Senin, 29 September 2014

IJTIHAD DAN TAKLID

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Muhammad dan keluarga beliau, serta laknat Allah semoga terlimpahkan atas para musuh mereka.

Ijtihad Dan Taklid
Berkenaan dengan masalah ibadah dan segala jenis transaksi (mu‘âmalah), walaupun berkenaan dengan hal-hal yang sunah dan mubah, setiap mukalaf yang belum mencapai jenjang ijtihad wajib bertaklid atau ber-ihtiyâth, asalkan ia mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth. Dan sangat sedikit sekali orang yang mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth ini. Kewajiban ini gugur berkenaan dengan hukum agama yang termasuk dalam kategori dharûriyât ad-dîn (ajaran agama yang wajibnya sudah gamblang). Atas dasar ini, amalan seorang awam—yang tidak mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth—adalah batal bila tidak didasari dengan taklid, sesuai dengan penjelasan berikut ini.
Masalah 1: Kita boleh ber-ihtiyâth, meskipun hal itu menuntut kita harus mengulangi (sebuah amalan).[1]
Masalah 2: Taklid adalah mengamalkan (sebuah amalan) dengan bersandarkan kepada fatwa seorang faqih. Ya, sesuatu yang menjadi legitimasi atas keabsahan sebuah amalan adalah pelaksanaan amalan tersebut atas dasar sebuah hujah, seperti fatwa seorang faqih, meskipun pelaksanaan amalan itu tidak dinamakan taklid.
Masalah 3: Marja‘ taklid harus seorang mujtahid, adil, berkelamin laki-laki, bermazhab Syi‘ah Imamiah, dan wara’ dalam agama Allah. Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, ia tidak boleh mencintai dan rakus terhadap harta dunia, baik berupa kedudukan maupun harta benda.[2]
Masalah 4: Setelah taklid terlaksana, kita boleh berpindah taklid[3] dari seorang marja‘ yang masih hidup kepada marja‘ lain yang juga masih hidup, asalkan mereka memiliki kedudukan yang sama dalam ilmu pengetahuan.[4] Dan berpindah taklid ini—berdasarkan ihtiyâth wajib¬—adalah wajib bila marja‘ yang kedua terbukti lebih a‘lam daripada marja‘ yang pertama.
Masalah 5: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[5] kita wajib bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, bila hal itu memungkinkan. Dan kita juga wajib mencari marja‘ yang a‘lam tersebut. Jika dua orang marja‘ memiliki kedudukan yang sama (dalam kelimuan), maka kita bisa memilih (salah satunya). Jika salah seorang dari mereka lebih wara’ atau lebih adil (dibandingkan dengan yang lainnya), maka berdasarkan ihtiyâth mustahab kita hendaknya memilih marja‘ yang lebih wara’ atau lebih adil.[6] Begitu juga, jika dua orang marja‘ memiliki kedudukan yang sama (dalam keilmuan), maka kita boleh memilah taklid dengan cara mengambil (hukum) sebagian masalah dari marja‘ pertama dan (hukum) sebagian masalah yang lain dari marja‘ kedua.[7]
Masalah 6: Dalam masalah kewajiban bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, kita harus bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam. Jika marja‘ itu berfatwa bahwa kita boleh bertaklid kepada marja‘ yang tidak a‘lam, maka kita bisa memilih bertaklid kepadanya atau kepada marja‘ lain (yang tidak a‘lam). Sementara itu, apabila ia berfatwa bahwa kita tidak wajib bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, maka kita tidak boleh bertaklid kepada marja‘ yang tidak a‘lam.
Masalah 7: Jika marja‘ yang a‘lam tidak memiliki fatwa berkenaan dengan suatu masalah, maka kita boleh merujuk kepada marja‘ yang lain dalam masalah tersebut. Tapi berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tetap harus memperhatikan urutan marja‘ yang a‘lam (yang hendak kita taklidi).
Masalah 8: Dalam taklid permulaan, kita tidak boleh bertaklid kepada marja‘ yang sudah meninggal dunia.[8] Ya, kita boleh[9] tetap meneruskan taklid kepadanya—walaupun dalam masalah-masalah yang kita belum pernah mengamalkannya—dengan syarat kita telah bertaklid kepadanya dengan mengamalkan sebagian fatwanya secara mutlak (dalam bab fiqih yang manapun).
Masalah 9: Jika kita mengerjakan sebuah ibadah, akad (transaksi), atau îqâ‘ sesuai dengan fatwa mujtahid yang kita taklidi, lalu ia meninggal dunia, dan kemudian kita bertaklid kepada mujtahid lain yang berfatwa bahwa amalan yang telah kita kerjakan itu adalah batal, maka kita boleh menganggap bahwa seluruh amalan yang telah dikerjakan itu sah.
Masalah 10: Jika kita bertaklid kepada seorang mujtahid tanpa meneliti hal ihwalnya terlebih dahulu, lalu kita ragu bahwa ia adalah seorang mujtahid yang memenuhi syarat-syarat (seorang marja‘), maka kita wajib untuk menelitinya. Tetapi apabila kita tahu bahwa ia memiliki sebuah kondisi seperti kefasikan, penyakit gila, atau kelupaan yang dapat menyebabkan ia kehilangan syarat-syarat tersebut setelah kita bertaklid kepadanya, maka kita wajib berpindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat.
Masalah 11: Ijtihad (seorang mujtahid) dapat dibuktikan dengan jalan menguji, ketenaran yang menyebabkan keyakinan,[10] dan kesaksian dua orang adil dari ahli khibrah.[11] Ke-a‘lam-annya juga dapat dibuktikan dengan (ketiga) jalan ini. Fatwa seorang mujtahid juga dapat kita peroleh dengan cara mendengar langsung darinya dan melalui penukilan dua orang adil atau satu orang adil. Bahkan berdasarkan pendapat yang zhâhir, kita bisa memperoleh fatwa seorang mujtahid melalui penukilan seorang tsiqah yang ucapannya dapat dipercaya. Begitu juga, kita dapat merujuk kepada buku risalah amaliahnya jika buku itu terjamin dari kesalahan.
Masalah 12: Kita wajib mempelajari masalah-masalah keraguan (syak), kelalaian (sahw), dan lain sebagainya yang—pada umumnya—sering kita alami (dalam kehidupan sehari-hari), kecuali jika hati kita mantap tidak akan mengalami masalah-masalah tersebut. Begitu juga, kita wajib mempelajari bagian-bagian ibadah, syarat-syarat, hal-hal yang membatalkan, dan mukadimah-mukadimahnya. Apabila kita yakin bahwa amalan kita memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi, maka amalan tersebut adalah sah.
Masalah 13: Jika kita yakin bahwa kita pernah melakukan ibadah tanpa bertaklid selama beberapa masa dan kita juga tidak tahu berapa jumlahnya, maka ibadah kita itu sah, asalkan kita tahu (baca: ingat) tata cara pelaksanaannya dan sesuai dengan fatwa mujtahid yang kita taklidi (sekarang) atau dengan fatwa mujtahid yang semestinya kita bertaklid kepadanya pada masa itu.[12] Jika tidak demikian, maka kita harus mengqadha seluruh ibadah tersebut sesuai dengan keyakinan kita terhadap kewajiban yang masih terdapat di pundak kita, meskipun yang ahwath adalah hendaknya kita mengqadhanya dalam jumlah yang dapat meyakinkan bahwa pundak kita telah terbebaskan dari kewajiban ibadah itu.
Masalah 14: Mufti dan hakim harus figur yang adil. Keadilan mereka dapat dibuktikan melalui kesaksian dua orang adil, bergaul dengannya (dalam kehidupan sehari-hari) yang dapat menyebabkan keyakinan atau kemantapan hati kita, dan ketenaran yang juga menyebabkan keyakinan kita. Bahkan, keadilan mereka juga dapat dibuktikan melalui kesalehan lahiriah (husn azh-zhâhir) dan ketekunan mereka dalam melaksanakan syariat dan ketaatan (kepada Allah), meskipun kita tidak memperoleh sangkaan atau keyakinan (akan keadilan mereka) melalui jalan ini.
Masalah 15: Keadilan[13] adalah sebuah karakteristik yang tertanam kokoh dalam diri seseorang (malakah râsikhah) dan muncul lantaran kontinuitas dalam melaksanakan takwa; yaitu meninggalkan hal-hal yang haram dan melakukan hal-hal yang wajib. Keadilan ini akan sirna—secara hukum—apabila ia melakukan dosa-dosa besar atau secara terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil. Dan bahkan berdasarkan ihtiyâth, keadilan itu juga akan sirna hanya dengan mengerjakan dosa-dosa kecil saja.[14] Keadilan ini akan ia miliki kembali bila ia bertobat, asalkan karakteristik yang tertanam kokoh itu ia miliki kembali.
Masalah 16: Jika kita mendapatkan sebuah masalah—yang tidak kita ketahui hukumnya dan juga tidak mungkin kita menanyakannya—di pertengahan salat, maka kita harus mengerjakan salah satu sisi (hukum masalah tersebut) dengan niat untuk menanyakan hukumnya setelah salat usai. Jika tindakan kita itu sesuai dengan hukum yang ada, maka salat kita itu sah.
Masalah 17: Kita tidak boleh meninggalkan ihtiyâth mutlak (ihtiyâth wajib) dalam sebuah fatwa; yaitu ihtiyâth yang tidak didahului atau disusul oleh sebuah fatwa yang bertentangan dengannya. Kewajiban kita adalah mengamalkan ihtiyâth tersebut atau merujuk kepada mujtahid lain dengan tetap memperhatikan urutan marja‘ yang a‘lam. Ya, jika ihtiyâth yang terdapat dalam buku-buku risalah amaliah didahului oleh sebuah fatwa yang bertentangan dengannya; seperti mujtahid berkata setelah mengeluarkan fatwanya, “... meskipun yang ahwath adalah demikian”, atau disusul oleh fatwa yang bertentangan dengannya; seperti ia berkata, “Yang ahwath adalah demikian, meskipun hukumnya adalah demikian atau meskipun yang lebih kuat adalah demikian”, atau “Yang paling utama (al-awlâ) dan ahwath adalah demikian,” maka kita boleh meninggalkan ihtiyâth dalam ketiga kondisi ini.
Masalah 18: Hukum (yang ditentukan oleh) seorang pemimpin yang memenuhi syarat-syarat (kepemimpinan politik Islam) tidak boleh dilanggar—meskipun—oleh mujtahid yang lain.[15]

________________________________________

[1] Masalah: Ihtiyâth adalah mengamalkan (sebuah kewajiban) sedemikian rupa sehingga kita yakin telah melaksanakan kewajiban syar‘î yang wajib atas kita. Hanya saja, karena melakukan ihtiyâth memerlukan pengetahuan atas tempat-tempat dan tata cara pelaksanaannya, dan hal ini memerlukan waktu yang tidak sedikit, maka yang lebih utama adalah hendaknya kita bertaklid.

[2] Imam Khamenei: Melihat sensitifitas dan urgensi yang dimiliki oleh kedudukan marja‘iyah, seorang marja‘ taklid—berdasarkan ihtiyâth wajib—disyaratkan harus dapat menguasai hawa nafsunya.

[3] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh berpindah dari seorang marja‘ yang masih hidup kepada marja‘ lain yang juga masih hidup, kecuali bila marja‘ yang kedua terbukti lebih a‘lam daripada marja‘ yang pertama dan fatwanya dalam suatu masalah berbeda dengan fatwa marja‘ pertama. Dengan demikian, berdasarkan ihtiyâth kita wajib berpindah taklid kepada marja‘ kedua itu.

Syaikh Bahjat: Kita boleh berpindah taklid (kepada marja‘ lain), bila kedua marja‘ itu sama-sama a‘lam. Tapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya hanya berpindah taklid kepada marja‘ yang lebih a‘lam atau lebih wara’.

[4] Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh berpindah taklid kecuali jika marja‘ kedua lebih a‘lam.

[5] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar.

[6] Syaikh Behjat: Bertaklid kepada marja‘ yang lebih wara’ adalah wajib (lâ yakhlû min wajhin).

[7] Masalah: Jika marja‘ yang a‘lam terbatas pada dua orang, dan kita memberi kemungkinan atau menyangka bahwa salah seorang dari mereka adalah lebih a‘lam daripada yang lainnya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita wajib bertaklid kepadanya.

Sayyid Khu’i: Jika kita mengetahui bahwa (fatwa dua orang marja‘) berbeda dan mungkin kita ber-ihtiyâth, maka kita harus mengambil fatwa yang lebih ahwath. Tapi jika tidak mungkin kita ber-ihtiyâth, maka kita harus bertaklid kepada marja‘ yang kita menyangka ia adalah marja‘ yang a‘lam. Jika kita tidak memiliki sangkaan (terhadap ke-a‘lam-an salah seorang dari mereka), maka kita dapat memilih salah seorang dari mereka (sebagai marja‘ taklid), asalkan kita memberi kemungkinan bahwa setiap orang dari mereka adalah marja‘ yang a‘lam. Jika tidak demikian, maka kita harus bertaklid kepada marja‘ yang dimungkinkan a‘lam. (Dinukil dari buku Al-‘Urwah Al-Wutsqâ).

[8] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Para fuqaha mensyaratkan mujtahid harus hidup supaya kita boleh memulai bertaklid kepadanya.

[9] Sayyid Khu’i: Kita wajib tetap meneruskan taklid kepadanya berkenaan dengan masalah-masalah yang telah kita pelajari dan belum lupa.

[10] Imam Khamenei: Dan dengan melalui jalan kemantapan hati (ithmi’nân); yaitu keyakinan yang râjih dan yang menyebabkan jiwa kita mantap (kepada kepribadiannya). Keyakinan semacam ini disebut ilmu ‘urfî.

[11] Sayyid Khu’i: Ijtihad dapat dibuktikan dengan jalan ketenaran yang menyebabkan kemantapan hati (ithmi’nân) dan juga dengan kesaksian satu orang yang adil, bahkan kesaksian satu orang yang tsiqah.

[12] Imam Khamenei: Begitu juga, ibadah kita itu sah apabila sesuai dengan realita hukum yang sebenarnya atau dengan ihtiyâth.

[13] Imam Khamenei: Keadilan adalah kondisi jiwa (al-hâlah an-nafsiyah) yang muncul lantaran kontinuitas dalam melaksanakan takwa dan dapat mencegah seseorang untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan dalam syariat Islam.

[14] Sayyid Khu’i: Tidak ada perbedaan antara dosa-dosa besar dan kecil.

[15] Imam Khamenei: Poin Khusus Tentang Wilâyah Faqih:

Masalah 1: Wilâyah Faqih dalam upaya memimpin masyarakat dan memanajemen problema-problema sosial kemasyarakatan di setiap masa adalah salah satu pondasi penting mazhab Syi‘ah Itsna ‘Asyariah. Konsep ini memiliki akar yang kokoh dalam konsep Imamah, dan hukum-hukum yang membahas seputar konsep ini disimpulkan dari dalil-dalil syar‘î, seperti lumrahnya hukum-hukum fiqih yang lain. Jika argumentasi seseorang menyebabkan ia tidak meyakini konsep Wilâyah Faqih ini, maka ia memiliki uzur (ma‘zûr). Tetapi, ia tidak boleh menyulut api perpecahan.

Masalah 2: Konsep Wilâyah Faqih—yang berarti kepemimpinan seorang faqih yang adil dan mengenal masalah-masalah agama—adalah sebuah hukum syar‘î ta‘abbudî yang dikuatkan oleh akal. Terdapat cara ‘uqala’î untuk menentukan siapa Wali Faqih itu seperti telah dijelaskan dalam UUD Republik Islam Iran.

Masalah 3: Sesuai dengan konsep fiqih mazhab Syi‘ah, muslimin wajib menaati perintah-perintah wilâ’î syar‘î yang telah ditetapkan oleh pemimpin muslimin (baca: Wali Faqih) dan pasrah diri kepada perintah dan larangannya. Seluruh fuqaha yang mulia juga harus bertindak demikian, apalagi dengan para muqallid mereka. Menurut pendapat kami, usaha berpegang teguh kepada konsep Wilâyah Faqih tidak dapat dipisahkan dari berpegang teguh kepada Islam dan wilâyah para imam maksum as.

Masalah 4: Maksud Wilâyah Mutlak Faqih yang memenuhi syarat adalah agama Islam yang suci—sebagai pamungkas seluruh agama samawi dan akan abadi hingga hari kiamat ini—merupakan agama hukum dan manajemen untuk seluruh urusan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah masyarakat Islami—dengan seluruh tingkat sosialnya—harus memiliki seorang Wali Amr dan pemimpin (hâkim syar‘î) untuk menjaga umat dari (bahaya) para musuh Islam dan muslimin, memelihara negara, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, mencegah kezaliman orang yang kuat atas orang orang yang lemah, dan menjamin seluruh sarana kemajuan dan perkembangan kultur, politik, dan sosial mereka.

Dalam merealisasikan tujuan ini secara praktis, kadang-kadang hal itu bertentangan dengan keinginan, kepentingan, dan kebebasan sebagian orang. Ketika pemimpin muslimin sedang melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin pemerintahan atas dasar konsep-konsep fiqih Islam, ia wajib mengambil keputusan-keputusan yang dianggap perlu, bila ia merasa perlu untuk mengambil sikap demikian.

Oleh karena itu, kehendak dan titik pandang kemaslahatan Wali Faqih—dalam ruang lingkup yang masih berhubungan dengan kemaslahatan umum Islam dan muslimin—harus berkuasa atas kehendak dan kemalsahatan masyarakat umum ketika terjadi kotradiksi kepentingan.

Ini adalah sekelumit penjelasan tentang arti Wilâyah Mutlak.

Masalah 5: Pendapat (baca: fatwa) Wali Amr Muslimin adalah pendapat yang harus diikuti berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan manajemen sebuah negara Islam dan problema-problema umum yang dihadapi oleh muslimin. Setiap mukalaf hanya boleh mengikuti fatwa marja‘ taklidnya berkenaan dengan masalah-masalah yang bersifat individual. Mengikuti hukum Wali Amr adalah wajib bagi semua lapisan masyarakat, dan fatwa sorang marja‘ taklid yang berbeda dengannya tidak boleh menentangnya.

Masalah 6: Jika hukum-hukum wilâ’î dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh seorang Wali Amr Muslimin tidak bersifat sementara dan juga tidak dibatasi oleh masa tertentu, maka seluruh hukum dan ketentuan itu tetap harus dijalankan, kecuali apabila Wali Faqih yang baru melihat sebuah kemaslahatan untuk membatalkannya. Maka, ia berhak untuk membatalkannya.

Masalah 7: Para pejabat militer tidak boleh memerintahkan bawahan mereka atau orang lain untuk melaksanakan pekerjaan pribadi mereka. Dan tindakan memerintah ini menyebabkan kewajiban ganti rugi yang sesuai dengan nilai kerja orang yang diperintah (ujrah al-mitsl)

7 comments

2 November 2014 pukul 15.19

assalamualaikum
teori yang ada blog bapa sangat bagus dan bermanfaatbuat yang membacanya,berkat teori yang ada diblog bapa jadi saya tau apa tu ijthad dan taklid.
romita
npm: 114090021
kelas: A1.AN

2 November 2014 pukul 20.35

CAssalamualaikum wr.wb.
Artikel teori yang bapa share pada blog ini
sangat menambah wawasan dan pengetahuan dalam hal mengenai ijtihad dan taklid di forum lingkungan. lalu bentuk ijtihad dan taklid pengimplementasikan di lingkungan politik seperti apa pak? Terima kasih
Nama: Tomi lestaruna
Nim : 114090008
class: A1 AN

5 November 2014 pukul 17.01

@Romita mita Siip

5 November 2014 pukul 17.02

@Tomi lestaruna lebih banyak menelaah lagi

6 April 2017 pukul 19.11

Nama :Novi Novianti
Kelas : 3 AN B
NPM : 114090047
FISIP UNSWAGATI

Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya membaca artikel bapak yang membahas mengenai "Ijtihad dan Taklid", saya jadi mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah Ijtihad, taklid, mujtahid, syak, sahw, ikhtiyath dan lain sebagainya yang telah dibahas dalam artikel ini. Sebelumnya, istilah-istilah tersebut sama sekali tidak saya ketahui dan terdengar cukup asing di telinga saya. Tapi, setelah saya membaca artikel bapak, saya jadi mengetahuinya. Artikel bapak ini sangat menambah wawasan dan pengetahuan saya mengenai Ijtihad dan Taklid. Terimakasih untuk tulisan artikelnya pak, sangat bermanfaat sekali umumnya bagi yang membaca dan khususnya bagi saya pribadi. Semoga tulisan bapak ini dapat terus bermanfaat dan dapat menginspirasi semua orang yang membacanya. Amin
Wassalamuaalaikum Wr. Wb.

14 September 2017 pukul 22.12

asslamu'alaikum wr.wb
terimakasih kepada bapak H. Nurudin Siraj yang telah menulis artikel yang sangat bermanfaan dan menambah wawasan mengenai "ijtihad dan taklid " .
ijikan saya bertanya , diantara ijtihad dan taklid mana yang harus di dahulukan?
terimakasih
wassalamuaalaikum wr.wb

nama : maeleni
nmp: 117090059
kelas: 1 AN C

18 September 2017 pukul 15.36

Assalamu'alaikum wr.wb
Terima kasih kepada bapak H.nurudin siraj yang telah menulis artikel "ijtihad dan taklid".
Yang sangat saya ingat dalam artikel tersebut adalah : 'tidak ada perbedaan antara dosa-dosa besar dan kecil'.
Dari kutipan tersebut saya mulai tersadar untuk lebih memperbanyak taqwa dan pahala kepada Allah SWT...
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr.wb

Nama : Rifqi Abdillah
Npm : 117090107
Kelas : 1 AN C

Posting Komentar
- See more at: Fytoko Corporation

STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf