Senin, 29 September 2014

MENGAPA MASALAH TOTALITARIANISME SELALU AKTUAL ( Tulisan Ryke Dyah Pitaloka dalam Buku Kekerasan Negara)





BAB I
MENGAPA MASALAH TOTALITARIANISME SELALU AKTUAL?

Dalam The Origins Of Totalitarianism, Hannah Arendt menunjukkan kondisi sosial politik yang memungkinkan munculnya kekuasaan totaliter.  Meski Arendt merujuk kepada Nazisme dan Stalinisme, bukan berarti hal itu tidak terjadi di wilayah lain.
     Menurut penulis, mekanisme kekuasaan yang dijalankan Orde Baru memiliki kemiripan dengan kedua rezim totaliter tersebut. Berbagai peristiwa di awal berdirinya Orde Baru, memperlihatkan kekuasaan Negara menjadi terror yang menakutkan, seperti kasus-kasus penangkapan pembuangan dan hukuman penjara tanpa proses pengadilan menimpa ratusan ribu orang yang dianggap terlibat G30S. Tak heran, jika ada yang mengatakan sejarah kekerasan dan pembunuhan massal oleh Negara pada masa Orde Baru hampir sama massifnya dengan apa yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja.
     Jumlah korban peristiwa 1965-1966 berkisar antara 78.000 sampai 2.000.000 yang tewas, termasuk yang hilang (Hermawan Sulistiyo 2000:43-46). Data korban tahun 1965-1966 di atas, bukan data terakhir pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Orde Baru. Jumlah korban yang meninggal pada kasus pelanggaran HAM akibat diterapkannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sejak pertengahan 1980-an, jadi sebelum diperkenalkannya DOM, sekitar 5000 orang. Sedangkan korban yang melapor pada Tim Pencatat Fakta (TPF) berjumlah sekitar 1.387 kasus. Khusus untuk kasus Aceh Utara, dilaporkan sekitar 344 kasus pembunuhan, 475 penghilangan atau penculikan, 1.010 korban penyiksaan, 18 kasus pemerkosaan dan 295 unit rumah terbakar, 618 ibu menjada (Tim Peneliti LIPI, 2001:40).
     Tumbangnya pertahanan rezim Soeharto dan Orde baru tahun 1998, bukan akhir dari tindak kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM. Bebagai media menjadi saksi dari tindak kekerasan seperti di Aceh, Ambon, Poso, dan tentu saja kasus-kasus pemboman.
     Kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM, ternyata tidak hanya dilakukan oleh aparatur Negara. Pada konflik seperti yang terjadi di Sampit dan Ambon, terlihat masyarakat sipil terlibat dalam berbagai tindak kekerasan. Ketika aparatur Negara terlibat, biasanya dalih yang digunakan adalah patuh terhadap perintah demi stabilitas pertahanan dan keamanaan. Namun, apabila masyarakat sipil terlibat, seperti juga pada kasus-kasus Mei 1998, alasan yang dikemukakan adalah karena termakan provokasi dari pihak-pihak yang tidak jelas identitasnya.
     Selama ini telah banyak kajian yang mengulas tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh Negara, oleh aparaturnya, maupun oleh masyarakat sipil. Meskipun kekerasan telah menjadi topic kajian berbagai ilmu sosial, mulai dari filsafat, psikologi, politik, hukum, budaya, ataupun bahasa, ia tetap saja merupakan sebuah topic yang layak untuk diteliti. Hal ini terjadi bukan hanya karena kekerasan, terutama kekerasan oleh Negara terus-menerus terjadi menimpa siapa saja, tetapi juga karena ia terus-menerus ditutup-tutupi, dianggap tidak ada, dilupakan, sampai kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Menjadi hal yang mengerikan jika situasi tersebut diterima dan ditiru oleh warga Negara, tanpa melalui pemikiran kritis.
     Hannah Arendt adalah salah satu dari sekian banyak peneliti dan penulis yang menggali permasalahan politik dari sudut pandang filsafat, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Lalu apa yang menjadi kelebihan dari Arendt? Arendt adalah filsuf perempuan yang melengkapi galaksi pemikir politik dewasa ini. Arendt diakui seorang teoritisi politik yang controversial, yang memiliki keberanian dan kecerdasan. Selain itu, ia juga dianggap sebagai pemikir-pemikir politik yang meiliki rumusan-rumusan dengan cakupan wilayah pembahasan yang sangat luas dan beragam. Kajian Arendt mulai dari totalitarianism, revolusi, hakikat kebebasan dan berpikir menilai, sampai sejarah pemikiran politik.
     Hal lain yang menjadi daya tarik arendt adalah refleksivitasnya masih relevan untuk kondisi politik di Indonesia. Mengapa? Karen, alasan pertama, rezim totaliter berkembang dari suatu situasi yang non-totaliter. Totaliter bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, seperti halilintar di siang bolong. Sebaliknya, ada kondisi-kondisi kondusif yang mematangkan masyarakat untuk mau mendukung kemunculan totalitarianism. Sehingga, ketika ada pihak yang mengatakan bahwa Orde Baru tidak “berbau” totaliter, pendapat tersebut sulit dipertahankan. Mekanisme pemerintahan Orde Baru mengarah pada tipe kekuasaan totaliter. Tendensi-tendensi totaliter pada kekuasaan Orde Baru tidak dapat dimungkiri.

A.     Tendensi-Tendensi Totaliter
     Magnis-Suseno mengatakan, dalam kata penggantar Asal-Usul Totalitarianisme: Jilid III Totalitarisme, kita harus tetap mewaspadai adanya tendensi-tendensi totaliter, atau potensial menjadi totaliter. Tendensi-tendensi totaliter berupa: 1) legitimasi gampang atas pelanggaran hak asasi manusia atas nama tujuan-tujuan ideologi; 2) monopolisasi informasi dengan alasan pemerintah lebih tahu apa yang harus dielakkan masyarakat. Pemerintah tahu apa yang boleh dan tidak boleh ditonton, dibaca, didiskusikan; 3) pembatasan pengorganisasian masyarakat pada organisasi-organisasi yang disiapkan pemerintah; 4) penggunaan cara-cara diluar hukum untuk mengancam, tidak hanya yang dianggap penjahat, tapi juga seluruh masyarakat agar takut dan tidak berani mempertanyyakan kebijakan pemerintah.
     Tendensi-tendensi totalitar lain yang diperlihatkan Arendt dalam The Origins Totalitarianism(1951), terunggkap dalam bentuk: 1) kekuasaan ada di tangan satu orang yang dianggap pemimpin tertinggi; 2) menerapkan sistem satu partai, menggunakan polisi rahasia atau intel yang berfungsi mengontrol dan melakukan terror terhadap masyarakat; 3) melakukan pembersihan berulang-ulang dengan cara menerapkan paham “musuh objektif”; 4) menerapkan metode penghancuran hubungan sosial dan keluarga melalui paham “kesalahan disebabkan oleh hubungan” dan jasa diukur dengan jumlah-jumlah laporanmu mengenai teman dekat”. Tendeni-tendensi totalitar, menurut penulis, sebetulnya sudah merupakan bentuk-bentuk kekerasan Negara, dan pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari tendensi-tendensi tersebut.
     Alasan kedua, pemikiran Arendt relevan dengan kondisi politik Indonesia berkaitan dengan konsepnya mengenai banaliy of evil. Dengan menulis Eichmann in Jerusalem: Report in Banality of Evil, Arendt telah mengungkapkan bagaimana menciptakan kejahatan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Lewat kepatuhan warga Negara yang diperoleh melalui propaganda dan terror, kekerasan yang dilakukan Negara dapat membuat orang menjadi enggan berpikir dan tidak mampu menilai secara kritis. Dari kedua hal tersebut, kekerasan Negara kemudian menjalar pada warganya, menularkan pada warganya sikap tanpa sungkan-sungkan terlibat kejahatan. Kepribadian yang lahir darinya adalah kepribadian yang diwarnai oleh mandulnya dan kesadaran nurani. Karakter ini tidak hanya terbatas pada kalangan terbatas, seperti golongan biokrat, namun juga menjadi penyakit yang diderita masyarakat sipil, bahkan diadopsi pula oleh mereka yang menjadi korban.
     Konflik-konflik berdarah di Indonesia, baik vertical maupun horizontal, mempertontonkan hadirnya banality of evil. Lihat saja aparatur Negara yang terlibat korupsi namun memiliki dalih lepas dari jerat hukum, atau para petinggi militer yang terlibat pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok, penembakan mahasiswa Trisakti, dan Kerusuhan Semanggi I dan II, serta peristiwa pembumihangusan Timor timur. Tidak hanya aparatur Negara yang melakukan pelanggaran HAM, masyarakat sipil pun seringkali menjadi pelaku. Jika kita kembali pada sejarah pembantaian orang-orang yang dituduh PKI, atau peristiwa tragis yang menimpa etnis Tionghoa tahun 1998, kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak sedikit sipil yang justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Masyarakat sipil dalam dua sejarah pahit Indonesia itu terlibat pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, penyiksaan, dan perampasan hak milik sipil lainnya.
     Ada beberapa peneliti di Indonesia yang sudah mengkaji pemikiran Arendt untuk menganalisa problem kekerasan, di antaranya E. Kristie Poerwandari. Peneliti ini melihat gagasan Arendt mengenai kekerasan dapat membawa kita pada kesadaran, bahwa kekerasan, bagaimana pun, disadari atau tidak, terjadi karena kebebasan manusia untuk berkehendak. Tulisan ini memiliki sudut pandang yang berbeda dari Poerwandari. Menurut penulis, kekerasan justru terjadi karena manusia tidak bebas dalam berkehendak. Manusia melakukan atau terlibat kekerasan dalam arti tertentu karena ketidakbebasannya. Ketidakbebasan membuat manusia tidak mampu berpikir dan memberikian penilaian kritis. Tindakan yang akan dilakukannya bukan berdasarkan kehendak pribadi, namun karena terkondisikan dan atau dikondisikan oleh tekanan di luar dirinya.
     Selanjutnya, kita dapat pula menemukan pemikiran Arendt dalam tulisan Sony Keraf untuk memperlihatkan korelasi antara modernitas dengan lahir dan beroperasinya kekerasan Negara. Sementara tulisan ini tidak berhenti pada mekanisme pemerintahan yang totaliter. Penulis mencoba menelusuri pula gagasan banality of evil. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan dampak negative yang ditularkan kekerasan Negara pada warganya. Dengan kata lain, kekerasan Negara ibarat penyakit menular bagi masyarakat.
     Beranjak dari analisa Arendt pada kekerasan yang terjadi dalam rezim totaliter, penulis akan menggali bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan Negara. Kekuasaan dalam politik totaliter diciptakan bukan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, namun untuk mengendalikan kehendak setiap individu. Kemajemukan manusia diarahkan agar menjadi individu tunggal. Akibatnya, warga Negara kehilangan kemampuan berpikir dan menilai kritis. Pembiasaan kejahatan menjadi tujuan dari kekerasan. Pada akhirnya, bahkan tanpa paksaan, masyarakat akan bersedia untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang mengarah pada kejahatan ekstrem. Tak ada lagi rasa bersalah, tak ada lagi beban untuk bertanggung jawab ketika melakukan kejahatan, kejahatan menjadi hal yang wajar, menjadi biasa terjadi. Inilah yang Arendt namakan banality of evil. Untuk selanjutnya pada tulisan ini istilah banality of evil disebut dengan banalitas kejahatan.
     Permasalahan yang sudah disampaikan di awal tulisan ini memunculkan beberapa pertanyaan yang memberikan arah pada kajian yang dilakukan penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupa: 1) apakah tindak kekerasan yang terjadi pada konflik-konflik vertical dan horizontal dalam sebuah Negara disebabkan oleh kesalahan sistem? Atau kekerasan tersebut merupakan kesalahan pelaku, atau karena ada interaksi antara sistem dan pelaku?; 2) mekanisme kekuasaan seperti apa yang dapat menyebabkan keterlibatan masyarakat pada kekerasan?; 3) apa yang menjadi penyebab dan akibat banalitas kejahatan?
     Dari pertanyaan-pertanyaan diatas, setidaknya ada tiga hal yang ingin diperlihatkan dari tulisan ini. Pertama, relasi antara kekerasan oleh Negara dengan keterlibatan individu-individu dalam berbagai tindakan kejahatan. Kedua, menelusuri penyebab dan akibat yang dapat ditimbulkan oleh banalitas kejahatan. Ketiga, mengungkap hal-hal yang dapat digunakan sebagai benteng, agar manusia tidak terlibat atau terhindar dari banalitas kejahatan.
     Tulisan ini diharapkan mampu memberikan kesdaran bahwa lahirnya tindakan kekerasan tidak hanya dilatarbelakangi dorongan psikologis, tapi dapat pula tercipta karena kepentingan penguasa. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan konseptual dalam bidang filsafat politik untuk menyikapi dan mencegah terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Maksudnya untuk menghindarkan warga Negara dari perbuatan kejahatan yang direkayasa oleh Negara. Hal lain yang juga penting dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan perlunya pengenalan terhadap Diriku melalui dialog “dua dalam satu”. Dialog tersebut mensyaratkan adanya kesadaran dan nurani. Tujuannya agar opini yang diperoleh benar-benar melalui pengujian dalam diri sendiri dan tidak bersandar pada “suara pihak luar”.

B.      Kekuasaan Negara dan Banalitas Kejahatan
     Pada bagian iniakan dijabarkan konsep mengenai kekerasan sacara umum, konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh Negara, serta banality of evil menurut Hannah Arendt. Selain itu, konsep filsafat politik dan modernitas juga akan diulas secara singkat, mengingat pemikiran Arendt dalam filsafat politik, termasuk perhatiannya terhadap kekeraasan yang dilakukan oleh Negara, tidak terlepas dari kritiknya terhadap modernitas.
     Kekerasan sulit untuk didefinisikan, namun setidaknya, seperti Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, kekerasan dapat digunakan sebagai istilah yang menggambarkan perilaku, baik yang bersifat terbuka, menyerang, ataupun  bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasikan adalah: pertama, kekerasan terbuka, bentuk kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; kedua, kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau kekerasan yang tidak dilakukan langsung, seperti tindakan mengancam; ketiga, kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk mendapatkan sesuatu; keempat, kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensive dapat bersifat terbuka dan tertutup.
     Sementara itu, Poerwandari menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan, yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan Cuma dalam artian fisik, lebih lanjut, Poerwandari menyatakan.
     “Kekerasan yang dimaksudkan dapat dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin oleh Negara (baik oleh aparatnya, maupun sebagai suattu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban maupun yang tidak dikenal korban, dapat merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk kebencian suka dan agama, dan sebagainya.  Masuk di dalamnya kekerasan laki-laki terhadap lain, individu maupun kelompok, kekerasan laki-laki (masyarakat) terhadap perempuan, mungkin pula kekerasan perempuan terhadap manusia lain, tidak mustahil pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutuilasi, masokisme, ataupun pembunuhan diri.”
     Dalam perspektif tulisan ini, definisi kekerasan yang dipakai adalah kekerasan terbuka dan kekerasan tertutup, serta Negara sebagai pelaku kekerasan tersebut. Berikut iini akan disampaikan secara singkat konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh Negara, serta banalisasi kejahatan.
     Dilihat dari penjelasan yang dituturkan oleh Poerwandari di atas maka kekerasan dapat dilakukan oleh Negara, baik aparatnya, maupun Negara sebagai suatu sistem. Dengan demikian, pengertian dari “Negara” perlu dijelaskan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Negara memiliki dua arti. Pertama, Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah yang ditaati oleh rakyat. Kedua, Negara adalah kelompok sosial yang diorganisasikan di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik.
     Negara, atatu state dalam bahasa inggris juga memiliki dua arti. Pertama, Negara adalah a body of people living under a single government; a nation. Arti yang kedua, adalah the teorritory oof such a government.
     Pengertian Negara dalam filsafat dapat dipahami sebagai suatu entitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan organisasi politik yang menjalankan kekuasaan yang berdaulat. Dalam filsafat poolitik, Negara didefinisikkan sebagai lembaga pusat pemersatu suatu masyarakat. Karenanya, fungsi dasar dan hakiki Negara adalah penetapan aturan-aturan kelakuan yang mengikat. Hal ini memperlihatkan bahwa terbentuknya Negara didasarkan pada legimitasi dari komunitasnya terhadap peran Negara tersebut. Tanpa legitimasi dari komunitasnya, sebuah Negara mustahil terbentuk.
     Hannah Arendt cenderung mendeskripsikan Negara dengan mengacu pada filsafat klasik yunani, terutama pada pandangan politik Aristoteles, demikian pula konsepnya mengenai Negara. Arendt memahami Negara sebagai sistem polis Yunani-Kuno, yang menempatkan kehidupan public pada hierarki tertinggi dalam sistem tersebut. Arendt, dengan mengadaptasi pemikiran Aristoteles, menjelaskan bahwa polis membentuk manusia sebagai bios politicos dengan tindakan (praxis) dan pengungkapan diri lewat komunikasi intersubjectif (lexis) sebagai cirri utamanya. Arent memaparkan pula bahwa fungsi polis dalam masyarakat Yunani Kuno, atau res publica dalam masyarakat Romawi Kuno, menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan yang dihasilkan dalam kehidupan individualistic, menciptakan sebuah ruang yang terlindungi dari kemubaziran hidup sekaligus memelihara ketahanan dari kehidupan ituu sendiri.
      Namun demikian, Arendt sesungguhnya tidak hanya merujuk Negara kota Yunani dalam memahami polis, yang terbatas waktu dan keadaannya. Polis dalam pengertian Arendt bukanlah Negara kota dalam lokasi fisiknya. Polis merupakan semua contoh sejarah dimana ruang tindakan dan ucapan public telah terbangun di antara komunitas warga yang bebas dan sama. Polis merupakan ruang penampakan public yang selalu dapat diciptakan kembali di mana pun individu secara politis berkumpul bersama, ketika manusia melakukan aksi bersama melalui tindakan dan wicara.
     Dengan demikian, fungsi Negara adalah menetapkan aturan-aturan yang mengikat ( seperti yang digunakan Arendt) menjamin suatu kehidupan bersama. Selain itu, Negara juga berfungsi untuk menciptakan ruang dan memelihara ketahanan. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk menngatur masyarakat yang ada dalam wilayahnya. Hal ini berarti keuasaan dalam konteks politik berkaitan dengan keuasaan untuk mengatur masyarakat tersebut. Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa, dapat diartikan sebagai sebuah tindakan Negara.
      Kekuasaan dapat menimbulkan dua pengaruh yang berbeda. Pertama, jika politik pada dasarnya dilihat sebagai arena pertarungan dan medan pertempuran, maka dalam perspektif ini, kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut kekuasaan dan mengontrolnya dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Kedua, jika politik dianggap sebagai suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, kekuasaan dalam hal ini dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Dengan kata lain, kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama berhadapan dengan kepentingan golongan atau kelompok.
     Arendt melihat politik sebagai upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dapat tercipta hanya jika kata dan perbuatan tidak terpecah. Kekuasaan akan terbangun ketika kata-kata bukan sesuatu yang kosong dan perbuatan bukan hal yang brutal. Kata-kata tidak digunaan untuk melanggar dan merusak tetapi untuk membentuk relasi dan menciptakan realitas yang baru. Melalui pengertiannya mengenai Negara (polis) dan kekuasaan, Arendt seakan ingin memperlihatkan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menipu, melegitimasi tindak kekerasan atau kejahatan. Dengan kata lain, kekuasaan dalam konsep Arendt, bukan sebagai biang konflik atau alat untuk menindas. Kekuasaan, baginya, menjadi media untuk menciptakan relasi yang baik diantara anggotanya sehingga tercipta sebuah realitas kehidupan yang berkualitas.
     Telah dipaparkan sebelumnya, kekuasaan yang dijalankan penguasa dapat diartikan sebagai tindakan Negara. Ketika kekuasaan dijadikan alat untuk menindas dan merupakan biang konflik, maka kakuasaan yang ada di tangan penguasa dapat melahirkan tindak kekerasan.
     Apakah tindakan Negara dalam memaksakan hukum agar ditaati oleh warganya dapat dikatakan sebagai tinda kekerasan, atau apakah kekerasan Negara selalu legitim? Dalam sebuah Negara hukum, hukum yang diterapkan oleh Negara tidak dapat menjadi sewenang-wenang. Ada lima syarat yang harus dipenuhi Negara agar penerapan hukum tidak menjadi tindak kekerasan. Pertama, pemerintahan didasarkan pada konstitusi; kedua, ada asas legalitas yang menunjukkan tindakan pemerintah semata-mata atas dasar hukum yang berlaku. Bahkan dalam membuat peraturan, pemerintah harus melakukan selbsbindung. Maksudnya, dalam membuat peraturan, atas kemauan sendiri, Negara harus membatasi kekuasaannya; ketiga, ada pemiasahan kekuasaan dalam fungsi pemerintahan; keempat, ada asas kebebasan kekuasaan kehakiman. Kehakiman menjadi salah satu pilar penegak keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum; dan kelima, ada jaminan perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Segala otoritas yang diberikan dan dimiliki kekuasaan harus ditunjukkan dan diabdikan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kelima syarat tersebut menjadi prinsip penting dalam penerapan hukum, yaitu bahwa yang legal belum tentu moral.
     Lalu bagaimana dengan sifat koersif hukum? Apakah sifat memaksa hukum dianggap sebagai kekerasan? Hukum memang bersifat koersif. Di dalamnya terdapat dua unsure yang saling terkait. Unsure pertama, sistem hukum memiliki bagian yang koersif, yaitu bagian hukum yang menyediakan ketetapan untuk dimungkinkannya tindakan-tindakan pemaksaan. Sedangkan unsure kedua berupa sistem hukum yang memiliki institusi yang bersifat memaksa. Institusi tersebut berupa aparat penegak hukum yang bertugas member efek paksaan pada hukum. Tetapi bila dikaitkan dengan lima syarat yang harus dipenuhi dalam penerapan hukum, maka pemaksaan dalam hukum sesungguhnya bukan, atau bahkan tidak mengizinkan diberlakukannya tindak kekerasan. Jadi, jika ditilik dari sisi koersif hukum sekalipun, tindak kekerasan Negara tidak dapat dibenarkan. Fungsi hukum yang harus diperhitungkan bukan fungsinya untuk memaksa, namun harus lebih ditekankan pada fungsinya sebagai pengorganisir tanggung jawab.
     Dalam Negara totaliter, kekerasan Negara timbul akibat penguasa dalam membuat peratyran atau hukum tidak membatasi kekuasaannya. Rezim totaliter bertindak sebaliknya, peraturan dan hukum diterapkan justru untuk memperluas kekuasaan. Tujuannya adalah mewujudkan dominasi total atas manusia.
     Kekerasan Negara dapat mempengaruhi individu-individu yang ada di dalam kekuasaannya untuk melakukan kejahatan. Individu-individu tersebut akan kehilangan kemampuan berpikir den menilai secara kritis, seperti yang terjadi pada Adolf Eichmann. Berdasar pengamatan Arendt, Eichmann merasa tidak bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya. Eichmann merasa apa yang dilakukannya tak lebih dari sekedar tanggung jawab terhadap petugas dan sikap patuh, loyal terhadap penguasa bukan sebuah kejahatan, meski ia tahu tindakannya menimbulkan banyak korban. Sikap seperti Eichmann inilah yang disebut banalitas kejahatan, kejahatan sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh warga Negara tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat atau produk dari kekerasan yang dilakukan Negara.
     Kekerasan negara berawal dari ideology yang disebarkan melalui mekanisme propaganda dan terror. Masyarakat dibunuh sisi yuridis dan moralnya, dilumpuhkan nuraninya, dihilangkan kemampuan spontanitasnya. Berbagai hal tersebut melahirkan banalitas kejahatan. Kejahatan ini berawal dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Arendt menghubungkan kedua hal tersebut dengan dialog antara Aku dan Diriku. Dialog tersebut membutuhkan kesadaran dan nurani, serta kebebasan dan pluralitas. Jika manusia mampu melakukan dialog tersebut, dengan sendirinya ia akan bertindak tidak berdasarkan perintah orang lain, namun menurut kesadaran dan nuraninya. Dengan kata lain, ia akan menolak berbagai ajaran, teori, ideology, dan keyakinan yang tidak sesuai atau belum melewati proses pengujian melalui dialog Aku dan Diriku. Manusia seperti ini dapat membentengi dirinya, sehingga terhindar dari banalitas kejahatan.
     Uraian diatas merupakan bagian dari filsafat politik yang ditawarkan Arendt. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik. Sementara ilmu politik berdasarkan pada pengamatan empiris, filsafat politik lebih menekankan pada penafsiran hakikat politik yang bersifat hipotetis. Tugs filsafat pollitik bukan mendeskripsikan fakta, namun membangun konsep-konsep yang membuat politik dapat dipahami secara mendalam.
     Pandangan filsafat politik Arendt berangkat dari usahanya menawarkan perspektif baru yang memungkinkan kita memahami dua kejadian mengerikan yang terjadi pada abad 20, Nazisme dan Stalinisme. Pemikiran Arendt dalam politik mengadaptasi konsep klasik civic republicanism (republikanisme sipil) yang pernah muncul pada zaman Aristoteles, selanjutnya diperjelas oleh tulisan-tulisan Machiavelli, Montesquieu, Jefferson, dan Tocqueville. Tradisi politik ini menkankan adanya tindakan bersama masyarakat dalam ramah politik. Warga negara dituntut keaktifannya dalam dalam menyelesaikan masalah bersama.partisipasi warga ini tidak hanya mengarah pada terciptanya kesepakatan bersama mengenai kebaikan, melainkan sebagai cara untuk mengafirmasi eksistensi diri setiap warga negara. Sedikitnya, ada tiga keuntungan yang dapat dilihat dengan penerapan civic republicanism, yaitu: pertama,memberikan kesempatan pada setiap warga untuk menguji kekuatan dirinya sebagai pelaku politik; kedua,kapasitas penilaian politis dapat berkembang; ketiga, diperolehnya ukuran efektifitas politik tertentu melalui tindakan bersama.
     Arendt kerapkali dianggap sebagai pembela konstitusi dan supremasi hukum, serta pembela hak asasi manusia. Arendt tidak hanya memasukan ide mengenai hak untuk hidup, kemerdekaan dan kebebasan, serta berekspresi, tetapi menekankan juga perlunya hak untuk bertindak dan berpendapat. Artinya, dibutuhkan partisipasi tindakan aktif warga negara dalam kehidupan politik. Lebih jelasnya, pemikiran Arendt yang merupakan warisantradisi civic republicanism dapat dilihat dari konsep politik yang didasarkan pada gagasan active citizenship. Arendt memfokuskan visinya pada dua nilai dan makna yang penting dari: pertama, civic engagement, yaitu keterlibatan warga negara; kedua, mengenai collective deliberation, yaitu penilaian kolekftif yang diperoleh melalui perdebatan public tentang berbagai persoalan yang mempengaruhi komunitas politik dan kepentingan hidup masyarakat.
     Tradisi pemikiran yang mempengaruhi cara pandang Arendt dapat ditelusuri dalam pembedaan Aristotelian pada oikos dan polis. Konsep politik Aristoteles mempekenalkan bahwa kodrat manusia adalah zoom politikon, sebagai makhluk yang mendiami polis. Polis adalah sistem dan struktur negara di zaman Yunani Kuno. Aktivitas manusia pada zaman ini terbagi menjadi dua, aktivitas dalam oikosi (keluarga, rumah tangga) dan aktivitas dalam polis (negara, kota).
     Aktivitas dalam oikos selanjutnya disebut aktivitas dalam ruang privat dan bersifat non-politis. Dalam ryang privat, manusia memikirkan kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Pada awal Politics, Aristoteles mengutip puisi dari Hesiod:

                 Yang utama dan paling utama adalah rumah, istri, dan kerbau untuk membajak.

     Menurut Aristoteles, rumah menjadi tempat berlindung keluarga. Istri diperlukan dalam proses reproduksi untuk memperoleh keturunan. Sementara kerbau yang membajak merupakan symbol dari kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh hak milik pribadi.
     Relasi yang tercipta dalam rumah tangga menampilkan hubungan antara tuan dan budak, suami dan istri, ayah dan anak-anak. Pengaturan rumah tangga berlangsung atas dasar dominasi pihak yang memerintah yang berada di tangan kepala rumah tangga. Keluarga dikepalai orang seorang ayah atau suami yang mengatur istri, anak-anak, dan budak, agar kebutuhan hidup tercukupi. Budak dalam rumah tangga diibaratkan sebagai alat kehidupan (live tool), yang bertugas melayani. Menurut Aristoteles, dominasi tuan terhadap anggota keluarga yang lain adalah hal yang dibenarkan. Karena itu, jika menganut konsep Aristoteles mengenai oikos, pemaksaan dan kekerasan dalam ruang privat menjai hal yang lumrah.
     Bebeda dengan ruang privat, aktivitas yang berlangsung pada ruang public bersifat politis. Tujuan aktivitas dalam polis adalah untuk mencapai kehidupan bersama yang baik. Manusia hidup dalam polis mewujudkan tindakannya demi kehidupan bersama. Polis menjadi wahan tampat penampakan diri antar sesama warga melalui komunikasi yang sederajat, dengan menggunakan bahasa.
      Pembedaan antara oikos dan polis menjadi landasan dalam gagasan politik Arendt. Polis, bagi Arendt, merupakan wilayah kebebasan, tempat penyikapan perihal “siapa” yang berbiacara dan bertindak dalam komunikasi yang sederajat. Arendt menerapkannya dalam ide mengenai aksi komunikatif dalam kekuasaan politik. Aksi komunikatif memunggkinkan munculnya dua hal yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu keterlibatan aktif warga negara dalam politik dan debat politik untuk memecahkan persoalan bersama. Pemisahan aktivitas manusia dalam konsep Arendt selanjutnya tidak terbatas pada aktivitas diruang privat dan ruang public. Arendt mengembangkannya dalam konsep via aktiva, dengan membedakan ativitas manusia dalam kerja, karya, dan tindakan.
     Arendt tidak sepenuhnya setuju dengan pembedaan yang dikatakan Aristoteles. Pembedaan antara oikos dan polis, antara privat dan ruang public dianggap dapat menimbulkan bahaya. Praktik-praktik yang terjadi di ruang privat dalam konsep Yunani Kuno berdampak negative bagi ruang public. Dominasi tanpa batas yang terjadi dalam oikos ternyata dapat tumbuh dengan subur dalam polis. Hal ini menjadi salah satu kajian Arendt dalam mengkritik modernitas.
     Berbicara tentang modernitas, tek dapat terlepas dari kata “modern”. Modern adalah terminology yang dibentuk dalam periodisasi, doktrin, model yang berbeda-beda. Secara umum, kata “modern” mengandung makna sebuah perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang. Dalam sejarah filsafat, “filsafat modern” merupakan label yang sering digunakan dalam filsafat baru yang berkembang pada awal era modern, yang dipelopori oleh Bacon dan Descartes, pada awal abad ke-17. Bacon, Locke, Barkeley, Hume, dan sebagainya dapat dikatakan sebagai kelompok filsuf modern. Tetapi penjabaran tersebut dapat pula digunakan sebagai para filsuf di abad duapuluh, seperti Mach, Schlick, Carnad, dan Reichenbach.
     Hannah Arendt membedakan antara era modern (modern age) dengan dunia modern (modern world). Pembedaan yang dilakukan Arendt didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan. Era modern dimulai pada abad ke- 17 dan berakhir pada abad ke- 20. Dunia modern sendiri, ungkap Arendt, berawal dari peristiwa jatuhnya bom atom untuk pertama kali.
     Sementara itu, modernitas adalah sebuah periodisasi sejarah, yang menjelaskan karakter modern. Peride ini terspesifikasi secara berragam. Substansi terpenting dari konsep modernitas adalah memandang kondisi dunia pada abad 19 dan abad 20. Kondisi tersebut berkatan dengan gagasan tentang negara (nation state), demokrasi politik, kapitalisme, urbanisasi, budaya massa, media massa, rasionalitas, antitradisionalisme, sekularisasi, kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Selain itu, kedua abad ini memperlihatkan kondisi industrialisasi dalam skala besar, individualisme, pencerahan ide dan ideology massa yang liberal dan progresif, serta ide-ide humanitarian yang terproyeksikan. Masing-masing gagasan mengenai kondisi dunia tersebut tidak hanya berdiri sendiri, namun dapat dikombinasikan menjadi sebuah hakikat dalam kehidupan modern.
     Arendt memandang modernitas sebagai sebuah keterputusan kondisi manusia. Keterputusan ini, muncul akibat ketidakpuasan manusia modern terhadap seluruh batasan yang mendefinisikan eksistensi manusia (kematian, kerja, dan kebutuhan alamiah). Modernitas merujuk pada sikap manusia yang tidak mau menerima apa yang belum ia hasilkan. Manusia modern merubah realitas dengan menggunakan instrument pengetahuan modern dan teknologi. Tujuan yang ingin dicapai manusia modern adalah membentukk dunia sampai ia merasa dunia sebagai rumah pribadi.
     Dengan demikian, dapat dilihat bahwa modernitas dalam konsep Arendt mengambil substansi rasionalitas. Manusia modern cenderung hanya menerima sesuatu jika hal tersebut dapat diterima secara rasional, patokan hidup adalah realitas yang dihadapi. Dengan menaruh kepercayaan yang berlebihan terhadap pengetahuan dan teknologi, manusia modern tidak terlalu memperhitungkan kemampuan berpikir dan memberikan penilaian kritis (thinking and judging). Akibatnya, manusia modern menjadi individualis, menginginkan dunia hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk kehidupan bersama. Situasi tersebut membawa manusia ke dalam ketersaingan dunia. Arendt menggambarkan keadaan masyarakat modern sebagai berikut,

                   sebuah masyarakat manusia, yang tanpa dunia bersama, yang sesekali menghubungkan dan memisahkan mereka, hidup dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan bersama menjadi massa. Karena masyarakat massa tak lain jenis kehidupan formal yang secara otomatis menegakkan dirinya diantara umat manusia yang masih terkait satu sama lain (karena menjadi anggota dari spesies manusia), tetapi teelah kehilangan duunia yang dimiliki bersama.

     Kutipan diatas menunjukan bahwa konsep masyarakat massa dalam pemikiran Arendt adalah masyarakat yang hidup bersama dalam ketertekanan. Masyarakat massa adalah masyarakat yang terasing dari dunianya, mereka hidup bersama, tetapi kehilangan kebersamaan, dalam arti diabaikannya struktur kolektif, redupnya solidaritas, dan hilangnya empati. Kritik Arendt terhadap modernitas tercermin dalam karya-karyanya. Kajian lebih dalam akan disampaikan pada bab-bab selanjutnya.


Catatan kaki :
1 Lihat table 1 pada lampiran.
2 Henk Schulte Nordholt, Een Staat van Geweld (pidato pengukuhan professor luar biasa dalam sejarah asia, Erasmus Universiteit, 22 juni 2000), hal7.
3 Andi Mulya Fakhri, Di Balik Tragedi Sampit: Data, Fakta, dan Prospek penyelesaian, Jakarta: Sarana Media Investama, 2001, hlm. 29”… warga menyerang pengungsi yang ketakutan. Warga men-sweeping setiap pendatang yang ingin mengungsi. … massa kedua pihak terkonsentrasi di wilayahnya, siap saling menyerang…” atau lihat Human Right Watch: Indonesia, The Violence in Ambon, vol. 11, No. 1(c), March, 1999, hlm. 13



Dalam The Origins Of Totalitarianism, Hannah Arendt menunjukkan kondisi sosial politik yang memungkinkan munculnya kekuasaan totaliter.  Meski Arendt merujuk kepada Nazisme dan Stalinisme, bukan berarti hal itu tidak terjadi di wilayah lain.
     Menurut penulis, mekanisme kekuasaan yang dijalankan Orde Baru memiliki kemiripan dengan kedua rezim totaliter tersebut. Berbagai peristiwa di awal berdirinya Orde Baru, memperlihatkan kekuasaan Negara menjadi terror yang menakutkan, seperti kasus-kasus penangkapan pembuangan dan hukuman penjara tanpa proses pengadilan menimpa ratusan ribu orang yang dianggap terlibat G30S. Tak heran, jika ada yang mengatakan sejarah kekerasan dan pembunuhan massal oleh Negara pada masa Orde Baru hampir sama massifnya dengan apa yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja.
     Jumlah korban peristiwa 1965-1966 berkisar antara 78.000 sampai 2.000.000 yang tewas, termasuk yang hilang (Hermawan Sulistiyo 2000:43-46). Data korban tahun 1965-1966 di atas, bukan data terakhir pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Orde Baru. Jumlah korban yang meninggal pada kasus pelanggaran HAM akibat diterapkannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sejak pertengahan 1980-an, jadi sebelum diperkenalkannya DOM, sekitar 5000 orang. Sedangkan korban yang melapor pada Tim Pencatat Fakta (TPF) berjumlah sekitar 1.387 kasus. Khusus untuk kasus Aceh Utara, dilaporkan sekitar 344 kasus pembunuhan, 475 penghilangan atau penculikan, 1.010 korban penyiksaan, 18 kasus pemerkosaan dan 295 unit rumah terbakar, 618 ibu menjada (Tim Peneliti LIPI, 2001:40).
     Tumbangnya pertahanan rezim Soeharto dan Orde baru tahun 1998, bukan akhir dari tindak kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM. Bebagai media menjadi saksi dari tindak kekerasan seperti di Aceh, Ambon, Poso, dan tentu saja kasus-kasus pemboman.
     Kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM, ternyata tidak hanya dilakukan oleh aparatur Negara. Pada konflik seperti yang terjadi di Sampit dan Ambon, terlihat masyarakat sipil terlibat dalam berbagai tindak kekerasan. Ketika aparatur Negara terlibat, biasanya dalih yang digunakan adalah patuh terhadap perintah demi stabilitas pertahanan dan keamanaan. Namun, apabila masyarakat sipil terlibat, seperti juga pada kasus-kasus Mei 1998, alasan yang dikemukakan adalah karena termakan provokasi dari pihak-pihak yang tidak jelas identitasnya.
     Selama ini telah banyak kajian yang mengulas tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh Negara, oleh aparaturnya, maupun oleh masyarakat sipil. Meskipun kekerasan telah menjadi topic kajian berbagai ilmu sosial, mulai dari filsafat, psikologi, politik, hukum, budaya, ataupun bahasa, ia tetap saja merupakan sebuah topic yang layak untuk diteliti. Hal ini terjadi bukan hanya karena kekerasan, terutama kekerasan oleh Negara terus-menerus terjadi menimpa siapa saja, tetapi juga karena ia terus-menerus ditutup-tutupi, dianggap tidak ada, dilupakan, sampai kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Menjadi hal yang mengerikan jika situasi tersebut diterima dan ditiru oleh warga Negara, tanpa melalui pemikiran kritis.
     Hannah Arendt adalah salah satu dari sekian banyak peneliti dan penulis yang menggali permasalahan politik dari sudut pandang filsafat, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Lalu apa yang menjadi kelebihan dari Arendt? Arendt adalah filsuf perempuan yang melengkapi galaksi pemikir politik dewasa ini. Arendt diakui seorang teoritisi politik yang controversial, yang memiliki keberanian dan kecerdasan. Selain itu, ia juga dianggap sebagai pemikir-pemikir politik yang meiliki rumusan-rumusan dengan cakupan wilayah pembahasan yang sangat luas dan beragam. Kajian Arendt mulai dari totalitarianism, revolusi, hakikat kebebasan dan berpikir menilai, sampai sejarah pemikiran politik.
     Hal lain yang menjadi daya tarik arendt adalah refleksivitasnya masih relevan untuk kondisi politik di Indonesia. Mengapa? Karen, alasan pertama, rezim totaliter berkembang dari suatu situasi yang non-totaliter. Totaliter bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, seperti halilintar di siang bolong. Sebaliknya, ada kondisi-kondisi kondusif yang mematangkan masyarakat untuk mau mendukung kemunculan totalitarianism. Sehingga, ketika ada pihak yang mengatakan bahwa Orde Baru tidak “berbau” totaliter, pendapat tersebut sulit dipertahankan. Mekanisme pemerintahan Orde Baru mengarah pada tipe kekuasaan totaliter. Tendensi-tendensi totaliter pada kekuasaan Orde Baru tidak dapat dimungkiri.

A.     Tendensi-Tendensi Totaliter
     Magnis-Suseno mengatakan, dalam kata penggantar Asal-Usul Totalitarianisme: Jilid III Totalitarisme, kita harus tetap mewaspadai adanya tendensi-tendensi totaliter, atau potensial menjadi totaliter. Tendensi-tendensi totaliter berupa: 1) legitimasi gampang atas pelanggaran hak asasi manusia atas nama tujuan-tujuan ideologi; 2) monopolisasi informasi dengan alasan pemerintah lebih tahu apa yang harus dielakkan masyarakat. Pemerintah tahu apa yang boleh dan tidak boleh ditonton, dibaca, didiskusikan; 3) pembatasan pengorganisasian masyarakat pada organisasi-organisasi yang disiapkan pemerintah; 4) penggunaan cara-cara diluar hukum untuk mengancam, tidak hanya yang dianggap penjahat, tapi juga seluruh masyarakat agar takut dan tidak berani mempertanyyakan kebijakan pemerintah.
     Tendensi-tendensi totalitar lain yang diperlihatkan Arendt dalam The Origins Totalitarianism(1951), terunggkap dalam bentuk: 1) kekuasaan ada di tangan satu orang yang dianggap pemimpin tertinggi; 2) menerapkan sistem satu partai, menggunakan polisi rahasia atau intel yang berfungsi mengontrol dan melakukan terror terhadap masyarakat; 3) melakukan pembersihan berulang-ulang dengan cara menerapkan paham “musuh objektif”; 4) menerapkan metode penghancuran hubungan sosial dan keluarga melalui paham “kesalahan disebabkan oleh hubungan” dan jasa diukur dengan jumlah-jumlah laporanmu mengenai teman dekat”. Tendeni-tendensi totalitar, menurut penulis, sebetulnya sudah merupakan bentuk-bentuk kekerasan Negara, dan pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari tendensi-tendensi tersebut.
     Alasan kedua, pemikiran Arendt relevan dengan kondisi politik Indonesia berkaitan dengan konsepnya mengenai banaliy of evil. Dengan menulis Eichmann in Jerusalem: Report in Banality of Evil, Arendt telah mengungkapkan bagaimana menciptakan kejahatan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Lewat kepatuhan warga Negara yang diperoleh melalui propaganda dan terror, kekerasan yang dilakukan Negara dapat membuat orang menjadi enggan berpikir dan tidak mampu menilai secara kritis. Dari kedua hal tersebut, kekerasan Negara kemudian menjalar pada warganya, menularkan pada warganya sikap tanpa sungkan-sungkan terlibat kejahatan. Kepribadian yang lahir darinya adalah kepribadian yang diwarnai oleh mandulnya dan kesadaran nurani. Karakter ini tidak hanya terbatas pada kalangan terbatas, seperti golongan biokrat, namun juga menjadi penyakit yang diderita masyarakat sipil, bahkan diadopsi pula oleh mereka yang menjadi korban.
     Konflik-konflik berdarah di Indonesia, baik vertical maupun horizontal, mempertontonkan hadirnya banality of evil. Lihat saja aparatur Negara yang terlibat korupsi namun memiliki dalih lepas dari jerat hukum, atau para petinggi militer yang terlibat pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok, penembakan mahasiswa Trisakti, dan Kerusuhan Semanggi I dan II, serta peristiwa pembumihangusan Timor timur. Tidak hanya aparatur Negara yang melakukan pelanggaran HAM, masyarakat sipil pun seringkali menjadi pelaku. Jika kita kembali pada sejarah pembantaian orang-orang yang dituduh PKI, atau peristiwa tragis yang menimpa etnis Tionghoa tahun 1998, kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak sedikit sipil yang justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Masyarakat sipil dalam dua sejarah pahit Indonesia itu terlibat pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, penyiksaan, dan perampasan hak milik sipil lainnya.
     Ada beberapa peneliti di Indonesia yang sudah mengkaji pemikiran Arendt untuk menganalisa problem kekerasan, di antaranya E. Kristie Poerwandari. Peneliti ini melihat gagasan Arendt mengenai kekerasan dapat membawa kita pada kesadaran, bahwa kekerasan, bagaimana pun, disadari atau tidak, terjadi karena kebebasan manusia untuk berkehendak. Tulisan ini memiliki sudut pandang yang berbeda dari Poerwandari. Menurut penulis, kekerasan justru terjadi karena manusia tidak bebas dalam berkehendak. Manusia melakukan atau terlibat kekerasan dalam arti tertentu karena ketidakbebasannya. Ketidakbebasan membuat manusia tidak mampu berpikir dan memberikian penilaian kritis. Tindakan yang akan dilakukannya bukan berdasarkan kehendak pribadi, namun karena terkondisikan dan atau dikondisikan oleh tekanan di luar dirinya.
     Selanjutnya, kita dapat pula menemukan pemikiran Arendt dalam tulisan Sony Keraf untuk memperlihatkan korelasi antara modernitas dengan lahir dan beroperasinya kekerasan Negara. Sementara tulisan ini tidak berhenti pada mekanisme pemerintahan yang totaliter. Penulis mencoba menelusuri pula gagasan banality of evil. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan dampak negative yang ditularkan kekerasan Negara pada warganya. Dengan kata lain, kekerasan Negara ibarat penyakit menular bagi masyarakat.
     Beranjak dari analisa Arendt pada kekerasan yang terjadi dalam rezim totaliter, penulis akan menggali bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan Negara. Kekuasaan dalam politik totaliter diciptakan bukan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, namun untuk mengendalikan kehendak setiap individu. Kemajemukan manusia diarahkan agar menjadi individu tunggal. Akibatnya, warga Negara kehilangan kemampuan berpikir dan menilai kritis. Pembiasaan kejahatan menjadi tujuan dari kekerasan. Pada akhirnya, bahkan tanpa paksaan, masyarakat akan bersedia untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang mengarah pada kejahatan ekstrem. Tak ada lagi rasa bersalah, tak ada lagi beban untuk bertanggung jawab ketika melakukan kejahatan, kejahatan menjadi hal yang wajar, menjadi biasa terjadi. Inilah yang Arendt namakan banality of evil. Untuk selanjutnya pada tulisan ini istilah banality of evil disebut dengan banalitas kejahatan.
     Permasalahan yang sudah disampaikan di awal tulisan ini memunculkan beberapa pertanyaan yang memberikan arah pada kajian yang dilakukan penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupa: 1) apakah tindak kekerasan yang terjadi pada konflik-konflik vertical dan horizontal dalam sebuah Negara disebabkan oleh kesalahan sistem? Atau kekerasan tersebut merupakan kesalahan pelaku, atau karena ada interaksi antara sistem dan pelaku?; 2) mekanisme kekuasaan seperti apa yang dapat menyebabkan keterlibatan masyarakat pada kekerasan?; 3) apa yang menjadi penyebab dan akibat banalitas kejahatan?
     Dari pertanyaan-pertanyaan diatas, setidaknya ada tiga hal yang ingin diperlihatkan dari tulisan ini. Pertama, relasi antara kekerasan oleh Negara dengan keterlibatan individu-individu dalam berbagai tindakan kejahatan. Kedua, menelusuri penyebab dan akibat yang dapat ditimbulkan oleh banalitas kejahatan. Ketiga, mengungkap hal-hal yang dapat digunakan sebagai benteng, agar manusia tidak terlibat atau terhindar dari banalitas kejahatan.
     Tulisan ini diharapkan mampu memberikan kesdaran bahwa lahirnya tindakan kekerasan tidak hanya dilatarbelakangi dorongan psikologis, tapi dapat pula tercipta karena kepentingan penguasa. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan konseptual dalam bidang filsafat politik untuk menyikapi dan mencegah terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Maksudnya untuk menghindarkan warga Negara dari perbuatan kejahatan yang direkayasa oleh Negara. Hal lain yang juga penting dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan perlunya pengenalan terhadap Diriku melalui dialog “dua dalam satu”. Dialog tersebut mensyaratkan adanya kesadaran dan nurani. Tujuannya agar opini yang diperoleh benar-benar melalui pengujian dalam diri sendiri dan tidak bersandar pada “suara pihak luar”.

B.      Kekuasaan Negara dan Banalitas Kejahatan
     Pada bagian iniakan dijabarkan konsep mengenai kekerasan sacara umum, konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh Negara, serta banality of evil menurut Hannah Arendt. Selain itu, konsep filsafat politik dan modernitas juga akan diulas secara singkat, mengingat pemikiran Arendt dalam filsafat politik, termasuk perhatiannya terhadap kekeraasan yang dilakukan oleh Negara, tidak terlepas dari kritiknya terhadap modernitas.
     Kekerasan sulit untuk didefinisikan, namun setidaknya, seperti Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, kekerasan dapat digunakan sebagai istilah yang menggambarkan perilaku, baik yang bersifat terbuka, menyerang, ataupun  bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasikan adalah: pertama, kekerasan terbuka, bentuk kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; kedua, kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau kekerasan yang tidak dilakukan langsung, seperti tindakan mengancam; ketiga, kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk mendapatkan sesuatu; keempat, kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensive dapat bersifat terbuka dan tertutup.
     Sementara itu, Poerwandari menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan, yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan Cuma dalam artian fisik, lebih lanjut, Poerwandari menyatakan.
     “Kekerasan yang dimaksudkan dapat dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin oleh Negara (baik oleh aparatnya, maupun sebagai suattu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban maupun yang tidak dikenal korban, dapat merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk kebencian suka dan agama, dan sebagainya.  Masuk di dalamnya kekerasan laki-laki terhadap lain, individu maupun kelompok, kekerasan laki-laki (masyarakat) terhadap perempuan, mungkin pula kekerasan perempuan terhadap manusia lain, tidak mustahil pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutuilasi, masokisme, ataupun pembunuhan diri.”
     Dalam perspektif tulisan ini, definisi kekerasan yang dipakai adalah kekerasan terbuka dan kekerasan tertutup, serta Negara sebagai pelaku kekerasan tersebut. Berikut iini akan disampaikan secara singkat konsep Negara, kekuasaan, dan kekerasan oleh Negara, serta banalisasi kejahatan.
     Dilihat dari penjelasan yang dituturkan oleh Poerwandari di atas maka kekerasan dapat dilakukan oleh Negara, baik aparatnya, maupun Negara sebagai suatu sistem. Dengan demikian, pengertian dari “Negara” perlu dijelaskan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Negara memiliki dua arti. Pertama, Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah yang ditaati oleh rakyat. Kedua, Negara adalah kelompok sosial yang diorganisasikan di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik.
     Negara, atatu state dalam bahasa inggris juga memiliki dua arti. Pertama, Negara adalah a body of people living under a single government; a nation. Arti yang kedua, adalah the teorritory oof such a government.
     Pengertian Negara dalam filsafat dapat dipahami sebagai suatu entitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan organisasi politik yang menjalankan kekuasaan yang berdaulat. Dalam filsafat poolitik, Negara didefinisikkan sebagai lembaga pusat pemersatu suatu masyarakat. Karenanya, fungsi dasar dan hakiki Negara adalah penetapan aturan-aturan kelakuan yang mengikat. Hal ini memperlihatkan bahwa terbentuknya Negara didasarkan pada legimitasi dari komunitasnya terhadap peran Negara tersebut. Tanpa legitimasi dari komunitasnya, sebuah Negara mustahil terbentuk.
     Hannah Arendt cenderung mendeskripsikan Negara dengan mengacu pada filsafat klasik yunani, terutama pada pandangan politik Aristoteles, demikian pula konsepnya mengenai Negara. Arendt memahami Negara sebagai sistem polis Yunani-Kuno, yang menempatkan kehidupan public pada hierarki tertinggi dalam sistem tersebut. Arendt, dengan mengadaptasi pemikiran Aristoteles, menjelaskan bahwa polis membentuk manusia sebagai bios politicos dengan tindakan (praxis) dan pengungkapan diri lewat komunikasi intersubjectif (lexis) sebagai cirri utamanya. Arent memaparkan pula bahwa fungsi polis dalam masyarakat Yunani Kuno, atau res publica dalam masyarakat Romawi Kuno, menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan yang dihasilkan dalam kehidupan individualistic, menciptakan sebuah ruang yang terlindungi dari kemubaziran hidup sekaligus memelihara ketahanan dari kehidupan ituu sendiri.
      Namun demikian, Arendt sesungguhnya tidak hanya merujuk Negara kota Yunani dalam memahami polis, yang terbatas waktu dan keadaannya. Polis dalam pengertian Arendt bukanlah Negara kota dalam lokasi fisiknya. Polis merupakan semua contoh sejarah dimana ruang tindakan dan ucapan public telah terbangun di antara komunitas warga yang bebas dan sama. Polis merupakan ruang penampakan public yang selalu dapat diciptakan kembali di mana pun individu secara politis berkumpul bersama, ketika manusia melakukan aksi bersama melalui tindakan dan wicara.
     Dengan demikian, fungsi Negara adalah menetapkan aturan-aturan yang mengikat ( seperti yang digunakan Arendt) menjamin suatu kehidupan bersama. Selain itu, Negara juga berfungsi untuk menciptakan ruang dan memelihara ketahanan. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk menngatur masyarakat yang ada dalam wilayahnya. Hal ini berarti keuasaan dalam konteks politik berkaitan dengan keuasaan untuk mengatur masyarakat tersebut. Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa, dapat diartikan sebagai sebuah tindakan Negara.
      Kekuasaan dapat menimbulkan dua pengaruh yang berbeda. Pertama, jika politik pada dasarnya dilihat sebagai arena pertarungan dan medan pertempuran, maka dalam perspektif ini, kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut kekuasaan dan mengontrolnya dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Kedua, jika politik dianggap sebagai suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan, kekuasaan dalam hal ini dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Dengan kata lain, kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama berhadapan dengan kepentingan golongan atau kelompok.
     Arendt melihat politik sebagai upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dapat tercipta hanya jika kata dan perbuatan tidak terpecah. Kekuasaan akan terbangun ketika kata-kata bukan sesuatu yang kosong dan perbuatan bukan hal yang brutal. Kata-kata tidak digunaan untuk melanggar dan merusak tetapi untuk membentuk relasi dan menciptakan realitas yang baru. Melalui pengertiannya mengenai Negara (polis) dan kekuasaan, Arendt seakan ingin memperlihatkan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menipu, melegitimasi tindak kekerasan atau kejahatan. Dengan kata lain, kekuasaan dalam konsep Arendt, bukan sebagai biang konflik atau alat untuk menindas. Kekuasaan, baginya, menjadi media untuk menciptakan relasi yang baik diantara anggotanya sehingga tercipta sebuah realitas kehidupan yang berkualitas.
     Telah dipaparkan sebelumnya, kekuasaan yang dijalankan penguasa dapat diartikan sebagai tindakan Negara. Ketika kekuasaan dijadikan alat untuk menindas dan merupakan biang konflik, maka kakuasaan yang ada di tangan penguasa dapat melahirkan tindak kekerasan.
     Apakah tindakan Negara dalam memaksakan hukum agar ditaati oleh warganya dapat dikatakan sebagai tinda kekerasan, atau apakah kekerasan Negara selalu legitim? Dalam sebuah Negara hukum, hukum yang diterapkan oleh Negara tidak dapat menjadi sewenang-wenang. Ada lima syarat yang harus dipenuhi Negara agar penerapan hukum tidak menjadi tindak kekerasan. Pertama, pemerintahan didasarkan pada konstitusi; kedua, ada asas legalitas yang menunjukkan tindakan pemerintah semata-mata atas dasar hukum yang berlaku. Bahkan dalam membuat peraturan, pemerintah harus melakukan selbsbindung. Maksudnya, dalam membuat peraturan, atas kemauan sendiri, Negara harus membatasi kekuasaannya; ketiga, ada pemiasahan kekuasaan dalam fungsi pemerintahan; keempat, ada asas kebebasan kekuasaan kehakiman. Kehakiman menjadi salah satu pilar penegak keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum; dan kelima, ada jaminan perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Segala otoritas yang diberikan dan dimiliki kekuasaan harus ditunjukkan dan diabdikan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kelima syarat tersebut menjadi prinsip penting dalam penerapan hukum, yaitu bahwa yang legal belum tentu moral.
     Lalu bagaimana dengan sifat koersif hukum? Apakah sifat memaksa hukum dianggap sebagai kekerasan? Hukum memang bersifat koersif. Di dalamnya terdapat dua unsure yang saling terkait. Unsure pertama, sistem hukum memiliki bagian yang koersif, yaitu bagian hukum yang menyediakan ketetapan untuk dimungkinkannya tindakan-tindakan pemaksaan. Sedangkan unsure kedua berupa sistem hukum yang memiliki institusi yang bersifat memaksa. Institusi tersebut berupa aparat penegak hukum yang bertugas member efek paksaan pada hukum. Tetapi bila dikaitkan dengan lima syarat yang harus dipenuhi dalam penerapan hukum, maka pemaksaan dalam hukum sesungguhnya bukan, atau bahkan tidak mengizinkan diberlakukannya tindak kekerasan. Jadi, jika ditilik dari sisi koersif hukum sekalipun, tindak kekerasan Negara tidak dapat dibenarkan. Fungsi hukum yang harus diperhitungkan bukan fungsinya untuk memaksa, namun harus lebih ditekankan pada fungsinya sebagai pengorganisir tanggung jawab.
     Dalam Negara totaliter, kekerasan Negara timbul akibat penguasa dalam membuat peratyran atau hukum tidak membatasi kekuasaannya. Rezim totaliter bertindak sebaliknya, peraturan dan hukum diterapkan justru untuk memperluas kekuasaan. Tujuannya adalah mewujudkan dominasi total atas manusia.
     Kekerasan Negara dapat mempengaruhi individu-individu yang ada di dalam kekuasaannya untuk melakukan kejahatan. Individu-individu tersebut akan kehilangan kemampuan berpikir den menilai secara kritis, seperti yang terjadi pada Adolf Eichmann. Berdasar pengamatan Arendt, Eichmann merasa tidak bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya. Eichmann merasa apa yang dilakukannya tak lebih dari sekedar tanggung jawab terhadap petugas dan sikap patuh, loyal terhadap penguasa bukan sebuah kejahatan, meski ia tahu tindakannya menimbulkan banyak korban. Sikap seperti Eichmann inilah yang disebut banalitas kejahatan, kejahatan sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh warga Negara tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat atau produk dari kekerasan yang dilakukan Negara.
     Kekerasan negara berawal dari ideology yang disebarkan melalui mekanisme propaganda dan terror. Masyarakat dibunuh sisi yuridis dan moralnya, dilumpuhkan nuraninya, dihilangkan kemampuan spontanitasnya. Berbagai hal tersebut melahirkan banalitas kejahatan. Kejahatan ini berawal dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Arendt menghubungkan kedua hal tersebut dengan dialog antara Aku dan Diriku. Dialog tersebut membutuhkan kesadaran dan nurani, serta kebebasan dan pluralitas. Jika manusia mampu melakukan dialog tersebut, dengan sendirinya ia akan bertindak tidak berdasarkan perintah orang lain, namun menurut kesadaran dan nuraninya. Dengan kata lain, ia akan menolak berbagai ajaran, teori, ideology, dan keyakinan yang tidak sesuai atau belum melewati proses pengujian melalui dialog Aku dan Diriku. Manusia seperti ini dapat membentengi dirinya, sehingga terhindar dari banalitas kejahatan.
     Uraian diatas merupakan bagian dari filsafat politik yang ditawarkan Arendt. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik. Sementara ilmu politik berdasarkan pada pengamatan empiris, filsafat politik lebih menekankan pada penafsiran hakikat politik yang bersifat hipotetis. Tugs filsafat pollitik bukan mendeskripsikan fakta, namun membangun konsep-konsep yang membuat politik dapat dipahami secara mendalam.
     Pandangan filsafat politik Arendt berangkat dari usahanya menawarkan perspektif baru yang memungkinkan kita memahami dua kejadian mengerikan yang terjadi pada abad 20, Nazisme dan Stalinisme. Pemikiran Arendt dalam politik mengadaptasi konsep klasik civic republicanism (republikanisme sipil) yang pernah muncul pada zaman Aristoteles, selanjutnya diperjelas oleh tulisan-tulisan Machiavelli, Montesquieu, Jefferson, dan Tocqueville. Tradisi politik ini menkankan adanya tindakan bersama masyarakat dalam ramah politik. Warga negara dituntut keaktifannya dalam dalam menyelesaikan masalah bersama.partisipasi warga ini tidak hanya mengarah pada terciptanya kesepakatan bersama mengenai kebaikan, melainkan sebagai cara untuk mengafirmasi eksistensi diri setiap warga negara. Sedikitnya, ada tiga keuntungan yang dapat dilihat dengan penerapan civic republicanism, yaitu: pertama,memberikan kesempatan pada setiap warga untuk menguji kekuatan dirinya sebagai pelaku politik; kedua,kapasitas penilaian politis dapat berkembang; ketiga, diperolehnya ukuran efektifitas politik tertentu melalui tindakan bersama.
     Arendt kerapkali dianggap sebagai pembela konstitusi dan supremasi hukum, serta pembela hak asasi manusia. Arendt tidak hanya memasukan ide mengenai hak untuk hidup, kemerdekaan dan kebebasan, serta berekspresi, tetapi menekankan juga perlunya hak untuk bertindak dan berpendapat. Artinya, dibutuhkan partisipasi tindakan aktif warga negara dalam kehidupan politik. Lebih jelasnya, pemikiran Arendt yang merupakan warisantradisi civic republicanism dapat dilihat dari konsep politik yang didasarkan pada gagasan active citizenship. Arendt memfokuskan visinya pada dua nilai dan makna yang penting dari: pertama, civic engagement, yaitu keterlibatan warga negara; kedua, mengenai collective deliberation, yaitu penilaian kolekftif yang diperoleh melalui perdebatan public tentang berbagai persoalan yang mempengaruhi komunitas politik dan kepentingan hidup masyarakat.
     Tradisi pemikiran yang mempengaruhi cara pandang Arendt dapat ditelusuri dalam pembedaan Aristotelian pada oikos dan polis. Konsep politik Aristoteles mempekenalkan bahwa kodrat manusia adalah zoom politikon, sebagai makhluk yang mendiami polis. Polis adalah sistem dan struktur negara di zaman Yunani Kuno. Aktivitas manusia pada zaman ini terbagi menjadi dua, aktivitas dalam oikosi (keluarga, rumah tangga) dan aktivitas dalam polis (negara, kota).
     Aktivitas dalam oikos selanjutnya disebut aktivitas dalam ruang privat dan bersifat non-politis. Dalam ryang privat, manusia memikirkan kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Pada awal Politics, Aristoteles mengutip puisi dari Hesiod:

                 Yang utama dan paling utama adalah rumah, istri, dan kerbau untuk membajak.

     Menurut Aristoteles, rumah menjadi tempat berlindung keluarga. Istri diperlukan dalam proses reproduksi untuk memperoleh keturunan. Sementara kerbau yang membajak merupakan symbol dari kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh hak milik pribadi.
     Relasi yang tercipta dalam rumah tangga menampilkan hubungan antara tuan dan budak, suami dan istri, ayah dan anak-anak. Pengaturan rumah tangga berlangsung atas dasar dominasi pihak yang memerintah yang berada di tangan kepala rumah tangga. Keluarga dikepalai orang seorang ayah atau suami yang mengatur istri, anak-anak, dan budak, agar kebutuhan hidup tercukupi. Budak dalam rumah tangga diibaratkan sebagai alat kehidupan (live tool), yang bertugas melayani. Menurut Aristoteles, dominasi tuan terhadap anggota keluarga yang lain adalah hal yang dibenarkan. Karena itu, jika menganut konsep Aristoteles mengenai oikos, pemaksaan dan kekerasan dalam ruang privat menjai hal yang lumrah.
     Bebeda dengan ruang privat, aktivitas yang berlangsung pada ruang public bersifat politis. Tujuan aktivitas dalam polis adalah untuk mencapai kehidupan bersama yang baik. Manusia hidup dalam polis mewujudkan tindakannya demi kehidupan bersama. Polis menjadi wahan tampat penampakan diri antar sesama warga melalui komunikasi yang sederajat, dengan menggunakan bahasa.
      Pembedaan antara oikos dan polis menjadi landasan dalam gagasan politik Arendt. Polis, bagi Arendt, merupakan wilayah kebebasan, tempat penyikapan perihal “siapa” yang berbiacara dan bertindak dalam komunikasi yang sederajat. Arendt menerapkannya dalam ide mengenai aksi komunikatif dalam kekuasaan politik. Aksi komunikatif memunggkinkan munculnya dua hal yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu keterlibatan aktif warga negara dalam politik dan debat politik untuk memecahkan persoalan bersama. Pemisahan aktivitas manusia dalam konsep Arendt selanjutnya tidak terbatas pada aktivitas diruang privat dan ruang public. Arendt mengembangkannya dalam konsep via aktiva, dengan membedakan ativitas manusia dalam kerja, karya, dan tindakan.
     Arendt tidak sepenuhnya setuju dengan pembedaan yang dikatakan Aristoteles. Pembedaan antara oikos dan polis, antara privat dan ruang public dianggap dapat menimbulkan bahaya. Praktik-praktik yang terjadi di ruang privat dalam konsep Yunani Kuno berdampak negative bagi ruang public. Dominasi tanpa batas yang terjadi dalam oikos ternyata dapat tumbuh dengan subur dalam polis. Hal ini menjadi salah satu kajian Arendt dalam mengkritik modernitas.
     Berbicara tentang modernitas, tek dapat terlepas dari kata “modern”. Modern adalah terminology yang dibentuk dalam periodisasi, doktrin, model yang berbeda-beda. Secara umum, kata “modern” mengandung makna sebuah perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang. Dalam sejarah filsafat, “filsafat modern” merupakan label yang sering digunakan dalam filsafat baru yang berkembang pada awal era modern, yang dipelopori oleh Bacon dan Descartes, pada awal abad ke-17. Bacon, Locke, Barkeley, Hume, dan sebagainya dapat dikatakan sebagai kelompok filsuf modern. Tetapi penjabaran tersebut dapat pula digunakan sebagai para filsuf di abad duapuluh, seperti Mach, Schlick, Carnad, dan Reichenbach.
     Hannah Arendt membedakan antara era modern (modern age) dengan dunia modern (modern world). Pembedaan yang dilakukan Arendt didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan. Era modern dimulai pada abad ke- 17 dan berakhir pada abad ke- 20. Dunia modern sendiri, ungkap Arendt, berawal dari peristiwa jatuhnya bom atom untuk pertama kali.
     Sementara itu, modernitas adalah sebuah periodisasi sejarah, yang menjelaskan karakter modern. Peride ini terspesifikasi secara berragam. Substansi terpenting dari konsep modernitas adalah memandang kondisi dunia pada abad 19 dan abad 20. Kondisi tersebut berkatan dengan gagasan tentang negara (nation state), demokrasi politik, kapitalisme, urbanisasi, budaya massa, media massa, rasionalitas, antitradisionalisme, sekularisasi, kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Selain itu, kedua abad ini memperlihatkan kondisi industrialisasi dalam skala besar, individualisme, pencerahan ide dan ideology massa yang liberal dan progresif, serta ide-ide humanitarian yang terproyeksikan. Masing-masing gagasan mengenai kondisi dunia tersebut tidak hanya berdiri sendiri, namun dapat dikombinasikan menjadi sebuah hakikat dalam kehidupan modern.
     Arendt memandang modernitas sebagai sebuah keterputusan kondisi manusia. Keterputusan ini, muncul akibat ketidakpuasan manusia modern terhadap seluruh batasan yang mendefinisikan eksistensi manusia (kematian, kerja, dan kebutuhan alamiah). Modernitas merujuk pada sikap manusia yang tidak mau menerima apa yang belum ia hasilkan. Manusia modern merubah realitas dengan menggunakan instrument pengetahuan modern dan teknologi. Tujuan yang ingin dicapai manusia modern adalah membentukk dunia sampai ia merasa dunia sebagai rumah pribadi.
     Dengan demikian, dapat dilihat bahwa modernitas dalam konsep Arendt mengambil substansi rasionalitas. Manusia modern cenderung hanya menerima sesuatu jika hal tersebut dapat diterima secara rasional, patokan hidup adalah realitas yang dihadapi. Dengan menaruh kepercayaan yang berlebihan terhadap pengetahuan dan teknologi, manusia modern tidak terlalu memperhitungkan kemampuan berpikir dan memberikan penilaian kritis (thinking and judging). Akibatnya, manusia modern menjadi individualis, menginginkan dunia hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk kehidupan bersama. Situasi tersebut membawa manusia ke dalam ketersaingan dunia. Arendt menggambarkan keadaan masyarakat modern sebagai berikut,

                   sebuah masyarakat manusia, yang tanpa dunia bersama, yang sesekali menghubungkan dan memisahkan mereka, hidup dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan bersama menjadi massa. Karena masyarakat massa tak lain jenis kehidupan formal yang secara otomatis menegakkan dirinya diantara umat manusia yang masih terkait satu sama lain (karena menjadi anggota dari spesies manusia), tetapi teelah kehilangan duunia yang dimiliki bersama.

     Kutipan diatas menunjukan bahwa konsep masyarakat massa dalam pemikiran Arendt adalah masyarakat yang hidup bersama dalam ketertekanan. Masyarakat massa adalah masyarakat yang terasing dari dunianya, mereka hidup bersama, tetapi kehilangan kebersamaan, dalam arti diabaikannya struktur kolektif, redupnya solidaritas, dan hilangnya empati. Kritik Arendt terhadap modernitas tercermin dalam karya-karyanya. Kajian lebih dalam akan disampaikan pada bab-bab selanjutnya.


Catatan kaki :
1 Lihat table 1 pada lampiran.
2 Henk Schulte Nordholt, Een Staat van Geweld (pidato pengukuhan professor luar biasa dalam sejarah asia, Erasmus Universiteit, 22 juni 2000), hal7.
3 Andi Mulya Fakhri, Di Balik Tragedi Sampit: Data, Fakta, dan Prospek penyelesaian, Jakarta: Sarana Media Investama, 2001, hlm. 29”… warga menyerang pengungsi yang ketakutan. Warga men-sweeping setiap pendatang yang ingin mengungsi. … massa kedua pihak terkonsentrasi di wilayahnya, siap saling menyerang…” atau lihat Human Right Watch: Indonesia, The Violence in Ambon, vol. 11, No. 1(c), March, 1999, hlm. 13

14 comments

14 Oktober 2014 pukul 16.58

Assalamualaikum..
Tulisan bapak bagus sekali bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswanya

Nama: Anna Agustin
Kelas: AN A
Semester 1

14 Oktober 2014 pukul 18.18

Assalamu'alaikum pak nurudin.
Saya mau bertanya,ada salah satu kalimat dalam artikel bapak yg mengatakan bahwa "Kekerasan Negara dapat mempengaruhi individu-individu yang ada di dalam kekuasaannya untuk melakukan kejahatan". Yg merupakan contoh-contoh dari kekerasan negara itu apa saja pak selain yg ada dalam artikel bapak tersebut?

Saras Ayuningtyas
AN 1A
NPM 114090019

14 Oktober 2014 pukul 18.28

Assalamualaikum
Bagus pak nurudin buat wawasan dan pengetahuan mahasiswa nya
Nama:Dicky Abdul Rahman
Kelas:AN 1A

14 Oktober 2014 pukul 19.14

Assalamu'alaikum
Tulisan bapak bagus, menarik serta menambah pengetahuan baru bagi mahasiswa dan saya juga setuju jika kekerasan oleh Negara terus-menerus terjadi sampai kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah akan menjadi hal yang mengerikan apabila seseorang mengikutinya tanpa pemikiran kritis.

Risa Maylinda
AN 1A
NPM 114090029

14 Oktober 2014 pukul 19.52

Assalamualaikum..
Tulisannya bagus bapak sangat memberi wawasan sekali tapi sebelumnya saya mau bertanya dalam artikel bapak itu ada yang disebut dengan "Tendensi-tendensi Totaliter" saya agak kurang paham dengan tendensi totaliter mungkin bapak bisa menjelaskan lebih jelas lagi arti dari tendensi totaliter itu apa dan contoh dari tendensi totaliter itu seperti apa ? Terimakasih
Wassalamualaikum..

Cindy Novita
AN 1A
Semester 1
NPM 114090010

14 Oktober 2014 pukul 21.21

Assalamu'alaikum wr.wb
Artikel nya sangat bagus dan menarik pak, menambah pengetahuan dan pembelajaran di dalam nya, ilmu dari bapak sangat bermanfaat bagi kami.
Terima kasih
Wassalamu'alaikum wr.wb

Nama: Artika ameliani rezillah
NPM: 114090011
Kelas: AN 1A

15 Oktober 2014 pukul 17.09

Assalamualaikum...
Tulisan bapak bagus, menarik, dan juga dapat menambah wawasan bagi saya tentang politik, sebelumnya saya mau bertanya menurut pandangan bapak apa yang melatarbelakangi kekuasaan itu dijadikan sebagai alat untuk menindas dan merupakan sebagai biang konflik?
Terimakasih.

Nama : Ima Naimah
Kelas : AN 1A
Semester 1

15 Oktober 2014 pukul 19.08

Assalamualaikum pak

Tulisan bapak sangat bagus dan bermanfaat menambah pengetahuan dan wawasan untuk mahasiswa

Ulfani Rizki
AN 1A
NPM 114090027

17 Oktober 2014 pukul 11.46

Assalamu'alaikum wr.wb
Tulisannya bagus, menarik bapak, serta dapat menambah pengetahuan baru bagi saya tentang politik, dan bermanfaat bagi kami, bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswanya .
Terimakasih
Wassalamu'alaikum wr.wb

Nama: Hani Oktaviani
Kelas: AN 1A
NPM: 114090006

18 Oktober 2014 pukul 07.08

Assalamu'alaikum wr.wb
Tulisan yang bapak share bermanfaat bagi saya selaku mahasiswa baru dengan jrusan prodi fisip dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang ilmu politik, ternyata terdapat perbedaan mengenai definisi yang terkandung antara ilmu politik dengan filsafat politik. Ada benarnya HAM tersebut sangat penting bagi keberlangsungan manusia dalam bersosialisasi di lingkungan masyarakat, di tingkat nasional, maupun di dunia. Namun, apakah penegakkan hukum itu masih berlaku di negara kita?terutama teruntuk terjadi kesenjangan hidup antara si miskin dan si kaya...
Terimakasih
Wassalamu'alaikum wr.wb
Nama: Tomi Lestaruna
Kelas: AN 1A
NPM: 114090008

9 Maret 2015 pukul 12.21

Assalamualaikum Wr.Wb.
tulisan tulisan bapak sangat bermanfaat sekali untuk para pembacanya khususnya saya. disini ssaya dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk selalu belajar, belajar dan belajar.

nama saya ASEP WARDOYO
KELAS: AN B
SEMESTER 6
NPM: 112090035
FISIP UNSWAGATI

14 September 2017 pukul 20.55

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas tugas yang di berikan bapak kepada kami,
khususnya saya sebagai mahasiswa baru FISIP UNSWAGATI. Berkat tugas ini saya lebih berantusias untuk membaca setiap apa yang di tulis bapak. Kedepannya semoga saya bisa punya waktu membaca apa yang di tulis bapak entah itu bidang politik ataupun tentang keislaman.
Dari tulisan di atas yang dapat saya simpulkan dari pemikiran saya adalah bahwa komunikasi hal yang terpenting agar tindak kekerasan di suatu kekuasaan tidak terjadi. Antara masyarakat dan pemerintah harus saling terbuka dan kritis. Ada satu kalimat yang paling saya ingat dari Hanna Arendt yaitu "kekuasaan dapat terbangun ketika kata-kata bukan sesuatu yang kosong dan perbuatan bukan hal yang brutal"
Terimakasih
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Fiky Yudhistira
Semester 1
Kelas Ilmu Administrasi Negara C

Posting Komentar
- See more at: Fytoko Corporation

STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf