Sabtu, 08 Oktober 2011

Fatwa -Fatwa Ali Al-Husaini As-Sistani

Tawdhih Al-Masa'il
بسمه تعالى
عمل به اين رساله شريفه مجزى ومبرئ ذمه است انشاء الله تعالى
18 / ج 1 / 1413 هـ .
علي الحسيني السيستاني
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Mengamalkan Risalah Amaliah yang mulia ini dapat mencukupi dan membebaskan tanggung jawab (mukallaf). Insya-Allah Ta'ala.
18 Jumadil Ula 1413 H.
Ali Al-Husaini As-Sistani
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas nabi dan nabi termulia, Muhammad dan keluarga beliau yang suci. Dan semoga laknat abadi selalu terlimpahkan atas musuh-musuh mereka semua dari sejak sekarang hingga hari kiamat.
BAB 1
HUKUM-HUKUM TAKLID
Masalah 1: Akidah seorang muslim tentang Ushuluddin harus berdasarkan kepada pengetahuan dan keyakinan (bashirah), dan ia tidak boleh bertaklid berkenaan dengan hal ini. Artinya, tidak boleh ia menerima ucapan orang lain yang memiliki pengetahuan tentang Ushuluddin tersebut hanya dengan alasan bahwa ia mengatakan demikian. Akan tetapi, jika ia meyakini akidah-akidah Islam yang benar dan menampakkannya—meskipun keyakinannya itu tidak berdasarkan pada bashirah tersebut, maka ia adalah muslim dan mukmin, dan seluruh hukum Islam dan iman berlaku atasnya. Adapun berkenaan dengan hukum-hukum (amaliah praktis sehari-hari)—selain hukum-hukum yang bersifat dharuri dan pasti—seseorang harus menjadi mujtahid—yang bisa menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya, bertaklid kepada seorang mujtahid, atau mengerjakan kewajiban dan tugasnya atas dasar ihtiyath sehingga ia yakin telah melaksanakan kewajibannya. Misal, jika sebagian mujtahid berfatwa bahwa sebuah amal adalah haram, sementara itu sebagian mujtahid yang lain menyatakan bahwa amal tersebut tidak haram, maka hendaknya ia tidak melakukannya, dan jika sebagian mujtahid menyatakan bahwa sebuah amal adalah wajib, sementara itu sebagian mujtahid yang lain menegaskan bahwa amal tersebut adalah sunah, maka hendaknya ia mengerjakan amal tersebut.
Masalah 2: Taklid dalam hukum (Fiqih) adalah mengamalkan (sebuah hukum) sesuai dengan ketentuan dan pendapat seorang mujtahid. Kita hanya boleh bertaklid kepada seorang mujtahid yang (memenuhi syarat-syarat berikut ini):
a. Laki-laki.
b. Balig.
c. Berakal.
d. Bermazhab Syi'ah Itsna 'Asyariyah.
e. Anak halal.
f. Hidup.
g. Adil.
Orang yang adil adalah orang yang mengerjakan setiap kewajiban yang telah diwajibkan kepadanya dan meninggalkan segala sesuatu yang telah diharamkan atasnya. Tanda keadilan seseorang adalah, bahwa secara lahiriah, ia adalah seorang yang baik sehingga apabila kita menanyakan tentang dia kepada penduduk setempat, tetangga, atau orang-orang yang bergaul dengannya, mereka akan membenarkan bahwa ia adalah orang yang baik. Jika perbedaan fatwa antar para mujtahid berkenaan dengan masalah-masalah yang sering dialami oleh setiap mukallaf sehari-hari diketahui—walaupun secara global, maka mujtahid yang kita taklidi haruslah mujtahid yang a'lam. Yaitu, ia memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan para mujtahid lain yang hidup semasa dengannya dalam memahami hukum-hukum Allah.
Masalah 3: Kita dapat mengenal seorang mujtahid dan mujtahid yang a'lam melalui tiga jalan berikut ini:
Pertama, kita sendiri yakin (bahwa ia adalah seorang mujtahid atau a'lam), seperti kita sendiri adalah seorang ulama dan dapat mengenali seorang mujtahid dan mujtahid yang a'lam.
Kedua, dua orang alim dan adil yang dapat menentukan seorang mujtahid yang a'lam membenarkan kemujtahidan atau ke-a'lam-an seseorang, dengan syarat dua orang alim dan adil yang lain tidak menentang ucapan mereka tersebut. Bahkan menurut pendapat yang zhahir, kemujtahidan atau ke-a'lam-an seseorang dapat dibuktikan melalui ucapan satu orang yang menjadi kepercayaan kita.
Ketiga, kita dapat memperoleh kemantapan hati atas kemujtahidan atau ke-a'lam-an seseorang melalui cara-cara yang 'uqala'i (yaitu, masuk akal menurut pandangan orang-orang yang berakal—pen.). Seperti, beberapa orang ulama—yang dapat menentukan seorang mujtahid atau mujtahid yang a'lam dan ucapan mereka menyebabkan kita memperoleh kemantapan hati—membenarkan kemujtahidan atau ke-a'lam-an seseorang.
Masalah 4: Jika perbedaan fatwa antara dua orang mujtahid atau lebih berkenaan dengan masalah-masalah yang sering dialami oleh mukallaf sehari-hari diketahui—walaupun secara global—dan juga diketahui bahwa salah seorang dari mereka adalah a'lam dibandingkan dengan yang lainnya, akan tetapi sulit bagi kita untuk menentukan (siapakah) mujtahid yang a'lam (di antara mereka itu), maka yang ahwath adalah kita ber-ihtiyath—apabila memungkinkan—dalam semua fatwa berkenaan dengan masalah-masalah tersebut, (meskipun dalam masalah ini terdapat perincian pembahasan dan kesempatan ini tidak cukup untuk memaparkan seluruhnya). Apabila tidak mungkin bagi kita untuk ber-ihtiyath, seluruh amalan kita harus sesuai dengan fatwa marja' yang kemungkinan ke-a'lam-annya melebihi marja'-marja' yang lain. Dan jika kemungkinan ke-a'lam-an kedua marja' tersebut adalah sama, maka kita berhak memilih antara keduanya.
Masalah 5: Fatwa seorang mujtahid dapat diperoleh melalui empat jalan:
Pertama, mendengar dari mujtahid itu sendiri.
Kedua, mendengar dari dua orang adil yang menukil fatwa mujtahid tersebut.
Ketiga, mendengar dari seseorang yang hati kita merasa mantap dengan ucapannya.
Keempat, melihat (baca: membaca) buku tuntunan amaliah praktis mujtahid tersebut, asalkan hati kita mantap dengan kebenaran buku tersebut.
Masalah 6: Selama kita tidak yakin bahwa fatwa mujtahid berubah, kita masih bisa mengamalkan seluruh fatwa yang tertulis di dalam buku tuntunan amaliah praktisnya. Jika kita memberikan kemungkinan bahwa fatwanya telah berubah, tidak wajib kita menelitinya.
Masalah 7: Jika seorang mujtahid mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah, maka orang yang bertaklid kepadanya tidak boleh mengamalkan fatwa mujtahid lain berkenaan masalah tersebut. Akan tetapi, jika ia tidak mengeluarkan fatwa dan hanya berkata, "Ihtiyath adalah begini dan begitu," seperti ia berkata, "Ihtiyath adalah dalam rakaat pertama dan kedua, setelah membaca surah Al-Fatihah, mushalli harus membaca satu surah lagi secara sempurna," maka ia dapat mengamalkan ihtiyath tersebut—ihtiyath ini dinamakan ihtiyath wajib—atau merujuk kepada fatwa mujtahid lain yang diperbolehkan untuk ditaklidi. Dengan demikian, apabila mujtahid yang lain ini berfatwa cukup hanya membaca surah Al-Fatihah (dalam kedua rakaat tersebut), maka ia boleh tidak membaca surah yang lain. Begitu juga hukumnya jika seorang mujtahid yang a'lam berkata, "Masalah ini masih perlu direnungkan (mahallu ta'ammul) atau isykal (mahallu isykal)."
Masalah 8: Jika mujtahid a'lam ber-ihtiyath setelah atau sebelum mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah, seperti ia berkata, "Bejana najis menjadi suci setelah dicuci di dalam air kur sebanyak sekali, meskipun yang ihtiyath adalah hendaknya bejana itu dicuci sebanyak tiga kali," maka orang yang bertaklid kepadanya dapat meninggalkan ihtiyath tersebut. Ihtiyath semacam ini dinamakan ihtiyath mustahab.
Masalah 9: Jika mujtahid yang kita taklidi meninggal dunia, hukum mujtahid tersebut setelah meninggal dunia adalah sama dengan hukumnya pada saat ia masih hidup. Atas dasar ini, jika ia adalah a'lam dibandingkan dengan mujtahid yang masih hidup, maka kita—asalkan kita tahu (fatwanya) berbeda (dengan fatwa mujtahid yang masih hidup) berkenaan dengan masalah-masalah yang kita hadapi sehari-hari walaupun secara global—harus tetap bertaklid kepadanya, dan jika mujtahid yang masih hidup adalah a'lam darinya, maka kita harus merujuk kepada mujtahid yang masih hidup tersebut. Apabila tidak diketahui manakah di antara kedua mujtahid tersebut yang a'lam atau mereka adalah sama-sama a'lam, maka kita memiliki pilihan untuk menyesuaikan amalan kita dengan fatwa mujtahid yang mana saja, kecuali berkenaan dengan masalah ilmu ijmali atau adanya sebuah hujjah ijmali atas suatu taklif, seperti perbedaan fatwa tentang masalah kewajiban mengqashar dan menyempurnakan (shalat). Dalam masalah-masalah seperti, kita harus memperhatikan kedua fatwa tersebut. Maksud dari "taklid" di permulaan masalah ini adalah sekadar keyakinan kuat untuk mengikuti fatwa seorang mujtahid tertentu, bukan mengamalkan fatwa-fatwanya secara praktis.
Masalah 10: Jika kita mengamalkan fatwa seorang mujtahid berkenaan dengan suatu masalah dan setelah ia meninggal dunia, sesuai dengan tugas yang kita miliki, kita mengamalkan fatwa mujtahid yang masih hidup berkenaan dengan masalah yang sama, maka—untuk kedua kalinya—kita kita tidak boleh mengamalkan masalah tersebut sesuai dengan fatwa mujtahid yang sudah meninggal dunia itu.
Masalah 11: Kita wajib mempelajari masalah-masalah yang—pada umumnya—kita membutuhkannya.
Masalah 12: Jika kita menghadapi sebuah masalah yang kita tidak mengetahui hukumnya, maka kita harus ber-ihtiyath atau bertaklid sesuai dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan. Akan tetapi, jika kita tidak mendapatkan fatwa mujtahid yang a'lam berkenaan dengan masalah tersebut—meskipun secara global kita tahu bahwa mujtahid non-a'lam memiliki fatwa yang berbeda dengan fatwa mujtahid a'lam dalam masalah ini, maka diperbolehkan kita bertaklid kepada mujtahid non-a'lam. Hanya saja, tetap kita harus memperhatikan urutan mujtahid yang a'lam setelah itu.
Masalah 13: Jika kita menginformasikan fatwa seorang mujtahid kepada seseorang dan fatwa mujtahid tersebut berubah, maka kita tidak wajib memberitahukan kepadanya bahwa fatwanya telah berubah. Akan tetapi, jika kita tahu—setelah menginformasikan fatwa—bahwa kita telah keliru dalam menginformasikannya dan informasi kita itu dapat menyebabkan ia beramal tidak sesuai dengan kewajiban syar'i-nya, maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus membenarkan kekeliruan tersebut, apabila memungkinkan.
Masalah 14: Jika seorang mukallaf mengerjakan amalan-amalannya tanpa bertaklid selama beberapa waktu, lalu ia bertaklid kepada seorang mujtahid, dalam hal ini apabila mujtahid tersebut menghukumi bahwa seluruh amalannya itu adalah sah, maka seluruh amalan tersebut adalah sah. Apabila mujtahid itu tidak menghukumi demikian, akan tetapi mukallaf tersebut tidak tahu hukum lantaran ia adalah jahil qashir dan kebatalan seluruh amalan tersebut tidak disebabkan oleh masalah-masalah rukun dan semisalnya, maka seluruh amalannya adalah sah. Begitu juga sah seluruh amalannya, meskipun ia tidak tahu hukum lantaran ia adalah jahil muqashshir, akan tetapi kebatalan amalannya itu disebabkan oleh suatu hal yang seandainya tidak dilakukan lantaran ia tidak tahu, maka amalan tersebut masih dihukumi sah, seperti masalah membaca bacaan shalat dengan suara keras pada kondisi yang semestinya harus dibaca pelan, atau sebaliknya. Begitu juga sah amalannya jika ia tidak mengetahui bagaimana tata cara ia telah mengerjakan seluruh amalannya yang lalu itu, kecuali dalam beberapa kondisi yang telah dipaparkan dalam buku risalah amaliah praktis Al-Minhaj.
Pasal I - Air Mutlak Dan Air Mudhaf
Masalah 15: Air adakalanya mutlak dan adakalanya mudhaf. Air mudhaf adalah air yang diambil dari sesuatu, seperti air perasan buah semangka dan pier, atau air yang dicampur dengan sesuatu yang lain, seperti air yang telah dicampur dengan tanah sedemikian rupa sehingga campuran itu tidak bisa disebut air lagi. Selain kedua jenis air tersebut adalah air mutlak. Air mutlak ini terklasifikasi dalam lima bagian besar: (1) air kur, (2) air sedikit, (3) air mengalir, (4) air hujan, dan (5) air sumur.
(1) Air Kur
Masalah 16: Berdasarkan pendapat masyhur, air kur adalah kadar air yang memenuhi sebuah tempat yang berukuran tiga jengkal setengah, baik dari sisi panjang, lebar, maupun dalamnya. Atas dasar ini, luas tempat tersebut berjumlah empat puluh dua dan tujuh per delapan jengkal. Akan tetapi, berdasarkan pendapat yang zhahir, jika tempat itu hanya berukuran tiga puluh enam jengkal, maka hal ini sudah mencukupi. Penentuan kadar air kur dengan menggunakan ukuran timbangan memiliki isykal.
Masalah 17: Jika benda najis, seperti air kencing dan darah atau sesuatu yang terkena benda najis, seperti pakaian najis menyentuh air kur dan bau, warna, atau rasa air kur tersebut berubah, maka air kur itu menjadi najis. Dan apabila air itu tidak berubah, maka ia tidak menjadi najis.
Masalah 18: Jika bau, warna, atau rasa air kur berubah disebabkan oleh bukan benda najis, maka air ini tidak najis.
Masalah 19: Jika benda najis, seperti darah jatuh ke dalam air yang berukuran lebih dari 1 kur dan merubah bau, warna, atau rasa sebagiannya saja, maka seluruh air tersebut adalah najis jika sisa air yang tidak berubah itu kurang dari 1 kur. Akan tetapi, jika sisa air yang tidak berubah itu berukuran 1 kur atau lebih, maka hanya bagian air yang bau, warna, atau rasanya berubah saja adalah najis.
Masalah 20: Air mancur yang bersambung dengan air kur dapat menyucikan benda najis. Akan tetapi, jika hanya rintikan-rintikan air mancur yang menyentuh air najis, maka rintikan-rintikan air itu tidak dapat menyucikannya, kecuali apabila suatu alat (seperti selang) diletakkan di ujung pancuran air itu sehingga air mancur tersebut bersambung dengan air najis sebelum berubah menjadi rintikan-rintikan air, dan air mancur itu harus bercampur menjadi satu dengan air najis tersebut.
Masalah 21: Jika kita mencuci barang yang terkena najis di bawah air kran yang bersambung dengan air kur, air yang keluar dari barang tersebut adalah suci selama ia masih bersambung dengan air kur dan bau, warna, atau rasanya tidak berubah, serta benda najis tidak terdapat di dalamnya.
Masalah 22: Jika sebagian air kur berubah menjadi es dan sisanya tidak sampai berukuran 1 kur, maka air itu adalah najis jika kejatuhan benda najis, dan setiap kadar es tersebut mencair, maka es yang sudah mencair itu dihukumi najis pula.
Masalah 23: Jika kita ragu apakah air yang sebelumnya berukuran 1 kur sudah berkurang dari 1 kur atau tidak, maka air itu tetap memiliki hukum seperti air kur. Artinya, air itu masih dapat menyucikan najis dan jika benda najis jatuh ke dalamnya, air itu tidak menjadi najis. Akan tetapi, jika kita ragu apakah air yang sebelumnya tidak berukuran 1 kur sudah menjadi 1 kur atau belum, maka air tersebut memiliki hukum air yang berukuran kurang dari 1 kur.
Masalah 24: Ke-kur-an sebuah air dapat dipastikan melalui dua jalan:
Pertama, kita sendiri yakin atau memiliki kemantapan hati (ithmi'nan) tentang hal itu.
Kedua, pemberitahuan dua orang yang adil.
(2) Air Sedikit
Masalah 25: Air sedikit adalah air yang tidak bersumber dari dalam bumi dan berukuran kurang dari 1 kur.
Masalah 26: Jika air sedikit tertuang di atas benda najis atau benda najis jatuh ke dalamnya, maka air tersebut menjadi najis. Akan tetapi, jika air itu dituangkan ke atas benda najis tersebut dengan tekanan, hanyalah air yang menyentuh benda najis tersebut yang dihukumi najis dan air yang belum menyentuh bendah najis itu adalah suci.
Masalah 27: Air sedikit yang dituangkan ke atas barang yang terkena benda najis untuk menghilangkan benda najis, lalu terpisah darinya adalah najis. Begitu juga, berdasarkan ihtiyath wajib, air sedikit yang telah digunakan untuk menyucikan barang najis yang benda najisnya telah dihilangkan sebelumnya dan air itu telah terpisah dari barang yang terkena najis tersebut adalah najis.
Masalah 28: Air sedikit yang telah digunakan untuk bercebok tidak dapat menajiskan sesuatu yang menyentuhnya dengan lima syarat berikut ini:
Pertama, bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis tersebut.
Kedua, tidak ada benda najis lain dari luar yang bercampur dengannya.
Ketiga, tidak ada najis lain, seperti darah yang keluar bersama air besar atau air kencing tersebut.
Keempat, butiran-butiran air besar tidak ikut bersama air tersebut.
Kelima, air besar atau air kencing itu tidak keluar melampui batas jalan normalnya.
(3) Air Mengalir
Air mengalir adalah air yang memiliki sumber di dalam bumi dan mengalir, seperti mata air dan air kanal.
Masalah 29: Jika benda najis jatuh ke dalam air mengalir, air tersebut adalah suci selama bau, warna, atau rasanya tidak berubah lantaran benda najis tersebut, meskipun air ini berukuran kurang dari 1 kur.
Masalah 30: Jika benda najis jatuh ke dalam air mengalir, (seperti air sungai), maka hanya bagian air yang bau, warna, atau rasanya berubah adalah najis. Sementara itu, bagian (atas) yang bersambung dengan mata air adalah suci, meskipun bagian itu berukuran kurang dari 1 kur. Adapun bagian-bagian air (sungai) yang lain adalah suci jika ia berukuran 1 kur atau masih bersambung dengan mata air melalui perantara air yang tidak berubah. Jika tidak demikian, maka air itu adalah najis.
Masalah 31: Mata air yang tidak mengalir, akan tetapi ia tetap keluar meskipun diambil, tidak memiliki hukum air mengalir. Yaitu, apabila benda najis menyentuhnya dan air itu berukuran kurang dari 1 kur, maka air tersebut menjadi najis.
Masalah 32: Air yang tergenang di pinggiran sungai dan bersambung dengan air yang mengalir tidak memiliki hukum air mengalir.
Masalah 33: Mata air yang hanya keluar—misalnya—pada musim dingin dan kering tidak keluar pada waktu musim panas memiliki hukum air mengalir hanya pada waktu ia keluar.
Masalah 34: Apabila air bak kamar mandi yang berukuran kurang dari 1 kur bersambung dengan air tandon utama yang berukuran 1 kur jika ditambah dengan air bak mandi tersebut dan bau, warna, atau rasanya tidak berubah ketika kejatuhan benda najis, maka air bak kamar mandi itu tidak menjadi najis.
Masalah 35: Apabila air pipa-pipa kamar mandi dan bangunan-bangunan yang keluar melalui kran air dan shower berukuran 1 kur jika ditambahkan dengan air tandon yang bersambung dengannya, air tersebut memiliki hukum air kur.
Masalah 36: Air yang mengalir di atas tanah dan tidak memiliki sumber dari dalam bumi adalah najis jika berukuran kurang dari 1 kur dan benda najis jatuh menyentuhnya. Akan tetapi, jika air itu mengalir dengan tekanan dan benda najis jatuh mengenai bagian bawahnya, maka bagian atas air tersebut tidak menjadi najis.
(4) Air Hujan
Masalah 37: Jika air hujan turun mengenai barang najis—yang benda najisnya telah hilang—sebanyak sekali, maka barang najis itu menjadi suci, kecuali tubuh dan pakaian yang menjadi najis lantaran terkena air kencing. Dalam dua hal ini, berdasarkan ihtiyath, air hujan itu harus mengenainya sebanyak dua kali. Jika barang yang terkena benda najis itu adalah baju, karpet, dan yang semisalnya, semua itu tidak perlu diperas. Akan tetapi, jika air hujan itu hanya turun sebanyak dua-tiga tetes, hal itu tidak cukup. Hendaknya air hujan yang turun itu harus sedemikian rupa banyaknya sehingga dapat dikatakan hujan turun.
Masalah 38: Jika air hujan jatuh mengenai benda najis dan terciprat ke tempat lain, maka air hujan (yang terciprat itu) adalah suci selama benda najis itu tidak ikut bersamanya dan bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis tersebut. Oleh karena itu, jika air hujan itu jatuh mengenai darah dan terciprat ke tempat lain serta sebagian darah itu ikut bersamanya atau bau, warna, atau rasanya berubah, maka air itu adalah najis.
Masalah 39: Jika di atap sebuah bangunan atau di atas gentengnya terdapat benda najis, maka air hujan yang menyentuhnya dan lalu mengalir dari atas atap melalui saluran air adalah suci selama hujan masih tetap turun. Dan setelah hujan reda, jika diyakini bahwa air yang mengalir dari atas atap itu masih menyentuh benda najis tersebut, maka air itu adalah najis.
Masalah 40: Jika air hujan turun di atas tanah yang najis, maka tanah itu menjadi suci. Jika air hujan mengalir di atas tanah dan membasahi tempat najis yang terhalangi oleh sebuah atap ketika air hujan itu masih turun, maka air hujan itu juga dapat menyucikan tempat najis tersebut.
Masalah 41: Tanah najis yang seluruh bagiannya terkena air hujan dapat menjadi suci, dengan syarat air hujan itu tidak menjadi air mudhaf pada saat menyentuh tanah tersebut.
Masalah 42: Ketika air hujan tergenang dalam sebuah tempat, air tersebut memiliki hukum air kur selama air hujan masih turun, meskipun ukurannya kurang dari 1 kur. Apabila kita mencuci barang yang terkena benda najis di situ dan bau, warna, atau rasa air itu tidak berubah karena barang najis tersebut, maka barang najis itu menjadi suci.
Masalah 43: Jika air hujan turun mengenai karpet yang terletak di atas tanah yang najis dan terus mengenai tanah melalui karpet tersebut ketika masih belum reda, maka karpet itu tidak menjadi najis dan malah tanah yang najis itu menjadi suci.
(5) Air Sumur
Masalah 44: Jika benda najis jatuh ke dalam air sumur yang bersumber dari dalam bumi, maka air sumur itu adalah suci meskipun kurang dari 1 kur selama bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis itu. Akan tetapi, memanfaatkan air sumur tersebut sebelum dikuras sesuai dengan kadar yang telah disebutkan dalam buku-buku fiqih yang (membahas hal ini) lebih mendetail adalah makruh keras.
Masalah 45: Jika benda najis jatuh ke dalam sumur dan merubah bau, warna, atau rasanya, air sumur itu menjadi suci setelah perubahannya sirna. Akan tetapi, kesuciannya ini—berdasarkan ihtiyath—dapat terjadi dengan syarat air sumur itu bercampur dengan air yang keluar dari dalam bumi (sebagai mata airnya).
Masalah 46: Jika air hujan tergenang dalam sebuah lubang dan berukuran kurang dari 1 kur, maka air tersebut menjadi najis apabila benda najis jatuh ke dalamnya setelah hujan reda.
Pasal II - Hukum-hukum Air
Masalah 47: Air mudhaf—yang maknanya telah dijelaskan pada masalah 15—tidak dapat menyucikan barang yang najis. Berwudhu dan mandi dengan menggunakan air tersebut adalah batal.
Masalah 48: Jika sebutir benda najis jatuh ke dalam air mudhaf, maka air itu adalah najis, meskipun air mudhaf tersebut berukuran 1 kur. Akan tetapi, jika air itu dituangkan ke atas barang yang terkena benda najis dengan tekanan, hanyalah bagian air mudhaf yang menyentuh barang najis itu yang dihukumi najis dan bagian air mudhaf yang belum menyentuh barang najis tersebut tidak najis. Contoh, jika kita menuangkan air bunga di atas tangan yang najis dengan menggunakan ceret, maka hanya air bunga yang menyentuh tangan itu adalah najis. Sementara, air bunga yang belum menyentuh tangan adalah suci.
Masalah 49: Jika air mudhaf yang najis bercampur dengan air kur atau mengalir sedemikian rupa sehingga tidak dikatakan lagi sebagai air mudhaf, maka air tersebut menjadi suci.
Masalah 50: Air yang sebelumnya adalah air mutlak dan tidak diketahui apakah sudah berubah menjadi air mudhaf atau tidak, air tersebut adalah seperti air mutlak. Artinya, ia dapat menyucikan barang yang terkena benda najis dan disahkan untuk berwudhu dan mandi dengan menggunakannya. Dan air yang sebelumnya adalah air mudhaf dan tidak diketahui apakah sudah berubah menjadi air mutlak atau tidak, air tersebut adalah seperti air mudhaf. Artinya, air itu tidak dapat menyucikan barang yang terkena benda najis dan batal berwudhu dan mandi dengan menggunakannya.
Masalah 51: Air yang tidak diketahui (substansinya)—apakah ia adalah air mutlak atau air mudhaf, dan juga tidak diketahui apakah sebelumnya adalah air mutlak atau air mudhaf—tidak dapat menyucikan barang najis dan juga batal berwudhu dan mandi dengan menggunakannya. Apabila sebuah benda najis jatuh ke dalamnya dan air tersebut berukuran kurang dari 1 kur, maka air tersebut adalah najis, dan jika air tersebut berukuran 1 kur atau lebih, maka berdasarkan ihtiyath wajib, air tersebut adalah juga najis.
Masalah 52: Air yang kejatuhan benda najis, seperti darah atau air kencing dan benda najis itu merubah bau, warna, atau rasanya, maka air tersebut adalah najis meskipun ia berukuran 1 kur atau air mengalir. Bahkan, jika bau, warna, atau rasanya berubah disebabkan oleh benda najis yang berada di luar air, seperti sepotong bangkai terhempas di pinggirnya dan merubah baunya, maka berdasarkan ihtiyath wajib, air tersebut adalah najis.
Masalah 53: Jika air yang kejatuhan benda najis, seperti darah atau air kencing dan bau, warna, atau rasanya berubah karena benda najis tersebut bersambung dengan air kur atau air mengalir, air hujan turun menimpanya, angin mengarahkan air hujan tersebut kepadanya, atau air hujan mengalir kepadanya melalui saluran air (sebuah rumah) ketika sedang turun dan perubahan air itu sirna, maka air itu menjadi suci. Akan tetapi, berdasarkan pendapat yang paling kuat (aqwa), air hujan, air kur, dan air mengalir tersebut harus bercampur dengannya, (bukan sekadar bersambung).
Masalah 54: Jika kita mencuci barang yang terkena benda najis di dalam air kur atau air mengalir dan telah sampai pada kali pencucian yang dapat menyucikannya, maka air yang menetes dari barang tersebut setelah kita mengeluarkannya (dari tempat pencucian) adalah suci.
Masalah 55: Air yang sebelumnya suci dan tidak diketahui apakah sudah menjadi najis atau belum adalah suci. Dan air yang sebelumnya najis dan tidak diketahui apakah sudah menjadi suci atau belum adalah najis.
Masalah 56: Sisa air minum anjing, babi, dan orang kafir non-ahlulkitab adalah najis dan haram untuk diminum, apabila air tersebut menyentuh tubuh salah satu dari ketiga obyek tersebut. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, sisa air minum orang kafir ahlulkitab pun juga harus dihindari (baca: tidak diminum). Sementara itu, sisa air minum binatang-binatang yang haram dimakan adalah suci dan—berkenaan dengan sisa air minum selain kucing—makruh untuk diminum.

Pasal III - Hukum-hukum Ber-takhalli
Masalah 57: Pada saat takhalli (buang air besar dan kecil) dan pada waktu-waktu yang lain, wajib kita menutupi aurat dari (pandangan) orang-orang yang sudah mukallaf, meskipun mereka adalah muhrim kita, seperti ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Begitu juga dari (pandangan) orang gila dan anak kecil apabila mereka sudah mumayiz; yaitu, mereka dapat memahami yang baik dan yang buruk. Akan tetapi, tidak wajib suami-istri menutupi aurat mereka dari (pandangan) masing-masing.
Masalah 58: Tidak harus kita menutupi aurat dengan sebuah penutup khusus. Jika kita menutupinya dengan tangan misalnya, hal itu sudah cukup.
Masalah 59: Pada saat ber-takhalli, tidak diperbolehkan bagian depan badan kita, yaitu perut dan dada menghadap ke arah Kiblat atau membelakanginya.
Masalah 60: Jika pada saat takhalli bagian depan badan kita menghadap ke arah Kiblat atau membelakanginya, akan tetapi kita mengarahkan aurat ke selain arah Kiblat, maka hal itu tidak mencukupi (baca: tidak diperbolehkan). Dan jika bagian depan badan kita tidak menghadap ke arah Kiblat atau membelakanginya, berdasarkan ihtiyath mustahab kita jangan mengarahkan aurat kita ke suatu arah sehingga menghadap atau membelakangi Kiblat.
Masalah 61: Berdasarkan ihtiyath mustahab, pada saat istibra’—seperti akan dijelaskan hukum-hukumnya setelah ini—dan menyucikan tempat keluarnya air besar dan kecil, hendaknya bagian depan tubuh kita juga tidak menghadap atau membelakangi Kiblat.
Masalah 62: Jika kita terpaksa harus menghadap atau membelakangi Kiblat supaya orang yang bukan muhrim tidak melihat kita (pada saat ber-takhalli), maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus duduk dengan membelakangi Kiblat.
Masalah 63: Berdasarkan ihtiyath mustahab, tidak boleh kita mendudukkan anak kecil dengan menghadap atau membelakangi Kiblat ketika ia ber-takhalli. Akan tetapi, jika ia sendiri yang duduk (dengan menghadap atau membelakangi Kiblat), maka tidak wajib kita mencegahnya.
Masalah 64: Di empat tempat (berikut ini) ber-takhalli adalah haram:
Pertama, di gang-gang buntu jika orang-orang yang tinggal di situ tidak mengizinkan. Begitu juga di gang-gang dan jalan-jalan umum apabila menyebabkan orang-orang yang lewat di situ terganggu.
Kedua, di tanah milik orang lain yang tidak memberi izin (untuk itu).
Ketiga, di tempat yang telah diwakafkan untuk golongan tertentu, seperti sebagian sekolah.
Keempat, di atas kuburan mukminin jika hal itu adalah suatu penghinaan bagi mereka. Begitu juga, ber-takhalli di suatu tempat yang dapat menghinakan salah satu nilai-nilai kultus agama atau mazhab.
Masalah 65: Dalam tiga kondisi (berikut ini) tempat keluarnya air besar hanya dapat disucikan dengan menggunakan air:
Pertama, ada najis lain seperti darah yang keluar bersama air besar.
Kedua, ada benda najis lain dari luar yang terciprat ke tempat keluarnya air besar.
Ketiga, air besar keluar sedemikian rupa sehingga melebihi batas normal tempat keluarnya, (seperti orang yang sedang mencret).
Di selain tiga kondisi ini, tempat keluar air besar dapat dicuci dengan menggunakan air atau dengan kain, batu, dan bahan-bahan lain yang sejenis—sesuai dengan cara yang akan dijelaskan nanti, sekalipun menyucikannya dengan menggunakan air adalah lebih baik.
Masalah 66: Saluran air kencing tidak bisa suci dengan selain air, dan cukup kita mencucinya sekali saja.
Masalah 67: Jika kita mencuci tempat keluarnya air besar dengan menggunakan air, maka tidak boleh ada sisa air besar yang tersisa di tempat itu. Akan tetapi, jika hanya warna dan baunya saja yang masih tersisa, maka hal ini tidak ada masalah. Jika pada kali pertama mencuci sudah tidak ada air besar yang tersisa (di tempat keluarnya), mencuci untuk kedua kalinya tidaklah wajib.
Masalah 68: Jika batu, tanah, kain, dan barang-barang yang sejenis adalah kering, maka kita dapat menyucikan tempat keluarnya air besar dengan menggunakan barang-barang tersebut. Dan apabila barang-barang tersebut sedikit basah dan tidak membasahi tempat keluarnya air besar tersebut, maka hal ini tidak isykal.
Masalah 69: Jika kita dapat membersihkan tempat keluarnya air besar dengan menggunakan batu, tanah, atau kain dengan sekali (usapan), maka hal ini sudah cukup. Akan tetapi, yang lebih baik adalah hendaknya kita membersihkannya dengan menggunakan salah satu barang tersebut sebanyak tidak tiga kali (usapan). Bahkan, jika kita menyucikan tempat keluarnya air besar tersebut dengan menggunakan tiga biji (batu, misalnya) dan tempat itu belum bersih, maka kita harus mengulanginya lagi sehingga tempat itu betul-betul bersih. Akan tetapi, tidak isykal jika masih tersisa butiran-butiran air besar yang kecil dan tidak dapat dilihat.
Masalah 70: Haram kita menyucikan tempat keluarnya air besar dengan menggunakan segala sesuatu yang harus dihormati, seperti secarik kertas yang bertuliskan nama Allah dan para nabi. Dan tidak isykal kita menyucikan tempat tersebut dengan menggunakan tulang dan kotoran binatang.
Masalah 71: Jika kita ragu apakah kita sudah menyucikan tempat keluarnya air besar atau belum, maka kita harus menyucikannya, meskipun kebiasaan kita setiap selesai buang air kecil atau besar adalah langsung bersuci.
Masalah 72: Jika kita ragu setelah mengerjakan shalat apakah kita sudah menyucikan tempat keluarnya air kencing atau air besar, maka shalat yang telah kita kerjakan adalah sah. Akan tetapi, untuk mengerjakan shalat-shalat berikutnya, kita harus menyucikannya.
Istibra’
Masalah 73: Istibra’ adalah sebuah amalan sunah yang dilakukan oleh kaum lelaki setelah selesai buang air kecil supaya mereka yakin sudah tidak ada air kencing yang tersisa di dalam saluran kencing. Istibra’ ini memiliki beberapa cara. Dan cara yang terbaik adalah setelah selesai kencing, kita mencuci tempat keluarnya air besar terlebih jika tempat ini najis. Setelah itu, kita mengurut saluran air kencing dimulai dari tempat keluarnya air besar hingga pangkal kemaluan dengan menggunakan jari tengah tangan kiri sebanyak tiga kali. Kemudian, kita meletakkan ibu jari di atas kemaluan dan jari telunjuk di bawah kemaluan, lalu mengurutnya hingga batas khitan sebanyak tiga kali. Setelah itu, kita menekan ujung kemaluan sebanyak tiga kali.
Masalah 74: Cairan yang biasanya keluar dari seseorang setelah “bercanda” dengan istri (foreplay) yang dinamakan madzi adalah suci. Bagitu juga cairan yang kadang-kadang keluar setelah air sperma keluar yang dinamakan wadzi adalah suci. Dan cairan yang kadang-kadang keluar setelah buang air kencing yang dinamakan wadi adalah suci asalkan air kencing tidak menyentuhnya. Oleh karena itu, jika kita melakukan istibra’ setelah buang air kecil, lalu setetes cairan keluar dan kita ragu apakah cairan itu adalah air kencing atau salah satu dari tiga cairan di atas, maka cairan itu adalah suci.
Masalah 75: Jika kita ragu apakah sudah melakukan istibra’ atau belum dan setetes cairan yang tidak kita ketahui apakah cairan itu adalah suci atau najis keluar dari (saluran kencing) kita, maka cairan itu adalah najis. Dan seandainya kita telah berwudhu sebelumnya, maka wudhu kita adalah batal. Akan tetapi, jika kita ragu apakah istibra’ yang telah kita lakukan itu adalah betul atau salah dan cairan yang tidak kita ketahui apakah cairan itu adalah cairan suci atau najis keluar dari (saluran kencing kita), maka cairan itu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu tersebut.
Masalah 76: Jika kita tidak melakukan istibra’ dan kita yakin bahwa setelah beberapa waktu berlalu dari kita buang air kecil tidak ada air kencing yang tersisa di saluran kencing, lalu kita menemukan setetes cairan dan ragu apakah cairan itu adalah suci atau tidak, maka cairan tersebut adalah suci dan tidak membatalkan wudhu.
Masalah 77: Jika kita melakukan istibra’ dan berwudhu setelah buang air kecil, lalu setelah berwudhu kita menemukan setetes cairan yang kita yakini sebagai air kencing atau mani, maka—secara ihtiyath—kita melakukan mandi dan berwudhu. Akan tetapi, jika kita belum berwudhu, maka cukup kita berwudhu saja.
Masalah 78: Kaum wanita tidak perlu melakukan istibra’. Dan jika mereka menemukan setetes cairan dan ragu apakah suci atau najis, maka cairan itu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu dan mandinya.
Hal-hal yang Sunah dan Makruh Pada Saat Takhalli
Masalah 79: Pada saat ber-takhalli, disunahkan kita duduk di sebuah tempat yang sekiranya orang lain tidak melihat kita. Ketika hendak masuk ke tampat takhalli, hendaknya kita mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar dari tempat itu hendaknya kita mendahulukan kaki kanan. Begitu juga, pada saat takhalli, disunahkan kita menutup kepala dan membebankan berat badan kita ke atas kaki kiri.
Masalah 80: Pada saat ber-takhalli, dimakruhkan kita duduk menghadap matahari dan bulan. Akan tetapi, jika kita menutupi aurat kita dengan sebuah penutup, maka hal itu tidak makruh. Begitu juga, ketika bertakhalli dimakruhkan kita duduk menantang angin, membuang hajat di gang-gang, jalan raya, di pintu rumah, di bawah pohon yang sedang berbuah, sambil makan, diam sangat lama (di tempat takhalli), dan membersihkan (tempat keluarnya air besar dan kecil) dengan tangan kanan. Begitu juga, berbicara di saat bertakhalli. Akan tetapi, jika kita terpaksa harus berbicara atau berzikir kepada Allah, maka hal ini tidak ada masalah.
Masalah 81: Kencing dalam keadaan berdiri, di atas tanah yang keras, di sarang binatang, dan di air, khususnya air yang tergenang adalah makruh.
Masalah 82: Menahan buang air kencing dan air besar adalah makruh. Jika hal itu berbahaya bagi tubuh kita secara keseluruhan, maka tindakan tersebut adalah haram.
Masalah 83: Disunahkan kita buang air kecil sebelum mengerjakan shalat, tidur, dan melakukan hubungan suami-istri, serta setelah keluar air sperma.
Pasal IV - Benda-benda Najis
Masalah 84: Benda-benda najis adalah sepuluh macam: (1) air kencing, (2) air besar, (3) air sperma, (4) bangkai, (5) darah, (6) anjing, (7) babi, (8) orang kafir, (9) minuman keras, dan (10) keringat binatang pemakan najis.
(1 – 2) Air Kencing dan Air Besar
Masalah 85: Air kencing dan kotoran setiap manusia dan binatang yang berdaging haram serta memiliki darah memancar; yaitu, apabila urat binatang ini dipotong, darahnya akan keluar memancar, adalah najis. Kotoran binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan berdaging haram, dan begitu juga kotoran binatang-binatang kecil yang tidak memiliki daging, seperti nyamuk dan lalat, adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib, kita harus menghindari air kencing binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar.
Masalah 86: Air kencing dan kotoran burung yang berdaging haram adalah suci, dan yang lebih baik adalah hendaknya kita menghindarinya.
Masalah 87: Air kencing dan kotoran binatang pemakan najis adalah najis. Begitu juga halnya air kencing dan kotoran anak kambing yang (tumbuh dengan) meminum air susu babi—sesuai dengan penjelasan yang akan dipaparkan pada pembasahan makanan dan minuman nanti—dan binatang berkaki empat yang pernah disetubuhi oleh manusia.
(3) Air Sperma
Masalah 88: Air sperma manusia dan setiap binatang berdaging haram yang memiliki darah memancar adalah najis. Dan berdasarkan ihtiyath wajib, air sperma binatang berdaging halal yang memiliki darah memancar harus dihindari.
(4) Bangkai
Masalah 89: Bangkai manusia dan binatang yang memiliki darah memancar adalah najis, baik ia mati dengan sendirinya atau disembelih tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Bangkai ikan adalah suci meskipun ia mati (dengan sendirinya) di dalam air, karena ikan tidak memiliki darah memancar.
Masalah 90: Seluruh anggota tubuh bangkai yang tidak memiliki roh, seperti bulu, rambut, tulang, dan gigi adalah suci.
Masalah 91: Jika kita memotong sebagian daging tubuh seseorang atau seekor binatang yang memiliki darah memancar atau bagian tubuh lainnya yang memiliki roh pada saat ia masih hidup, maka potongan bagian tubuh itu adalah najis.
Masalah 92: Jika kita mengelupas kulit tipis bibir dan bagian tubuh yang lain, maka kulit yang sudah terkelupas itu adalah suci, asalkan tidak memiliki roh dan terkelupas dengan mudah.
Masalah 93: Telur yang keluar dari perut seekor ayam yang telah mati adalah suci, meskipun kulit luarnya belum mengeras. Akan tetapi, bagian luarnya harus diuci dengan air.
Masalah 94: Jika seekor anak kambing mati sebelum menjadi hewan pemakan rerumputan, maka abomasum (bahan dasar penggumpal keju—pen.) yang terdapat di dalam kantong susunya (lambung paling ujung sebelah usus halus—pen.) adalah suci.
Masalah 95: Obat-obatan cair, minyak wangi, minyak goreng, semir sepatu, dan sabun yang diimpor dari luar negeri adalah suci, jika kita tidak yakin dengan kenajisannya.
Masalah 96: Daging, lemak, dan kulit yang dimungkinkan berasal dari hewan yang telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat adalah suci. Akan tetapi, jika daging, lemak, dan kulit tersebut diambil dari tangan seorang kafir atau berada di tangan seorang muslim yang telah menerimanya dari seorang kafir dan ia tidak meneliti sebelumnya apakah hewan tersebut telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat atau tidak, maka daging dan lemak tersebut haram dimakan. Hanya saja, diperbolehkan kita mengerjakan shalat dengan menggunakan kulit itu. Adapun apabila barang-barang itu diambil dari pasar muslimin atau dari seorang muslim dan tidak diketahui apakah ia telah menerimanya dari seorang kafir atau dimungkinkan ia telah mengadakan penelitian terlebih dahulu sebelum menerimanya dari orang kafir tersebut, maka diperbolehkan kita memakan daging dan lemak tersebut, dengan syarat orang muslim itu melakukan sebuah tindakan berkenaan dengan daging dan lemak tersebut yang hanya dilakukan berkenaan dengan daging-daging yang halal, seperti ia menjualnya untuk dikonsumsi.
(5) Darah
Masalah 97: Darah manusia dan setiap binatang yang memiliki darah memancar ketika uratnya dipotong adalah najis. Dengan demikian, darah hewan yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan dan nyamuk, adalah suci.
Masalah 98: Jika binatang yang berdaging halal disembelih sesuai dengan ketentuan syariat dan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang semestinya, maka darah yang tersisa di dalam tubuhnya adalah suci. Akan tetapi, jika darahnya masuk kembali ke tubuhnya karena tarikan napas atau bagian kepalanya terletak di tempat yang lebih tinggi, maka darah tersebut adalah najis.
Masalah 99: Berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menghindari (baca: tidak memakan) telur yang setitik darah terdapat di dalamnya. Jika darah tersebut terdapat di dalam kuning telur, maka bagian putih telur—tanpa isykal—adalah suci, selama kulit tipis yang mengelilingi kuning telur tersebut belum robek.
Masalah 100: Darah yang kadang-kadang keluar ketika kita sedang memerah air susu adalah najis dan menajiskan air susu tersebut.
Masalah 101: Jika darah yang keluar dari sela-sela gigi telah hilang setelah bercampur dengan air ludah, maka tidak wajib kita menghindari air ludah tersebut.
Masalah 102: Jika darah yang tersimpan di bawah kuku atau kulit akibat terbentur benda keras telah mati dan tidak lagi dinamakan darah, maka darah tersebut adalah suci, dan jika masih dinamakan darah serta nampak keluar, maka darah itu adalah najis. Atas dasar ini, apabila kuku atau kulit itu terkelupas sehingga darah itu menjadi bagian luar badan, lalu membersihkan darah tersebut dan menyucikan tempatnya untuk berwudhu atau mandi (wajib) menimbulkan kesulitan yang sangat menyusahkan (masyaqqah), maka kita harus bertayamum.
Masalah 103: Jika kita tidak mengetahui apakah yang berada di bawah kuku itu adalah darah yang sudah mengering atau daging yang berbentuk seperti darah mengering karena terbentur dengan benda keras, maka ia adalah suci.
Masalah 104: Jika setetes darah jatuh ke dalam makanan yang sedang mendidih, maka seluruh makanan dan bejananya—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Mendidih, panas, dan api tidak dapat menyucikannya.
Masalah 105: Nanah yang berada di sekeliling luka yang hampir sembuh adalah suci jika tidak diketahui nanah itu telah bercampur dengan darah.
(6 – 7) Anjing dan Babi
Masalah 106: Anjing dan babi yang hidup di daratan adalah najis termasuk bulu, tulang, cakar, kuku, dan cairan (yang keluar) darinya. Akan tetapi, anjing dan babi laut adalah suci.
(8) Orang Kafir
Masalah 107: Orang yang tidak mengakui Allah atau kemahaesaan-Nya, begitu juga kaum Ghulat (yaitu mereka yang menganggap salah seorang imam mas‘hum as sebagai Allah atau meyakini bahwa Allah melakukan reinkarnasi di dalam dirinya), Khawarij, dan Nawashib (yaitu mereka yang menampakkan permusuhan terhadap para imam mas‘hum as) adalah najis. Begitu juga, orang yang mengingkari kenabian atau salah satu ajaran agama yang dharuri (gamblang wajibnya, seperti shalat dan puasa) sekiranya pengingkaran itu berkonsekuensi pembohongan terhadap Rasulullah saw, walaupun secara global. Adapun ahlulkitab (yaitu, para pengikut agama Yahudi, Kristen, dan Majusi) yang tidak menerima kenabian pamungkas para nabi, Muhammad bin Abdillah saw, mereka—berdasarkan pendapat masyhur—adalah najis. Akan tetapi, menghukumi kesucian mereka tidaklah jauh (dari kebenaran), meskipun menghindari (baca: tidak menyentuh tubuh mereka) adalah lebih baik.
Masalah 108: Seluruh tubuh orang kafir termasuk rambut, kuku, dan semua cairan (yang keluar) darinya adalah najis.
Masalah 109: Jika orang tua, kakek, dan nenek seorang anak kecil yang belum balig adalah kafir, maka anak kecil itu juga najis, kecuali apabila ia sudah mumayiz dan menampakkan keisalaman. Dalam kondisi seperti ini, anak kecil itu adalah suci. Jika ia berpaling dari kedua orang tuanya dan lebih memiliki kecenderungan kepada muslimin atau sedang mengadakan penelitian, menghukumi kenajisannya adalah musykil. Jika salah satu dari kedua orang tua, kakek, dan neneknya adalah muslim—sesuai dengan perincian yang akan dijelaskan pada masalah 217, maka anak kecil itu adalah suci.
Masalah 110: Seseorang yang tidak diketahui identitasnya apakah ia adalah seorang muslim atau bukan dan juga tidak ada tanda-tanda tentang keislamannya adalah suci. Akan tetapi, ia tidak memiliki hukum-hukum muslimin yang lain. Misal, ia tidak boleh menikah dengan seorang wanita muslimah atau dikubur di pekuburan muslimin.
Masalah 111: Seseorang yang mencaci-maki salah seorang dari dua belas imam as lantaran ia memusuhi beliau adalah najis.
(9) Minuman Keras
Masalah 112: Minuman keras adalah najis, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, segala benda yang dapat memabukkan juga najis apabila benda itu berbentuk cair dengan sendirinya (baca: dari asalnya). Jika benda tersebut tidak cair (dari asalnya), seperti mariyuana, maka benda itu tidak najis, meskipun telah dicampur dengan sebuah cairan supaya ia menjadi cair.
Masalah 113: Seluruh jenis alkohol buatan yang banyak digunakan untuk mengecat pintu, jendela, kursi, dan lain-lainnya adalah suci.
Masalah 114: Anggur dan air anggur yang mendidih dengan sendirinya atau dimasak adalah suci. Akan tetapi, air anggur yang telah mendidih tersebut haram untuk diminum. Begitu juga, berdasarkan ihtiyath wajib, haram memakan anggur yang sudah mendidih itu.
Masalah 115: Kurma dan raisin (kismis) serta air (perasan)nya adalah suci dan halal untuk dimakan, meskipun telah mendidih.
Masalah 116: Fuqo‘—yaitu minuman yang terbuat dari jou (biji-bijian semacam padi yang banyak ditemukan di Timur Tengah—pen.) dan menyebabkan sedikit kemabukan adalah haram dan—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Akan tetapi, minuman jou yang tidak menyebabkan kemabukan sedikit pun adalah suci dan halal.
(10) Keringat Binatang Pemakan Najis
Masalah 117: Keringat unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—keringat binatang lain selain unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia.
Masalah 118: Keringat orang yang junub secara haram adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab ia tidak boleh mengerjakan shalat dengan keringat tersebut. Melakukan hubungan badan dengan istri ketika ia sedang mengalami menstruasi—asalkan suami tahu kondisi istrinya tersebut—memiliki hukum junub secara haram.
Masalah 119: Jika seseorang melakukan hubungan badan dengan istrinya pada waktu-waktu yang diharamkan, seperti pada siang hari di bulan Ramadhan, keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Masalah 120: Jika seseorang yang junub secara haram melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi wajib dan berkeringat setelah melakukan tayamun, keringat tersebut memiliki hukum keringat sebelum ia bertayamum.
Masalah 121: Jika seseorang junub secara haram, kemudian melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, berdasarkan ihtiyath mustahab ia harus menghindari (baca: membersihkan) keringatnya ketika hendak mengerjakan shalat. Akan tetapi, jika pada kali pertama ia melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, dan kemudian melakukan sesuatu yang haram (hingga ia mengalami janabah), maka keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Cara Mengetahui Kenajisan Sebuah Benda
Masalah 127: Kenajisan sebuah benda dapat diketahui melalui tiga cara:
Pertama, kita sendiri yakin atau memiliki kemantapan hati bahwa benda itu adalah najis. Jika kita hanya menyangka bahwa benda itu adalah najis, maka tidak wajib kita menghindarinya. Atas dasar ini, tidak ada masalah kita makan di warung-warung kopi dan restoran-restoran yang biasa digunakan oleh orang-orang yang sembrono dan tidak memperhatikan masalah kesucian dan kenajisan untuk makan selama hati kita tidak mantap bahwa makanan yang disuguhkan untuk kita itu adalah najis.
Kedua, pemilik dan pengurus sebuah barang mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dan ia bukanlah orang yang tertuduh. Contoh, istri atau pembantu seseorang mengatakan bahwa bejana atau benda lain yang berada di bawah pengawasannya adalah najis.
Ketiga, dua orang laki-laki yang adil mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dengan syarat mereka menegaskan sebab kenajisan benda tersebut. Seperti, mereka mangatakan bahwa benda itu telah menyentuh darah atau air kencing. Jika hanya satu orang adil yang memberitahukan tentang kenajisan benda itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib benda itu harus dihindari.
Masalah 123: Jika—karena tidak tahu masalah (hukum)—kita tidak mengetahui kenajisan dan kesucian suatu benda, seperti kita tidak tahu apakah kotoran tikus adalah suci atau tidak, maka kita harus bertanya tentang masalah itu. Akan tetapi, jika kita mengetahui masalah (hukum) dan ragu apakah suatu benda adalah suci atau tidak, seperti kita tidak tahu apakah benda itu adalah darah atau bukan, darah nyamuk atau darah manusia, maka benda tersebut adalah suci, dan tidak wajib kita meneliti atau bertanya.
Masalah 124: Jika kita ragu terhadap suatu barang yang terkena benda najis apakah sudah suci atau belum, maka barang tersebut adalah najis, dan jika kita ragu terhadap suatu barang yang suci apakah sudah najis atau tidak, maka barang itu adalah suci. Seandainya kita mampu untuk mengetahui kenajisan atau kesuciannya, tidak wajib kita menelitinya.
Masalah 125: Jika kita tahu bahwa salah satu dari dua bejana atau baju yang masih kita gunakan sudah najis dan kita tidak mengetahui bejana atau baju yang mana, maka kita harus menghindari keduanya. Akan tetapi, seandainya kita tidak mengetahui apakah baju kita sendiri yang sudah najis atau baju yang berada di luar kekuasaan kita dan milik orang lain, maka tidak wajib kita menghindari baju kita sendiri itu.
Bagaimana Sesuatu yang Suci Bisa Menjadi Najis?
Masalah 126: Jika suatu barang yang suci menyentuh suatu barang yang terkena najis dan keduanya atau salah satunya adalah basah sekiranya kebasahannya itu berpindah kepada yang lain, maka barang yang suci tersebut menjadi najis. Bagitu juga, jika barang yang terkena benda najis itu—dalam kondisi basah—menyentuh barang ketiga, maka barang tersebut dapat menajiskan barang ketiga itu. Masyhur berpendapat bahwa suatu barang yang terkena benda najis dapat menajiskan secara mutlak. Akan tetapi, hukum ini—dengan banyaknya perantara barang yang menyentuh barang yang terkena benda najis tersebut—adalah isykal. Bahkan, menghukumi kesucian barang tersebut bisa dikuatkan. Misal, jika tangan kanan kita menjadi najis karena terkena air kencing, dan lalu tangan kanan ini—dengan kebasahan yang baru—menyentuh tangan kiri kita, persentuhan ini menyebabkan tangan kiri kita itu juga menjadi najis. Jika tangan kiri ini—setelah kering—menyentuh pakaian yang masih basah, maka pakaian itu juga menjadi najis. Akan tetapi, jika pakaian ini—dalam kondisi basah—menyentuh barang lain, maka barang ini tidak dihukumi najis.
Jika kebasahan barang tersebut sangat sedikit sehingga tidak berpindah kepada barang yang lain, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis, meskipun barang itu menyentuh benda najis secara langsung.
Masalah 127: Jika suatu barang yang suci menyentuh barang yang terkena benda najis dan kita ragu apakah keduanya atau salah satunya adalah basah atau tidak, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis.
Masalah 128: Jika suatu benda yang suci—dalam kondisi basah—menyentuh salah satu dari dua barang yang kita tidak mengetahui mana yang najis dan mana yang suci, maka tidak wajib kita menghindari benda yang suci tersebut (baca: boleh menggunakannya), kecuali dalam beberapa kondisi. Seperti, ketika kondisi yang lalu bagi kedua barang itu adalah kenajisan atau suatu benda suci yang lain—dalam kondisi basah—juga menyentuh benda kedua tersebut.
Masalah 129: Jika benda najis jatuh ke atas tanah, kain, dan barang-barang semisalnya yang basah, maka hanya setiap bagian yang kejatuhan benda najis adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Begitu juga halnya berkenaan dengan timun, melon, dan barang-barang sejenisnya.
Masalah 130: Jika perasan anggur atau kurma, minyak goreng, dan barang-barang sejenisnya berbentuk cair dan tidak kental sehingga ketika kita menciduk sebagiannya, bekas cidukan itu langsung penuh lagi, dalam hal ini apabila salah satu bagiannya menjadi najis, maka seluruh bagiannya menjadi najis pula. Akan tetapi, jika benda-benda itu kental sehingga bekas cidukan itu tidak langsung penuh—meskipun bekas cidukan itu akan penuh juga setelah itu, maka hanyalah bagian yang kejatuhan najis saja yang menjadi najis. Oleh karena itu, jika kotoran tikus jatus ke dalamnya, hanya bagian yang kejatuhan kotoran itu menjadi najis dan selebihnya adalah suci.
Masalah 131: Jika lalat atau binatang yang sejenisnya hinggap di atas sebuah benda najis yang basah dan kemudian hinggap di atas benda suci yang basah pula, maka benda suci itu menjadi najis jika kita mengetahui ada bagian benda najis yang lengket bersamanya. Jika kita tidak mengetahui hal itu, maka benda itu adalah suci.
Masalah 132: Jika salah satu titik tubuh yang berkeringat adalah najis dan keringat itu mengalir ke titik-titik tubuh yang lain, maka seluruh titik tubuh yang dialiri oleh keringat tersebut adalah najis. Dan jika keringat tersebut tidak mengalir ke bagian tubuh yang lain, maka bagian lain tubuh tersebut tidak najis.
Masalah 133: Jika lendir yang berada di hidung atau mulut keluar dengan disertai darah, maka hanya bagian yang terdapat darah adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Oleh karena itu, jika lendir tersebut menyentuh bagian luar mulut atau hidung, hanya bagian yang kita yakin bagian lendir yang najis telah menyentuhnya adalah najis. Sementara, bagian (mulut dan hidung) yang kita ragu apakah bagian lendir yang najis itu telah menyentuhnya atau tidak adalah suci.
Masalah 134: Jika gayung[1] berlubang di bagian bawahnya dan kita letakkan di atas tanah yang najis, maka seluruh air yang ada di dalamnya adalah najis apabila air yang (yang ada di dalamnya) berhenti mengalir keluar dan berkumpul di bawahnya, serta dihitung satu air dengan air yang masih tersisa di dalam air gayung itu. Dan jika air tersebut mengalir keluar dari (bawah) gayung dengan tekanan, maka air (yang masih tersisa di dalamnya) tidak najis.
Masalah 135: Jika sesuatu dimasukkan ke dalam tubuh dan menyentuh benda najis, maka sesuatu itu adalah suci jika ketika dikeluarkan tidak berlumuran najis. Oleh karena itu, jika alat peralatan injeksi atau airnya dimasukkan melalui anus, atau jarum, pisau, dan barang-barang sejenisnya dimasukkan ke dalam tubuh, maka semua alat itu tidak najis apabila tidak berlumuran najis ketika dikeluarkan. Begitu juga halnya berkenaan dengan air ludah dan ingus yang menyentuh darah ketika masih berada di dalam rongga mulut dan hidung, dan ketika dikeluarkan, ia tidak disertai darah.
________________________________________
[1] Dalam buku aslinya disebutkan aftabeh. Aftabeh adalah sebuah alat semacam kendi terbuat dari plastik dan di Iran digunakan untuk menuangkan air ketika kita ingin bersuci setelah buang hajat. Padanan katanya yang dapat kita bayangkan di Indonesia kira-kira adalah gayung—pen.
Pasal V - Hukum-hukum Benda-benda Najis
Masalah 136: Menajiskan tulisan dan kertas Al-Qur’an—apabila hal itu menyebabkan penghinaan terhadapnya—adalah haram. Jika tulisan dan kertasnya menjadi najis, maka kita harus segera mencucinya dengan air. Bahkan, berdasarkan ihtiyath wajib, seandainya tidak ada penghinaan sekalipun, menajiskan Al-Qur’an adalah haram dan mencucinya dengan air adalah wajib.
Masalah 137: Jika sampul Al-Qur’an najis, dan kenajisan ini merupakan penghinaan terhadapnya, maka kita wajib mencucinya dengan air.
Masalah 138: Meletakkan Al-Qur’an di atas benda najis, seperti darah dan bangkai adalah haram meskipun benda najis tersebut sudah kering, apabila tindakan ini adalah sebuah penghinaan terhadapnya.
Masalah 139: Menulis Al-Qur’an dengan tinta yang najis—meskipun satu hurufnya saja—memiliki hukum menajiskan Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an sudah ditulis dengannya, maka tulisan itu harus dicuci dengan air atau dikerik dan lain sebagainya sehingga tulisan tersebut terhapus.
Masalah 140: Apabila memberikan Al-Qur’an kepada orang kafir menyebabkan penghinaan terhadapnya, maka tindakan memberikan itu adalah haram dan mengambil Al-Qur’an tersebut dari tangannya adalah wajib.
Masalah 141: Jika selembar kertas Al-Qur’an atau segala sesuatu yang harus dihormati, seperti secarik kertas yang bertuliskan nama Rasulullah saw atau imam ma’shum as jatuh ke dalam WC, maka mengeluarkan dan mencucinya adalah wajib meskipun hal itu membutuhkan biaya. Jika tidak mungkin untuk mengeluarkannya, maka kita jangan memasuki WC tersebut hingga kita yakin bahwa kertas itu sudah punah. Begitu juga, jika sebuah turbah jatuh ke dalam WC dan tidak mungkin untuk dikeluarkan. Selama kita tidak yakin bahwa turbah itu telah punah, tidak boleh kita memasuki WC tersebut.
Masalah 142: Makan dan minum sesuatu yang terkena benda najis adalah haram. Begitu juga, memakankan benda najis kepada orang lain. Akan tetapi, memakankan benda najis tersebut kepada anak kecil atau orang gila adalah boleh. Akan tetapi, jika ia sendiri yang memakan makanan najis atau menajiskan makanan dengan tangannya yang najis, lalu memakannya, maka tidak wajib (kita) mencegahnya.
Masalah 143: Tidak isykal (kita) menjual dan meminjamkan barang yang terkena benda najis kepada orang lain, asalkan barang itu bisa disucikan. Akan tetapi, kita harus memberitahukan kenajisan barang tersebut kepadanya dengan dua syarat berikut ini:
Pertama, jika kita tidak memberitahukan hal itu kepadanya, ia dapat melakukan penentangan terhadap taklif syar'i, seperti ia ingin menggunakan barang tersebut untuk makan atau minum. Apabila tidak demikian, maka tidak wajib kita memberitahukan hal itu kepadanya. Misal, kita tidak wajib memberitahukan kenajisan sehelai pakaian yang akan digunakan olehnya untuk mengerjakan shalat. Hal itu karena kesucian pakaian shalat bukan syarat hakiki, (melainkan syarat zhahiri).
Kedua, kita memberikan kemungkinan bahwa ia akan menggubris ucapan kita. Jika kita tahu bahwa ia tidak akan menggubris ucapan kita, maka tidak wajib kita memberitahukan kenajisan barang itu kepadanya.
Masalah 144: Jika kita melihat seseorang sedang memakan makanan yang najis atau sedang mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian yang najis, maka tidak wajib kita memberitahukan kepadanya.
Masalah 145: Jika salah satu bagian dari rumah atau karpet kita adalah najis dan kita melihat badan, pakaian, atau barang lain milik orang yang masuk ke dalamnya menyentuh bagian yang najis tersebut dalam kondisi basah, maka wajib kita memberitahukan hal itu kepada mereka—dengan memperhatikan kedua syarat tersebut di atas, apabila kita sendiri yang telah menyebabkan kenajisan tersebut.
Masalah 146: Jika tuan rumah tahu di waktu pertengahan makan bahwa makanan (yang sedang dihidangkan itu) adalah najis, maka—dengan terpenuhinya syarat yang kedua tersebut—ia harus memberitahukan hal itu kepada para tamu. Akan tetapi, jika salah seorang tamu tahu hal itu, maka tidak wajib ia memberitahukannya kepada tamu-tamu yang lain. Akan tetapi, apabila ia bergaul dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari sehingga—lantaran kenajisan mereka oleh makanan itu—ia juga pasti melakukan penentangan terhadap hukum ilzami karena terkena najis (dengan berjabatan tangan dengan mereka dan lain sebagainya), maka ia harus memberitahukan hal itu kepada mereka.
Masalah 147: Jika barang yang telah kita pinjam terkena benda najis, maka kita harus memberitahukan hal itu kepada pemiliknya—dengan memperhatikan dua syarat yang telah dipaparkan pada masalah 143.
Masalah 148: Jika seorang anak kecil mengatakan bahwa suatu barang adalah najis atau ia telah mencuci suatu barang yang najis, tidak boleh kita menerima ucapannya. Akan tetapi, jika seorang anak yang sudah mumayiz dan dapat memahami masalah kenajisan dan kesucian dengan baik mengatakan bahwa ia telah mencuci barang yang najis, maka ucapannya itu dapat diterima, dengan syarat barang itu berada di bawah kekuasaannya atau ucapannya dapat dipercaya. Begitu juga jika ia mengatakan bahwa suatu barang adalah najis.

Pasal VI - Hal-hal Yang Dapat Menyucikan
Masalah 149: Ada dua belas hal yang dapat menyucikan najis dan kedua belas hal itu dinamakan muthahhirat (hal-hal yang dapat menyucikan): (1) air, (2) bumi, (3) matahari, (4) istihalah (perubahan substansi), (5) inqilab (perubahan air anggur menjadi cuka), (6) perpindahan (intiqal), (7) Islam, (8) taba‘iyah (mengikuti), (9) hilangnya benda najis, (10) istibra’ yang dilakukan atas binatang pemakan najis, (11) gaibnya seorang Muslim, dan (12) keluarnya darah dari dalam tubuh binatang sembelihan. Hukum-hukum berkenaan dengan kedua belas hal tersebut akan dijelaskan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.
(1) Air
Masalah 150: Dengan empat syarat, air dapat menyucikan barang yang najis:
Pertama, air itu harus mutlak. Oleh karena itu, air mudhaf, seperti air perasan bunga dan air semangka tidak dapat menyucikan barang yang najis.
Kedua, air itu harus suci.
Ketiga, ketika kita mencuci barang najis tersebut, air itu tidak menjadi air mudhaf. Di samping itu, pada kali cucian terakhir di mana setelah itu tidak perlu kita mencucinya lagi, bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis itu. Dan pada selain kali cucian ini, perubahan ini tidak ada masalah. Misal, kita ingin mencuci sebuah barang yang najis dengan menggunakan air kur atau air sedikit. Di sini kita harus mencucinya sebanyak dua kali. Jika kita mencucinya dan air tersebut berubah pada kali pertama, tetapi pada kali kedua, kita mencucinya dengan air yang tidak berubah, maka barang tersebut menjadi suci.
Keempat, setelah kita mencucinya, benda najis tidak tersisa di barang tersebut.
Kesucian sebuah barang yang najis dengan menggunakan air sedikit—yaitu, air yang berukuran kurang dari 1 kur—juga harus memenuhi syarat-syarat lain yang akan disebutkan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.
Masalah 151: Jika kita mencuci bagian dalam bejana yang najis dengan air sedikit, maka kita harus mencucinya sebanyak tiga kali. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—(jika kita mencucinya) dengan menggunakan air kur dan air mengalir. Jika seekor anjing minum air atau benda cair lainnya di dalam bejana, pertama kali bejana itu harus diolesi dengan tanah yang suci. Setelah itu, kita membersihkan tanah tersebut darinya dan selanjutnya, mencuci bejana tersebut dengan air sebanyak dua kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir. Begitu juga, apabila seekor anjing menjilat bejana dan terdapat bekas sesuatu (air liur atau sisa makanan) yang masih tersisa. Maka, sebelum mencucinya, kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu. Jika air liur anjing jatuh ke dalam bejana atau sebagian badannya menyentuhnya, maka—berdasarkan ihtiyath wajib—kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu dan setelah itu baru mencucinya dengan air sebanyak tiga kali.
Masalah 152: Jika mulut bejana yang telah dijilat oleh anjing sangat sempit (sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mengolesinya dengan tanah), maka kita harus memasukkan tanah ke dalam bejana tersebut dan mengocoknya dengan kuat sehingga tanah itu menyentuh seluruh bagian dalam bejana itu. Setelah itu, kita harus mencucinya sesuai dengan cara yang telah disebutkan di atas.
Masalah 153: Jika seekor babi menjilat sebuah bejana atau meminum benda cair di dalamnya, atau tikus gurun pasir mati di dalamnya, maka bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir, dan tidak wajib kita mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu.
Masalah 154: Bejana yang najis karena minuman keras memiliki hukum bejana-bejana najis yang lain, seperti dijelaskan di atas. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mencucinya sebanyak tujuh kali.
Masalah 155: Jika kita meletakkan kendi yang terbuat dari tanah yang najis atau air najis telah meresap ke seluruh pori-porinya di dalam air kur atau air mengalir, maka setiap bagiannya yang telah tersentuh oleh air adalah suci. Jika kita menginginkan bagian dalamnya juga suci, maka kendi itu harus dibiarkan di dalam air selama beberapa waktu sekiranya air itu meresap ke seluruh pori-porinya. Jika kendi tersebut terkena sebuah cairan yang dapat mencegah masuknya air ke bagian dalamnya, maka cairan itu harus dikeringkan terlebih dahulu dan setelah itu, baru diletakkan di dalam air kur atau air mengalir.
Masalah 156: Kita dapat mencuci bejana yang najis dengan menggunakan dua cara:
Pertama, kita memenuhinya dengan air, lalu menuangkannya. (Cara ini kita lakukan) sebanyak tiga kali.
Kedua, kita mengisinya dengan air sedikit saja, lalu memutarnya sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagian yang najis. Setelah itu, kita menuangkannya. Kita lakukan cara ini juga sebanyak tiga kali.
Masalah 157: Jika bejana-bejana besar yang najis, seperti ketel besar, dipenuhi dengan air sedikit sebanyak tiga kali dan dituangkan untuk setiap kalinya, maka bejana itu menjadi suci. Begitu juga, (bejana-bejana itu menjadi suci) jika air itu disiramkan dari atas sebanyak tiga kali sekiranya mengenai seluruh bagiannya (yang najis) dan air yang terkumpul di bagian bawahnya dikuras. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, pada kali kedua dan ketiga, bejana lain yang telah digunakan untuk menguras air tersebut harus dicuci dengan air.
Masalah 158: Jika timah yang najis atau barang lain yang sejenis dengannya dicairkan dan lalu dicuci (setelah menjadi padat), maka hanya bagian luarnya saja yang menjadi suci.
Masalah 159: Jika kita menyiramkan air dari atas tanur yang najis karena terkena air kencing sebanyak satu kali sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagiannya (yang terkena najis), maka tanur tersebut menjadi suci, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mengulangi tindakan ini sebanyak dua kali. Untuk benda najis selain air kencing dan setelah benda najisnya hilang, apabila kita menyiramkan air tersebut sebanyak sekali sesuai dengan cara yang telah dijelaskan tersebut, maka hal ini sudah cukup. Dan yang lebih baik adalah hendaknya kita membuat sebuah lubang di bagian bawah tanur sehingga air itu berkumpul di situ dan lalu mengurasnya. Setelah itu, kita penuhi lubang tersebut dengan tanah.
Masalah 160: Jika kita memasukkan barang yang najis ke dalam air kur atau air mengalir sebanyak sekali sekiranya air tersebut menyentuh seluruh bagian yang najis, maka barang itu menjadi suci. Apabila barang yang najis itu adalah karpet, pakaian, dan barang-barang yang sejenis, tidak wajib kita memerasnya atau melakukan tindakan sejenis dengannya, seperti menggerak-gerakkan atau menginjak-injaknya. Apabila tubuh atau pakaian kita yang najis karena terkena air kencing, maka kita harus mencucinya sebanyak dua kali, walaupun dengan menggunakan air kur.
Masalah 161: Jika kita ingin mencuci barang yang najis karena air kencing dengan air sedikit, maka barang itu akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekali, lalu air itu terpisah darinya dan tidak ada air kencing yang tersisa lagi di barang tersebut, kecuali berkenaan dengan pakaian dan tubuh di mana kita harus mencucinya dengan air sebanyak dua kali untuk menjadi suci. Ala kulli hal, dalam mencuci pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya, kita harus memerasnya sedemikian rupa sehingga ghusalah-nya keluar. (Ghusalah adalah air yang keluar dari sesuatu yang sudah dicuci, baik keluar dengan sendirinya maupun dengan diperas).
Masalah 162: Jika sebuah barang menjadi najis karena air kencing seorang bayi yang masih menyusu dan belum pernah memakan makanan lain, maka barang tersebut akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekiranya mengenai seluruh bagian yang najis. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus menuangkan air sekali lagi kepadanya. Dalam hal ini, tidak wajib kita memeras pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya.
Masalah 163: Jika sebuah barang terkena benda najis selain air kencing dan kita menuangkan air sedikit kepadanya sebanyak sekali sembari menghilangkan benda najisnya, serta air itu terpisah darinya, maka barang najis itu menjadi suci. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memeras pakaian dan barang-barang yang sejenis dengannya supaya ghusalah-nya keluar.
Masalah 164: Jika kita memasukkan tikar najis yang ditenun dengan benang ke dalam air kur atau air mengalir, maka tikar itu menjadi suci setelah benda najis itu hilang. Akan tetapi, apabila kita ingin mencuci tikar tersebut dengan menggunakan air sedikit, maka kita harus memerasnya bagaimanapun caranya—meskipun dengan cara menginjak-injaknya—supaya ghusalah-nya keluar.
Masalah 165: Jika bagian luar gandum, beras, sabun, dan benda-benda yang sejenis najis, maka semua benda itu akan menjadi suci dengan dimasukkan ke dalam air kur dan air mengalir. Dan jika bagian dalamnya najis dan air kur atau air mengalir itu dapat menyentuh bagian dalam tersebut dalam kondisi masih bersifat air mutlak, maka semua benda itu menjadi suci. Akan tetapi—sepertinya—air mutlak tidak akan pernah masuk ke dalam sabun dan benda-benda yang sejenis dengannya.
Masalah 166: Jika kita ragu apakah air najis telah meresap ke bagian dalam sabun atau belum, maka bagian dalam sabun itu adalah suci.
Masalah 167: Jika bagian luar beras, daging, dan benda-benda yang sejenis dengannya najis, lalu kita meletakkannya di dalam sebuah mangkok yang suci dan kita isi mangkok tersebut dengan air sebanyak sekali, kemudian kita tuang kembali, maka semua benda itu menjadi suci. Jika kita meletakkan benda-benda itu di dalam mangkok yang najis, maka kita harus melakukan tindakan tersebut sebanyak tiga kali. Dengan cara pencucian seperti ini, mangkok tersebut juga menjadi suci. Dan apabila kita ingin mencuci pakaian dan barang-barang lain sejenis yang harus diperas dengan meletakkannya di dalam sebuah ember, maka kita harus memerasnya untuk setiap kali kita mengisi air dan memiringkan ember tersebut supaya ghusalah yang terkumpul di situ keluar.
Masalah 168: Jika kita meletakkan pakaian najis yang sudah diwenter dengan (zat pewarna), seperti serbuk bunga Nile (blueing) dan zat-zat pewarna yang sejenis, di dalam air kur atau air mengalir dan air tersebut telah meresap ke seluruh bagiannya sebelum menjadi air mudhaf karena zat pewarna itu, maka pakaian itu menjadi suci. Jika kita mencucinya dengan menggunakan air sedikit dan ketika kita memerasnya, yang keluar bukanlah air mudhaf, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 169: Jika kita mencuci pakaian yang najis di dalam air kur atau air mengalir, lalu setelah itu kita menemukan lumut air melengket di pakaian tersebut, maka pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa lumut tersebut dapat mencegah sampainya air ke dalam pakaian itu.
Masalah 170: Jika kita menemukan segumpal tanah atau sabun di atas pakaian setelah mencucinya dengan air, pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa tanah atau sabun tersebut dapat mencegah meresapnya air (ke dalam pakaian itu). Akan tetapi, jika air najis telah meresap ke dalam tanah atau sabun tersebut, maka hanya bagian luar tanah dan sabun itu yang suci, sementara bagian dalamnya tetap najis.
Masalah 171: Sesuatu yang najis tidak akan pernah suci selama kita belum menghilangkan benda najisnya. Jika hanya bau atau warnanya yang tersisa, hal itu tidak isykal. Oleh karena itu, jika kita telah menghilangkan darah dari pakaian dan mencucinya, tetapi warnanya masih tersisa, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 172: Jika kita menghilangkan benda najis dari tubuh kita di dalam air kur atau air mengalir, maka tubuh kita menjadi suci, kecuali apabila tubuh kita itu menjadi najis karena terkena air kencing. Dalam kondisi seperti ini, tubuh kita tidak menjadi suci hanya dengan mencucinya sebanyak sekali. Akan tetapi, tidak wajib juga kita mengeluarkan tubuh dari dalam air dan kemudian memasukkannya kembali. Apabila kita mengusap bagian tubuh yang najis tersebut ketika masih berada di dalam air sehingga air menyentuhnya sebanyak dua kali, maka hal ini sudah cukup.
Masalah 173: Jika sisa makanan yang najis tersisa di sela-sela gigi dan kita berkumur-kumur dengan menggunakan air sehingga air itu menyentuh seluruh makanan yang najis tersebut, maka sisa makanan itu menjadi suci.
Masalah 174: Jika kita mencuci rambut dan jenggot yang tidak lebat dengan air sedikit, maka tidak harus kita “memerasnya” supaya ghusalah keluar, karena ghusalah itu akan keluar dengan sendirinya sesuai dengan kadar yang semestinya (muta‘araf).
Masalah 175: Jika kita mencuci bagian dari tubuh atau pakaian dengan air sedikit, bagian-bagian yang berada di sekitarnya dan pada umumnya akan terkena air tersebut pada saat mencucinya menjadi suci dengan sucinya bagian yang najis itu. Artinya, tidak wajib kita mencuci bagian-bagian tersebut secara independen. Karena bagian-bagian sekitar dan bagian yang najis itu akan menjadi suci secara bersamaan dengan mencucinya. Begitu juga halnya ketika kita meletakkan sesuatu yang suci di samping sesuatu yang najis dan menyiramkan air di atas keduanya. Atas dasar ini, jika kita menuangkan air ke seluruh jari-jari tangan untuk menyucikan satu jari yang najis dan air najis beserta air suci itu menyentuh seluruh jari-jari tersebut, maka dengan sucinya jari yang najis itu, seluruh jari-jari yang lain juga menjadi suci.
Masalah 176: Daging dan lemak yang najis juga bisa dicuci dengan air seperti layaknya benda-benda lainnya. Begitu juga halnya badan atau pakaian yang sedikit berlemak sekiranya tidak mencegah air meresap.
Masalah 177: Jika bejana atau badan kita najis dan setelah itu, terkena lemak sekiranya dapat mencegah masuknya air ke dalamnya, maka kita harus menghilangkan lemak itu terlebih dahulu jika kita ingin menyucikannya supaya air dapat masuk ke dalamnya.
Masalah 178: Air kran yang bersambung dengan air kur memiliki hukum air kur.
Masalah 179: Jika kita mencuci barang yang najis dan yakin bahwa ia telah suci, lalu kita ragu apakah kita telah menghilangkan benda najisnya atau belum, maka kita harus mencucinya untuk kali kedua kali sehingga kita yakin bahwa benda najis itu telah hilang.
Masalah 180: Jika tanah yang dapat menyerap air—seperti tanah yang dilapisi oleh pasir atau kerikil—menjadi najis, maka tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit.
Masalah 181: Apabila tanah yang dilapisi dengan bebatuan atau batu bata dan tanah keras yang tidak dapat menyerap air menjadi najis, tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit. Akan tetapi, kita harus menuangkan air di atasnya sedemikian rupa sehingga air tersebut mengalir. Jika air yang telah kita tuangkan di atas tanah itu tidak mengalir melalui sebuah lubang dan tergenang di sebuah tempat, maka—untuk menyucikan tempat yang tergenang air itu—kita harus mengeluarkan air tersebut dengan menggunakan kain atau timba.
Masalah 182: Jika bagian luar batu garam dan benda-benda yang sejenis menjadi najis, maka ia dapat disucikan dengan menggunakan air yang kurang dari 1 kur.
Masalah 183: Jika kita membuat gula batu dengan menggunakan gula pasir najis yang sudah mencair, maka gula batu itu tidak dapat menjadi suci meskipun kita telah meletakkannya di dalam air kur atau air mengalir.
(2) Bumi
Masalah 184: Dengan empat syarat, bumi dapat menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu:
Pertama, bumi itu harus suci.
Kedua, berdasarkan ihtiyath wajib, bumi itu harus kering.
Ketiga, berdasarkan ihtiyath wajib, benda najis (yang menempel ke telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu) harus berasal dari bumi.
Keempat, jika benda najis seperti darah dan air kencing atau benda yang terkena najis seperti tanah yang najis terdapat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, semua itu harus hilang karena kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya ke atas bumi. Apabila benda najis (yang menempel di telapak kaki atau bagian bawah sepatu) telah hilang sebelumnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak menjadi suci dengan kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya di atas bumi. Di samping itu, bumi itu harus berbentuk tanah, bebatuan, tanah yang dilapisi oleh batu bata, dan lain sebagainya. Dengan berjalan di atas karpet, tikar, atau sayur-mayur, telapak kaki dan bagian bawah sepatu tidak menjadi suci.
Masalah 185: Kesucian telapak kaki dan bagian bawah sepatu yang najis dengan cara kita berjalan di atas jalan beraspal dan di atas bumi yang sudah dilapisi kayu adalah isykal.
Masalah 186: Untuk menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu sebaiknya kita berjalan sebanyak lima belas depa atau lebih, meskipun benda najis akan hilang dengan berjalan kurang dari lima belas depa atau dengan mengusapkan kaki ke tanah.
Masalah 187: Telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak harus basah. Dalam kondisi kering sekali pun, bagian itu dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah).
Masalah 188: Setelah telapak kaki atau bagian bawah sepatu menjadi suci dengan berjalan (di atas tanah), sebagian dari bagian pinggirnya yang biasanya juga terkena lumpur juga menjadi suci.
Masalah 189: Orang yang berjalan dengan menggunakan telapak tangan dan lutut, jika telapak tangan dan lutut tersebut menjadi najis, maka kesucian telapak tangan dan lutut itu dengan cara berjalan (di atas tanah) adalah isykal. Begitu juga halnya berkenaan dengan ujung tongkat, telapak kaki palsu, besi pelapis telapak kaki hewan (seperti kuda), roda mobil dan yang semisalnya.
Masalah 190: Jika setelah kita berjalan (di atas tanah) masih tersisa bau, warna, atau butiran-butiran kecil benda najis yang tak terlihat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, maka hal ini tidak isykal, merskipun berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus berjalan sedemikian sehingga semua itu hilang.
Masalah 191: Bagian dalam sepatu tidak dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah). Kesucian telapak kaos kaki dengan cara berjalan (di atas tanah) tersebut juga isykal, kecuali jika telapak kaos kaki tersebut terbuat dari kulit atau benda-benda yang semisal dan berjalan dengan menggunakan kaos kaki semacam itu juga suatu hal yang lumrah.
(3) Matahari
Masalah 192: Dengan lima syarat berikut ini, matahari dapat menyucikan bumi, bangunan, dan tembok:
Pertama, bagian yang terkena najis harus basah sedemikian rupa sekiranya sebuah benda menyentuh bagian tersebut, kebasahannya akan berpindah ke benda tersebut. Oleh karena itu, jika bagian itu kering, maka kita harus membasahinya supaya matahari mengeringkannya kembali.
Kedua, jika masih terdapat benda najis di tempat itu, kita harus menghilangkannya terlebih dahulu sebelum dikeringkan oleh sinar matahari.
Ketiga, tidak boleh ada penghalang yang menghalangi sinar matahari (sampai kepada bagian yang najis tersebut). Dengan demikian, jika matahari menyinarinya dari balik hordeng, awan, dan lain sebagainya dan bagian yang najis itu menjadi kering, maka bagian yang najis tersebut belum suci. Akan tetapi, jika awan tersebut sangat tipis sehingga tidak dapat menghalangi sinar matahari, maka hal itu tidak isykal.
Keempat, hanya matahari yang mengeringkan (bagian yang najis tersebut). Dengan ini, jika bagian itu kering dengan perantara matahari dan angin, maka ia belum suci. Akan tetapi, jika angin tersebut sangat sedikit sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ia memiliki andil dalam mengeringkannya, maka hal itu tidak isykal.
Kelima, matahari harus mengeringkan bangunan dan bagian dalamnya yang terkena najis secara bersamaan. Dengan demikian, jika pertama kali ia menyinari bumi dan bangunan dan hanya mengeringkan bagian atasnya, lalu pada kali kedua ia mengeringkan bagian dalamnya, maka hanya bagian atasnya saja yang dapat menjadi suci. Sementara itu, bagian dalamnya masih tetap najis.
Masalah 193: Matahari dapat menyucikan reng (yang terbuat dari penjalin atau kayu dan biasanya diletakkan di depan rumah sebagai penghalang masuknya sinar matahari). Akan tetapi, jika reng ini ditenun dengan benang, kesucian benang-benangnya adalah isykal. Begitu juga, kesucian pepohonan, tumbuh-tumbuhan, pintu, dan jendela dengan menggunakan sinar matahari adalah isykal.
Masalah 194: Jika kita ragu setelah proses penyucian dengan sinar matahari usai apakah tanah tersebut basah ketika matahari menyinarinya atau kering, apakah tanah basah itu kering karena matahari atau karena sesuatu yang lain, maka tanah itu masih najis. Begitu juga halnya apabila kita ragu apakah benda najis sudah hilang atau belum sebelum matahari menyinarinya dan apakah ada penghalang yang menghalangi sinar matahari atau tidak.
Masalah 195: Jika matahari menyinari satu sisi tembok yang najis, dan dengan ini, sisi tembok yang tidak disinari olehnya juga kering, maka tidak jauh kedua sisi tembok itu adalah suci. Akan tetapi, jika matahari mengeringkan bagian luar tembok atau bagian atas bumi pada suatu hari dan lalu mengeringkan bagian dalamnya pada hari yang lain, maka hanya bagian luar tembok dan bumi itu yang menjadi suci.
(4) Istihalah (Perubahan Substansi)
Masalah 196: Jika substansi suatu benda yang najis berubah menjadi substansi benda lain yang suci, maka benda itu menjadi suci. Contoh, kayu yang najis dibakar sehingga menjadi abu atau anjing tenggelam ke dalam lautan garam dan ia berubah menjadi garam. Akan tetapi, jika substansinya tidak berubah, seperti gandum yang najis dijadikan tepung atau dimasak menjadi roti, maka gandum itu tidak menjadi suci.
Masalah 197: Kendi tanah yang terbuat dari tanah yang najis adalah najis. Dan arang yang terbuat dari kayu yang najis adalah suci asalkan arang ini sudah tidak memiliki satu pun hakikat yang dimiliki oleh kayu itu.
Masalah 198: Benda najis yang belum diketahui secara pasti apakah sudah mengalami perubahan substansi atau belum adalah najis.
(5) Inqilab (Perubahan Air Anggur Menjadi Cuka)
Masalah 199: Jika minuman keras berubah menjadi cuka, baik berubah dengan sendirinya atau dicampur dengan cuka dan garam, maka minuman keras itu menjadi suci.
Masalah 200: Minuman keras yang terbuat dari anggur yang najis atau bahan lainnya yang najis, atau kejatuhan benda najis lain tidak menjadi suci ketika berubah menjadi cuka.
Masalah 201: Cuka yang terbuat dari anggur, kismis, dan kurma yang najis adalah najis.
Masalah 202: Jika serat-serat anggur atau kurma yang sangat halus terdapat di dalamnya dan dicampur dengan cuka, maka hal itu tidak masalah. Bahkan, tidak isykal kita mencampur timun, terong, dan benda-benda lain yang sejenis dengan (perasan) anggur dan kurma tersebut, meskipun sebelum anggur dan kurma itu menjadi cuka, kecuali apabila anggur dan kurma itu telah memabukkan sebelum menjadi cuka.
Masalah 203: Air anggur yang mendidih dengan dimasak di atas api atau dengan sendirinya adalah haram. Jika air anggur ini terus dididihkan hingga dua pertiga bagiannya menguap dan hanya tinggal sepertiga bagian, maka air anggur ini menjadi halal. Pada masalah 114 telah dijelaskan bahwa air anggur tidak menjadi najis dengan mendidih.
Masalah 204: Jika dua pertiga bagian air anggur menguap tanpa mendidih dan lalu sisanya mendidih, dalam hal ini apabila sisa air anggur yang telah mendidih itu masih dinamakan air anggur secara ‘urf, bukan sari anggur, maka sisa air anggur itu—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah haram.
Masalah 205: Air anggur yang tidak diketahui apakah sudah mendidih atau belum adalah halal. Akan tetapi, jika air anggur sudah mendidih, maka selama dua pertiga bagiannya belum menguap, air anggur itu tidak halal.
Masalah 206: Jika dalam setangkai buah anggur muda yang masih mentah dan kecut rasanya (green grape) terdapat satu-dua butir anggur yang sudah matang, dalam hal ini apabila perasan air buah yang berasal dari setangkai anggur mudah tidak dinamakan air anggur dan mendidih, maka perasan air buah itu halal dimakan.
Masalah 207: Jika sebiji anggur jatuh ke dalam masakan yang sedang mendidih di atas api dan anggur itu ikut mendidih, tetapi tidak pecah sehingga tidak bercampur dengan seluruh masakan itu, maka yang haram hanyalah memakan biji anggur tersebut.
Masalah 208: Jika kita ingin memasak sari anggur/kurma dalam beberapa ketel, maka diperbolehkan kita meletakkan saringan yang telah diletakkan di dalam ketel yang telah mendidih di dalam ketel lain yang belum mendidih.
Masalah 209: Buah yang tidak diketahui (substansinya) apakah anggur muda (green grape) atau anggur yang sudah matang adalah halal, meskipun ia sudah mendidih.
(6) Perpindahan (Intiqal)
Masalah 210: Jika darah manusia atau binatang yang berdarah memancar—yaitu binatang yang darahnya memancar ketika uratnya dipotong—diisap oleh binatang lain yang—menurut pandangan ‘urf—tidak memiliki darah memancar dan darah itu memang sudah berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya, seperti nyamuk mengisap darah manusia, maka darah itu adalah suci. Hal ini dinamakan intiqal (perpindahan). Akan tetapi, darah manusia yang diisap oleh lintah dalam rangka untuk melakukan pengobatan adalah najis, karena darah itu tidak berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya dan masih dinamakan darah manusia.
Masalah 211: Jika kita membunuh seekor nyamuk yang hinggap di badan kita dan darah yang telah diisapnya dari tubuh kita keluar dari nyamuk tersebut, maka darah tersebut adalah suci, meskipun jarak antara pengisapan darah dan pembunuhan nyamuk itu sangatlah sedikit. Hal itu lantaran darah itu telah berfungsi sebagai makanan nyamuk tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menjauhi darah tersebut pada kondisi ini.
(7) Islam
Masalah 212: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian pamungkas para nabi—dengan menggunakan bahasa apapun, maka ia menjadi seorang muslim. Apabila sebelum (menjadi muslim) ia dihukumi najis, maka setelah menjadi seorang muslim, sekujur tubuh, air ludah, ingus, dan keringatnya menjadi suci. Akan tetapi, ketika masih ada benda najis (yang melekat) di badannya pada saat ia menjadi seorang muslim, maka ia harus menghilangkan dan mencucinya dengan air. Bahkan, jika benda najis itu telah hilang sebelum ia menjadi muslim, maka ihtiyath wajib adalah ia mencucinya dengan air.
Masalah 213: Jika pakaiannya—dalam kondisi basah—telah menyentuh tubuhnya ketika ia masih kafir, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menjauhinya (baca: mencucinya dengan air), baik ia mengenakan pakaian itu pada saat menjadi muslim maupun tidak memakainya.
Masalah 214: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, dan kita tidak mengetahui apakah ia telah masuk Islam dengan sepenuh hati atau tidak, maka ia menjadi suci. Begitu juga halnya apabila kita tahu bahwa ia tidak memeluk Islam dengan sepenuh hati, asalkan ia tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan (kandungan) dua kalimat syahadat tersebut.
(8) Taba‘iyah (Mengikuti)
Masalah 215: Taba‘iyah adalah sucinya suatu benda yang najis karena sucinya suatu benda najis yang lain.
Masalah 216: Jika minuman keras menjadi cuka, maka bejana (yang digunakan sebagai wadahnya) juga menjadi suci sampai batas di mana minuman keras itu menyentuhnya ketika mendidih. Tutup dan kain penyekatnya juga menjadi suci jika keduanya menjadi najis karena minuman keras tersebut. Akan tetapi, jika bagian luar bejana itu juga terkena minuman keras tersebut (ketika meluap ke luar), maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus menjauhi bagian luar bejana ini setelah minuman keras itu menjadi cuka.
Masalah 217: Seorang anak kecil yang kafir dapat menjadi suci lantaran taba‘iyah dalam dua kondisi berikut ini:
a. Ayahnya menjadi muslim. Begitu juga halnya apabila ibu, kakek, atau nenek anak kecil itu menjadi muslim. Hanya saja, anak itu dihukumi suci pada kondisi ini dengan syarat ia hidup bersama dengan orang yang baru masuk Islam itu dan berada di bawah tanggungannya. Begitu juga, orang kafir lain yang memiliki hubungan darah yang lebih dekat dengan anak tersebut tidak hidup bersamanya.
b. Ia menjadi tawanan seorang muslim dan ayah atau salah satu kakek dan neneknya tidak bersamanya.
Pada kedua kondisi ini, kesucian anak kecil itu dapat berlaku dengan syarat ia tidak menampakkan kekafiran apabila pada waktu itu ia telah mencapai usia mumayiz.
Masalah 218: Ranjang atau batu yang digunakan untuk memandikan mayat di atasnya, kain yang digunakan untuk menutupi auratnya, tangan orang yang memandikannya, dan segala sesuatu yang dicuci bersama mayit tersebut menjadi suci setelah ritual memandikan mayit itu usai.
Masalah 219: Jika kita mencuci suatu (barang yang najis), maka tangan kita—yang juga tercuci bersama barang tersebut—menjadi suci setelah barang najis itu menjadi suci.
Masalah 220: Jika kita mencuci pakaian dan barang-barang yang sejenis dan telah memerasnya sedemikian rupa sehingga air yang terdapat di dalamnya terpisah, maka air yang masih tersisa di dalam pakaian itu adalah suci.
Masalah 221: Jika kita mencuci sebuah bejana yang najis dengan air sedikit, setelah terpisahnya air (tuangan terakhir) yang digunakan untuk menyucikannya, maka sedikit air yang masih tersisa di dalam bejana tersebut adalah suci.
(9) Hilangnya Benda Najis
Masalah 222: Jika tubuh seekor binatang terkena benda najis, seperti darah atau barang yang najis, seperti air yang najis, maka tubuh binatang tersebut menjadi suci ketika benda dan barang najis itu hilang. Begitu juga halnya berkenaan dengan bagian dalam tubuh manusia, seperti mulut dan hidung yang menjadi najis karena tersentuh benda najis yang berasal dari luar. Dengan hilangnya benda najis itu, bagian dalam tubuh itu menjadi suci. Akan tetapi, benda najis yang berasal dari dalam tubuh, seperti darah yang keluar dari sela-sela gigi tidak dapat menyebabkan kenajisan bagian dalam tubuh. Bagitu juga, jika sebuah benda yang berasal dari luar tubuh menyentuh benda najis—yang berasal dari dalam tubuh—di dalam tubuh, maka persentuhan ini tidak dapat menyebabkan kenajisan benda tersebut. Oleh karena itu, jika gigi pasangan menyentuh darah yang keluar dari sela-sela gigi di dalam mulut, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika gigi pasangan ini menyentuh makanan yang najis, maka kita wajib mencucinya dengan air.
Masalah 223: Jika ada sisa makanan yang tersisa di sela-sela gigi dan darah keluar di dalam mulut kita, maka sisa makanan itu tidak menjadi najis dengan menyentuh darah itu.
Masalah 224: Bagian mulut dan kelopak mata yang tertutup ketika kita menutup mata dan mulut memiliki hukum bagian dalam tubuh kita. Oleh karena itu, jika bagian itu menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika kita tidak mengetahui apakah satu bagian tubuh termasuk bagian dalam tubuh atau bagian luar dan ia menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka wajib kita mencucinya dengan air.
Masalah 225: Jika debu dan tanah yang najis menempel di atas pakaian, karpet, dan barang-barang sejenis yang kering, lalu kita menggerak-gerakkannya sedemikian rupa sehingga debu dan tanah najis itu terpisah dalam kadar yang meyakinkan (bahwa debu dan tanah itu sudah terpisah), maka pakaian dan karpet itu adalah suci dan tidak perlu dicuci.
(10) Istibra’ yang Dilakukan atas Binatang Pemakan Najis
Masalah 226: Air kencing dan kotoran binatang yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Jika kita menginginkan air kencing dan kotorannya menjadi suci, maka kita harus melakukan istibra’ atas binatang tersebut. Yaitu, kita mencegahnya memakan benda najis itu dan memberikan makanan-makanan yang suci kepadanya selama masa tertentu sehingga setelah masa itu berlalu, binatang tersebut tidak dianggap lagi sebagai binatang pemakan najis. Berdasarkan ihtiyath mustahab, untuk unta pemakan najis, kita harus melakukan istibra’ atasnya selama 40 hari, untuk sapi 20 hari, untuk kambing 10 hari, untuk itik 7 atau 5 hari, dan untuk ayam rumah 3 hari, meskipun binatang-binatang itu sudah tidak dinamakan binatang pemakan najis sebelum masa-masa (yang telah ditentukan) itu berlalu.
(11) Gaibnya Seorang Muslim
Masalah 227: Jika badan dan pakaian atau barang-barang lain, seperti bejana dan karpet yang berada dalam kekuasaan seorang muslim yang sudah mencapai usia balig atau dapat membedakan najis dan suci menjadi najis dan orang muslim itu gaib dari pandangan kita (baca: berpisah dengan kita), serta kita memberikan kemungkinan bahwa ia telah mencucinya dengan air, maka seluruh barang itu adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita jangan menganggap barang itu suci kecuali dengan terpenuhinya beberapa syarat di bawah ini:
a. Ia meyakini bahwa benda najis yang telah menajiskan tubuh atau pakaiannya adalah najis. Atas dasar ini, jika pakaiannya menyentuh tubuh orang kafir dalam kondisi basah dan ia tidak meyakini bahwa tubuh orang kafir itu adalah najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian itu adalah suci setelah ia gaib dari pandangan kita.
b. Ia mengetahui bahwa tubuh atau pakaiannya telah menyentuh najis.
c. Kita melihat ia menggunakannya dalam sebuah amalan yang disyaratkan bersuci. Seperti kita melihat ia mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.
d. Kita memberi kemungkinan orang muslim tersebut mengetahui bahwa pekerjaan yang sedang dikerjakan dengan menggunakan pakaian tersebut harus memiliki syarat kesucian. Oleh karena itu, jika ia tidak tahu bahwa pakaian mushalli harus suci dan ia mengerjakan shalat dengan pakaian yang telah terkena najis tersebut, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian tersebut adalah suci.
e. Kenajisan dan kesucian harus memiliki perbedaan dalam pandangannya. Oleh karena itu, jika ia tidak memiliki kepedulian tentang masalah suci dan najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian atau tubuhnya adalah suci.
Masalah 228: Jika kita yakin atau mantap hati bahwa suatu benda yang najis sebelumnya telah menjadi suci atau dua orang adil memberikan kesaksian atas kesuciannya dan kesaksian mereka ini berkenaan dengan sebab kesucian (benda tersebut), seperti ia bersaksi bahwa pakaian yang telah terkena air kencing itu telah dicuci sebanyak dua kali, maka benda tersebut adalah suci. Begitu juga halnya jika seseorang yang memiliki kekuasaan atas suatu benda yang najis mengatakan bahwa barang itu telah suci dan ia bukan orang yang tertuduh atau seorang muslim telah mencucinya dengan air—meskipun tidak diketahui apakah ia telah mencucinya dengan benar atau tidak.
Masalah 229: Jika seseorang menjadi wakil untuk mencuci pakaian kita dan ia berkata, “Aku telah mencucinya,” serta kita mendapatkan kemantapan hati dari ucapannya itu, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 230: Jika seseorang memiliki sebuah kondisi kejiwaan di mana ia tidak akan pernah mendapatkan keyakinan dalam menyucikan sebuah barang yang najis dan ia telah bertindak sebagaimana orang-orang normal mencuci barang yang najis, maka hal ini sudah cukup.
(12) Keluarnya Darah dari Tubuh Binatang Sembelihan Secara Normal
Masalah 231: Darah yang tersisa di dalam tubuh binatang sembelihan yang telah disembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam adalah suci, asalkan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang normal (muta‘araf)—sebagaimana telah dipaparkan pada masalah 98.
Masalah 232: Berdasarkan ihtiyath wajib, hukum di atas hanya khusus untuk binatang-binatang yang berdaging halal dan tidak berlaku untuk hewan-hewan yang berdaging haram.
Pasal VII - Hukum-hukum Bejana
Masalah 233: Makan dan minum dengan menggunakan sebuah bejana (baca: mangkok dan piring) yang terbuat dari kulit anjing, babi, atau bangkai adalah haram, apabila tempat itu telah najis karena basah. Tidak boleh juga kita menggunakannya dalam berwudhu, mandi, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang harus dilaksanakan dengan menggunakan barang yang suci. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, tidak boleh kita menggunakan kulit anjing, babi, dan bangkai, meskipun tidak berbentuk bejana.
Masalah 234: Makan dan minum dengan menggunakan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak—bahkan seluruh jenis penggunaan, berdasarkan ihtiyath wajib—adalah haram. Akan tetapi, tidak ada larangan kita menyimpannya dan menghiasi kamar dan tempat-tempat lain dengan bejana-bejana tersebut, meskipun yang ahwath adalah kita meninggalkan tindakan ini. Begitu juga halnya membuat bejana-bejana emas dan perak dan memperjual-belikannya untuk perhiasan atau untuk disimpan.
Masalah 235: Gagang gelas yang terbuat dari emas atau perak memiliki hukum gelas itu sendiri, jika gagang gelas itu (dibuat sedemikian rupa sehingga) masih disebut sebuah bejana. Jika gagang itu tidak disebut sebagai bejana, maka tidak ada larangan kita menggunakannya.
Masalah 236: Tidak isykal menggunakan bejana yang dilapisi dengan air emas dan perak.
Masalah 237: Jika kita mencampur sekeping metal dengan emas atau perak dan membentuk campuran itu menjadi sebuah bejana, maka tidak ada larangan kita menggunakannya asalkan kadar metal itu sangat banyak sehingga bejana tersebut tidak dinamakan bejana emas atau perak.
Masalah 238: Jika kita menuangkan sebuah makanan yang terdapat di dalam sebuah mangkok emas atau perak ke dalam sebuah mangkok yang lain, maka tindakan ini tidak termasuk kategori menggunakan emas dan perak yang diharamkan, apabila mangkok kedua itu—sesuai dengan pandangan ‘urf—tidak dihitung sebagai perantara untuk makan dari mangkok pertama.
Masalah 239: Menggunakan alat pengisap hookah (qelyûn), sarung pedang dan pisau, dan bingkai Al-Qur’an yang terbuat dari emas atau perak adalah tidak isykal. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita jangan menggunakan tempat minyak wangi, tempat celak mata, dan tempat menyedot opium yang terbuat dari emas dan perak.
Masalah 240: Makan dengan menggunakan piring emas atau perak dalam kondisi terpaksa—sesuai dengan kadar yang diperlukan—adalah tidak isykal. Akan tetapi, lebih dari kadar yang diperlukan itu adalah tidak boleh.
Masalah 241: Menggunakan bejana yang tidak diketahui apakah terbuat dari emas, perak, atau bahan yang lain adalah tidak isykal.
- See more at: Fytoko Corporation

STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf