adam Przeworski (2001, hlm. 23-55). Dalam masyarakat dimana konflik kepentingan sangat mendominasi, nilai demokrasi pertama-tama tidak terletak dalam janji akan adanya redistribusi kekayaan yang adil, tetapi terutama lebih pada kemampuan untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai.
Representativitas menjadi suatu mekanisme keputusan demokrasi yang tidak jelas. Atas pernyataan ini, Przeworski mengemukakan dua hal: pertama, para politikus wakil rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan, atau nilai tersendiri. Mereka juga mengetahui sesuatu dan melakukan tindakan yang tidak mungkin semuanya dapat diamati dan dimonitor oleh rakyat banyak; kedua, para politikus itu tentu ingin terpilih kembali karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh keuntungan bagi kepentingan mereka, tetapi sering tujuan mereka berbeda dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Motivasi-motivasi seperti itu mendorong mereka melakukan sesuatu yang kadang tidak mencerminkan aspirasi yang diwakilinya.
Mekanisme politik dalam demokrasi tidak seefektif dan representative seperti yang dijanjikan karena akhirnya hanya beberapa orang yang menjalankan kekuasaan itu. Dalam keseharian hidup, masyarakat selalu dalam posisi dibawah belas kasih Negara dan pasar. Kalau politik berarti kekuasaan untuk memutuskan didalam kehidupan kolektif, politik hanya merupakan bidang beberapa orang saja. Kalau disuruh mengidentifikasi siapa beberapa orang itu, dengan mudah orang akan menunjuk mereka yang menguasai operasi-operasi pasar, yang menguasai seluk-beluk politik, dan para jenderal. Mereka ini yang sebetulnya mengatur Negara. Negara terdiri dari lembaga-lembaga yang tersentralisasi. Negara mengendalikan sumber-sumber serta kesetiaan baik dengan paksa maupun secara persuasive. Akhirnya hanya segelintir orang yang memiliki akses kelembaga-lembaga tersebut. Sedangkan pasar diandaikan dikendalikan melalui kompetisi bebas, tetapi dalam kenyataan sangat jarang ada kompetisi bebas. Biasanya apa yang dikatakan kompetisi bebas itu berakhir pada dominasi oleh beberapa yang menang saja. Pola pembagian kekayaan dan keputusan yang ditentukan oleh kedua mekanisme kekuasaan tersebut tidak memungkinkan warga Negara bisa berada dalam lingkarang pengambil keputusan. Janji sistem representative yang seharusnya memperluas pertimbangan public atau partisipasi, akhirnya kandas diserap kedua mekanisme tersebut.
Bukan berarti demokrasi gagal, tetapi mekanisme dan proses demokrasi harus selalu dikontrol dan dikoreksi agar aspirasi masyarakat sungguh-sungguh mendapat tempat. Memang lebih rasional bertaruh menerapkan sistem demokrasi daripada menentangnya. Setidaknya dalam demokrasi masih ada kebebasan berpendapat, masih bisa berharap kepada kebebasan melawan berbagai bentuk dominasi. Selain itu, dalam demokrasi dimungkinkan untuk mempertanyakan keputusan kolektif atau penguasa, serta masih bisa berharap adanya pengawasan yang lebih efektif.
Pandangan Przeworski yang mempertanyakan sistem representativitas mendapat inspirasi Schumpeter dalam capitalism, socialism, and democracy (1942). Schumpeter memodifikasi teori klasik demokrasi. Ia mempertanyakan gagasan tentang kehendak umum yang dianggap sebagai inti demokrasi. Presentasi politikus bahwa dirinya merupakan wakil pemilih harus dipisahkan dari legitimasi demokrasi. Yang menyatakan diri wakil rakyat tidak lain kecuali orang yang piawai menjual gagasan. Ia sendiri mengusulkan teori demokrasi yang mendasarkan pada teori neoklasik tentang kompetisi harga (bdk. Ian Shapiro, 2001). Kedudukan politikus disamakan dengan perusahaan. Para pemimpin politik tidak lain kecuali seperti perusahaan yang berkompetisi untuk bisnis di dalam sistem pasar, mereka berkompetisi untuk pemilih. Oleh karena itu, demokrasi bukan pertama-tama masalah representasi, tetapi masalah menjual produk, dalam hal ini adalah apa yang menjadi output pemerintah. Lalu output ini dipertukarkan dengan dukungan pemilih. Sudut pandang ini tidak mengabaikan prinsip demokrasi karena tetap mempertahankan kompetisi kekuasaan yang dilembagakan.
Dengan kata lain, demokrasi masih mempertahankan nilainya dengan tetap melembagakan kemampuan untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai dalam kompetisi tesebut. Yang kalah mengakui kekalahannya dengan janji akan ada perdamaian dan kemungkinan untuk menang dimasa-masa mendatang. Pemenang mengendalikan diri dan dituntut juga melayani mereka yang tidak menjadi pendukungnya. Dalam konteks ini, mayoritas yang memerintah dituntut peka terhadap informasi tentang nilai, aspirasi, dan kepentingan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian, kompetisi didalam pemilihan umum sungguh-sungguh mencegah terjadinya pemberontakan atau penggulingan kekuasaan yang tidak konstitusional. Demokrasi memungkinkan kekuatan-kekuatan politik yang dalam konflik menaati hasil pemilihan. Konflik diatur sesuai dengan aturan main yang disetujui bersama dan dalam arti tertentu dibatasi. Maka, kekerasan bukan menjadi sarana, melainkan persuasi melalui wicara.


Kebebasan Berpendapat Dan Kekerasan
Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik terancam. Hipotesis ini mau mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti kemampuan komunikasi, menjalankan fungsinya, yaitu menggantikan kekerasan. Oleh karena itu, sudah sejak demokrasi yunani kuno, orang mendefinisikan kebebasan berpendapat sebagai wacana yang menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik.
Di Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik, meskipun demokrastisasi terus bergulir. Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Mungkin benar kata Machiavelli bahwa hokum tanpa pedang tidak akan ditaati, demikian pula pendapat tanpa dukungan kekuatan yang menekan tidak akan didengarkan. Sudut pandang ini menempatkan etika politik seakan-akan tidak relevan, bukankah berarti bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri.
Kekerasan bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Ada pula kecenderungan beberapa kelompok yang mengatasnamakan tatanan moral menghalalkan kekerasan. Dalih yang dipakai karena aparat tidak efektif. Tidak efektifnya aparat itu dikaitkan dengan dua alasan: pertama, yaitu kurangnya personel, tempat tidak terjangkau; sedangkan alasan yang memicu peradilan massa, kekerasan massa adalah tuduhan bahwa petugas korup, terlibat, melindungi pelaku kejahatan. Alasan kedua ini biasanya dipakai untuk alibi penggunaan kekerasan massa. Jadi, kekerasan berperan ganda sebagai alat kritik efektif terhadap aparat, serta untuk meningkatkan kekuatan tawar kelompok tersebut. Tetapi, bukankah kekerasan semacam itu mengkhianati demokrasi itu sendiri, suatu bentuk pemerkosaan ruang public?
Memang, dengan memberi kebebasan berpendapat bukan berarti bahwa lingkup public bisa dibersihkan dari tindakan kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap ada dan akan tetap terjadi bahkan didalam wicara. Memang benar wicara merupakan alternative terhadap kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternative terhadap kekerasan simbolis yang masih sering terjadi di dalam wacana. Demagogi (wacana politik untuk tujuan “mengobok-obok”, memancing, dan mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi merupakan bentuk-bentuk kekerasan simbolis yang menggunakan wacana public. Pada akhirnya kekerasan simbolis ini bermuara kembali pada kekerasan fisik. Bagaimana kalau para pelaku kekerasan simbolis ini membela diri dengan mengatakan bahwa sejauh masih merupakan wacana itu tidak bertentangan dengan demokrasi? Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada wacana yang sudah merupakan tindakan. Orang yang berbicara didepan massa didekat gudang beras milik seseorang/perusahaan tertentu dengan mengatakan bahwa krisis ekonomi yang menyebabkan kekurangan pangan karena ada segelintir orang yang menimbun bahan-bahan pokok, bukan lagi sekedar wacana. Wicara dengan retorika seperti itu sudah merupakan tindakan menghasut massa untuk melakukan penjarahan.


Kedua, bisakah seorang mahasiswa dari sebuah universitas yang memberlakukan kebebasan berbicara suatu hari mengundang seorang penceramah yang akan berbicara menentang kebebasan berbicara? Jika universitas tersebut memandang kebebasan berbicara sebagi prinsip, seharusnya membolehkan kedatangan pembicara tersebut karena ketidaksetujuannya itu masih berupa wacana. Tetapi, kalau kebebasan berbicara menjadi tujuan, memang masuk akal kalau orang tersebut dilarang. Apalagi kalau antikebebasan berbicara dari pembicara tersebut menjadi praktik kehidupannya. Kalau demokrasi merupakan prinsip politik, seharusnya segala bentuk wacana politik dan aliran tidak bisa dilarang. Namun, ada batas-batas yang harus ditetapkan untuk melindungi kerentanan demokrasi. Dua catatan kritis tersebut perlu dipertimbangkan. 
Hampir tidak ada rezim politik, bahkan yang paling antidemokrasi, yang tidak memoles diri sebagai rezim demokrasi. Dari sejarah orang dapat belajar bahwa demokrasi bukan sistem politik instan, yang akan terwujud begitu dikehendaki. Dunia barat sejak mengenal demokrasi mengalami kemunduran berulang kali dalam upaya menerapkannya. Setelah enam abad demokrasi, di yunani, kemudian di roma, kemunduran terjadi dalam bentuk kekaisaran. Dan, sejak itu para dictator silih berganti memerintah rakyatnya dengan tangan besi. Padahal, sudah bergenerasi-generasi mereka terbiasa berdebat bersama tentang apa yang hendak dicapai dalam kehidupan sosial dan politik. Ternyata tradisi itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari kecenderungan menggunakan kekerasan. Apakah itu suatu pembenaran terhadap kekerasan dan kekacauan di Indonesia setelah menerapkan sistem demokrasi? Tidak! Tetapi, untuk menjawab romantisisme yang mendambakan kembali masa rezim orde baru, karena keamanan dan stabilitas dijamin. Orang lupa akan harga yang harus dibayar.
Sebetulnya yang paling menghantui dunia politik adalah sarana politik itu sendiri, yaitu wicara. Ketika penguasa adalah tunggal, tidak ada lagi tempat bagi wicara. Tiada lagi debat politik, dan dengan demikian institusi demokrasi dikosongkan dari isinya. Lalu seni wicara hanya berusaha menyesuaikan diri sehingga kemunafikkan, intimidasi, dan sindiran mewarnai wacana. Orang cenderung bersembunyi dibalik kalimat-kalimat yang kabur, kata-kata yang tidak jelas, istilah-istilah yang mendua, gaya bahasa yang merendah, padahal ingin menunjukkan yang lebih. Model bahasa yang seperti ini menjadi alibi bagi tuntutan penerapan wacana dalam situasi sekarang. Ini adalah cara bagaimana politikus dengan mudah menghindar dari tanggung jawab atas pernyataannya. Suasana politik semacam ini sangat subur bagi upaya menjilat penguasa, kebohongan, dan kesaksian palsu. Wicara menjadi manipulasi.
Akan tetapi, apakah berarti dalam demokrasi tidak ada lagi manipulasi wicara? Politik tidak bisa dilepaskan dari retorika, seni membujuk rakyat, yang tentu saja menjadi bagian dari manipulasi. Manipulasi wicara dan sistematisasinya, terutama sepanjang abad xx, merupakan hasil dari ketegangan antara keinginan menggalang sebanyak mungkin pendapat masyarakat melalui sistem demokrasi dan ketidakmungkinan sistem politik ini mewadahi dan menyalurkan pendapat-pendapat tersebut. Pelembagaan manipulasi tidak lepas dari pandangan bahwa rakyat sendiri ingin diyakinkan. Jacques Ellul pernah mengatakan bahwa bangsa jerman paada massa hitler dalam arti tertentu tidak menolak dimanipulasi melalui propaganda nazi. Pada rezim demokratis sedikit terjadi kekerasan fisik, tetapi banyak tekanan psikologis. Kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara dan manipulasinya menggantikan kekerasan fisik. Di Indonesia kedua bentuk kekerasan itu masih terus digunakan.
interogasi terhadap beberapa orang yang terlibat dalam kerusuhan-kerusuhan yang disertai pembunuhan anggota suku lain, etnis lain, atau pemeluk agama lain akhir-akhir ini di Indonesia menunjukan bahwa mereka tidak hanya ikut-ikutan. Melihat adanya kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk menolak terlibat, jelas bahwa mereka tidak terpaksa. Mereka sendiri yakin akan legitimitas dari apa yang mereka lakukan. Kekerasan dan pembunuhan itu adalah akibat; keyakinan sempit itu. Keyakinan itu terbentuk melalui pengaruh wicara yang datang dari luar, wicara yang dimanipulasi, bentuk kekerasan simbolik. Biasanya elite politiklah yang berkepentingan. Kapan politik intimidasi dan kekerasan ini akan berakhr?
Mochtar Buchori dalam seminar pendidikan di Yogyakarta akhir agustus 2000 sempat mengatakan bahwa perbaikan itu baru akan terjadi pada generasi politisi yang akan datang. Generasi  politisi sekarang ini masih mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya. Agar politisi mempunyai wawasan negarawan yang mengutamakan kepentingan semua warga Negara tanpa  diskriminasi agama, suku, dan kelompok, dibutuhkan pendidikan dasar yang kuat. Sejak pendidikan dasar, peserta didik harus dibiasakan menghormati pluralism, dididik untuk menerima perbedaan, dan dilatih untuk mampu mengelola konflik. Diberi kesempatan untuk mengembangkan diri, terutama dalam hal kejujuran serta percaya kepada sesamanya. Dengan demikian, bisa berkembang dalam dirinya rasa solidaritas dan empati, keprihatinan yang harus tumbuh dalam politik.
Kekerasan Menjadi Biasa
Ambon, sampit, dan poso masih meninggalkan trauma dan pengungsi. Kehidupan rakyat selalu dibayangi kekerasan. Seakan-akan kekerasan selalu mengiringi peristiwa-peristiwa sosial dan politik di Indonesia. Hannah Arendt, seorang filsuf politik, menyebut fenomena semacam itu banalisasi kejahatan (menjadi biasanya tindak kejahatan). Bagaimana kejahatan itu bisa dilakukan oleh orang-orang tanpa ada perasaan bersalah? Beberapa hal menjelaskan pertanyaan ini: korban kekerasan dibuat impersonal, lemahnya pertimbangan reflektif para pelaku kekerasan, impunitas, dan fanatisme.
Korban Kekerasan Dibuat Impersonal
Korban dibuat impersonal berarti korban dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dianggap lagi sebagai seorang pribadi manusia. Proses impersonalisasi korban kekerasan itu bisa ditempuh dengan berbagai cara. Dalam novel tulisan Alexander Soljenitsyne yang berjudul sehari-hari kehidupan Ivan Denissovitch, para narapidana direduksi menjadi angka-angka. Choukov, salah seorang narapidana, diberi label angka ch 854. Reduksi menjadi angka itu merupakan ilustrasi bahwa kamp konsentrasi telah mengubah pribadi manusia menjadi suatu hal saja. Dengan cara ini, pembunuhan menjadi impersonal orang tidak merasa membunuh seorang pribadi, tetapi hanya menghilangkan angka. Dan, untuk mencegah timbulnya solidaritas masyarakat terhadap korban, dibentuk opini yang mengisolasi korban dengan menuduhnya sebagai biang keributan, melawan kepentingan umum. Semua bentuk simpati dan solidaritas akan dianggap identik dengan berkomplot melawan kepentingan umum. Masyarakat akan berusaha menjauhkan diri dari korban.
Bentuk kekerasan atau pembunuhan impersonal dimungkinkan dengan menempatkan korban sebagai musuh. Musuh didefinisikan atas dasar kepemihakkan agama atau suku: yang berbeda adalah musuh. Status musuh itu sudah cukup untuk mengobarkan fanatisme yang tak segan membunuh. Provokator tidak akan berhasil kalau kebencian itu tidak ada. Pembunuhan menjadi impersonal karena mistifikasi motif kebencian itu: agama memberi landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Para pembunuh itu merasa membela iman dan kebenaran, atau tradisi seakan-akan pembunuhan itu demi tuhan sendiri.
Hilangnya perasaaan bersalah bisa ditunjang pula oleh pembunuhan yang dilakukan secara beramai-ramai. Ada alibi tanggung jawab pribadi. Pernyataan kita semua bertanggung jawab sama saja tak ada yang bertanggung jawab. Impunitas (tiadanya sanksi hukum) adalah konsekuensi logisnya. Impunitas mengabaikan dimensi sosial kejahatan: menciptakan suasana tiadanya perlindungan terhadap korban-korban potensial dan mendorong pelaku-pelaku potensial untuk mewujudkan maksud jahat tanpa dibayangi sanksi hukum.
Yang Legal Belum Tentu Moral
Mereka yang mengorganisasikan kerusuhan tentunya orang-orang professional yang terlatih. Nurani mereka sudah bebal. Mereka terasing dari pencarian makna. Agama bagi mereka hanyalah kedok dan alat untuk menggapai kekuasaan. Mereka tak terlatih didalam pertimbangan reflektif yang mengandaikan pengambilan jarak terhadap apa yang dilakukan, yang menuntut sikap kritis. Padahal, pertimbangan reflektif membantu orang untuk mengubah kebiasaan. Kebiasaan tidak kritis membentuk alibi tanggung jawab. “saya tidak merasa bersalah. Saya melakukan itu karena taat.” Persis seperti itu juga jawaban Eichmann ketika dalam proses peradilan ditanya mengapa dia tega membunuh puluhan ribu orang yahudi. Orang macam ini tidak bisa membedakan yang legal dan yang moral.
Mereka memegang prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Cara berpikir utilitarian ini menumpulkan nurani dan memperlakukan orang lain sebagai alat bagi kepentingan dirinya dan kelompoknya. Orang-orang macam ini tidak mempunyai perasaan bersalah. Mereka tidak menyaksikan langsung korban yang mengerang kesakitan, yang berlumuran darah. Mereka tidak berhadapan langsung dengan anak-anak yang menangis karena kehilangan ayahnya. Mereka tidak bertemu muka dengan gadis yang menjadi bisu Karena trauma pemerkosaan. Orang-orang ini sangat berbahaya karena nurani mereka tak tersentuh oleh penderitaan. Korban tidak lebih hanyalah angka; pembunuhan berarti berkurangnya jumlah penduduk yang tidak saya kenal; sengsara adalah derita yang dialami orang lain; pembakaran dan penjarahan tidak membahayakan rumah dan harta milik saya. Auktor intelektual tidak bertemu sendiri dengan korban, tidak menyaksikan penderitaan mereka, padahal moralitas mulai pada saat berjumpa dengan wajah, kata E Levinas.
Terasing Dari Realitas
Tidak berjumpa wajah, terasing dari realitas membutakan nurani. Keterasingan dari realitas ini sangat kental melekat pada fanatisme agama dan ideology. Sering fanatisme ini didorong oleh motivasi yang saleh: menghendaki adanya perubahan terhadap masyarakat yang dibusukkan oleh kemunafikan ideology. Fanatisme itu menjanjikan pembaruan yang radikal sehingga banyak yang memeluknya. Dukungan mereka ini sering tanpa pamrih. Tiadanya pamrih ini bukan berarti  mereka siap mengorbankan kepentingan pribadi mereka, tetapi hanya merupakan tanda keterasingan terhadap yang riil itu sungguh total.
Keterasingan terhadap realitas dan terhadap orang lain akhirnya menghancurkan hubungan dengan dirinya sendiri , maksudnya ialah tidak ada lagi spontanitas yang menjadi sumber kebebasan gagasan, keyankinan, dan pikiran kritis. Penolakan diri ini melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. analisis ini menunjuk adanya kaitan erat antara terasing dari realitas dan tindakan yang tidak bertanggung jawab, yang tercermin dari gegabah dalam berpikir”. Contoh karikatural cara berpikir yang terasing dari realitas adalah kalimat terkenal seorang mayor tentara amerika  serikat yang setelah menghancurkan sebuah kota di Vietnam selatan. Ia mengatakan, “kita terpaksa harus menghancurkan kota ini untuk menyelamatkannnya.” Dengan tercabut dari pengalaman riil, pemikiran tercabut juga dari akar etikanya, terasing dari realitas berarti terasing dari moralitas karena fanatisme mengasingkan manusia dan kemanusiaannya yang konkret.
Fanatisme: Menolak Yang Berbeda
Dari sisi pelaku, proses menjadi fanatic menyebabkan orang lepas dari tanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya dengan bersembunyi dibalik pembenaran simbolis, ideologis, atau teologis. Dari impersonalisasi tindak kekerasan jangan cepat mengambil kesimpulan bahwa pelajaran agama kurang mendapat tempat. Masalahnya bukan pada pelajaran agama, tetapi pada bagaimana disampaikan. Sering ada kisah memprihatinkan tentang pelajaran agama yang dipakai sebagai alat cuci otak. Tidak ada ruang untuk kritis. Seorang anak dirumah dididik oleh orang tuanya untuk menghargai teman-temannya yang beragama lain. Pulang dari sekolah, setelah mendapat pelajaran agama, orang tua terkejut karena anaknya tidak mau lagi bergaul dengan mereka karena menganggap bahwa teman-teman yang beragama lain itu akan masuk neraka. Seorang anak ketika melintasi rumah ibadat orang beragama lain berkomentar kepada ibunya, “bu, katanya rumah itu tempat orang-orang jahat.” Sungguh sangat menyedihkan! Dan, semua itu mendapat pembenaran dari agama dan guru agama yang mengajarkan itu.
Fanatisme adalah bentuk penolakan terhadap yang berbeda dan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tak merasa bersalah. Jadi, proses impersonalisasi korban itu beralihnya sudah ditebarkan oleh para guru agama, pengkhotbah, dan pemuka agama sejak masih kanak-kanak. Pernah seorang peserta seminar dialog antar agama dalam keputusasaannya mengatakan, “bukankah humanism dan local wishdom akan lebih baik menggantikan agama, supaya orang tidak mencari pendasaran teologis dan pembenaran simbolis dari tuhan dalam melakukan kekerasan dan pembunuhan. Sejarah menunjukan bahwa konflik dan peperangan karena agama sering terjadi. Dengan tidak usah mengacu pada yang transenden itu orang diajak berpijak pada yang manusiawi. Pembunuhan apa pun alasannya tidak akan dibenarkan oleh rasa kemanusiaan.” Hannah Arendt mengingatkan, kita tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideology dan menodai usaha yang kita perjuangkan melawan totalitarisme dengan suatu fanatisme adalah musuh besar dari kebebasan.”
Tanggung jawab Kolektif: Masalah Politik  
Tanggung jawab kolektif lebih bermuatan politik dari pada yuridis dan moral. Hukum dan moral mengacu kekriteria yang kurang lebih sama, yaitu ke pribadi pelaku dan tindakannya. Jika seseorang terlibat dalam kejahatan yang direncanakan oleh satu kelompok, yang diadili adalah selalu pribadi pelaku tersebut, tingkat keterlibatannya, perannya, dan sebagainya dan bukan kelompoknya. Kepemilikan seseorang dalam suatu kelompok tidak berperan kecuali bila semakin memperkuat kemungkinan melakukan kejahatan. Apakah tuduhan merupakan anggota partai politik tertentu atau anggota organisasi keagamaan atau suku tertentu yang diadili adalah pribadi pelaku itu. Bahkan pengakuannya bahwa dirinya hanya bidak yang melaksanakan perintah atasan (orang lain dalam posisi yang sama tentu tidak akan dapat menolak) tidak mengubah situasi bahwa dia diadili atas dasar tindakannya. Pengakuan itu tidak otomatis bisa dijadikan landasan untuk menuntut tanggung jawab kolektif.
Mungkinkah orang dianggap bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dilakukannya karena kepemilikan orang tersebut pada suatu kelompok? Tanggung jawab seperti itu sifatnya pertama-tama adalah politik. Setiap pemerintahan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pendahulunya, setiap bangsa bertanggung jawab atas masa lalunya. Bangsa jerman ikut memikul beban atas apa yang dilakukan hitler terhadap bangsa yahudi. Jika para pelaku kejahatan dimasa lalu tetap hidup nyaman dan tidak diadili, semua diskusi atau upaya bantuan terhadap korban tidak akan mampu melepaskan dari beban sejarah yang menggelayuti bangsa Indonesia. Tidak ada criteria moral yang dapat melepaskan orang dari tanggung jawab kolektif, termasuk terorisme dimana yang menjadi korban adalah bangsa lain.
Terorisme Dan Politik Porno
Terorisme itu sering digunakan untuk mengkualifikasi tindakan musuh, seperti halnya arti ideology menurut Napoleon. Raja perancis ini mendefinisikan ideology sebuah pemikiran musuh-musuh politiknya (Jean Baechler,1976). Demikian pula dianggap teroris oleh Amerika Serikat, bosan dipuja sebagai pahlawan oleh pengikut dan simpatisan osama bin laden. Tetapi, apa pun istilah yang dipakai, siapa pun yang menyebut, fakta telah menunjukan telah terjadi kekerasan yang meninggalkan korban. Kebanyakan korban tidak bersalah dan dalam posisi lemah. Mereka adalah korban kekerasan politik.
Politik Porno Dan Kekerasan
Yves Michaud dalam violence et politique (1978) secara sarkastis menyebutnya politik porno semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu. Porno berasal dari bahasa yunani, porneia, yang berarti ‘hal-hal yang tidak senonoh’. Politik-porno merupakan manajemen kekerasan sebagai cara yang efesien dan andal. Ini bukan pujian ironis, tetapi istilah ini mau menggambarkan betapa kasar dan tidak senonohnya realitas politik itu sehingga tidak tepat disebut kekejian dan kepala dingin gangsterisme politik. Realitas ini bukan romantisisme revolusi, bukan pula banditisme robinhood, tetapi keseharian biasa bentuk kejahatan besar yang dilakukan dalam profesi politik.
Masuk dalam kategori politik-porno ini demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan, untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu. Politik-porno ini mengakibatkan korban yang tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi trauma. Prinsip yang dipegang politik-porno ini ialah “tujuan menghalalkan cara”.
Kriminalisasi Politik Dan Politisasi Kriminalitas
Ketika tujuan menghalalkan cara, cara bisa sewenang-wenang sehingga sulit dibedakan dari tujuan. Oleh karena itu, sulit dibedakan antara demonstrasi dengan kekerasan itu bayaran atau murni aspirasi pendemo, kerusuhan, pembakaran rumah ibadat, saling bunuh itu konflik agama atau rekayasa. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Situasi seperti ini tidak disia-siakan oleh para preman dan kelompok yang memiliki kekuatan fisik riil. Mereka inilah yang diuntungkan.
Kekerasan semacam itu juga ada batasnya. Tetapi, batas itu justru dipakai sebagai alat pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap membutuhkan legitimasi. Kekerasan tidak akan beroperasi jika lepas sama sekali dari hukum. Maka, kekerasan bersembunyi dibalik lubang hukum: kerussuhan masih dipakai sebagai sarana karena para pelaku tidak ditindak keras, bahkan menikamati impunitas; intimidasi dan teror digunakan karena sulit dibuktikan secara hukum; para saksi tidak berani membuka mulut. Kekerasan politik bisa berjalan karena memperhitungkan aspek hukum itu. Dengan membuktikan alibi, prosedur hukum telah dijalani. Terorisme juga butuh pembenaran.
Terorisme, yang merupakan bagian dari politik-porno, apa pun alasannya tidak bisa dibenarkan dari segi etika. Terorisme mencerminkan tindakan dari argument keharusan. Argument keharusan bukan merupakan argument eika. Etika selalu merupakan hasil dari suatu pilihan, sedangkan keharusan mengandaikan tiadanya pilihan lain. Lalu dari perspektif mana kekerasan politik berusaha mencari pembenaran?
Tujuan Menghalalkan Cara 
Biasanya pembenaran itu bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian max weber: tujuan menentukan pemilihan sarana. Prinsip rasionalitas tindakan ini membawa ke perbedaaan atara pandangan pakar dan politik itu sendiri. politik mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini, sedangkan analisis rasional tindakan adalah masalah koherensi tujuan, penyesuaian sarana yang efektif, akibat-akibat yang dapat diperhitungkan. Jika yang dikehendaki dipisahkan dari sarana untuk mencapainya, tujuan dengan mudah melegitimasi sarana apa pun yang dipakai. Risiko dan korban diabaikan, yang penting tujuan bisa tercapai. Bahkan lebih sadis lagi korban dianggap sebagai ukuran keberhasilan atau bagian dari strategi. Maka, kekerasan dianggap sebagai salah satu sarana itu tanpa ada perbedaan normative.
Pemahaman ini memberi peluang masuk didalam suatu proses legitimasi kekerasan melalui prinsip kasuistik (pada kasus tertentu kekerasan dibenarkan). Seakan-akan orang masuk dalam etika tanggung jawab dengan mengkualifikasikan kekerasan sebagai sarana yang telah diuji dan terseleksi atas Dasar kriteria efektivitas. Efektivitas adalah prinsip realisme. Padahal, kebanyakan wacana yang realis ternyata sering mengabaikan masalah legitimitas tujuan. Pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan dapat dijelaskan dengan analisis rasional, tetapi tidak ditentukan olehnya. Rasionalitas berhenti dipintu masuk keputusan. Hal ini jelas dari kritik Jurgen Hebermas (1968) terhadap analisis weberian tentang rasionalisasi keputusan. Dia menangkap analisis Max weber justru menunjukan kecenderungan untuk sewenang-wenang dalam pengambilan keputusan, karena ruang lingkup keputusan di persempit oleh analisis metodologis, sedangkan keputusan itu sendiri menjadi irasional. Irasionalitas itu tampak ketika masalah pilihan nilai-nilai diabaikan seperti dalam rumusan tujuan menghalalkan cara. Penalaran seperti itu menutup kemungkinan konfrontasi teoritis, debat ideologis, diskusi tentang prioritas, dan itu berarti menutup diri terhadap diskusi tentang legitimasi tindakan.
Rasionalisme Instrumental dan Nihilisme
Dengan mengabaikan maslah pilihan nilai-nilai itu, orang dibawa masuk ke rasionalitas instrumental. Rasionalitas instrumental ditandai oleh dominasi sarana atas tujuan atau sarana menjadi diktator. Akibatnya, realisme berubah menjadi sikap yang biasa menghendaki apa saja. Dengan demikian, tindakan rasional bisa direduksi menjadi hanya masalah penyesuaian tujuan dan sarana-sarana. Dari persfektif etika seakan-akan netral. Sedangkan komitmen terhadap nilai-nilai tertentu lebih merupakan masalah kenyakinan. Maka, etika yang dianut tidak mungkin didiskusikan secara rasionalitas hanya untuk bidang instrumental. Terorisme didasari oleh etika keyakinan.
Rasionalitas tindakan yang mengklaim bebas nilai ini ternyata menyembunyikan suatu komitmen terhadap nilai tertentu. Nilai tersebut hanya mengacu ke satu tujuan, yaitu kemajuan tindakan rasional sebagai tindakan instrumental yang mengabaikan semua pertimbangan mengenai tujuan. Kekosongan nilai yang tercermin dalam prinsip tujuan menghalalkan cara, karena tidak ada lagi tujuan, sarana/cara menjadi mutlak dan memberikan pembenaran diri inilah yang disebut nihilisme, legitimasi kekerasan dilakukan dengan mengosongkan substansi tujuan dan akhirnya kekerasan memberi pembenaran diri sebagai sarana yang efektif. Kekerasan baik karena efektif. Ini menjadi prinsip politik porno, prinsip terorisme. Prinsip ini mengabaikan korban. Bahkan korban dijadikan sarana untuk meningkatkan kekuatan tawar.
Etika Diskursus dan Proposionalisme
Akan tetapi, bagaimana dengan masalah ‘tujuan menghalalkan cara’ yang bisa diterima dari sudut pandang etika? Misalnya, menyiksa satu orang untuk menyelamatkan seribu orang. Dalam etika, kasus ini masuk dalam kategori konflik kewajiban. Tetapi, perlu dua catatan. Pertama, ketika oarang berusaha melegetimasi sarana melalui tujuannya, entah sarana yang dipilih itu berupa kekerasan atau yang lain, harus terbuka terhadap evaluasi. Dengan kata lain, pilihan sarana harus terbuka bagi perdebatan, kritik, dan  bukan hanya berhenti pada kenyakinan. Bukan etika yang hanya mendasar pada kenyakinan, tetapi etika tanggung jawab yang terasah melalui perdebatan.
Kedua, dalam kasus itu, proposionalisme bisa menolong memberi argumen lain. Pendekatan ini menuntut empat syarat agar dari segi etika bisa diterima. Pertama, tujuan harus baik (mau menyelamatkan seribu orang). Kedua, hanya akibat baik yang benar-benar dicari dan efek yang jelek tidak diperbolehkan atau hanya ditolerir. Ketiga, ada alasan yang proporsional untuk mempertanyakan sebabnya (urgensi pemecahan), yang dalam kasus itu ada keselamatan seribu orang. Keempat, perbandingan harus seimbang antara dua akibat tersebut (seribu orang diselamatkan, tetapi satu orang disiksa). Kalau akibat jeleknya lebih besar, berarti melawan moralitas.
Memang pendekatan proposionalisme ini akan ditentang etika deontologis. Pendekatan yang terakhir ini akan mengatakan bahwa dalam situasi apapun manusia harus menjadi tujuan, bukan sarana bagi tujuan-tujuan lain. Tetapi, dalam situasi dilematis orang sering terpaksa harus menggunakan prinsip minus malum, artinya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang lebih jahat. Pilihan kekerasan sering lebih didasarkan pada emosi daripada rasionalitas. Habisnya argumen. Tiadanya komunikasi lagi, seperti dikatakan Hanah Arendt: “kekeerasan adalah komunikasi bisu par exellence”. Padahal, kekerasan akan memancing kekerasan yang lain. Meskipun dengan alasan untuk menghadapi penindas, kekerasan mampu merubah siapapun yang menggunakannya mirip dengan penindas. Tak seorang pun yang menggunakan kekerasan akan bisa lepas tanpa ternodai oleh kekerasan itu.
Demagogi: Wacana Manipulatif dan Penuh Kebencian
Fenomena jean-Marie le pen (prancis), Fortuyn (Belanda), dan Joerg Haider (Austria) mengguncang demokrasi di Eropa. Berkat perolehan suara yang banyak, partai ekstrem kanan yang mereka pimpin mendapat simpati dari cukup banyak penduduk asli. Reaksi keras biasanya bermunculan pada kasusu austria, israel memanggil pulang duta besarnya. Menteriluar negeri amerik aserikat waktu itu, Madelaine albright, memberi peringatan keras. Negara – negara uni eropa mengancam akan mengisolasi austria. Di dalam negeri dilanda gelombang demonstrasi menentang pemerintah baru. Bukankah itu hasil pemilihan yang demokratis? Mengapa ditentang? Apa yang keliru? Dalam konferensi peers Joerg Haider pernah membuat pernyataan yang meremehkan arti pembaitaian jutaan warga yahusdi oleh Nazi Jerman: Trageddi itu hanya sebagian kecil dari sejarah. Tidak hanya karena pernyataan itu joerg Hieder di tentang. Ada alasan lebih mendasr. Ideologi partai politik itu kebencin, kebencian terhadap orang asing.
Alasan yang mendasari kebencian terkesan logis. Pertama, angka pengangguran di austria cukup tinggi. Orang asing dianggap merebut pekerjaan warga austria asli. Kedua, orang asing di austria menjadi parassit karena memanfaatkan sistem asuransi sosial. Ketiga, angka kejahatan serta kekerasantinggi dan kebanyakan pelakunya adalah orang asing. Siapa warga Austria yang tidak tergiur oleh program yang menjanjikan dapat memberantas ketiga penyakit ini. Bebas dari pengangguran, bebas dari rasa takut akan kekerasan dan kejahatan. Kemakmuran karena Austria hanya untuk orang Austria. Caranya yang bukan orang austri minggir! Xenofobia, takut orang asing, berubah menjadi benci terhadap orang asing, itulah inti ideologi partai Joerg haider.
Akan tetapi, bila dianalisis dengan cermat, argumen yang kelihatan logis itu sangat bias. Argumen bahwa orang asing merebut pekerjaan warga austria sulit dibuktikan karena kebanyakan orang asing bekerja pada sektor yang disingkiri warga asli, alias pekerjaan kasarkrisis ekonomi yang menjadi penyebab utama pengangguran tidak di kaitkan. Orang asing yang mendapat santunan asuaransi sosial sudah lama tinggal di negara tersebut. Dulu orang tua mereka atau mereka sendiri dinutuhkan untuk pekerjaan kasar itu. Angka kejahatan yang tinggi dari warga asing tentu sulit dihindari. Mereka selalu menjadi korban pertama apabila ada PHK. Mencari kerja sulit.
Bagaiman argumen yang bias itu mempunyai daya tarik yang luar biasa? Pengangguran dan rawan kejahatan adalah pengalaman yang nyata, yang membuat takut dan marah. Perasaan cemaskan masa depan krena belum melihat tanda-tanda perbaikan ekonomi. Lalu partai ekstern kanan ini menjanjikan pemecahan dengan mengekploitasi perasaan takut, cemas, dan marah itu kepentingan politik, demagogi. Mereka mereduksi semua persoalan itu menjadi “karena orang asing”. Berkobarlah kebencian terhadap orang asing, “biang kerok” semua masalah sosial.
Itulah demagogi. Joerg haider itu adalah seorang demagog. Demagog secara harfiah berarti orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Di Indonesia fenomena demagog seperti itu menghinggapi juga beberapa politikus, politikus yang gemar mengaduk-ngaduk perasaan masyarakat, biasanya dengan menggunakan isu agama, untuk kepentingan politiknya, dari mengajak berfikir secara objektif dalm mencari jalan keluar. Sayangnya, warna wacana yang dominan dari pada banyak pemuka agama, para pengkhotbah dan guru-guru agama adalah demagogi. Demagogi ini lebih berbahaya lagi ketika koran, tabloid, dan majalah tertentu mengadopsinya sebagai gaya pemberitaan penyebaran kebencian semakin efektif dan luas. Sanagt efektif untuk orang sederhana, tetapi tak jarang kaum intelektual terkena juga, bahkan menjadi ideolog kebencian.
Demagogi, tipe wacana manipulatif, efektif untuk menggalang dukungan politik dari khalayak karena mempunyai mekanismeyang khas. Pertama, seorang demagog selalu mencari kambing hitam atas segala masalah. Maka, kebencian terhadap suatu kelompok tertentu ditumbuhkan, dipelihara, dan kalau perlu diperdahsyat intensitasnya. Dengan cara ini, fanatisme kelompok dijamin karena jalan keluar masalah diidentikan dengan menghancurkan suatu kelompok tertentu. Jika kepentingan politik memerlukannya, lalu tinggal menarik picu untuk diledakan. Kedua, argument yang menjadi senjata utama biasanya menyerang pribadi orangnya dan argumen kepemilikan kelas yang penuh kebencian. Orang tahu bentuk argumen ini rentan terhadap SARA, mudah untuk membangkitkan sentimen agama dan kelompok. Argumen itu cenderung mengalihkan perhatian dari substansi permasalahan, karena hanya akan mencari kambing hitam. Dengan memojokan seseorang pada kepemilikan agama atau etnis tertentu, mereka berupanya mengisolasinya untuk mencegah semua bentuk simpati atau solidaritas sehingga semua usahanya akan dicurigai dan ditentang. Ketiga, seorang demagog biasanya sanagt canggih dalam membuat skematisasi. Dalam fenomena ideologi, ada mekanisme yang disebut skematisasi. Upaya menyederhanakan suatu gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektivitas sosial. Maka pemikiran atau gagasan itu harus menjadi opini, opini inilah yang membentuk ketyakinan. Dari keyakinan tinggla satu langkah untuk sampai ke tindakan. Oleh karena itu, pemikiran harus rela kehilangan rigoritasnya menjasi lebih sederhana dan mudah di tangkap khalayak agar menjadi opini. Sampai titik ini skematisasi tidak menjadi masalah. Wjar dalam proses pemahaman butuh penyederhanaan. Tetapi, bahayanya mulai terasa pada saat  penyederhanaan menjadi reduksi. Reduksi ketika sebuah koran memberitakan suatu konflik hanya memperlihatkan foto-foto dari satu pihak saja. Tetapi sanag efektif untuk menigkatkan kebencian.
kebencian itu penyebab utama kekerasan massal yang mewabah di Indonesia akhir-akhir ini perusakan dan pembakaran  tempat ibadah, penjarahan, pemerkosaan, penganiyaan, dan pembantaian. orang boleh mengatakan sebab utama adalah kesenjangan ekonomi atau sistem politik yang represif. tetapi, sangat naif kalau menagabaikan peran kebencian. jujur, kebencian itu riil ada dan dirasakan, lebih-lebih kebencian antarkelompok agama, terutama Isalam berhadapan dengan Kristen dan Katolik. tidak semua penganut agama yang satu membenci enganut agama yang lain. ada yang banyak membangun persahabatan dan kerjasama. Namun,jumlah yang memendam kebencian itu cukup banyak untuk dengan mudah mnyulutkonfilk dan ketegangan. provokator tidak akan bisa berhasil kalau kebencian itu tidak ada.
Kebencian itu atasa nama agama ini lebih sulit diredam daripada kebencian yang ditebarkan oleh nasionalisme sempit dari partai kebebasan Joerg Haider. lebih sulit karena, pertama, mistifikasi motif kebencian itu agama memberi landasan ideologisdan pembenaran simbolis. mereka merasa membela iman dan kebenaran, dengan kata lain, demi tuhan sendiri. kedua, alasan historis pertentangan bertobat menjadi kawan. Demagog dan pengikutnya tidak akan bisa menerima perbedan dan pluralitas. Kebencian itu diskriminatif dan menafikan yang lain, yang berbeda. maka, ada pepetah Prancis: le demagoge est le pire ennemi de la democratize ( Demagog adalah musuh terbesar demokrasi). Karena Demokrasi mengandaikan pengakuan pluralisme dan meneriama perbedan. Jadi, bisa dipahami bahwa partai Joerg Haider meskipun menang secara demokratis tetapi ideologinya bertentangan dengan nilai-nilai ddemokrasi dan etika politik. kebencian dan deskriminasi bertentangan dengan kebebasan dan keadilan. Tidakah para demagog itu sadar upayanya menebar kebencian itu mendatangkan malapetaka bagi rakyat? Politik selalu melahirkan demagog. Demagogi mendorong tumbuh subur radikalisme.
Utopia Politik dan Radikalisme
secara berkala masyarakat muncul suatu utopia. Utopia biasanya disambut hangat dalam masyarakat yang sedang dilanda krisis. Di jawa pada masa penjajahan orang mengenal utopia dalam bentuk mesianisme janji akan datangnya ratu adil. Di Eropa, pengaruh teks Thomas More, Utopia, terhadap ideologi sosialis utopis abad XIX tidak bisa diabaikan. Utopia sosialis dari Charles Fourier sampai Karl Marx, dari Saint Simon sampai robert owen, mempunyai kesamaan, yaitu mempertanyakan gagasan-gagasan zaman itu, mengguncang keyakinan kebanyakan orang protes terhadap tatanan sosial yang ada dan mengusulkan konsepsi kehidupan sosio-politik alternatif.
hampir semua agama menjadi sumber inspirasi gagasan utopia politik. Dalam kristianisme dikenal tokoh seperti savonarola di firenze (1498) dan Jan Beukels di Munster (1536). Dalam islam, masa Nabi Muhammaad SAW selalu menjadi acuan utopia kehidupan sosio-politik bagi pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan sosial - politik muslim. satu hal yang menandai gerakan-gerakan utopis ini ialah radikalisme. dari mana radikalisme? Radikalisme berasal dari struktur utopia itu sendiri visi manikean revolusi sudah di ambang pintu cobaan akan datang tenor dan pengawasan politik.
Visi "manikean"
Dunia ini pada dasarnya hanya dibagi menjadi dua kelompok, baik dan jahat, terang dan gelap, benar dan salah. Musuh adalah wujud nyata kejahatan itu. dalam utopia sosialis, pilihan antara sosialisme (wujud nyata yang baik) atau borjuasi/ kapitalisme 9wujud nyata kejahatan). dalam utopia poltik religius, tidak hanya dua kelompok yang seagam atau musuh. Model manikean utopia politik-religius membagi tiga kelompok yang terpilih (militan). masa pemeluk(simpatisan), dan para pendosa atau kaum kafir yang ada di luar agama pilihan.
Visi Manikean ini mendorong ke radikalisasi tindakan melalui tiga cara, yaitu satanisai musuh, heirarkikasi keanggotaan, dan puritanisasi gerakan. Pertam, pemisahan baik-jahat, berfungsi untuk satanisasi musuh. Dengan cara itu, pembunuhan musuh menjadi sesuatu yang impersonal karena nusuh negasi terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh agama pilihan. Jadi, tidak mungkin ada perdamaian denganorang orang semacam itu. Robespierre pernah mengtakan, "mereka yang memerangi rakyat untuk menghentikan kebebasan dan meniadakan hak asasi manusia harus dilawan bukan sebagai musuh biasa, tetapi sebagai pembunuh dan bandit pemberontak".
kejahatan ada dimana-mana, licik dan penuh jebakan, maka harus diahancurkan. "Ada konspirasi jahat" adalah senjata kaum utopis politik-religius untuk mendiskualifikasi setiap upaya mengahalanginta. Komplotan jahat yang merupakan jaringan disinformasi, penghianatan, dan pembunuhan adalah setrategi musuh untuk menghambat perwujudan utopia itu. Kedua, heirarkisasi keanggitaan. semakin besar keingina menjadi bagian inti dari organisasi semakin nekat dan radikal tindakan nya. Penagkuan militansi hanya datang melalui fanatisme semacam itu. ketiga, puritanisasi gerakan adalah upaya menghindari segala macam bentuk kontaminasi ajaran, tradisi, kebiasaan, serta usaha untuk menyeleksi anggota atas dasar militansi. Tuduhan penghianatan merupakin cara menyingkirkan anggota yang dianggap tak berguna. Maka, pepatah "revolusi memakan anaknya sendiri" berlaku juga pad utopia politiko-religius. Mereka yang seagama pun pada akhirnya akan dibersihkan apabila dianggap tidak segaris dengan kelompok inti.
Revolusi sudah di Ambang Pintu
saatnya tiba, besok kemenangan akan diperoleh berkat perjuanagn partai pekerja, buruh dan petani bersatu menuntut hak-hak mereka. Pada tahun 1848, Karl Marx mengumumkan kehancuran borjuasi. "tiba-tiba masyarakat jauth dalam situasi biadab, kelaparan dan perang yang menghancurkan telah memisahkan dari sarana kehidupan. Industri dan perdaganagn bangkrut. Borjuasi tidak mampu mempertahankan diri sebagai kelas dominan. Harus berubah! Aksi reolusioner menjadfi keharusan, karena masyarakat terlalu muak terhadap peradaban zaman ini. Kemiskinan berkembang jauh lebuh cepat daripada jumlah penduduk dan kekayaan"
Utopia politiko-religius hanya mengumumkan perubahan yang didahului oleh bencana alam, kemiskinan, konfilk, perang yang menghancurkan bangsa. Kata klisme, kemiskinan dan perang itu hanyalah sindrom dari kebobrokan moral. Maka, fokus utam revolusi agama adalah mengatasi dekadensi moral. Banyak revolusioner agama mengumumkan saatnya sudah tiba. situasi yang ada sudah tidak bisa ditorelir lagi. Saat yang dijanjikan sudah dekat, tetapi juga fatal, sudah di kendaki Tuhan. Kalau dalam manifesto Komunis (1848) marx meramalkan "borjuasi mempersiapkan senjata yang kan menjadi alat pembunuh dirinya sendiri", dalam utopia politiko-religius, self acomplished prophecty menjadi mekanisme penghancuran musuh agama pilihan. Biasanya seorang Nabi meramalkan sesuatu, tetapi Tuhan yang menentukan. Dalam self acomplished prophecty, yang meramalkan sekaligus adalah pelaksanaanya. dalam rapat akbar di Nurenberg, Hitler pernah meramalkan bahwa penghisap darah rakyat jerman/yahudi suatu saat akan binasa. dalam benak Hitler sudah ada rencana pengejaran dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yahudi, janji dan ramalan bahwa para musuh agama pilihan akan binasa menjadi alat pembenaran untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasn terhadap siapa saja yang di anggap musuh ' saatnya tiba lalu memang mempunyai efek redikalisasi gerakan. Bukan berarti situasi yang tidak dapat ditorelir itu akan segera bisa diakhiri, tetapi pendderitaan, cobaan dan kekurangan itu ,ulai sekarang mempunyai makna positif. Harapan akan masa depan yang lebih baik membuat pengorbanan yang sekarang ini menjadi lebih bermakna.
Cobaan akan Datang
Betapa pedihnya cobaan, penantian yang lama, saat-saat putus asa selalu mempunyai makna. Cobaan-cobaan itu menjadi pemurnian dan cara seleksi mereka yang terpilih, tanda keterpilihan itu adalah tahan menghadapi semua tantangna dan cobaan. Ideologi memberi makna terhadap cobaan, kegagalan, atau kekalahan dengan menyakinkan kemenangan akhir sudah dekat. Karl Marx (1848) menulis : "kadang-kadang kaum borjuis menang, tetapi kemenangan mereka hanya sememntara. "tidak ada alasan yang bisa mengendurkan semangat dan militansi mereka.
keyakinan ideologis semacam itu mendorong dedikasi dan pengorbana, tetapi juga membawa kepada tiadanya toleransi, tidak peka lagi terhadap kekejaman dan kekerasan. Kesetiaan tanpa syarat memberi makna kepada hidup dan kekecewan mereka. Pahit karena kekalahan dilihat sebagai sesuatu yang sementara. melemahnya ideologi ditanggapi dengan optimisme bahwa gagasan besar akan bisa bertahan hidup. Proses ini tanpa disadari menjadi proses proses dari keyakinan agama menjadi keyakinan politik yang memuncak pada utopia. Semua ini terjadi karena perasaan dianaikan atau disingkirkan dari kekuasaan dialami kelompok sosial tertentu mengkristal menjadi perlawanan dan mendorong radikalisasi gerakan.
Teror bukan hanya menjadi seleksi anggota terpilih, tetpi juga sebagai pendagogi unttuk menjamin hukuman bagi musuh dan mobilisasi para pengikut. dalam bawah sadar kolektif, kekejaman hukuman tidakn dirasakan sebagai yang menghancurkan, tetapi dilihat sebagai pendidikan, bentuk moralisasi indivindu, sarana integrasi ke dalam struktur kelompok tersebut. kekejaman hukuman akan semakin berat bagi mereka yang menolak, bahkan bisa sampai pada isolasi atau kematian. seakan-akan pepatah "yang sungguh mencintai, tak segan menghukum" mendapat pembenaran. Hal ini untuk menghindari sifat pasif. "sifat pasif merupakan kejahatan melawan revolusi, " kata lenin. Jadi, teror tidak hanya sarana untuk menguasai manusia, tetapi juga sarana untuk memobilisasi ddengan keyakinan bahwa revolusi belumselesai, musuh masih hidup.
Kebenaran itu ada satu. Hanya pemimpin yang bisa menafsirkan secara benar. Pemimpin mempunyai tugas membawa anghota kedunia yang lebih baik dengan segala cara. Mekanisme perilaku kejam berjalan dengan kesadaran peenuh. Saling curiga merupakan akibat yang tak terhindarkan sehinggga berkembang mentalitas menjilat dan fitnh. Mekanisme ini menjadi bentuk pengawasan yang efektif. Pemimpin tidak perlu selalu hadir, tetapi ada perasaan selalu diawasi pada diri anggota-anggotanya. Pengawasan diskontinu, effeknya kontinu. Ideologi ingin menjamin kebahagiaan manusia, bukan menindas. tetapi, visi menyeluruh tentang masyarakat mengandaikan kontrol  yang total dan permanenterhadap indivindu. Radikalisasi merupakan efek dari teror pengawasan. Orang ingin membuktikan dirinya loyal dan militan.

Kesimpulan
Melihat meluasnya penggunaan kekerasan sebagai alat politik, cita-cita demokrasi menjadi lebih riil apabila menekankan kemampuan sisitem politik ini untuk memebereskan konflik-konflik kepentingan secara damai. Untuk tujuan ini, perlu ada koreksi terhadap demokrasi, terutama. Pertama, terhadap masalah representativitas. Jangan sampai representativitas yang menjadi mekanisme pengambilan keputusan untuk kepentingan rakyat ini dimonopoli oleh beberapa orang saja. Mereka yang menguasai operasi-operasi pasar, mereka yang menguasai seluk beluk politik dan para jenderal. Sedangkan pasar diandaikan dikendalikan melalui kom petensi bebas, tetapi dalam kenyataan sangat jarang terjadi kompetensi beas. Biasanya apa yang dikatakan kompetensi bebas itu berakhir pada dominasi oleh beberapa yang menag saja. Maka, janji sisitem representativitas untuk memperluas pertimbangn publik atau pertisiapsi warga negara harus ditepati melalui konsultasi yang lebih sering dan intensif dengan konsituen.
Masalah kedua yang perlu dikoreksi ialah sistem representasi yang disamakan dengan masalah menjual produk. Apa yang menjadi output pemerintah dipertukarkan dengan dukungan pemilih. Apabila mekanisme ini yang ditekankan kompetensi kekuasaan yang dilembagakan masih menjadi kompetensi utama. Lalu kenyataan justru bukan prestasi yang di kejar, melainkan demagogi. Bentuk kekerasan simbolik yang menggunakan wacana publik ini semakin akan merebak. Pada akhirnya, kekerasan simbolis ini akan bermuara pada kekerasan fisik. Tidak mengherankan jalan ditempuh untuk menyampaikan aspirasi yang tersumbat itu cenderung kekerasan. Maka fanatisme  radikalisme, dan politik kebencian ini yang menjanjikan pembaruan yang radikal menjadi subur karena menghidupkan utopia masyarakat yang sedang di landa krisis. janji siap unutk apa saja, termasuk jalan kekerasan. Kekerasan menjadi subur pelampiasan kebencian. Kebencian riil diraskan. Bukankah politikus, guru agama, pemuka agama berperan dalam penanaman kebencian?
Berbagai kerusuhan di Indonesia memberi kesan bahwa kekerasan menjaddi biasa(banalisasi kejahatan). Ada setidaknya empat hal nyang menyebabkan kecenderungan pada kekersan, yaitu korban dibuat impersonal, lemahnya pertimbangan reflektif dalam arti pelaku tidak terbiasa berfikir krittis menempatkan diri pada posisi orang lain, para pelaku menikmati impunitas, dan demagogi yang menumbuh suburkan radikalisme. Radikalisme ini muncul dari ketidakpuasan dan protes terhadap tatanan yang ada. Ia menginginkan perubahan, biasanya utopiss. Struktur utopia ini adalah sumber radikalisme. Struktur itu terdiri dari. Pertama, visi manikean bahwa mayarakat hanya di bagi dua yang baik dan jahat. Kedua, peringatan revolusi sudah di ambang pintu. Ketiga, kewaspadaan untuk tabah dan tidak takut karena cobaan akan datang. Keempat, pembenaran teror dan pengawasan diskontinu, tetapi efek kesadaran diawasi kontinu.
Teror dan kekerasan mempunyai akibat langsung pada korban dalam bentuk penderitaan baik fisik maupun moral(trauma). Kejahatan yang tidak langsung melukai secara fisik korbannya, tetapi berakibat lebih dahsyat adalah korupsi.





Review Bab IV
DEMOKRASI, RADIKALISME, DAN KEKERASAN
Orang berharap banyak dari demokrasi. Dengan demokrasi diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan kolektif akan berdasarkan pada pertimbangan public yang luas. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidak adilan dan membuat pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional. Selain itu, demokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warga Negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Orang begitu percaya kepada sistem politik ini sehingga demokrasi seakan identik dengan kebebasan, hormat terhadap martabat manusia, kesamaan, keadilan, keamanan, dan pertumbuhan ekonomi.
Orang kecewa ketika menyaksikan dan mengalami bahwa demokrasi tidak otomatis menghasilkan apa yang diharapkan itu. Ironisnya, demokrasi harus lahir melalui konflik yang berkepanjangan: kerusuhan terjadi dimana-mana; pertumbuhan ekonomi tidak juga menampakkan batang hidungnya, bahkan pengangguran semakin merajalela; banyak kasus di mana pertumbuhan ekonomi bisa terwujud tanpa demokrasi; tiadanya rasa aman karena kriminalitas semakin meluas dan nekat; korupsi tidak juga mereda; angka kemiskinan semakin tinggi.
Kebebasan berpendapat dan kekerasan
Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik terancam. Hipotesis ini mau mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti kemampuan komunikasi, menjalankan fungsinya, yaitu menggantikan kekerasan. Oleh karena itu, sudah sejak demokrasi yunani kuno, orang mendefinisikan kebebasan berpendapat sebagai wacana yang menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik.
Di Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik, meskipun demokrastisasi terus bergulir. Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Kekerasan bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Ada pula kecenderungan beberapa kelompok yang mengatasnamakan tatanan moral menghalalkan kekerasan. Dalih yang dipakai karena aparat tidak efektif. Tidak efektifnya aparat itu dikaitkan dengan dua alasan: pertama, yaitu kurangnya personel, tempat tidak terjangkau; sedangkan alasan yang memicu peradilan massa, kekerasan massa adalah tuduhan bahwa petugas korup, terlibat, melindungi pelaku kejahatan. Alasan kedua ini biasanya dipakai untuk alibi penggunaan kekerasan massa.
Memang, dengan memberi kebebasan berpendapat bukan berarti bahwa lingkup public bisa dibersihkan dari tindakan kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap ada dan akan tetap terjadi bahkan didalam wicara. Memang benar wicara merupakan alternative terhadap kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternative terhadap kekerasan simbolis yang masih sering terjadi di dalam wacana.




Kekerasan menjadi biasa
Kehidupan rakyat selalu dibayangi kekerasan. Seakan-akan kekerasan selalu mengiringi peristiwa-peristiwa sosial dan politik di Indonesia. Hannah Arendt, seorang filsuf politik, menyebut fenomena semacam itu banalisasi kejahatan (menjadi biasanya tindak kejahatan).
Korban kekerasan dibuat impersonal
Korban dibuat impersonal berarti korban dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dianggap lagi sebagai seorang pribadi manusia. Proses impersonalisasi korban kekerasan itu bisa ditempuh dengan berbagai cara. para narapidana direduksi menjadi angka-angka. Choukov, salah seorang narapidana, diberi label angka ch 854. Reduksi menjadi angka itu merupakan ilustrasi bahwa kamp konsentrasi telah mengubah pribadi manusia menjadi suatu hal saja. Dengan cara ini, pembunuhan menjadi impersonal orang tidak merasa membunuh seorang pribadi, tetapi hanya menghilangkan angka.

Yang legal belum tentu moral
Mereka yang mengorganisasikan kerusuhan tentunya orang-orang professional yang terlatih. Nurani mereka sudah bebal. Mereka terasing dari pencarian makna. Agama bagi mereka hanyalah kedok dan alat untuk menggapai kekuasaan. Mereka memegang prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Cara berpikir utilitarian ini menumpulkan nurani dan memperlakukan orang lain sebagai alat bagi kepentingan dirinya dan kelompoknya. Orang-orang macam ini tidak mempunyai perasaan bersalah.
Orang-orang ini sangat berbahaya karena nurani mereka tak tersentuh oleh penderitaan. Korban tidak lebih hanyalah angka; pembunuhan berarti berkurangnya jumlah penduduk yang tidak saya kenal; sengsara adalah derita yang dialami orang lain; pembakaran dan penjarahan tidak membahayakan rumah dan harta milik saya. Auktor intelektual tidak bertemu sendiri dengan korban, tidak menyaksikan penderitaan mereka, padahal moralitas mulai pada saat berjumpa dengan wajah, kata E Levinas.

Terasing dari realitas
Tidak berjumpa wajah, terasing dari realitas membutakan nurani. Keterasingan dari realitas ini sangat kental melekat pada fanatisme agama dan ideology. Keterasingan terhadap realitas dan terhadap orang lain akhirnya menghancurkan hubungan dengan dirinya sendiri , maksudnya ialah tidak ada lagi spontanitas yang menjadi sumber kebebasan gagasan, keyankinan, dan pikiran kritis.

Fanatisme: menolak yang berbeda
Dari sisi pelaku, proses menjadi fanatic menyebabkan orang lepas dari tanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya dengan bersembunyi dibalik pembenaran simbolis, ideologis, atau teologis. Fanatisme adalah bentuk penolakan terhadap yang berbeda dan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tak merasa bersalah. Jadi, proses impersonalisasi korban itu beralihnya sudah ditebarkan oleh para guru agama, pengkhotbah, dan pemuka agama sejak masih kanak-kanak.
Tanggung jawab kolektif: masalah politik  
Tanggung jawab kolektif lebih bermuatan politik dari pada yuridis dan moral. Hukum dan moral mengacu kekriteria yang kurang lebih sama, yaitu ke pribadi pelaku dan tindakannya. Setiap pemerintahan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pendahulunya, setiap bangsa bertanggung jawab atas masa lalunya. Bangsa jerman ikut memikul beban atas apa yang dilakukan hitler terhadap bangsa yahudi. Jika para pelaku kejahatan dimasa lalu tetap hidup nyaman dan tidak diadili, semua diskusi atau upaya bantuan terhadap korban tidak akan mampu melepaskan dari beban sejarah yang menggelayuti bangsa Indonesia. Tidak ada criteria moral yang dapat melepaskan orang dari tanggung jawab kolektif, termasuk terorisme dimana yang menjadi korban adalah bangsa lain.
Politik porno dan kekerasan
Politik-porno merupakan manajemen kekerasan sebagai cara yang efesien dan andal. Masuk dalam kategori politik-porno ini demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan, untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu. Politik-porno ini mengakibatkan korban yang tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi trauma. Prinsip yang dipegang politik-porno ini ialah “tujuan menghalalkan cara”.
Kriminalisasi politik dan politisasi kriminalitas
Ketika tujuan menghalalkan cara, cara bisa sewenang-wenang sehingga sulit dibedakan dari tujuan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Situasi seperti ini tidak disia-siakan oleh para preman dan kelompok yang memiliki kekuatan fisik riil. Mereka inilah yang diuntungkan.
Kekerasan semacam itu juga ada batasnya. Tetapi, batas itu justru dipakai sebagai alat pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap membutuhkan legitimasi. Kekerasan tidak akan beroperasi jika lepas sama sekali dari hukum. Maka, kekerasan bersembunyi dibalik lubang hukum.



STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf