Selasa, 11 Maret 2014

CUPLIKAN BUKU MEMETICS Karangan : Eko Wijayanto

CUPLIKAN BUKU MEMETICS
Karangan : Eko Wijayanto



BAB  1
DARWIN, DAWKINS, dan MEMETIKA

Sepulang dari ekspedisi kapal Beagle, Charles Darwin mengumpulkan banyak fakta tentang evolusi. Satu dasawarsa kemudian perumusan teori evolusi dan gagasan tentang seeksi alam telah ia rampungkan. Namun, ia menunda publikasi teori itu dan menyimpannya selama hampir dua dasawarsa. Suatu ketika Darwin dikejutkan oleh surat dari sahabatnya, Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda. Wallace menulisakan gagasan yang sangat mirip dengan teorinya. Ia pun jadi resah dan bimbang. Atas dorongan sahabat dekatnya, T. H. Huxley, akhirnya Darwin menerbitkan buku On the Origin of Species pada 24 November 1859.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 1)
Dalam ekspedisi Beagle, Darwin memperoleh kenangan unik ketika bertemu dengan suku primitif di Teluk Tierra del Fuego. Bayagannya tentang suku primitif yang barbar dan kejam sedikit berubah ketika orang Fuegian menunjukkan sikap bersahabat, ramah-tama, dan ingin mengenl orang luar.Seperti yang dikatakan oleh Darwin:
[Setelah kami menghadiahi mereka dengan pakaian merah tua, yang langsung mereka lingkarkan pada leher mereka, mereka menjadi teman yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh seorang tua yang menepuk dada kami, dan membuat suara cekikik, seperti orang yang sedang memberi pakan ayam. Saya berjalan dengan si orang tua, dan bentuk persahabatan ini terulang beberapa kali, terangkum dalam tiga tepukan keras pada dada dan punggung saya secara bersamaan. Ia kemudian memperlihatkan dadanya kepda saya agar saya membalas sanjungannya, dan begitu saya melakukannya, dia nampak sangat senang.]
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 2)
Pemahaman Darwin tentang “kemanusiaan” suku primitif (orang-orang Fuego) mulai muncul setelah dilakukan eksperimen pertukaran budaya. Pada kenyataannya Beagle sebelumnya Kapten FizRoy membawa empat orang suku Fuegian ke Inggris. Kemudian tiga orang dari mereka di kembalikan ke tempat asalnya setelah di bekali pendidikan dan pakaian yang pantas, guna membantu penyebaran agama Kristen. Tetapi bukan berarti eksperimen ini tak bermasalah misalnya, pernah terjadi seorang Fuegian yang sudah di didik ini mencuri barang temannya. Setidaknya eksperimen ini menghasilkan tiga orang Fuegian yang mampu berbahasan Inggris. Darwin pun mengambil kesimpulam]n, meskipun ada pemilahan antara masyarakat beradab dan masyarat barbar, tetapi tetap ada sesuatu yang sama tentang sifat dasar manusia. Salah satunya adalah keinginan untuk menjalin persahabatan dengan “orang luar”. Memahami kesamaan mendasar pada manusia (human nature) adalah langkah awal untuk memasuki kajian kebudayaan. Dan dalam mengkaji kebudayaan, salah satu topic yang menjadi problem fundamentalnya terutama dalam perspektif Darwinian adalah persoalan altruisme.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 3)
Seleksi kekerabatan bias sedikit menjelaskan perilaku altruis pada manusia. Antropolog Bronislaw Malinowski, pada awal abad ke-20 mencatat bahwa penduduk Kepualauan Trobriand mempunyai dua makna untuk kata “teman” yakni “teman” dalam satu marga dan “teman” di luar marga. Malinowski menerjemahkannya sebagai “teman di dalam perbatasan” (friend within the barrier) dan teman di luar perbatasan (friend across the barrier). Sejauh ini, kita dapati bahwa seleksi kekerabatan memang dipengaruhi oleh faktor genetis, yakni informasi yang dikodekan di dalam DNA (deoxyribonucleic acid).
DNA mengodekan informasi (genotipe) sekaligus menjalankan replikasi. Informasi ini di perlukan sebagai resep untuk membentuk satu tubuh baru. Misalnya, sel telur seekor kelinci membawa informasi untuk merakit seekor kelinci baru. Gagasan ini mengingatkan kita pada Aristoteles yang mengatakan bahwa “konsep” seekor anak itik tersirat alam sebutir telur. DNA berpern aktif dalam menentukan aktivitas biokimia dan sifat-sifat khusus sel. Dengan demikian, sifat-sifat bawaan manusia seperti penyakit tertentu, kepribadian, naluri, dan lainnya sudah terkodekan dalam DNA. Fredrich Miescher, seorang dokter Swiss, menduga DNA merupakan kunci dalam memahami hereditas, karena menyiratkan pesan-pesan hereditas melalui kombinasi nucleobase (guanine [G], adenine [A], thymine [T], cytosine [C] yang terdapat pada nukleotida (nucleotides) DNA. Melali DNA inilah gen diwariskan dari generasi ke generasi. Yang unik pada manusia adalah terdapatnya replikator lain selain gen yang jga diwariskan, yakni replikator yang di sebut meme. Meme meliputi segala sesuatu yang kita pelajari melalui imitasi, termasuk kosakata, legenda, kemampuan dan tingkah laku, permainan, lagu, ataupun peratururan. Meme mudah menyebar, menular, dan melompat dari satu pikiran ke pikiran lain. Meme menyebarkan diri tanpa melihat apakah ia akan berguna, netral, ataupun merugikan manusia. Namun demikian, dalam proses evolusi imitasi ini tak selamaya berjalan dengan sempurna. Seringkali terjadi perubahan pada gen dan meme karena interferensi dari lingkungan sehingga menghasilkan perbedaan pada perrilaku dan kebudayaan yang berevolusi sejak nenek moyang manusia. Sementara keeradaan menjelaskan perubahan evolusionis yang terjadi di tataran biologis, keberadaan meme berguna untuk menjelaskan perubahan evolusinonal yang terjadi dalam kebudayaan. Misalnya, pada perkembangan ide-ide yang akhirnya menjadi sistem kepercayaan (agama).  Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan merupakan penyimpangan dari meme otentik yang sebenarnya hanyalah ide atau pendapat tentang suatu hal. Contoh meme yang akhirnya menjadi sebuarh kepercayaan adalah kepercayaan akan adaya Tuhan. Dahulu kala manusai prasejarah menganal ide-ide tentang sesuatu yang lebih tinggi dari kehidupan manusia dan melakukan pemujaan terhadapnya untuk mendapatkan kesejahteraan. Seiring perkembangan zaman, meme awal tersebut dianut oleh semakin banyak orang dan kemungkinan juga mengalami distorsi sampai akhirnya memiliki kekuatan untuk bertahan sampai sekarang.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 6)
DNA memuat indtruksi genetis dan dengan setia mewariskan informasi tersebut dari generasi ke generasi lain. Determenisme menengok masa lalu yang menjadi penyebab masa sekarang, sesuatu yang tidak bisa kita elakan, seperti rambut kita yang sejak lahir berwarna hitam dank kulit kita yang cokelat. Tujuan orang mempelajari genetika adalah mencari upaya untuk memperbaiki cacat genetik, seperti obesitas, parkison, Alzheimer, dan lain-lain. Selain itu dengan genetika kita juga mampu memanipulasi gen-gen yang memengaruhi kepribadian dan perilaku kita.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 7)
Kita menyebut “determenisme genetik”, persepsi yang kerap muncul di benak kita adalah seakan manusia hanya di takdirkan untuk mengikuti secara buta apa yang sudah diperintahkan oleh gen nya dan perilaku setiap orrang punya penjelasan gentiknya masing-masing. Gen, seperti yang dikatakan oleh Richard Dawkins memiliki jaringan yang begitu kompleks. Variasi individual dan heretabilitas memang dipengaruhi oleh faktor genetik. Dengan demikian, tingkah laku manusia sebagaimana semua organisme dalam proses evolusi yang panjamg dapat dilacak dan ditelusuri gennya. Perubahan gen akan menghasilkan persesuaian yang berbeda pada pola perilaku. Hal ini akan berkontribusi pada adanya variasi daam populasi. Fenotipe adalah karateristik organisme yang dapat diamati secara langsung seperti warna iris, npanjang ekor, warna kulit, dan sebagainya. Variasi makhluk hidup ini terjadi karena “pembentukan genetik”. Namun ia semata-mata ditentukan oleh faktor genetik, lantaran fenotipe merupakan hasil dari interaksi antara gen dengan lingkungan.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 8)
Keberadaan gen telah membantu banyak penjelasan dalam teori evolusi Darwin. Dan dengan “menggeser sedikit” focus tentang gen, Dawkins mempercanggih teori evolusi Darwin ini dengan mengembangkan gagasan bahwa kekuatan-kekuatan dalam seleksi alam yakni kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan beroperasi bukan pada tataran spesies ataupun individu, melainkan pada tataran gen. Dawkins beralasan, teradapt begitu banyak contoh makhluk hidup yang bertindak bertentangan dengan kepentingan perjuangan hidupnya sendiri. Untuk melegkapi penjelsa tentang evolusi manusia yang sampai taraf tertentu cukup terbantu oleh  teori gen, Dawkins memperkenalkan konsep meme sebagai unit pembentuk kebudayaan.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 9)
Dawkins berpendapat bahwa meme pada kenyataanya merupakan bagian esensial dari pembentukan evolusioner spesies manusia. Kita adalah makhluk yang sejauh ini mampu bertahan hidup paling baik bukan karena bentuk tubuh, melainkan karena meme memampukan spesies manusia untuk memanpulasi lingkungan dengan menciptakan perkakas-perkakas kehidupan.  
                        (EKO WIJAYANTO : 2013 : 10)
M E M E T I K A
            Ilmu memetika dipergunakan para ilmuwan untuk memahami perekembangan diri seorang dalam kaitannya dengan budaya di sekitarnya, karena cara kerjanya dinilai efektif untuk memahami bagaimana aspek-aspek kebudayaan manusia berkembang.  Jika geneitika adalah ilmu yang mempelajari gen, maka memetika adalah ilmu yang mempelajari meme. Meme memiliki daur hidup dan tersebar layaknya virus yang berpindah dan bisa dipindahkan dari pikiran seorang ke pikirn orang lain. Untuk memahami meme, kita bisa menganalogikannya dengan ca kerja gen.  Gen terus menerus menggandakan diri untuk menjaga kelangsungan replikasinya. Meme bekerja dengan prinsip yang sama, namun pada tataran ide-ide dan nilai-nilai. Meme-meme, menurut Dawkins, juga saling bersaing untuk dapat hidup abadi. Ssebagaimana halnya gen, meme akan mengalami proses seleksi yang ketat. Untuk memberikan pengalaman yang lebih luas mengenai meme, penelitian dalam buku ini menggunakan heurmeneutika evolusi (evolutionary heurmeuneutics) sebagai metodenya. Sebagai perkakas teoritis untuk membedah kebudayaan, menrut Nick Szabo, heurmeuneutika evolusi merupakan metode dalam kajian budaya yang merupakan sintesis antara heurneuneutika di mana Heidegger adalah pionirnya, dengan kajian meme sebagai unit informasi budaya dimana Richard Dawkins adalah pionirnya. Heurneunitika evolusi, sebagai perkakas teoritis, mendaku bahwa perilaku manusia dapat dipahami dan dijelaskan melalui telaah terhadap interaksi antara evolusi genetik dan budaya.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 11)
Heurmenetika evolusi sangat berguna untuk menelanjangi konstruksi budaya yang mapan, yakni dengan menunjukkan bahwa sebuah budaya dapat mapan lantaran mempunyai nilai kegunaan bagi keberlangsungan gen dan meme. Ko-evolusi gen dan meme ini ada agar kepunahan spesies manusia tidak terjadi, tentu bukan demi spesies manusia itu sendiri tetapi demi gen dan meme agar dapat harus bereplikasi. Heurmeuneutika evolusi berfungsi untuk membongkar evolusi konstruksi budaya yang pada dasarnya merupakan wahana keberlangsungan gen. Filsuf Daniel Dennet pernah mengemukakan, kemajuan kesadaran manusia telah tiba pada titik dimana ia mampu mempertanyakan cara-cara instingtual manusia dalam menjaga dan mempertahankan suatu bentuk budaya.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 12)
Memetika adalah ilmu pengetahuan yang menyingkap meme sebagai bahan dasar pembentuk mental seseorang. Teori meme (memetika) dimulai dari kompetisi antar meme untuk masuk ke dalam pikiran manusia. Jika teori ini valid, ia bisa menjadi teori yang mandiri, bukan dari bagian genetika maupun biologi, melainkan sebuha disiplin ilmu yang termasuk teori kebudayaan.
                        (EKO WIJAYANTO : 2013 : 13)



BAB 2
Darwinisme Terkembang:
Dari Gen ke Meme

Bab ini membahas pemikiran Charles Darwin di luar ranah biologi, yakni di ranah kebudayaan. Pemikiran yang di lanjutkan oleh para pemikir setelah Darwin ini biasa kita sebut sebagai darwinisme. Pemikiran evolusi Darwin telah begitu berkembang, bahkan melampaui apa yang terpikirkan oleh Darwin sendiri. Secara khusus saya akan mengerucutkan pembahasan Darwinian dan neo-darwinisme ke dalam persoalan budaya altruis. Unruk melihat disposisi teoritisnya, saya akan mengulas sosiobiologi sebagai salah satu model neo-darwinisme dalam menerangkan tingkah laku makhluk hidup.
SELEKSI DARWINIAN
            Manusia kerap menganggap dirinya dapat melakukan kebaikan tanpa pamrih. Tetapi bila dibandingkan dengan serangga social yang mengorbankan diri untuk koloni mereka, semut misalnya, manusia bukanlah apa-apa. Untuk menjelaskan hal ini William D. Hamilton, seorang ahli biologi, mengungkapkan teori seleksi kekerabatan (kin selection). Teori Hamilton ini merupakan pengembangan teori Darwin.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 15)
            Misalnya seekor tupai, yang tidak memiliki keturunan, yang ada dalam jangkauan predator, akan mengeluarkan suara yang dapat menarik perhatian predator dan membawanya kepada kematian. Apabila dilihat sebagai proses seleksi alam sebagaimana dipahami oleh para ahli biologi pertengahan abad ke-19, termasuk Darwin, mengeluarkan suara peringatan merupakan hal yang tidak masuk akal karena sama saja bunuh diri. Kasus ini di jawab oelh Hamilton dengan mengaitkannya pada gen. Menurut Hamilton, alasan tupai itu mengeluarkan suara peringatan adalah untuk menyelamatkan tupai-tupai lain di sekitarnya. Sekalipun mengorbankan pembawanya, gen pada tupai tersebut akan membuat si tupai berkecenderungan untuk mengutamakan keselamatan atau reproduksi pembawa lain yang memiliki gen yang sama sehingga gen mereka dapat terus berkembang dengan baik.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 16)
            Suatu organisme memiliki tingkah laku yang dapat di anggap altruistic ketika tindakannya menguntungkan organisme lain, sekaligus mendatangkan disinsentif bagi dirinya sendiri. Dalam evolusi biologis, keuntungan dan disensentif itu diukur dengan terminologi reproductive fitness atau jumlah keturunan yang diharapkan. Jadi, bisa kita katakan bahwa dengan bertindak altruis satu organisme mengurangi jumlah keturunannya sendiri, tetapi meningkatkan dalam jumlah besar kemungkinan organisme lain dalam spesiesnya memiliki keturunan. Gagasan biologi mengenai altruisme ini tentu tidak bisa kita identikkan begitu saja dengan altruisme dalam pengertian sehari-hari. Dalam sudut pandang Darwinian, eksistensi altruisme di alam bersifat natural. Meski ada kecenderungan untuk berpikir bahwa organisme harus mengambil tindakan-tindakan yang mampu meningkatkan kesempatannya senidri untuk survive dan bereproduksi, namun kenyatannya beberapa organisme altruistik.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 17)
            Problem altruisme sebetulnya terkait erat dengan pertanyaan dasar pada tingkat apa seleksi alam berlaku? Jika seleksi secara ekslusif terjadi pada tingkat individual, maka altruisme tidak akan bisa bertahan dalam evolusi karena memberikan kerugian pada oragnisme individual. Padahal bagaimanapun, sangat mungkin aktruisme memberikan keuntungan pada tingkat kelompok. Sebuah kelompok memiliki begitu banyak pelaku altruis yang siap mensubordinasi kepentingan egositik mereka demi kebaikan yang lebih besar, yakni kebaikan kelompok. Dengan demikian, seleksi kelompok memungkinkan tindakan altruis berevolusi. Di dalam setiap kelompok, perilaku altruis akan berada pada kerugian selektif secara relatif terhadap kawannya yang egois. Tetapi dengan demikian tingakt fitness kelompoknya secara umum akan meningkat.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 18)
                Gagasan menganai kelompok barangkali mampu menerangkan altruisme. Di dalam The Descent of Man. Darwin telah mendiskusikan asal-muasal tindakan altruis dan pengorbanan diri di antara manusia. Tindakan itu secara jelas memberikan kerugian pada tngkat individu namun meningkatkan survavilitas kelompok. Dengan demikian seleksi kelompok menyediakan suatu model penjelasan Darwinian untuk menerangkan altruisme. Model mutakhir untuk menerangkan tindakan altruis adalah gagasan Dawkins dalam buku The Selfish Gene, yang memiliki hipotesis teoritis bahwa organisme (individu) hanyalah wahan bagi kepentingan gen egois. Anggota suatu spesies tidak lain hanyalah mesin survavilitas dalam proses evolusi agen yang sesungguhnya di dalam evolusi adalah gen. Adalah gen yang harus di wariskan dan bereplikasi. Sementara tingkah laku individu sebelumnya hanyalah modus adaptif untuk meningkatkan peluang tercapainya kepentingan gen. Dengan demikian, sangat logis bila individu bersikap altruis karena altruisme dapat memperbesar peluang gen nya dan gen dalam kolam gen asalnya untuk terwariskan ke generasi selanjutnya.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 19)
ALTRUISME
            Dalam buku The Expression og Emotions in Man and Animals (1872) karya Charles Darwin terdapat sebuah pernyataan yang menegasakan bahwa seseorang lebih merasakan simpati kepada penderitaan orang lain daripada penderitaannya sendiri. Hal ini membawa kita pada teori Darwin tentang moral manusia. Dalam The Descent of Man, Darwin menulis bahwa seseorang yang terbiasa berbuat baik kepada orang lain akan mendapatakan balasan yang setimpa. Apabila ia terus menerus mempetahankan perbuatan baik tersebut, maka rasa simpati pun ikut tertanam di jiwanya. Rasa simpati ini mneurut Darwin, nantinya dapat diwariskan melalui gen. Namun kini kita mengetahui, gagasan bahwa rasa simpati merupakan warisan genetic tidaklah sepenuhnya benar. Rasa simpati tidak melulu diwariskan melalui gen, melainkan melalui contoh dan teladan dari orang tua kepada anaknya. Sehubungan dengan teori ini, munculah seorang ahli biologi yang juga seorang Darwinis yang bernama George William. Di tahun 1966, dalam bukunya yang berjudul Adaptation and Natural Selection, William memaksa para Darwinis unruk merenungkan kembali teori Darwin tentang pewarisan rasa simpati melalui gen, tetapi njuga melihat tulisan Darwin tentang kemampuan untuk memprediksi masa depan dan pembelajaran dari pengalaman yang dialami manusia.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 20)
            Menagcu pada tulisan Darwin dalam The Descent of Man, William menambahkan beberapa hal tentang hubungan timbale balik, bahwa apabila seseorang memaksimalkan hubungan pertemanan dan meminimalkan keegoisannya, maka orang tersebut akan mendapat keuntungan evolusioner dan bertahan dalam seleksi alam. Menurutnya hal tersebut dapat  mengembangkan optimisme dalam hubungan antar individu. Secara spesifik Darwin sendiri melihat bahwa level keluarga altruisme benar-benar bekerja. Dengan kata lain, seleksi (altruistik) terjadi pada level keluarga. Poin utama William, kecenderungan hewan, termasuk manusia adalah sering melakukan suatu tindakan tanpa menggunakan logika tetapi mengikuti perasaan mereka yang memang dirancang sebagai pengawas logika. Dalam kasus ini William mensarankan, perasaan tersebut sebaiknya diikuti rasa kasih saying dan terima kasih.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 21)
            Teori William disempurnakan oleh Robert Trivers. Pada tahun 1971 ia mempublikasikan tulisan yang berjudul “The Evolution of Reciprocal Altruism” dalam The Quarterly Review of Biology. Trivers menyatakan bahwa persahabatan , ketidaksukaan, agresi, moral, rasa teima kasih, simpati, kepercayaan, kecurigaan, dapat diandalkan, rasa bersalah, dan beberapa sifat lain dapat dijelaskan sebagai adaptasi penting untuk mengatur sistem altruistik.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 22)
Game  Theory (Teori Permainan) Dan Altruisme Resiprokal
            Game theory berkembang selam periode 1920-an  dan 1930-an di bidang ekonomi dan ilmu social. Baru pada tahun 1970-an teori ini diperluas hingga mencakup biologi. Game theory dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup terkenal, yakni bagaimana prang itu bisa bekerja sama dalam masyarakat apabila masing-masing dari mereka cenderung berusaha unruk menjadi pemenang. Untuk mengetahui bagaimana Gamw Theory berperan dalam teori evolusi, Trivers atas saran William Hamilton menjalankan permainan klasik yang disebut dilemma narapidana (prisoner’s dilemma). Gagasan permainannya adalah untuk menirukan konflik-konflik yang ada di dunai nyata, di mana satu sisi pemenang memperoleh segalanya, namun di sisi lain kerja sama dan kompromi diperlukan unruk memperoleh keuntungan yang berkelanjutan.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 23)
            Logika yang mengarahakan pada kerjasama semacam ini sama dengan logika yang mengarahkan pada altruisme resiprokal di alam. Hal inilah yang kemudia membawa kita pada kestabilan evolusioner. Dari percobaan ini terlihat bahwa orang-orang yang akan bertahan dalam seleksi alam adalah mereka yang mampu bekerja sama.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 25)
PENTINGNYA SOSIOBIOLOGI
            Sosiobiologi memliki premis dasar bahwa beberapa tingkah laku, baik social maupun individual, setidaknya sebagiannya terwarisi dan dipengaruhi oleh seleksi alam. Sosiobiologi dimulai dengan gagasan bahwa tingkah laku bisa berevolusi melalui cara yang seupa dengan cara sifat-sifat fiskal berevolusi. Dengan demikian, sosiobiologi mampu memprediksi bahwa hewan akan bertindak sesuai cara-cara yang telah terbukti sukses berevolusi sepanjang waktu. Bisa di bilang disiplin ini bermaksud mengejar penjelasan mengenai tingkah laku sebagai prdouk dari seleksi alam. Wilson percaya bahwa tingkah laku manusia, sebagaimana tingkah laku hewan selebihnya, bisa dijelaskan (setidaknya sebagian) sebagai hasil dari seleksi alam. Konsep alam sangat fundamental di dalam teori evolusi. Variasi sifat-sifat herediter yang meningkatkan kemampuan organisme unuk bertahan hidup dan bereproduksi akan semakin kentara direproduksi pada generasi-generasi selanjutnya. Jadi, tingkah laku yang member orgnisme kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup dan bereproduksi di masa lampau akan lebih mungkin bertahan diwariskan pada organisme sekarang.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 28)
            Sampai saat titik ini kita melihat bahwa sosiobiologi tertarik pada bagimana tingkah laku bisa dijelaskan sebagai hasil dari tekanan selektif di dalam sejarah spesies. Jadi, seringkali sosiobiologi lebih tertarik pada tingkah laku instingtif atau intuitif, serta pada persamaan ketimbang perbedaan diantara berbagai kebudayaan. Sebagai contoh, induk berbagai spesies mamalia, termasuk manusia sangat protektif terhadap keturunan mereka. Sosiobiologi berargumen bahwa tingkah laku protektif tersebut berevolusi sepanjang waktu karena membantu individu-individu untuk memiliki kemampuan bertahan hidup dan bereproduksi. Individu-individu yang menunjukkan tingkah laku protektif tersebut akan lebih banyak mempunyai keturunan disbanding mereka yang tidak memiliki keturunan.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 29)
SOSIOBIOLOGI DAN KRITIK DANIEL DENNET
            Darwin telah memberikan perspektif dalam melihat signifikasi tingkah laku sosial dalam evolusi organis. Dalam The Descent of Man dia menunjukkan betapa signifikannya tingkah lakupada evolusi manusia. Darwin berargumen bahwa itu adalah produk seleksi alam. Puncak eksplanasi tingkah laku ini memang bertumpu pada sosiobiologi yang di populerkan oleh Wilson. Namun, begitu banyak simpulan Wilson yang membuatnya dituduh mendorong seksisme dan rasisme karena memercayai bahwa sistem sosial Barat secara biologis adalah bawaan. Kritik kepada Wilson memandang seluruh proyek sosiobiologi tidak lain adalah manifestasi darwinisme sosial, sebuah filsafat abad ke-19 yang merujuk pada Spencer, yang dianggap melegitismasi ekonomi laisses-faire secara eksrem dan mengizinkan konsep struggling for existense menjadi dasar sosial. Beberapa kritik sangat serius, seperti yang dilontarkan Moore dalam bukunya Principia Ethica, menduduh gagasan seperti Spencerian telah melakukan naturalistic fallary karena mencoba menderivasi apa yang seharusnya (ought) dari apa yang secara alamiah ada, sehingga seolah-olah di alam organisme kuatlah yang menang, maka secara moral pun yang kuat boleh melakukan apa saja terhadap yang lemah. Kontrovensi yang berkembang didalam sosiobiologi menurut saya lebih diwarnai kritik yang salah sasaran karena tiga alas an. Pertama, sosiobiologi bukanlah sayap ideologis maupun turunan dari Darwinisme sosial yang dianut Spencer yang memiliki dimensi normatif-ideologis. Kedua, simpulan-simpulan sosiobiologi mengenai sifat-sifat umum tingkah laku sosial adalah hasil dari prosedur ilmiah yang memiliki derajat fasibilitas sejauh reliable ia bisa dipegang. Ketiga, simpulan-simpulan itu bersifat deskritptif dan tidak langsung membimbing pada simpulan normative.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 30)
            Daniel Dennet adalah seorang yang sangat kritis terhadap Wilson dan sosiobiologi. Dennet tidak menolak bahwa mekanisme seleksi alam telah berperan besar kepada perubahan tingkah laku organisme, termasuk manusia. Namun menurutnya, satu aspek yang luput dari Wilson dalam menganalisis tingkah laku manusia adalah keberadaan otak. Sosiobiologi cenderung mencari persamaan, sehingga tidak menaruh perhatian lebih pada struktur otak manusia. Keacuhan terhadap otak menjadi dasar kritik Dennet kepada Wilson. Dennet, berbeda dengan Wilson member kredit pada penelitian terhadap fungsi dan struktur otak manusia karena otak inilah yang memampukannya bertingakh laku berbeda pada spesies lain. Kompleksitas otaklah yang mendasari keyakinan bahwa manusia mengalami evolusi yang serupa tapi tak sama dengan spesies lain, meski sama-sama mengalami evolusi biologis, namun evolusi manusia kemudian berlanjut dengan evolusi kebudayaan.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 31)
IKHTISAR
            Meskipun persoalan altruisme sudah dirintis oelh Darwin sendiri yang menganggap sifat altruis itu diwariskan namun pandangannya kemudian direvisi oleh George William, seorang darwinis, yang menganggap bahwa perkara altruisme ini transmisinya lebih signifikan pada budaya ketimbang gen. Darwinisme konsisten dengan pandangan seleksi alam terjadi di level individu maupun kelompok dan mekanisme ini berlangsung begitu panjang sebagai akibat dari mutasi di level genetik. Sementara itu, sosiobiologi yang dikemukakan oleh Wilson menolak pandangan demikian dengan argument bahwa mekanisme seleksi alam berlangsung di level sosial atau kelompok. Namun, satu aspek yang luput dari Wilson dalam menganalisis tingkah laku manusia adalah keberadaan otak. Sodiobiologi cenderung mencari persamaan sehingga tidak menaruh cukup perhatian pada struktur otak manusia. Adapun dawkins, mengantisipasi pendekatan simpisistik sosiobiologi Wilson, dengan jeli melihat gen sebagai actor dalam evolusi dan member pendekatan berbeda dalam memahami manusia karena manusia juga mengalami evolusi kebudayaan. Dawkins memperkenalkan istilah meme sebagai analogi bagi gen di tingkat kebudayaan. Banyak yang menyamakan istilah meme dengan kebudayaan, padahal secara ontologis keduanya sangat bertolak belakang. Dalam ontologi kebudayaan, manusia menciptakan kebudayaan, sementara dalam ontologi meme, meme-lah yang menciptakan (kebudayaan) manusia.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 34)
BAB 3
TEORI Gen Egois

RICHARD DAWKINS DAN TEORI GEN EGOIS
            Pemeran utama dalam evolusi, menurut Richard Dawkins, adalah gen. Terjadinya evulusi berawal dari gen-gen egois yang berusaha berkelanjutan (universal). Barulah kemudian organisme yang mulai  berpopulasi.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 36)
            Dawkins meyakini bahwa kehidupam manusia diatur oleh sejimlah hokum gen yang bersifat universal. Segala sesuatu yang menyangkut seleksi alam pasti terkait dengan pola survavilitas yang menimbulkan naluri egois (selfish). Altruisme murni tidaklah cukup bai manusia karena manusia membutuhkan keuntungan (benefit) bagi kestabilan survavilitasnya, sehingga gen menginstrusikan manusia (dan organisme lain) untuk menjadi egois dalam rangka survive. Selama berevolusi, makhluk hidup berusaha menuju perbaikan generasi melalui reproduksi. Dalam hal ini evolusi terjadi jika hanya ada seleksi alam yang sifatnya acak. Hanya makhluk yang mampu survive dalam seleksi alam yang akan melanjutkan proses evolusi. Dalam kehidupan kelompok, individu lemah terpaksa harus menyingkir jika mengganggu kelompok.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 37)
            Berkenaan dengan hal ini, Dawkins menunjukkan bahwa selfishness terdapat diberbagai entitas kehidupan dan layak menjadi landasan seleksi alam. Sebagai elemen dasar dalam seleksi alam, gen berfungsi sebagai agen self-interest. Gen merupakan reolikator, sementara manusia hanyalah wahana survavilitas baginya. Spesies sebagai survival machine tampaknya memiliki tujuan karena adanya faktor hasrat. Begitu pula dengan apa yang kita kenal sebagai kesadaran, ia pun merupakan hasil dari adaptasi dan evolusi. Kesadaran muncul ketika otak berkembang semakin kompleks. Uniknya, sampai pada taraf tertentu dalam evolusi, beberapa otak (termasuk otak manusia) dalah satu-satunya bagian tubuh yang dapat mengambil keputusan dan mengabaikan perintah gen.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 37)   
            Masalah yang seringkali dialamatkan pada Dawkins adalah kata sifat selfish yang dia atributkan pada gen. Seolah-olah gen memiliki kesadaran dan tujuan yang inheren pada dirinya sendiri. Namun kritik ini dapat diabaikan jika kita memahami apa yang Dawkins coba lakukan, yaitu berusaha meng-antroporfisasi gen sebagai metode eksplanasi untuk mendemostasikan karakter deskriptif gen, terutama dalam evolusi. Proses evolusi senantiasa disertai tekanan-tekanan terhadap proses reproduksi untuk berhasil. Karakter adaptif adalah kunci dalam keberhasilan ini. Dawkins mengemukakan pertanyaan provokatif dalam buku The Selfish Gene, mengapa kita menjadi manusia. “Kebenaran” yang dibawa Darwin menawarkan satu versi jawaban tentang asal-usul kehidupan. Dan dengan demikian, juga jawaban alternative untuk perntanyaan tersebut. Setelah Darwin dan teori evolusinya, kita tidak lagi dihadapkan pada jawaban-jawaban gaib dan misterius karena berbeda dengan agama, teori evolusi dapat secara terbuka diperdebatkan.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 38)
SANG PERANCANG BUTA
            Richard Dawkins dalam buku The Blind Watchmaker (1986) mencoba memberikan penjelasan tentang DNA. DNA adalah protein dalam tubuh makhluk hidup yang membawa informasi genetic yang akan memengaruhi fenotipe dan genotipe kita. DNA terdiri atas empat nukleotida berbeda. Setiap nukleotida ini menyusun rangkaian protein yang berbeda-beda pada setiap makhluk hidup sehingga setiap makhluk hidup memiliki sifatnya masing-masing. DNA diturunkan dari generasi ke generasi. Namun setiap generasi tidak mungkin mewarisi DNA yang sama. Pasti terjadi sebuah “error” yang disebut mutasi. Mutasi inilah yang dimaksud oleh Dawkins sendiri  bukanlah eror yang berarti kesalahan. Dawkins mengibaratkannya dengan sebuah resep. Trkadang setiap resep keliru justru menghasilkan sesuatu yang lebih. Alkisah ada seorang penjual susu yang tempat berjualannya dekat dengan seorang penjual kopi. Seiring berjalannya waktu, dagangan penjual kopi lebih laris daripada penjual susu. Karena kedengkiannya, suatu hari penjual susu dating ke dapur penjual kopi dan diam-diam mencampurkan susunya kedalam kopi yang dijual oleh penjual kopi. Si penjual susu membayangkan, para pembeli kopi itu akan marah dan tidak mau lagi membeli kopi. Namun tanpa diduga, saat kopi (yang sudah dicampur dengan susu tadi) dihidankan kepada pembeli, mereka malah menyukai rasa baru “kopi” tersebut dan bertanya-tanya dengan penuh kekaguman pada sang pembuat kopi, bagaimana menciptakan minuman seenak itu. Mungkin “kesalahan” secara inilah yang dimaksud Dawkins, kesalahan yang tidak melulu berarti negatif, tetapi dapat juga menjadi positif. Hal inilah yang terjadi pada proses evolusi DNA yang diteruskan dari generasi ke generasi mengalami “kesalahan” atau mutasi dan menghasilkan generasi yang kebuh baik. Dawkins senidiri mengemukakan dua analogi yang inspiratif. Pertama analogi diantara berbagai proses evolusi berdasarkan kemiripan untuk (menciptakan) “ledakan”. Kedua analogi antara teori evolusi Darwin dengan evolusi budaya.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 40)
            Ledakan yang dikenal oleh para insinyur pada umumnya berupa positive feedback (umpan balik positif). Untuk dapat memudahkan pemahaman tentang umpan balik positif, perlu dijelaskan pula pengertian umpan balik negatif (negative feedback) yang merupakan lawan dari umpan balik positif. Contoh, umpan balik dapat kita temukan pada pengontrol aln uap dalam mesin uap yang disebut dengan Watt steam governor. Pengontrol ini berfungsi untuk menjaga agar mesin bekerja pada putaran yang tetap. Jika mesin berputar dengan cepat maka katup uap yang dibuka lebih kecil agar aliran atau tekanan uap yang masuk ke mesin lebih sedikit. Mekanisme ini merupakan umpan balik negatif. Namun demikian, pada mesin yang sama apabila mesin berputar lebih lambat maka lairan uap yang masuk ke mesin pun akan lebih sedikit, sehingga pada suatu saat aliran uap akan nol dan mesin berhenti bekerja. Dalam hal ini yang terjadi adalah umpan balik positif. Umpan balik positif dapat mengakibatkan penurunan aktivitas sampai mencapai titik nol. Kendati demikian, umumnya umpan balik positif yang dikenal bukanlah sesuatu yang mengakibatkan penurunan aktivitas, melainkan meningkatkn aktivitas sampai pada kondisi yang tak terkendali. Oleh karena itu proses pada umpan balik positif bersifat tidak stabil dan dapat mengakibatkan “ledakan”.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 41)
            Gen yang egois harus melakukan segala upaya agar ia lestari tanpa batas. Hal inilah yang membuat evolusi terus berjalan. Akar dari teori gen eois Richard Dawkins adalah teori evolusi dan seleksi alam Charles Darwin. Namun berbeda dengan Darwin, Dawkins menganggap evolusi terjadi tidak hanya pada kehidupan biologis semata, terlebih pada manusia. Menurutnya terdapat evolusi kebudayaan yang replikatornya adalah meme. Meme mampu bereplikasi dalam kehidupan manusia karena manusia memiliki otak yang mampu berfungsi sebagai “mesin imitasi”.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 42)








BAB 4
Meme sebagai Gen Kebudayaan
PROBLEM MEME
Menurut Dawkins, hal yang tak biasa yang secara unik dimiliki manusia dan membedakannya dari hewan lain adalah kebudayaan. Transmisi kebudayaan bisa kita analogikan dengan transmisi generik, termasuk selama menjalani proses evolusi. Memamng transmisi kebudayaan tidak hanya terdapat pada manusia karena kebudayaan bukanlah monopoli manusia. Beberapa binatang, khususnya binatang sosial, cenderung “membentuk” kebudayaan. Misalnya, burung yang berkicau. Kasus semacam ini didapati oleh seorang etolog yang bernama Jenkins dalam penelitian terhadap burung saddleback yang dilakukannya di Selandia Baru. Jenkins mendapati bahwa pola nyanyian burung saddleback tidak diturunkan secara genetis, karena pejantan mudanya mengambil nyanyian dari tetangga teritori mereka dengan cara imitasi. Hal semacam ini bisa kita analogikan dengan bahasa pada manusia. Namun demikian, hanya pada manusia kita dapat melihat apa yang dapat dilakukan oleh meme dalam evolusi kebudayaan.
Bahasa mengalami evolusi, bahkan evolusinya lebih cepat disbanding evolusi gen. Begitu pula cara kita memilih gaya hidup, berpakaian, tradisi, upacara, seni, arsitektur, teknologi, semuanya bereolusi dan sepertinya tidak ada kaitan langsung dengan evolusi gen. Dalam hal evolusi bahasa ini, replikator yang dilibatkan adalah meme. Menurut Richard Dawkins, meme adalah unit kebudayaan yang dapat dipindahkan, dikomunikasikan, digandakan, dan diwariskan. Contohnya lagu, puisi, teknik matematika, mode pakaian, dan berbagai pemanfaatan teknologi.
                                    (EKO WIJAYANTO :2013 : 46)
Meme yang terdapat pada pikiran seseorang secara harfiah mnjadi parasit dalam otak tersebut. Meme mengubah manusia tersebut menjadi perangkat untuk memperbanyak diri dengan cara yang sama dengan virus yang menjadi parasit pada mekanisme genetic sel inangnya.Lantass mnegapa suatu meme mempunyai kelangsungan hidup yang sangat tinggi? Dawkins mencoba menjawab pertanyaan ini dengan memberikan contoh meme ide tentang Tuhan. Apa yang membuat gagasan tentang Tuhan mempunyai stabilisasi dan penetrasi dalam kebudayaan? Gagasan ini dikonstruksikan oleh meme-meme yang mempunyai niali kelangsungan hidup yang tinggi lantaran snaggup memberikan jawaban yang terkesan masuk akal untuk berbagai pertanyaan mendalam dan menggelisahkan arti keberadaan manusia. Misalnya, pertanyaan tentang adakah kehidupan setela kematian, adanya problema ketidakadilan di dunia, dan lain-lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Dawkins:
                        [Nilai survival dari meme tuhan dalam kolam memedihasilkan dari daya tarik psikologisnya yang tinggi. Ia menyediakan jawaban yang terkesan masuk akal untuk pertanyaan-pertanyaan yang mendalam dan menggelisahkan tentang keberadaan kita. Ia menawarkan, ketidakadilan di dunia ini bakal diluruskan dikehidupan mendatang.]
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 47)
Sama halnya dengan gen, cirri penting dari meme adalah kemungkinannya untuk digandakan. Bedanya, gen menggunakan enzim sel, sementara meme melalui imitasi atau jiplakan. Meme cepat menyebar, sementara penggandaan gen terbatas pada kemampuan reproduksi manusia. Selain itu, meme juga tidak membedakan baik-buruknya suatu gagasan dalam menggandakan diri. Suatu meme dapat tetap populer karena beberapa faktor. Pertama karea sifatnya yang tak pernah dibantah. Kedua, murah dalam hal waktu, uang, dan usaha. Ketiga, terasa menyenangkan dan menentramakan tak peduli apakah doa kita berhasil atau tidak, berdoa kerap kali melegakan. Dengan lain kata, orang akan senantisa mempraktikan serta me meneruskan meme ini. Ketik orang-orang dengan kepercayaan yang sama bekerja sama, mereka meningkatkan peluang meme-meme yang menjangkiti mereka untuk bertahan hidup. Misalnya, meme tentang kewajiban sunat, mengenakan jubah kuning, memakai sorban, dan lain sebagainya. Kunci pembahasan Dawkins tentang meme adalah sifatnya yang selfish (egois) dan ruthless (kejam). Namun demikian, Dawkins menegaskan bahwa sifat meme yang egois dan kejam ini semata-mata hanyalah metfora.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 49)
[Kita mesti benar-benar jelas tentang apakah maksud dari egois dalam konteks ini. Ini bukan berarti gen memiliki keegoisan. Gen tertentu bisa saja membuat pemiliknya bertindak egois, namun hal ini adalah berbeda. Kata egois (selfish) di sini berarti bahwa gen bertindak semata-mata demi diri mereka sendiri, apa yang mereka inginkan hanyalah berlanjut ke generai berikutnya]. Keberadaan meme, seperti halnya gen, saling beradaptasi secara kompleks di dalam kolam meme.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 50)
Namun demikian, Dawkins menyebutkan adanya kemampuan tertentu pada manusia yang dapat menyelamatkan kita dari dampak parah yang diakibatkan oelh replikator kita yang egois itu. Salah satu kemampuan ini adalah kemampuan untuk secara sadar menatap ke depan menyimulasikan masa depan dalam imajinasi kita. Kita terlahir sebagai mesin gen dan terbudayakan sebagai mesin meme. Namun, kita sebenarnya punya kekuatan untukmelawan pencipta kita, sang replikator tiran yang egois.
                                    (EKO WIJAYANTO : 2013 : 51)
MEME SEBAGAI UNIT TRANSMISI BUDAYA
            Tokoh penting yang ikut menyumbangkan pemikiran dalam mengembangkan konsep evolusi ini, salah satunya Stuart Kauffman. Kaiffman menarh perhatian lebih kepada kompleksitas sebuah teori dalam menafsirkan gejala kebudayaan, dimana segala penafsiran kebudayaan juga akan mengalami kekaburan dalam perjalanannya. Gagasan Kuaffman ini berbeda dengan Dawkins yang lebih mengarah kepada teori evolusi Darwin yang memberikan penekanan pada seleksi alam. Namun demikian, gagasan kedua pemikir ini pada dasarnya mengarah pada tujuan utama, yakni memahami proses-proses yang bekerja dalam kebudayaan. Meme bekerja melalui replikasi atau imitasi ide dan pemikiran. Terkait meme di ranah kebudayaan, Susan Blackmore mengemukakan konsep replikasi diri (self-replicating) dan memeplexes. Sebagai sesuatu yang senantiasa mereplikasi diri, meme dianalogikan dengan virus komputer yang memiliki bagian varian, semuanya sama-sama memiliki efek terhadap proses yang berjalan dalam sebuah komputer. Sebagai respons, para pengguna komputer akan berusaha memberikan proteksi serangan virus-virus tersebut dengan membuat antivirus. Pada dasarnya, dalam menjalani replikasi dari mememudah berkembang dan mengalami perubahan bentuk.Akan tetapi, sebagian memeplex merupakan konsepsi kuat yang dipegang teguh sehingga sulit untuk diubah, Dawkins menyebutnya sebagai virus in minal, virus pikiran yang tertanam dalam benak dan pemikiran seseorang sehingga sulit diubah dari bentuk awalnya. Virus pikiran ini sangat efektif ditanamkan terutama pada masa kanak-kanak, jika diterapkan pada orang dewasa konsep ini kerap mengalami hambatan dalam replikasinya.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 53)
            Para arkeolog sepakat bahwa hingga 10.000 tahun lalu, manusia masih hidup dengan cara berburu dan meramu. Hingga kemudian pertanian ditemukan dan dianggap sebagai penemuan terpenting dalam sejarah manusia. Pertama kali ditemukan di Timur Tengah, pertanian sebagai meme menyebar hingga menjangkau Irlandia dan Skndinavia pada 4.500 tahun lalu. Namun demikian, mengapa penemuan ini dapat tersebar luas? Sekilas kita dapat menduga pertanian segera tersebar karena membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan memberikan keuntungan generik bagi orang-orang yang mempraktikannya. Namun dari perspektif memetika, jawabannya tidak tepat demikian. Oleh karena meme tidak peduli apakah suatu penemuan, termasuk pertanian, bermanfaat atau tidak bagi kehidupan manusia, meme hanya peduli pada berhasil atau tidaknya ia diimitasi dan bereplikasi di dalam masyarakat. George Basalla dalam The Evolution of Technology (1988) melihat bagaimana suatu penemuan berkembnag bukan karena bermanfaat bagi manusia, nemun karena adanya situasi tertentu dengan tujuan yang sanagt spesifik. Memetika adalah sebuah teori yang melihat meme sebagai replikator otonom. Memetika mulai muncul seiring dengan munculnya pemikir-pemikir seperti Dawkins, yang melihat bahwa evolusi genetic hanyalah salah satu bentuk evolusi.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 55)
MEME DAN MEMEPLEXEX
            Sebenarnya siapakh diri kita? Francis Crick, seorang ahli genetika peraih Nobel, mengemukakan teori “The Asthonishing Hypnotis” yang menekankan betapa pentingnya keberadaan neutron. Tidak hanya menganggap tubuhnya sendiri atas sel-sel, teori ini bahkan sekedar melihatnya sebagai sekumpulan neutron. Ada pula pendekatan lain oleh ahli spiritual Victorian yang mempercayai kepribadian yang terbentuk dari berbagai pengalaman pribadi sebagai esensi diri yang dapat bertahan setelah kematian raga.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 58)
            Benjamin Libet mengemukakan adanya tiga tahapan yang diperlukan dalam proses bertindak, yaitu memulai tindakan, saat diambilnya keputusan untuk bertindak, dan mulainya pada gelombang otak khusus yang disebut kesiapan potensial.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 60)
            Memetika hadir untuk menyediakan cara baru dalam melihat diri sendiri. Dalam memetika, diri merupakan memeplex besar yang terdiri atas berbagai pemikiran dan pengalaman yang mendukung tindakan sehari-hari. Memeplex merupakan sekumpulan meme yang berhimpun bersama demi keuntungan bersama dan membentuk suatu kesatuan yang dapat melakukan seleksi untuk menerima ataupun menolak meme baru yang ingin masuk.Dengan kata lain, memeplex menjadi filter bagi kita dalam berinteraksi dengan dunia luar. Meme yang berhasil masuk ke dalam diri dan menjadi ide atau opini adalah para pemenang dalam kompetisi antar meme. Kepemilikam manusia atas sesuatu mempunyai banyak fungsi, termasuk menentukan status personal. Dalam hal ini, kepemilikan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang tanpanya kita akan merasakan kehilangan dengan kata lain, kepemilikan inilah yang member kita perasaan akan diri.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 63)
            Singkat kata , suatu selfplex diri yang di konstruksikan oleh meme-meme disebut sukses bukan karena ia benar, baik, atau indah, bukan pula karena ia membuat kita bahagia dan mendukung kelanjutan gen kita. Melainkan selfplex tersebut sukses tatkala meme yang masuk ke dalam diri mendorong dan berhasil membuat kita bekerja demi kepentingan replikasi mereka. Denagn kata lain, hidup kita ini merupakan bentukan meme, dimana kita terjebak dalam tirani meme. Sekarang kita mengerti dari sudut pandang memetika siapa diri kita sesungguhnya. Setiap orang adalah memeplex yang bergerak dengan mesin fisik berupa tubuh (termasuk otak). Alhasil, secara tidak langsung manusia dapat disebut sebagai mesin meme, karena meme itulah yang menggerakkan kita sebagai seorang individu. Dengan demikian, manusia adalah produk seleksi alam yang berbaur menjadi satu dengan meme-meme.
            Lantas siapakah kita sebenarnya? Dari kita, yang merupakan selfplex, sejatinya adalah produk dari proses panjang evolusi memetis, produk dari meme-meme yang berhasil massuk dan bertahan dalam tiap individu. Hal itu bisa terjadi baik karena faktor evolusi biologis telah menyediakan otak yang kondusif bagi meme maupun karena keuntungan selektif yang disediakan oleh lingkungan setempat kita. Dengan demikian, cara-cara kita bertindak dan mengambil keputusan merupakan hasil dari struktur kompleks yang berupa serangkaian memeplexes yang diaplikasikan pada sistem yang dikonstruksikan secara biologis. Disinilah jelas terlihat betapa besarnya peran meme sebagai replikator dalam hidup.



BAB 5
Teori Evolusi Budaya (Memetika)
ANALOGI TEORI EVOLUSI BUDAYA (MEMETIKA) DENGAN TEORI EVOLSI DARWIN
            Dawkins sebenarnya tidak setuju sepenuhnya menganalogikan teori evolusi budaya dengan teori evolusi Darwin. Problem pertamanya, secara umum memang terdapat perubahan-perubahan yang konsisten, seperti sarana transportasi yang semakin bertambah kecepatannya. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjamin meningkatnya kualias hidup. Juga terdapat dalam beberapa hal, terdapat perubahan pada kebudayaan manusia yang sifatnya tidak selalu maju. Dalam mode pakaian misalnya, kerap terjadi pengulangan dari mode beberapa dekade sebelumnya. Namun demikian, tak dimungkiri bahwa kebudayaan beserta inovasinya merupakan faktor penunjsng survavilitas manusia dalam mengatasi tekanan genetic dan lingkungan. Dengan kemapuannya melakukan transimisi budaya, manusia mampu mengembangkan berbagai teknologi, terutama teknik pertanian, pendidikan, dan kesehatan. Bagi kehidupan manusia kebudayaan lebih berperan penting dibanding evolusi genetik inilah yang menjadikan manusia spesies yang unik dan berbeda dari spesies lain. Dan sebagaimana dalam evolusi biologis, dalam evolusi budaya, juga akan terlihat budaya-budaya mana yang mampu bertahan dan mana kemudian tersingkir dalam seleksi. Antara manusia (gen) dan budaya terdapat hubungan kausalitas. Manusia menciptakan budaya, budaya tercipta demi kepentingan gen sebagai replikator utama. Problem keduanya, kita tidak mengetahui mekanisme imitasi dan penyimpanan meme. Hal ini memang sangat ionis lantaran kita sudah banyak mengetahui tentang DNA dan gen, namun sangat sedikit tentang meme. Dugaan awal yang bisa kita ambil adalah bahwa meme memang tersimpan dalam otak. Hal ini terkait dengan memori manusia yang mampu menyimpan berbagai hal termasuk meme. Problem ketiga, adalah benarkah evolusi meme bersifat lamarckian dan bukan Darwinian? Lamarckian merupakan terminologi yang diambil dari nama ilmuwan Jean Baptise de Lamarck. Menurut Lamarck, upaya individu untuk mencapai kebaikan dirinya merupakan sifat yang diturunkan (herediter). Kini istilah Lamarckian mengacu pada karateristik individu yang diperoleh dalam hidupnya yang dapat diturunkan. Bila dalam hidpu individu memperoleh keahlian baru, maka keahlian itu dapat diturunkan. Pandangan ini tidak terlalu tepat karena mengasumsikan keahlian akan berpengaruh terhadap gen seseorang. Hal ini terkait dengan fenotipe dan genotipe dalam evolusi biologis. Genotipe merupakan karakter fisik yang nampak, seperti warna rambut, atau warna kulit. Fenotipe jelas sanga bergantung kepada genotipe, namun tidak sebaliknya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan evolusi meme kita mesti ingat bahwa meme tidak si terikat secara biologis, ia bisa melompat jauh ke generasi yang lain.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 70)
            Kemampuan untuk melakukan imitasi seperti inilah yang membuat menusia unik jika dibandingkan dengan hewan yang lain. Manusia melakukan imitasi secara alamiah. Misalnya, ketika ada orang tersenyum atau melambaikan tangan, kita pun membalas dengan melakukan hal yang sama. Meski sangat sederhana, hal ini sebenarnya adalah suatu hal yang cerdas. Ketika kita meniru tingkah laku seseorang, ada sesuatu yang kemudian bisa terus menerus berpindah dari satu oarng ke orang lain. “Sesuatu” inilah yang oleh Dawkins disebut meme. Meme adalah segala sesuatu yang bertransmisi dari pikiran satu orang ke orang yang lain, termasuk kosakata, legenda, kemampuan, dan tingkah laku, permainan, lagu, ataupun peratuaran. Sebagai contoh lagu “Happy Birthday to You”. Barangkali jutaan oang diseluruh dunia menyanyikan lagu ini setelah mengalami proses imitasi ke jutaan orang sebagai “sesuatu” yang dinyanyikan bersama pada pesta ulang tahun.Terakhir perlu diingat, bahwa meme menyebut tanpa peduli apakah dirinya berguna, netral, atau bahkan merugikan kehidupan manusia. Yang penting bagi meme adalah dia bisa terus mereplikasi dirinya.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 71)
INTERAKSI GEN DAN MEME
            Gen dan meme memiliki interaksi yang terkait erat satu sama lain. Pada kenyataanya peran meme dan gen salig melengkapi. Meme dapat membantu tereplikasinya gen, begitu pula sebaliknya, gen dapat membantu tereplikasinya meme. Gen merupakan produk biologis yang sudah ada sejak kita lahir. Keberadaan gen dapat diamati secara empiris. Interaksi suatu gen dengan gen yang lain berada pada lingkup biologis dan bisa saja saling mendukung, namun bisa juga sebaliknya. Gen pada satu individu juga bisa berdampak pada gen individu lain. Gen pada dua organisme yang saling berkompetisi, misalnya gen “berlari cepat” pada tikus yang memengaruhi gen “melompat lebih jauh”. Akan tetapi, meskipun menguntungkan organisme terkait, semua gen ini see=benarnya egois yang benar-benar mereka pedulikan hanyalah replikasi dirinya, bukan kepentngan pemburu, kucing, tikus, atau organisme mana pun.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 72)
EVOLUSI BAHASA
            Darimanakah bahasa berasal? Dan menagapa bahwa menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia? Terdapat dua bentuk pendekatan dalam upaya memahami bagaimana bahasa berkembang dan bersinergi dalam kehidupan. Pertama pendekatan gen. Termasuk dalam pendekatan ini adalah penjelasan-penjelasan psikologi-evolusi, sosiobiologi, dan biologi. Menurut psikologi-evolusi, alasan mengapa kita dapat menggunakan bahsa adalah karena kelebihan nenek moyang kita yang telah menemukan bahasa dan mewariskannya pada keturunan mereka. Dalam sosiobiologi, bahasa adalah kebudayaan “liar” yang disebarluaskan untuk menambah khazanah budaya, namun ternyata dapat digunakan sampai sekarang. Adapun dalam biologi bahasa dianggap bagian dari interaksi makhluk hidup dengan sesamanya, sehingga bahasa juga memengaruhi suara yang dikeluarkan makhluk hidup tersebut berdasarkan gennya. Kedua, pendekatan meme. Dalam pendekatan meme, bahasa berkembang melalui komuikasi verbal di antara beberapa pihak yang saling menyalurkan pesan secara persuasif kepada lawan bicaranya. Dalam penyebaran verbalini di ada seleksi meme oleh pikiran manusia. Menurut Carlson, ada bagian dari otak kita yang memang memungkinkan dimilikinya kemampuan verbal. Juga menurutnya manusia memiliki kemampuan verbal masing-masing tergantung kapasitas otaknya. Adapun M. Smith dan Szothmary berpendapat bahwa seleksi alam juga menentukan bagaimana kita membiasakan diri berbicara dan bahasa apa yang kita gunakan umtuk berkomunikasi.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 75)
            Dawkins mengidentifikasi tiga kriteria bagi suksesnya replokator, yaitu bisa dikopi seacara akurat, bisa dikopi dalam jumlah banyak, dan bisa bertahan untuk waktu yang lama. Hal serupa juga dimiliki oleh meme.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 78)   
MEME ALTRUISME
            Salah satu misteri terbesar dalam sosiobiologi adalah proble altruisme. Altruisme didefinisikan sebagai sikap berkorban dan berbuat kebaikan demi kepentingan orang lain, baik dengan mengorbankan suatu usaha, waktu, pengeluaran, atau apa pun. Padahal manusia secara instingsif dan rasional selalu mengejar kepentingan, kesenangan, dan kebahagiaannya sendiri. Pengasuhan orangtua misalnya, menunjukkan adanya altruisme. Dalam menjelaskan altruisme orang tua kepada anaknya, darwinisme tidak begitu menghadapi persoalan sendiri. Dalam perspektif Darwinian, orang tua tertentu memiliki dorongan genetis untuk menyayangi, merawat, dan melindungi anaknya. Hal ini karena anak adalah keturunan yang akan mewarisi sifat genetis mereka.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 80)
            Altruisme merupakan perilaku kooperatif yang dapat memudahkan interaksi kita dengan orang lain. Kini kita kerap kali berurusan dengan orang yang tidak begitu kenal. Mungkin saja, setelah berurusan tersebut selesai kita pun tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Dalam kasus seperti ini kooperatif akan sangat membantu agar interaksi kita dengan orang tersebut menghasilkan sesuatu yang positif.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 81)
            Menurut Darwin, jika seseorang membantu temannya, maka ia akan pula mendapatkan bantuan. Robert Trives mengubah gagasan Darwin tersebut menjadi teori altruisme timbal balik, yang menjelaskan bahwa hewan yang membalas persahabatan seperti tolong menolong sesame rekan mungkin akan terbantu dalam seleksi alam. Dalam menjelaskan altruisme pada manusia, Dawkins memberikan contoh donor darah yang menurutnya merupakan contoh altruisme murni. Altruisme sudah melekat pada kehidupan manusia, yakni lewat kebudayaan.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 81)
            Terdapat trik-trik altruisme yang bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Trik penyebaran meme altruis misalnya, saat seseorang melakukan suatu kebaikan tertentu, maka akan terpikir dalam kepala orang yang menyaksikannya, bahwa si pelaku kebaikan ini adalah orang yang begitu baik atau begitu dermawan. Kedua, trik terlihat seperti altruis. Dengan bertindak seperti seorang altruis, seseorang akan lebih mudah disukai dan menjadi populer. Ini adalah alasan mengapa seseorang melakukan trik ini demi popularitas dan menciptakan kesan pada banyak orang. Dengan cara ini dia akan dikenal sehingga meme yang demikian akan bertendensi pula untuk ditiru.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 86)




BAB 6
MEME dan KESADARAN
KEHENDAK BEBAS
            Kehendak bebeas sebenarnya baru terjadi ketika seseorang secara sadar dan sepenuhnya bebas memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini, seseorang itu harus benar-benar menjadi agen yang memiliki kewenangan untuk melakukannya tanpa campur tangan faktor lain. Namun demikian, pada kenyataanya semua tindakan manusia hadir dari interaksi kompleks antara meme, gen, dan semua produknya di dalam limgkungan yang rumit. Dengan kata lain, ide kehendak bebas itu sebenarnya hanyalah produk dari ilusi belaka. Dalam pandangan filsuf Daniel Dennet, kesadaran manusia hanyalah serangkaian meme yang kompleks dan besar, yang kemudian membentuk selfplex. Semua alat berpikir  yang kita gunakan selama ini sebenarnya telah disediakan secara tidak langsung oleh meme. Oleh karena itu binatang tidak dapat melakukan imiasi maupun memproduksi meme, maka binatang tidak akan bisa memiliki kesadaran diri seperti halnya manusia.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 87)
            Namun fakta bahwa kini kita memiliki kesadaran tentu saja punya konsekuensi tertentu, yakni evolusi tidak menyokong kesadaran. Kontribusi terbesar dalam melakukan kesadaran barangkali muncul ketika Descartes merumuskan dualisme subtansi bahwa kesadaran merupakan subtansi mental yang terpisah sama sekali dengan subtansi ketubuhan yang fiscal dan berkeluasan.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 96)
IKHTISAR
            Manusia pada akhirnya hanyalah gabungan sehimpunan neuron plus sehimpunan meme. Manusia adalah suatu unit biologis tertentu dengan segala organ dan anggota tubuhnya, sekaligus sekumpulan unit replikator sosial denagn segala bahasa, kreativitas, dan kemampuannya. Dengan kata lain, kita adalah “mesin-meme” kebebasan memilih, kesadaran, kreativitas, dan dugaan, semua adalah bagain dari memeplex sementara memeplex itu sendiri dianggap manusia sebagai “diri” mereka. Denagn demikian, memetika menurut Blackmore, membawa pandangn baru tentang bagaimana Anda akan menjalani hidup, tentang siapa Anda, siapa yang bertanggung jawab atas pilihan Anda, dan apa yang membuat Anda menjadi diri Anda sendiri. Anda bisa memilih untuk hidup dalam ilusi atau hidup dengan kesadaran bahwa Anda adalah suatu replikator kompleks yang terdiri atas gen dan meme sehingga dalam artian tertentu Anda bisa menjadi bebas, bebas karena memengaruhi “kenyataanya”, dan karena ia tidak perlu memberontak terhadap apa pun.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 102)
                                                


BAB 7
Evolusi Kebudayaan dalam Pandangan Filsafat
          Richard Dawkins menganggap sebyah kerangka piker yang memandang kebudayaan bekerja dalam skema evolusi Darwinian. Perkembangan kebudayaan ditentukan oleh relasi yang kompleks antara meme sebagai unit transmisi kebudayaan dengan lingkungna. Sifat deterministik evolusi kebudayaan ini dilimitasi oleh faktor kesadaran manusia.
            Dennet berbeda dengan Wilson, memberikan kredit pada penelitian fungsi dan struktur otak manusia yang memampukannya bertingkah laku berbeda dari spesies lain. Kompleksitas otak inilah yang mendasari keyakinan bahwa manusia mengalami evolusi yang serupa tapi tak sama dengan spesies lain. Hal ini menjadi lebih terang dalam pandangan Dawkins, yang dengan jeli melihat gen sebagai aktor dalam evolusi dan menempatkan manusia berbeda dari spesies lain lantaran ia juga mengalami evolusi biologis. Dawkins memperkenalkan istilah meme sebagai analogi bagi gen di tingkay kebudayaan. Meme, sama seperti gen, acuh tak acuh dalam berevolusi, karena itulah Dawkins menyebutnya dengan egois.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 106)         
            Hal yang orisinal dari pendekatan Dawkins adalah pandangannya bahwa evolusi bukan sebuah kompwtisi di antara individu atau spesies, melainkan diantara gen. Berdasarkan gagasan Dawkins dan Dennet, dapat dikatakan bahwa secara teoritis seluruh properti organisme dihasilkan melalui proses seleksi alam, dimana unit seleksi ini bukanlah individu melainkan molekul replikatif bernama gen. Meme sendiri merupakan fitur netral yang terwujud sebagai unit informasi yang ditransmisikan secara sosial. Transmisi sosial ini disebarkan melalui pembelajaran sosial.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 108)
            Setiap perilaku yang menyebar dari satu orang ke orang lain melalui proses imitasi merupakan meme, termasuk bahasa, praktik-praktik sosial, dan kebiasaan personal. Meme bersifat egois dalam pengertian yang sama dengan yang diatributkan oleh Dawkins kepada gen. Tentu saja keberadaan meme sebagai unit transmisi budaya membutuhkan prasyarat biologis, yakni ukuran otak yang cukup besar sebagai hasil dari evolusi genetis. Dengan kata lain, evolusi meme pada awalnya merupakan dampak dari adanya otak yang berukuran besar yang merupakan hasil dari evolusi genetis.
                                                (EKO WIJAYANTO : 2013 : 109)
  
Kesimpulan dan Saran
            Secara teoritis, seluruh kebudayaan manusia termasuk konsep diri dapat diterangkan sebagai hasil dari proses seleksi pada unit replikasi budaya yang bernama meme. Dalam kasus meme pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran melalui imitasi. Dengan demikan sudut pandang memetika, hal terpenting yang membuat mansuia distingif dari spesies lain adalah kemampuannya untuk melakukan imitasi.Secara umum teori evulusi kebudayaan memiliki penolakan diam-diam terhaap pilihan rasional sebagai eksplansi valid bagi seluruh tindakan manusia. Kendati begitu, kasus otak yang besar ini kita mendapati pula bagaimana meme bisa memegang kendali diatas gen. Teori gen egois yang dikemukakan oleh Dawkins member kita pengetahuan bahwa seleksi alam terjadi melalui replikator-replikator yang berbeda. Dimensi yang unik ada pada manusia adalah terjadinya evolusi kebudayaan disamping evoulusi genetis. Evolusi genetis telah membentuk otak manusia sebagai perangkat berkesadaran yang pada akhirnya secara kualitatif membedakan manusia dengan spesies lainnya. Melalui perangkat inilah manusia dan kehidupannya mengalami evolusi budaya, menciptakan simbol, mempertukarkan, dan memperbaruinya.
SARAN
            Dari keseluruhan buku yang berjudul “MEMETICS” yang saya baca ini, menurut saya didalamnya mengajarkan agar kita untuk selalu memperhatikan dan mendalami tentang kebudayaan khususnya. Karena dalam kebudayaan kita tidak membeda-bedakan dalam hal apapun, semua objek yang ada didalamnya pun patut dihargai, walaupun banyak pendapat-pendapat dari beberapa tokoh yang berbeda mempunyai persepsi masing-masing tentang kebudayaan. Baiknya kita sebagai generasi penerus harus menjaga kebudayaan kita ini, agar tidak di klaim oleh negara lain yang mengakui budaya ini. Karena dari kebudayaan inilah kita dapat bersatu.

                                                                                                  
                                                               
                                               
           
                                                                                        






1 comment

25 November 2016 pukul 21.16

Malam. Saya Silvina. Saya ingin bertanya, bagaimana mendapatkan buku Memetics karya Eko Wijayanto ini? Soalnya saya sangat membutuhkannya untuk bahan skripsi.

Posting Komentar
- See more at: Fytoko Corporation

STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf