Sabtu, 08 Oktober 2011

FATWA-FATWA

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Muhammad dan keluarga beliau, serta laknat Allah semoga terlimpahkan atas para musuh mereka.
Mukadimah
Ijtihad Dan Taklid
Berkenaan dengan masalah ibadah dan segala jenis transaksi (mu‘âmalah), walaupun berkenaan dengan hal-hal yang sunah dan mubah, setiap mukalaf yang belum mencapai jenjang ijtihad wajib bertaklid atau ber-ihtiyâth, asalkan ia mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth. Dan sangat sedikit sekali orang yang mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth ini. Kewajiban ini gugur berkenaan dengan hukum agama yang termasuk dalam kategori dharûriyât ad-dîn (ajaran agama yang wajibnya sudah gamblang). Atas dasar ini, amalan seorang awam—yang tidak mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ihtiyâth—adalah batal bila tidak didasari dengan taklid, sesuai dengan penjelasan berikut ini.
Masalah 1: Kita boleh ber-ihtiyâth, meskipun hal itu menuntut kita harus mengulangi (sebuah amalan).[1]
Masalah 2: Taklid adalah mengamalkan (sebuah amalan) dengan bersandarkan kepada fatwa seorang faqih. Ya, sesuatu yang menjadi legitimasi atas keabsahan sebuah amalan adalah pelaksanaan amalan tersebut atas dasar sebuah hujah, seperti fatwa seorang faqih, meskipun pelaksanaan amalan itu tidak dinamakan taklid.
Masalah 3: Marja‘ taklid harus seorang mujtahid, adil, berkelamin laki-laki, bermazhab Syi‘ah Imamiah, dan wara’ dalam agama Allah. Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, ia tidak boleh mencintai dan rakus terhadap harta dunia, baik berupa kedudukan maupun harta benda.[2]
Masalah 4: Setelah taklid terlaksana, kita boleh berpindah taklid[3] dari seorang marja‘ yang masih hidup kepada marja‘ lain yang juga masih hidup, asalkan mereka memiliki kedudukan yang sama dalam ilmu pengetahuan.[4] Dan berpindah taklid ini—berdasarkan ihtiyâth wajib¬—adalah wajib bila marja‘ yang kedua terbukti lebih a‘lam daripada marja‘ yang pertama.
Masalah 5: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[5] kita wajib bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, bila hal itu memungkinkan. Dan kita juga wajib mencari marja‘ yang a‘lam tersebut. Jika dua orang marja‘ memiliki kedudukan yang sama (dalam kelimuan), maka kita bisa memilih (salah satunya). Jika salah seorang dari mereka lebih wara’ atau lebih adil (dibandingkan dengan yang lainnya), maka berdasarkan ihtiyâth mustahab kita hendaknya memilih marja‘ yang lebih wara’ atau lebih adil.[6] Begitu juga, jika dua orang marja‘ memiliki kedudukan yang sama (dalam keilmuan), maka kita boleh memilah taklid dengan cara mengambil (hukum) sebagian masalah dari marja‘ pertama dan (hukum) sebagian masalah yang lain dari marja‘ kedua.[7]
Masalah 6: Dalam masalah kewajiban bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, kita harus bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam. Jika marja‘ itu berfatwa bahwa kita boleh bertaklid kepada marja‘ yang tidak a‘lam, maka kita bisa memilih bertaklid kepadanya atau kepada marja‘ lain (yang tidak a‘lam). Sementara itu, apabila ia berfatwa bahwa kita tidak wajib bertaklid kepada marja‘ yang a‘lam, maka kita tidak boleh bertaklid kepada marja‘ yang tidak a‘lam.
Masalah 7: Jika marja‘ yang a‘lam tidak memiliki fatwa berkenaan dengan suatu masalah, maka kita boleh merujuk kepada marja‘ yang lain dalam masalah tersebut. Tapi berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tetap harus memperhatikan urutan marja‘ yang a‘lam (yang hendak kita taklidi).
Masalah 8: Dalam taklid permulaan, kita tidak boleh bertaklid kepada marja‘ yang sudah meninggal dunia.[8] Ya, kita boleh[9] tetap meneruskan taklid kepadanya—walaupun dalam masalah-masalah yang kita belum pernah mengamalkannya—dengan syarat kita telah bertaklid kepadanya dengan mengamalkan sebagian fatwanya secara mutlak (dalam bab fiqih yang manapun).
Masalah 9: Jika kita mengerjakan sebuah ibadah, akad (transaksi), atau îqâ‘ sesuai dengan fatwa mujtahid yang kita taklidi, lalu ia meninggal dunia, dan kemudian kita bertaklid kepada mujtahid lain yang berfatwa bahwa amalan yang telah kita kerjakan itu adalah batal, maka kita boleh menganggap bahwa seluruh amalan yang telah dikerjakan itu sah.
Masalah 10: Jika kita bertaklid kepada seorang mujtahid tanpa meneliti hal ihwalnya terlebih dahulu, lalu kita ragu bahwa ia adalah seorang mujtahid yang memenuhi syarat-syarat (seorang marja‘), maka kita wajib untuk menelitinya. Tetapi apabila kita tahu bahwa ia memiliki sebuah kondisi seperti kefasikan, penyakit gila, atau kelupaan yang dapat menyebabkan ia kehilangan syarat-syarat tersebut setelah kita bertaklid kepadanya, maka kita wajib berpindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat.
Masalah 11: Ijtihad (seorang mujtahid) dapat dibuktikan dengan jalan menguji, ketenaran yang menyebabkan keyakinan,[10] dan kesaksian dua orang adil dari ahli khibrah.[11] Ke-a‘lam-annya juga dapat dibuktikan dengan (ketiga) jalan ini. Fatwa seorang mujtahid juga dapat kita peroleh dengan cara mendengar langsung darinya dan melalui penukilan dua orang adil atau satu orang adil. Bahkan berdasarkan pendapat yang zhâhir, kita bisa memperoleh fatwa seorang mujtahid melalui penukilan seorang tsiqah yang ucapannya dapat dipercaya. Begitu juga, kita dapat merujuk kepada buku risalah amaliahnya jika buku itu terjamin dari kesalahan.
Masalah 12: Kita wajib mempelajari masalah-masalah keraguan (syak), kelalaian (sahw), dan lain sebagainya yang—pada umumnya—sering kita alami (dalam kehidupan sehari-hari), kecuali jika hati kita mantap tidak akan mengalami masalah-masalah tersebut. Begitu juga, kita wajib mempelajari bagian-bagian ibadah, syarat-syarat, hal-hal yang membatalkan, dan mukadimah-mukadimahnya. Apabila kita yakin bahwa amalan kita memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi, maka amalan tersebut adalah sah.
Masalah 13: Jika kita yakin bahwa kita pernah melakukan ibadah tanpa bertaklid selama beberapa masa dan kita juga tidak tahu berapa jumlahnya, maka ibadah kita itu sah, asalkan kita tahu (baca: ingat) tata cara pelaksanaannya dan sesuai dengan fatwa mujtahid yang kita taklidi (sekarang) atau dengan fatwa mujtahid yang semestinya kita bertaklid kepadanya pada masa itu.[12] Jika tidak demikian, maka kita harus mengqadha seluruh ibadah tersebut sesuai dengan keyakinan kita terhadap kewajiban yang masih terdapat di pundak kita, meskipun yang ahwath adalah hendaknya kita mengqadhanya dalam jumlah yang dapat meyakinkan bahwa pundak kita telah terbebaskan dari kewajiban ibadah itu.
Masalah 14: Mufti dan hakim harus figur yang adil. Keadilan mereka dapat dibuktikan melalui kesaksian dua orang adil, bergaul dengannya (dalam kehidupan sehari-hari) yang dapat menyebabkan keyakinan atau kemantapan hati kita, dan ketenaran yang juga menyebabkan keyakinan kita. Bahkan, keadilan mereka juga dapat dibuktikan melalui kesalehan lahiriah (husn azh-zhâhir) dan ketekunan mereka dalam melaksanakan syariat dan ketaatan (kepada Allah), meskipun kita tidak memperoleh sangkaan atau keyakinan (akan keadilan mereka) melalui jalan ini.
Masalah 15: Keadilan[13] adalah sebuah karakteristik yang tertanam kokoh dalam diri seseorang (malakah râsikhah) dan muncul lantaran kontinuitas dalam melaksanakan takwa; yaitu meninggalkan hal-hal yang haram dan melakukan hal-hal yang wajib. Keadilan ini akan sirna—secara hukum—apabila ia melakukan dosa-dosa besar atau secara terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil. Dan bahkan berdasarkan ihtiyâth, keadilan itu juga akan sirna hanya dengan mengerjakan dosa-dosa kecil saja.[14] Keadilan ini akan ia miliki kembali bila ia bertobat, asalkan karakteristik yang tertanam kokoh itu ia miliki kembali.
Masalah 16: Jika kita mendapatkan sebuah masalah—yang tidak kita ketahui hukumnya dan juga tidak mungkin kita menanyakannya—di pertengahan salat, maka kita harus mengerjakan salah satu sisi (hukum masalah tersebut) dengan niat untuk menanyakan hukumnya setelah salat usai. Jika tindakan kita itu sesuai dengan hukum yang ada, maka salat kita itu sah.
Masalah 17: Kita tidak boleh meninggalkan ihtiyâth mutlak (ihtiyâth wajib) dalam sebuah fatwa; yaitu ihtiyâth yang tidak didahului atau disusul oleh sebuah fatwa yang bertentangan dengannya. Kewajiban kita adalah mengamalkan ihtiyâth tersebut atau merujuk kepada mujtahid lain dengan tetap memperhatikan urutan marja‘ yang a‘lam. Ya, jika ihtiyâth yang terdapat dalam buku-buku risalah amaliah didahului oleh sebuah fatwa yang bertentangan dengannya; seperti mujtahid berkata setelah mengeluarkan fatwanya, “... meskipun yang ahwath adalah demikian”, atau disusul oleh fatwa yang bertentangan dengannya; seperti ia berkata, “Yang ahwath adalah demikian, meskipun hukumnya adalah demikian atau meskipun yang lebih kuat adalah demikian”, atau “Yang paling utama (al-awlâ) dan ahwath adalah demikian,” maka kita boleh meninggalkan ihtiyâth dalam ketiga kondisi ini.
Masalah 18: Hukum (yang ditentukan oleh) seorang pemimpin yang memenuhi syarat-syarat (kepemimpinan politik Islam) tidak boleh dilanggar—meskipun—oleh mujtahid yang lain.[15]

________________________________________

[1] Masalah: Ihtiyâth adalah mengamalkan (sebuah kewajiban) sedemikian rupa sehingga kita yakin telah melaksanakan kewajiban syar‘î yang wajib atas kita. Hanya saja, karena melakukan ihtiyâth memerlukan pengetahuan atas tempat-tempat dan tata cara pelaksanaannya, dan hal ini memerlukan waktu yang tidak sedikit, maka yang lebih utama adalah hendaknya kita bertaklid.

[2] Imam Khamenei: Melihat sensitifitas dan urgensi yang dimiliki oleh kedudukan marja‘iyah, seorang marja‘ taklid—berdasarkan ihtiyâth wajib—disyaratkan harus dapat menguasai hawa nafsunya.

[3] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh berpindah dari seorang marja‘ yang masih hidup kepada marja‘ lain yang juga masih hidup, kecuali bila marja‘ yang kedua terbukti lebih a‘lam daripada marja‘ yang pertama dan fatwanya dalam suatu masalah berbeda dengan fatwa marja‘ pertama. Dengan demikian, berdasarkan ihtiyâth kita wajib berpindah taklid kepada marja‘ kedua itu.

Syaikh Bahjat: Kita boleh berpindah taklid (kepada marja‘ lain), bila kedua marja‘ itu sama-sama a‘lam. Tapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya hanya berpindah taklid kepada marja‘ yang lebih a‘lam atau lebih wara’.

[4] Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh berpindah taklid kecuali jika marja‘ kedua lebih a‘lam.

[5] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar.

[6] Syaikh Behjat: Bertaklid kepada marja‘ yang lebih wara’ adalah wajib (lâ yakhlû min wajhin).

[7] Masalah: Jika marja‘ yang a‘lam terbatas pada dua orang, dan kita memberi kemungkinan atau menyangka bahwa salah seorang dari mereka adalah lebih a‘lam daripada yang lainnya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita wajib bertaklid kepadanya.

Sayyid Khu’i: Jika kita mengetahui bahwa (fatwa dua orang marja‘) berbeda dan mungkin kita ber-ihtiyâth, maka kita harus mengambil fatwa yang lebih ahwath. Tapi jika tidak mungkin kita ber-ihtiyâth, maka kita harus bertaklid kepada marja‘ yang kita menyangka ia adalah marja‘ yang a‘lam. Jika kita tidak memiliki sangkaan (terhadap ke-a‘lam-an salah seorang dari mereka), maka kita dapat memilih salah seorang dari mereka (sebagai marja‘ taklid), asalkan kita memberi kemungkinan bahwa setiap orang dari mereka adalah marja‘ yang a‘lam. Jika tidak demikian, maka kita harus bertaklid kepada marja‘ yang dimungkinkan a‘lam. (Dinukil dari buku Al-‘Urwah Al-Wutsqâ).

[8] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Para fuqaha mensyaratkan mujtahid harus hidup supaya kita boleh memulai bertaklid kepadanya.

[9] Sayyid Khu’i: Kita wajib tetap meneruskan taklid kepadanya berkenaan dengan masalah-masalah yang telah kita pelajari dan belum lupa.

[10] Imam Khamenei: Dan dengan melalui jalan kemantapan hati (ithmi’nân); yaitu keyakinan yang râjih dan yang menyebabkan jiwa kita mantap (kepada kepribadiannya). Keyakinan semacam ini disebut ilmu ‘urfî.

[11] Sayyid Khu’i: Ijtihad dapat dibuktikan dengan jalan ketenaran yang menyebabkan kemantapan hati (ithmi’nân) dan juga dengan kesaksian satu orang yang adil, bahkan kesaksian satu orang yang tsiqah.

[12] Imam Khamenei: Begitu juga, ibadah kita itu sah apabila sesuai dengan realita hukum yang sebenarnya atau dengan ihtiyâth.

[13] Imam Khamenei: Keadilan adalah kondisi jiwa (al-hâlah an-nafsiyah) yang muncul lantaran kontinuitas dalam melaksanakan takwa dan dapat mencegah seseorang untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan dalam syariat Islam.

[14] Sayyid Khu’i: Tidak ada perbedaan antara dosa-dosa besar dan kecil.

[15] Imam Khamenei: Poin Khusus Tentang Wilâyah Faqih:

Masalah 1: Wilâyah Faqih dalam upaya memimpin masyarakat dan memanajemen problema-problema sosial kemasyarakatan di setiap masa adalah salah satu pondasi penting mazhab Syi‘ah Itsna ‘Asyariah. Konsep ini memiliki akar yang kokoh dalam konsep Imamah, dan hukum-hukum yang membahas seputar konsep ini disimpulkan dari dalil-dalil syar‘î, seperti lumrahnya hukum-hukum fiqih yang lain. Jika argumentasi seseorang menyebabkan ia tidak meyakini konsep Wilâyah Faqih ini, maka ia memiliki uzur (ma‘zûr). Tetapi, ia tidak boleh menyulut api perpecahan.

Masalah 2: Konsep Wilâyah Faqih—yang berarti kepemimpinan seorang faqih yang adil dan mengenal masalah-masalah agama—adalah sebuah hukum syar‘î ta‘abbudî yang dikuatkan oleh akal. Terdapat cara ‘uqala’î untuk menentukan siapa Wali Faqih itu seperti telah dijelaskan dalam UUD Republik Islam Iran.

Masalah 3: Sesuai dengan konsep fiqih mazhab Syi‘ah, muslimin wajib menaati perintah-perintah wilâ’î syar‘î yang telah ditetapkan oleh pemimpin muslimin (baca: Wali Faqih) dan pasrah diri kepada perintah dan larangannya. Seluruh fuqaha yang mulia juga harus bertindak demikian, apalagi dengan para muqallid mereka. Menurut pendapat kami, usaha berpegang teguh kepada konsep Wilâyah Faqih tidak dapat dipisahkan dari berpegang teguh kepada Islam dan wilâyah para imam maksum as.

Masalah 4: Maksud Wilâyah Mutlak Faqih yang memenuhi syarat adalah agama Islam yang suci—sebagai pamungkas seluruh agama samawi dan akan abadi hingga hari kiamat ini—merupakan agama hukum dan manajemen untuk seluruh urusan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah masyarakat Islami—dengan seluruh tingkat sosialnya—harus memiliki seorang Wali Amr dan pemimpin (hâkim syar‘î) untuk menjaga umat dari (bahaya) para musuh Islam dan muslimin, memelihara negara, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, mencegah kezaliman orang yang kuat atas orang orang yang lemah, dan menjamin seluruh sarana kemajuan dan perkembangan kultur, politik, dan sosial mereka.

Dalam merealisasikan tujuan ini secara praktis, kadang-kadang hal itu bertentangan dengan keinginan, kepentingan, dan kebebasan sebagian orang. Ketika pemimpin muslimin sedang melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin pemerintahan atas dasar konsep-konsep fiqih Islam, ia wajib mengambil keputusan-keputusan yang dianggap perlu, bila ia merasa perlu untuk mengambil sikap demikian.

Oleh karena itu, kehendak dan titik pandang kemaslahatan Wali Faqih—dalam ruang lingkup yang masih berhubungan dengan kemaslahatan umum Islam dan muslimin—harus berkuasa atas kehendak dan kemalsahatan masyarakat umum ketika terjadi kotradiksi kepentingan.

Ini adalah sekelumit penjelasan tentang arti Wilâyah Mutlak.

Masalah 5: Pendapat (baca: fatwa) Wali Amr Muslimin adalah pendapat yang harus diikuti berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan manajemen sebuah negara Islam dan problema-problema umum yang dihadapi oleh muslimin. Setiap mukalaf hanya boleh mengikuti fatwa marja‘ taklidnya berkenaan dengan masalah-masalah yang bersifat individual. Mengikuti hukum Wali Amr adalah wajib bagi semua lapisan masyarakat, dan fatwa sorang marja‘ taklid yang berbeda dengannya tidak boleh menentangnya.

Masalah 6: Jika hukum-hukum wilâ’î dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh seorang Wali Amr Muslimin tidak bersifat sementara dan juga tidak dibatasi oleh masa tertentu, maka seluruh hukum dan ketentuan itu tetap harus dijalankan, kecuali apabila Wali Faqih yang baru melihat sebuah kemaslahatan untuk membatalkannya. Maka, ia berhak untuk membatalkannya.

Masalah 7: Para pejabat militer tidak boleh memerintahkan bawahan mereka atau orang lain untuk melaksanakan pekerjaan pribadi mereka. Dan tindakan memerintah ini menyebabkan kewajiban ganti rugi yang sesuai dengan nilai kerja orang yang diperintah (ujrah al-mitsl)

BAB I
THAHÂRAH (BERSUCI)
PASAL 1
AIR
Air diklasifikasikan dalam dua kalsifikasi: air mutlak dan air mudhâf. Air mudhâf adalah air perasan buah-buahan, seperti perasan air delima, atau air yang telah bercampur dengan benda dan tidak bisa disebut air lagi, seperti air gula atau air garam.
Air mutlak ada beberapa macam: air mengalir, air sumber yang tidak mengalir, air hujan, air sumur, dan air yang tergenang.
Masalah 19: Air mudhâf adalah suci, tetapi tidak dapat menyucikan hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil. Jika air mudhâf kejatuhan benda najis, maka seluruh air itu menjadi najis, meskipun sebanyak seribu kur. Ya, jika air itu mengalir dari atas ke bawah dengan tekanan yang kuat, meskipun mengalir secara perlahan-lahan, lalu bagian bawah air itu kejatuhan benda najis, maka hanya bagian air yang kejatuhan benda najis dan air yang berada di bawah bagian itu saja adalah najis.
Masalah 20: Seluruh macam air mutlak itu menjadi najis bila salah satu sifatnya; warna, rasa, dan bau, berubah lantaran kejatuhan benda najis. Jika sifat-sifat air mutlak itu berubah hanya lantaran terletak berdampingan dengan benda najis, maka air mutlak ini tidak najis.
Masalah 21: Tolok ukur (kenajisan air mutlak) adalah keberubahan air itu lantaran sifat-siat sebuah benda najis, bukan lantaran sifat-sifat sebuah barang yang terkena najis. Begitu juga tolok ukur keberubahan air mutlak adalah keberubahan salat satu sifatnya lantaran kejatuhan benda najis, meskipun perubahan sifat air itu tidak sesuai dengan sifat-sifat benda najis tersebut. Olah kerena itu, jika warna air berubah menjadi kuning lantaran kejatuhan darah, maka air itu menjadi najis.
Masalah 22: Air mengalir adalah air yang memiliki mata air dan mengalir. Air ini tidak menjadi najis bila kejatuhan benda najis, baik kadar air itu banyak maupun sedikit. Air sumber yang tergenang memiliki hukum yang sama dengan air mengalir. Begitu juga air sumur berdasarkan pendapat yang aqwâ (paling kuat). Ya, seluruh air itu menjadi najis bila salah satu sifatnya berubah.
Masalah 23: Air tergenang yang masih bersambung dengan air mengalir memiliki hukum air mengalir. Jika air tergenang menjadi najis lantaran salah satu sifatnya berubah, maka air ini menjadi suci kembali setelah perubahan sifatnya itu sirna, baik sirna dengan sendirinya atau bercampur dengan air mu‘tasham, seperti air mengalir, air kur, dan air hujan.
Masalah 24: Jika air tergenang tidak memiliki mata air dan berukuran kurang dari 1 kur, maka air ini menjadi najis bila kejatuhan benda najis. Air tergenang ini menjadi suci kembali setelah bercampur dengan air mu‘tasham. Berdasarkan pendapat yang aqwâ, air tergenang tidak menjadi suci bila hanya bersambung dengan air mu‘tasham dan tidak bercampur.[1]
Masalah 25: Air tergenang yang berukuran 1 kur tidak menjadi najis bila kejatuhan benda najis, kecuali jika salah satu sifatnya berubah. Jika salah satu sifatnya berubah, dan kadar yang belum berubah masih berukuran 1 kur, maka kadar yang belum berubah itu tidak najis. Tetapi jika kadar yang belum berubah itu tidak berukuran 1 kur, maka seluruh air tergenang itu najis.
Masalah 26: Air kur dapat ditentukan dengan dua cara:
a. Timbangan; ± 377,419 kg.[2]
b. Luas tempat penampungan air; 43 jengkal kurang ⅛ jengkal yang merupakan hasil perkalian sisi panjang, lebar, dan tinggi sebuah tempat yang berbentuk persegi empat. Ukuran ini adalah berdasarkan pendapat yang ahwath.[3] Bahkan tidak jauh kemungkinannya bahwa ukuran itu berdasarkan pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah). Atau berdasarkan liter, air kur harus mencapai 384 liter.
Masalah 27: Air hujan pada saat sedang turun memiliki hukum yang sama dengan air mengalir. Oleh karena itu, air hujan ini tidak menjadi najis (karena menyentuh benda najis) selama salah satu sifatnya tidak berubah. Dan berdasarkan pendapat yang ahwath, air hujan itu harus turun sedemikian rupa sehingga dapat mengalir di atas tanah yang keras. Meskipun menurut pendapat yang kuat, air hujan (masih memiliki hukum air mengalir sekalipun tidak dapat mengalir di atas tanah yang keras) asalkan bisa disebut air hujan.
Masalah 28: Air hujan dapat menyucikan setiap barang najis yang dihujaninya, asalkan barang najis itu bisa disucikan, seperti air, bumi, permadani, dan bejana. Menurut pendapat yang aqwâ, air hujan harus bercampur dengan air (yang najis itu), dan pada saat menyucikan permadani atau barang-barang yang sejenis, kita tidak harus mencucinya beberapa kali (ta‘addud) dan juga tidak wajib memerasnya. Bahkan bejana juga tidak wajib dicuci beberapa kali. Ya, jika bejana itu menjadi najis lantaran jilatan anjing, maka menurut pendapat yang aqwâ kita harus mengusapnya dengan tanah terlebih dahulu, lalu kita meletakkannya di bawah air hujan. Setelah air hujan menghujaninya, bejana itu menjadi suci kembali tanpa kita harus mencucinya beberapa kali.
Masalah 29: Jika atap sebuah rumah adalah najis, lalu air hujan yang turun merembes ke dalam atap sehingga menetes pada saat hujan itu masih turun, maka tetesan-tetesan air itu suci meskipun telah menyentuh benda najis yang terdapat di atas atap. Ya, jika hujan telah reda dan kita tahu bahwa tetesan-tetesan air itu berasal dari air yang telah menyentuh benda najis atau bagian atap lainnya yang telah menjadi najis, maka tetesan-tetesan air tersebut juga najis.
Masalah 30: Tidak isykâl bahwa air yang telah kita gunakan untuk berwudhu (air musta‘mal) adalah suci dan dapat menyucikan hadas besar dan hadas kecil. Begitu juga tidak isykâl bahwa air yang telah kita gunakan untuk menghilangkan hadas besar adalah suci dan dapat menyucikan hadas kecil. Bahkan menurut pendapat yang aqwâ, air musta‘mal ini juga dapat menyucikan hadas besar.
Masalah 31: Air yang telah kita gunakan untuk menghilangkan hadas kecil (ghusâlah) adalah najis secara mutlak.[4] Ya, air yang telah kita gunakan untuk bercebok, baik yang telah kita gunakan untuk membersihkan air kencing maupun air besar, adalah suci asalkan syarat-syarat berikut ini terpenuhi:
a. Salah satu dari ketiga sifatnya (bau, warna, dan rasa) tidak berubah.
b. Tidak ada sisa-sisa air besar yang tampak ikut bersamanya.
c. Kotoran kita tidak keluar melampaui batas jalurnya sehingga kita tidak bisa dianggap sedang buang air secara normal, (seperti orang yang sedang mencret).
d. Tidak ada benda najis dari luar yang menyentuh air tersebut. Oleh karena itu, jika ada benda najis lain yang keluar bersama air kencing atau air besar kita, seperti darah, maka air cebok itu najis.

________________________________________

[1] Sayyid Khu’i: Jika air yang najis bersambung dengan mata air, maka air najis itu menjadi suci kembali, asalkan mata air itu berukuran 1 kur.

[2] Imam Khamenei: Air kur harus mencapai ukuran 384 liter.

[3] Syaikh Behjat: Ukuran air kur adalah 27 jengkal (hasil perkalian sisi panjang, lebar, dan tinggi sebuah tempat yang berbentuk persegi empat) atau 376,740 kg.

[4] Sayyid Khu’i: Ghusâlah yang menyebabkan tempat keluarnya kotoran kita suci adalah suci, dan jika air ini melalui bagian yang najis, maka air tersebut tidak dapat menajiskannya (lagi). Begitu juga air yang terpisah dari benda yang telah dicuci adalah suci asalkan benda itu menjadi suci setelah air itu terpisah.
PASAL 2
BUANG HAJAT (TAKHALLÎ)
Masalah 32: Pada saat sedang buang hajat—sebagaimana juga kondisi-kondisi yang lain, kita wajib menutupi aurat kita dari pandangan orang lain yang sudah mumayyiz, baik ia laki-laki maupun perempuan, sekalipun orang gila dan anak kecil yang sudah mumayyiz. Begitu juga kita haram memandang aurat orang lain, meskipun ia adalah orang gila atau anak kecil yang sudah mumayyiz. Ya, suami dan istri masing-masing boleh melihat aurat yang lain.
Aurat orang perempuan dalam masalah ini vagina dan anus.[1] Sementara aurat orang laki-laki adalah kemaluan dan anus ditambah dua buah pelir. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, kita juga tidak boleh melihat bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan (orang lain).
Masalah 33: Kita tidak boleh melihat aurat orang lain dari balik kaca, bahkan melalui cermin atau air yang bening.
Masalah 34: Jika kita terpaksa harus melihat aurat orang lain, seperti kita ingin melakukan pengobatan, maka berdasarkan ihtiyâth wajib[2] kita harus melihatnya melalui cermin yang diletakkan di hadapan aurat tersebut, bila keterpaksaan itu bisa teratasi dengan cara ini. Jika keterpaksaan itu tidak bisa teratasi dengan cara tersebut, maka kita boleh melihat auratnya.
Masalah 35: Pada saat buang hajat, haram kita membelakangi dan menghadap ke arah Kiblat dengan menggunakan bagian depan tubuh kita; yaitu dada dan perut. Tolok ukurnya adalah membelakangi dan menghadap yang dapat disebut membelakangi dan menghadap Kiblat secara ‘urf. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[3] kita juga tidak boleh hanya mengarahkan kemaluan kita saja ke arah Kiblat. Begitu juga berdasarkan ihtiyâth wajib,[4] haram juga kita menghadap dan membelakangi Kiblat pada saat kita sedang melakukan istibrâ’, bahkan menurut pendapat yang aqwâ hal itu juga tidak boleh bila tetesan-tetesan air kencing masih keluar.
Masalah 36: Jika kita tidak mengetahui arah Kiblat, dan kita juga tidak mungkin meneliti di mana letaknya, serta sangat sulit kita menunda buang hajat hingga arah Kiblat dapat dipastikan, maka kita dapat menghadap ke arah mana saja. Tidak jauh kemungkinan kita wajib beramal sesuai sangkaan, bila kita memiliki sangkaan tentang arah Kiblat.
Bercebok (Istinjâ’)
Istinjâ’ adalah membersihkan tempat keluarnya air kencing dan air besar (bercebok).
Masalah 37: Berdasarkan ihtiyâth, kita wajib mencuci tempat keluarnya air kencing dengan menggunakan air sebanyak dua kali. Meskipun[5] menurut pendapat yang aqwâ, orang laki-laki cukup mencucinya sekali, asalkan air kencingnya keluar dari salurannya yang normal. Selain air tidak dapat menyucikan tempat keluarnya air kencing.
Dalam menyucikan tempat keluarnya air besar, kita bisa memilih antara mencucinya dengan air atau mengusapnya dengan benda yang dapat menghilangkan benda najis, seperti batu. Tetapi mencucinya dengan air adalah lebih baik. Menurut pendapat yang zhâhir, kita cukup[6] mengusap sekali saja sebagaimana kita juga cukup mencucinya dengan air sebanyak sekali, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab[7] hendaknya kita mengusapnya sebanyak tiga kali sekalipun tempat keluarnya air besar itu bisa bersih bila diusap kurang dari tiga kali. Jika tempat keluarnya air besar itu belum bersih meskipun kita telah mengusapnya sebanyak tiga kali, maka kita harus mengusapnya hingga bersih.
Benda yang akan kita gunakan untuk mengusap tempat keluarnya air besar harus suci dan tidak basah di mana kebasahannya yang dapat berpindah ke tempat lain. Dalam mengusap, kita cukup menghilangkan benda najisnya saja, meskipun bekas-bekasnya masih tersisa.
Masalah 38: Kita bisa mengusap tempat keluarnya air besar bila air besar itu tidak keluar melebihi batas salurannya sehingga mencuci tempat tersebut tidak bisa disebut istinjâ’ (bercebok) dan juga tidak ada benda najis lain di tempat tersebut.
Masalah 39: Haram kita bercebok dengan menggunakan benda-benda yang layak dihormati, seperti roti dan lain sebagainya. Begitu juga berdasarkan ihtiyâth wajib[8], haram kita bercebok dengan menggunakan tulang dan kotoran binatang. Jika kita bercebok dengan menggunakan benda-benda tersebut, maka kesucian tempat keluarnya air besar adalah isykâl, khususnya bila kita menggunakan dua benda yang terakhir itu.
Istibrâ’
Istibrâ’ adalah menghindari keluarnya air kencing yang mungkin masih tersisa di salurannya.
Cara melakukan istibrâ’ bagi orang laki-laki berdasarkan ihtiyâth mustahab adalah ia mengurut saluran keluar air kencing dimulai dari tempat keluarnya air besar hingga pangkal kemaluan sebanyak tiga kali. Kemudian, ia meletakkan jari telunjuk di bawah kemaluan dan ibu jari di atas kemaluan misalnya, lalu mengurutnya hingga batas khitan sebanyak tiga kali. Setelah itu, ia menekan ujung kemaluan sebanyak tiga kali. Jika ia melihat cairan keluar yang tidak diketahui apakah air kencing atau selainnya, maka cairan itu dihukumi suci dan tidak membatalkan wudhu bila ia telah berwudhu sebelum cairan itu keluar. Berbeda halnya bila ia belum melakukan istibrâ’. Maka cairan itu dihukumi najis dan membatalkan wudhu. Ya, jika ia ragu apakah ada cairan yang keluar atau tidak, maka ia dapat mengasumsikan bahwa tidak ada cairan yang keluar.
Orang perempuan tidak perlu melakukan istibrâ’. Tapi yang paling utama adalah hendaknya ia bersabar sebentar (setelah buang air kencing), lalu berdehem dan memijat vaginanya ke arah memanjang, dan lalu mencucinya. Jika ada cairan keluar darinya dan tidak diketahui apakah air kencing atau bukan, maka cairan itu suci.
Masalah 40: Jika kita tahu bahwa madzi telah keluar dari kemaluan kita, tetapi kita ragu apakah air kencing juga keluar bersama madzi tersebut atau tidak, maka madzi itu tidak dihukumi najis dan tidak juga membatalkan wudhu, kecuali bila cairan yang keluar dari kemaluan kita itu disebut sebagai cairan yang diragukan; seperti kita ragu apakah cairan itu adalah madzi atau campuran antara madzi dan air kencing.
Masalah 41: Jika kita kencing dan lalu berwudhu, kemudian setetes cairan yang diragukan antara air kencing dan mani keluar dari kemaluan kita, dan kita telah melakuan istibrâ’ setelah kencing, maka kita harus ber-ihtiyâth dengan berwudhu dan mandi. Tetapi jika kita belum melakukan istibrâ’, maka berdasarkan pendapat yang aqwâ kita cukup berwudhu saja.
Jika cairan itu keluar sebelum kita berwudhu, maka kita cukup berwudhu saja.
________________________________________

[1] Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang ahwath, bagian tubuh yang terdapat di antara pusar dan lutut juga memiliki hukum aurat.

[2] Syaikh Behjat: Tidak masalah seorang dokter laki-laki melihat dan menyentuh tubuh seorang wanita non-muhrim, asalkan pengobatan tergantung kepada kedua tindakan ini. Begitu juga tidak masalah seorang dokter wanita melihat dan menyentuh tubuh seorang laki-laki non-muhrim.

[3] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

[4] Syaikh Behjat: Kita boleh menghadap dan membelakangi Kiblat asalkan air kencing atau cairan yang diragukan tidak keluar pada saat kita sedang melakukan istibrâ’.

Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth mustahab.

[5] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, kita wajib mencuci tempat keluarnya air kencing sebanyak dua kali bila kita mencucinya dengan menggunakan air sedikit.

[6] Imam Khamenei: Kita wajib mengusap dengan menggunakan tiga buah benda atau dengan tiga sisi dari satu benda.

[7] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

[8] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, tidak haram kita bercebok dengan menggunakan kedua benda itu, tetapi tempat keluarnya air besar tidak bisa suci.

Syaikh Behjat: Menurut pendapat yang azhhar, tempat keluarnya air besar bisa suci bila diusap dengan menggunakan kedua benda itu, sekalipun menggunakannya untuk bercebok adalah haram.
PASAL 3
WUDU
a.Kewajiban-Kewajiban Wudu
Masalah 42: Dalam wudu, kita wajib membasuh wajah dan kedua tangan, dan mengusap kepala dan kedua kaki. Maksud dari wajah di sini adalah bagian wajah antara tempat rambut tumbuh hingga dagu dari sisi panjang dan bagian wajah yang tercakup oleh ibu jari dan jari tengah dari sisi lebar. Ketentuan ini bagi orang yang memiliki ukuran anggota tubuh yang normal. Orang yang memiliki ukuran anggota tubuh tidak normal harus merujuk kepada orang yang memiliki ukuran anggota tubuh yang normal.
Kita juga harus membasuh melebihi sedikit dari batas yang telah ditentukan itu sebagai mukadimah supaya kita yakin (seluruh anggota wudu telah terbasuh). Jenggot yang harus dibasuh adalah bagian jenggot yang termasuk dalam bagian wajah saja.
Masalah 43: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus membasuh wajah dimulai dari bagian atas wajah, dan juga berdasarkan ihtiyâth wajib[1] kita tidak boleh membasuhnya terbalik;[2] (yaitu dimulai dari bagian bawah wajah ke arah bagian atas wajah).
Masalah 44: Kita wajib membasuh kedua tangan dimulai dari siku hingga ujung jari-jari. Kita juga wajib membasuh sebagian lengan sebagai mukadimah seperti kita membasuh wajah.[3]
Masalah 45: Kita tidak wajib membasuh anggota wudu yang termasuk tubuh bagian dalam, seperti mata dan lubang hidung, dan juga bagian bibir yang tidak terlihat pada saat terkatup. Begitu juga kita tidak wajib menghilangkan kotoran yang terdapat di bawah kuku, kecuali kotoran yang terhitung sebagai bagian luar.
Masalah 46: Sah kita berwudu dengan cara irtimâsî, asalkan kita tetap membasuh anggota wudu kita dimulai dari bagian atas. Tetapi pada saat membasuh tangan kiri, kita harus berniat membasuh ketika mengeluarkan tangan tersebut dari dalam air sehingga kita tidak mengusap (kepala dan kedua kaki) dengan air baru. Begitu juga halnya pada saat kita membasuh tangan kanan, kecuali bila kita menyisakan sebagian tangan kiri (tidak terbasuh) sehingga kita harus membasuh bagian tersebut dengan menggunakan tangan kanan. Hal ini kita lakukan supaya wudu kita tidak batal.
Masalah 47: Kita wajib menghilangkan segala sesuatu yang dapat menghalangi air sampai ke kulit. Jika kita ragu dengan adanya penghalang itu, maka kita tidak perlu memperhatikannya. Ya, jika kita ragu apakah benda yang menempel di kulit kita dapat mencegah sampainya air ke kulit atau tidak, maka kita harus menghilangkannya atau menyampaikan air ke bagian bawahnya.
Kita tidak wajib[4] menghilangkan sesuatu yang telah mengering di atas luka setelah luka itu sembuh. Tetapi jika obat telah mengering di atas luka, maka kita harus menghilangkannya, asalkan obat itu mungkin dihilangkan dengan mudah.
Masalah 48: Yang wajib[5] pada saat mengusap kepala adalah mengusap bagian depan kepala meskipun sedikit. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib,[6] kita tidak boleh mengusapnya dengan kadar yang lebih sedikit dari lebar satu jari. Dalam hal ini, tidak berbeda apakah kita mengusap kulit kepala langsung atau mengusap rambut yang tumbuh di bagian depan kepala. Ya, jika rambut yang tumbuh di bagian depan kepala sangat panjang sehingga melebihi batas bagian depan kepala ketika rambut itu ditarik, maka kita tidak boleh mengusap bagian rambut yang melebihi batas tersebut.
Masalah 49: Anggota wudu yang dibasuh harus kering sekiranya[7] sisa air yang terdapat di anggota wudu tersebut tidak berpindah ke tangan kita.
Masalah 50: Kita wajib mengusap permukaan kedua kaki. Dari sisi panjang, berdasarkan ihtiyâth kita mengusap dimulai dari ujung jari-jari kaki hingga pergelangan kaki, meskipun menurut pendapat yang aqwâ[8] kita cukup mengusap hingga ka‘b; yaitu bagian yang menonjol di permukaan kaki. Dari sisi lebar, tidak ada ketentuan khusus. Oleh karena itu, kita cukup melakukan tindakan yang bisa dinamakan mengusap.
Begitu juga kita wajib mengusap dengan menggunakan air yang masih tersisa di tangan kita.
Masalah 51: Berdasarkan ihtiyâth,[9] kita mengusap dengan menggunakan telapak tangan. Jika tidak mungkin, maka kita menggunakan permukaan telapak tangan, dan jika tidak mungkin juga, maka kita menggunakan lengan. Meskipun menurut pendapat yang aqwâ, kita boleh mengusap dengan menggunakan permukaan telapak tangan. Bahkan kebolehan mengusap dengan menggunakan lengan meskipun kita tidak terpaksa adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
Masalah 52: Dalam mengusap, kita harus menjalankan tangan kita di atas anggota wudu yang hendak diusap, dan kita tidak boleh melakukan sebaliknya.
Masalah 53: Kita boleh mengusap kerudung, sepatu khuff, kaos kaki, dan lain sebagainya bila kita berada dalam kondisi terpaksa; seperti kita takut kedinginan, khawatir atas serangan binatang buas, dan kondisi-kondisi lain yang menyebabkan rasa takut kita timbul bila kita melepas barang-barang itu. Seluruh syarat yang harus kita perhatikan ketika mengusap kulit juga harus kita indahkan ketika kita ingin mengusap barang-barang tersebut.
b. Syarat-Syarat Wudu
Masalah 54: Wudu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a. Air harus suci, mutlak, dan mubah; anggota wudu yang akan dibasuh atau diusap harus suci; penghalang yang dapat mencegah air sampai ke kulit harus dihilangkan terlebih dahulu; tidak ada hal yang mencegah kita untuk menggunakan air, seperti sakit, kehausan sehingga kita khawatir atas diri kita sendiri atau atas satu jiwa yang wajib dihormati, atau hal-hal lain yang mewajibkan tayammun. Jika kita tetap berwudu dalam kondisi seperti ini, maka wudu kita batal.
Masalah 55: Kesucian dan kemutlakan air adalah syarat wâqi‘î (realistis). Oleh karena itu, orang yang mengetahui hukum dan orang yang tidak mengetahui hukum memiliki kedudukan yang sama di hapadan syarat ini. Lain halnya dengan kemubahan air. Jika kita berwudu dengan menggunakan air hasil gasab dan kita tidak tahu atau lupa bahwa air itu adalah hasil gasab, maka wudu kita sah.[10]
Masalah 56: Kita boleh berwudu, minum, dan melakukan penggunaan-penggunaan ringan lainnya yang biasa dilakukan oleh masyarakat umum dari air sungai yang besar, meskipun kerelaan para pemilik tidak diketahui. Bahkan meskipun di antara mereka terdapat pemilik yang masih kecil dan gila. Ya, jika seluruh atau sebagian mereka melarang, maka kebolehan itu isykâl.
Masalah 57: Jika sebuah air mubah terdapat dalam sebuah bejana hasil gasab, maka secara mutlak kita tidak boleh menggunakannya untuk berwudu dengan cara menciduk air dengan menggunakan tangan. Adapun jika kita menciduknya dengan menggunakan gayung, maka wudu kita juga tidak sah bila kita tidak memiliki air lagi selain air tersebut.[11]
Berdasarkan ihtiyâth wajib,[12] bejana emas dan perak memiliki hukum yang sama dengan bejana hasil gasab tersebut dalam dua masalah terakhir ini.[13]
Masalah 58: Kita tidak boleh berwudu dari kolam yang ada di halaman sebuah masjid, sekolah, dan tempat-tempat yang lain bila kita tidak mengetahui cara pewakafan tempat tersebut dan kita memberi kemungkinan bahwa tempat-tempat itu diwakafkan hanya untuk orang-orang yang salat di situ atau hanya untuk penduduk setempat. Ya, jika selain penduduk setempat biasa berwudu di kolam itu tanpa ada pelarangan dari penduduk setempat, maka wudu kita sah.
Masalah 59: Jika sebagian anggota wudu kita najis dan kita ragu setelah berwudu apakah kita telah menyucikan anggota tersebut sebelum berwudu atau tidak, maka wudu kita dihukumi sah, kecuali bila kita tahu bahwa kita tidak sadar akan hal itu pada saat berwudu. Meskipun wudu kita sah, tetapi anggota wudu tersebut dihukumi najis, dan kita harus menyucikannya sebelum mengerjakan ibadah-ibadah selanjutnya.
b. Kita harus berwudu sendiri bila kita tidak berada dalam kondisi terpaksa. Jika kita berada dalam kondisi terpaksa, maka kita boleh, bahkan wajib meminta bantuan kepada orang lain supaya ia melakuan wudu terhadap kita. Dalam kondisi ini, kita sendiri harus berniat wudu, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab[14] ia juga hendaknya berniat wudu.
c. Anggota-anggota wudu harus dibasuh dan diusap secara berurutan; kita harus membasuh wajah terlebih dahulu sebelum membasuh tangan kanan, kita harus membasuh tangan kanan terlebih dahulu sebelum membasuh tangan kiri, dan kita harus membasuh tangan kiri terlebih dahulu sebelum mengusap kepala, serta kita harus mengusap kepala terlebih dahulu sebelum mengusap kedua kaki. Berdasarkan ihtiyâth,[15] kita harus mengusap kaki kanan terlebih dahulu sebelum mengusap kaki kiri,[16] bahkan pendapat ini adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
d. Anggota-anggota wudu harus dibasuh dan diusap secara berkesinambungan; yaitu kita jangan menunda membasuh anggota wudu selanjutnya sehingga anggota-anggota wudu yang telah dibasuh atau diusap sebelumnya menjadi kering.
Tolok ukur kesahan wudu kita adalah salah satu dari dua hal berikut ini:
• Anggota-anggota wudu sebelumnya masih basah dan dapat dilihat oleh indra.
• Kita telah berwudu secara berkesinambungan dalam pandangan ‘urf.
e. Niat; yaitu kita memiliki keinginan untuk berwudu. Kita harus berwudu hanya demi melaksanakan perintah Allah swt. semata atau untuk mendekatkan diri (qurbah) kepada-Nya. Di samping itu, kita juga harus ikhlas ketika berniat. Jika kita meniatkan sesuatu yang lain yang bertentangan dengan ikhlas tersebut, khususnya riya’, maka wudu kita batal. Ya, embel-embel niat yang lain yang masih memiliki nilai positif (râjihah); seperti niat untuk membersihkan diri, tidak membatalkan wudu, asalkan embel-embel tersebut hanya bersifat sampingan dan maksud asli kita adalah hanya mengerjakan perintah Allah swt. semata.
Tolok ukur yang harus dipenuhi dalam niat adalah kehendak global yang tertanam dalam diri kita sehingga bila kita ditanya sedang melakukan apa, kita akan menjawab, “Saya sedang berwudu.” Kita tidak wajib melintaskan niat itu dalam hati, dan begitu juga kita tidak wajib mengucapkannya.
Kita harus memiliki niat, baik di permulaan wudu maupun untuk keberlangsungan wudu hingga wudu itu usai. Dalam niat tidak disyaratkan hal lain selain qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan ikhlas.[17]
c. Hal-Hal yang Mewajibkan Wudu
Masalah 60: Hadas-hadas yang membatalkan dan mewajibkan wudu adalah sebagai berikut:
a. Keluarnya air kencing dan cairan yang memiliki hukum seperti air kencing, seperti cairan yang keluar dari kemaluan kita sebelum kita ber-istibrâ’.
b. Keluarnya air besar dari salurannya atau dari selain salurannya, baik saluran air besar kita tertutup maupun tidak.
c. Keluarnya angin dari lubang anus, asalkan angin tersebut berasal dari lambung atau usus, baik angin itu bersuara dan berbau maupun tidak.
d. Tidur yang mengalahkan pendengaran dan penglihatan.
e. Segala sesuatu yang dapat menghilangkan akal, seperti gila, pingsan, mabuk, dan lain sebagainya.
f. Istihadah sedikit dan sedang, bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib[18] juga istihadah besar, meskipun dua jenis istihadah terakhir ini juga mewajibkan mandi.
Masalah 61: Jika orang yang terjangkit penyakit enuresis (keluar kencing tanpa terkontrol) dan orang yang mengalami sakit perut (sehingga keluar angin tanpa terkontrol) masih memiliki kesempatan untuk bersuci dan mengerjakan salat sekalipun hanya sebatas mengerjakan minimal kewajiban salat, maka mereka harus menunggu dan mengerjakan salat pada kesempatan itu. Tetapi jika mereka tidak memiliki kesempatan tersebut, maka orang yang menderita sakit perut langsung berwudu, lantas mengerjakan salat, dan meletakkan air di dekat dirinya (sebelum itu). Jika sesuatu keluar dari dirinya, maka ia langsung berwudu[19] dan melanjutkan salatnya. Berdasarkan ihtiyâth mustahab, orang yang terjangkit penyakit enuresis juga melaksanakan tugas yang telah ditentukan bagi orang yang menderita sakit perut, meskipun berdasarkan pendapat yang aqwâ (lebih kuat) ia cukup mengerjakan salat dengan sekali wudu.
Semua itu apabila pengulangan wudu itu tidak menyebabkan kesulitan (haraj) bagi mereka. Jika pengulangan wudu itu menimbulkan kesulitan, maka mereka tidak wajib mengulangi wudu untuk satu salat. Ya, mereka tidak boleh mengerjakan dua salat dengan satu wudu, kecuali bila tidak ada sesuatu yang keluar dari diri mereka di antara kedua salat itu.
Masalah 62: Orang yang terjangkit penyakit enuresis harus menjaga kencingnya supaya tidak merembes dengan cara membungkus kemaluannya dengan kantong yang telah diisi kapas atau benda-benda yang sejenis. Menurut pendapat yang zhâhir, ia tidak wajib mengganti atau menyucikan kantong tersebut untuk setiap kali salat. Orang yang mengalami sakit perut juga harus menahan diri semampu mungkin.
Masalah 63: Menurut pendapat yang zhâhir, mereka wajib mengulangi salat bila telah sembuh di dalam waktu salat, asalkan waktu itu cukup untuk mengerjakan salat dengan bersuci.
d. Tujuan Wudu
Tujuan wudu adalah sebuah faktor (baca: amal) yang menyebabkan sebuah wudu menjadi wajib atau sunah. Dan hal ini dapat ditinjau dari beberapa sisi berikut ini:
a. Wudu sebagai syarat kesahan sebuah amal, seperti salat untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain dan tawaf yang menjadi bagian dari manasik ibadah haji atau umrah yang wajib. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[20] wudu juga syarat untuk tawaf yang menjadi bagian dari manasik haji dan umrah yang sunah.
b. Wudu sebagai syarat kebolehan dan ketidakharaman sebuah amal, seperti menyentuh Al-Qur’an, nama Allah, dan sifat-sifat-Nya yang khusus. Adapun nama para nabi, imam maksum, penghulu wanita semesta alam (Sayyidah Fathimah Az-Zahrâ’ as.), dan para malaikat tidak memiliki hukum tersebut,[21] meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab[22] kita jangan menyentuh nama-nama tersebut, khususnya nama para nabi dan imam maksum as.
c. Wudu sebagai syarat kesempurnaan sebuah amal seperti membaca Al-Qur’an atau untuk menghilangkan kemakruhan sebuah pekerjaan seperti makan pada saat kita sedang dalam kondisi junub. Kemakruhan makan dalam kondisi junub ini dapat hilang dengan wudu.
e. Hukum Keraguan dalam Wudu
Masalah 64: Jika kita yakin bahwa kita telah berhadas, tetapi kita ragu atau menyangka telah berwudu, maka kita harus berwudu, meskipun keraguan itu terjadi di pertengahan sebuah amal. Oleh karena itu, jika kita telah memulai salat, lalu kita ragu di pertengahan salat apakah sudah berwudu atau belum, maka kita harus memutus salat dan berwudu. Tapi berdasarkan ihtiyâth mustahab,[23] kita hendaknya menyempurnakan salat tersebut dan mengulanginya dengan wudu baru. Jika keraguan itu terjadi setelah kita usai mengerjakan salat, maka kita dapat memastikan bahwa salat itu sah, dan kita harus berwudu untuk amal-amal selanjutnya.
Jika kita yakin telah berwudu dan ragu apakah telah berhadas atau tidak, maka kita tidak perlu memperhatikan keraguan itu. Jika kita yakin telah berwudu dan juga telah berhadas, tetapi kita ragu manakah di antara kedua realita itu yang terjadi lebih terakhir, maka kita harus berwudu, meskipun—berdasarkan pendapat yang aqwâ—kita mengetahui tanggal kita berwudu. Hal ini bila kita tidak memiliki suatu kondisi yang mendahului kedua realita itu. Jika kita memiliki kondisi tersebut, maka berdasarkan pendapat yang aqwâ kita harus memilih realita yang bertentangan dengan kondisi itu. Tapi sebagian gambaran masalah ini masih memiliki rincian.
Masalah 65: Keraguan seorang peragu tidak perlu diperhatikan, sebagaimana keraguan yang terjadi setelah usai berwudu juga tidak perlu diperhatikan.
Masalah 66: Jika kita memiliki wudu, lalu kita memperbaharui wudu kita dan lantas mengerjakan salat, kemudian kita yakin bahwa salah satu dari kedua wudu itu secara global telah batal, maka secara mutlak kita tidak perlu memperhatikan keyakinan itu.
Ya, jika kita mengerjakan salat setelah usai melakukan setiap wudu tersebut, kemudian kita yakin bahwa salah satu dari kedua wudu itu batal, maka salat kedua[24] adalah sah, sebagaimana salat-salat kita selanjutnya juga sah. Dan tidak jauh (lâ yab‘ud) bila salat kita yang pertama juga dihukumi sah, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab kita hendaknya mengulangi salat ini.
f. Wudu Jabîrah
Masalah 67: Jika di sebagian anggota wudu kita terdapat jabîrah (perban, obat, dan benda-benda yang sejenis), maka:
a. Jabîrah itu mungkin dilepas:
• Jika Jabîrah itu terdapat di anggota wudu yang harus dibasuh, maka kita wajib melepasnya atau menyampaikan air ke bagian bawahnya.
• Jika jabîrah itu terdapat di anggota wudu yang harus diusap, maka kita harus melepasnya.
b. Jabîrah itu tidak mungkin dilepas:
▪ Jika jabîrah itu terletak di anggota wudu yang harus diusap, maka kita cukup mengusap jabîrah tersebut.
▪ Jika jabîrah itu terletak di anggota wudu yang harus dibasuh, maka kita harus menyampaikan air ke bagian bawahnya bila mungkin. Akan tetapi, jika hal itu tidak mungkin, maka kita cukup mengusap jabîrah tersebut.
Masalah 68: Hukum mengusap jabîrah yang terletak di anggota wudu yang harus dibasuh dari sisi kadar dan tata cara mengusap adalah sama dengan hukum membasuh pada kondisi normal. Begitu juga halnya dengan jabîrah yang terletak di anggota wudu yang harus diusap.
Masalah 69: Kadar jabîrah yang melebihi jabîrah yang diperlukan, tetapi masih berukuran lumrah yang biasanya diperlukan pada saat kita meletakkan jabîrah memiliki hukum jabîrah itu sendiri. Akan tetapi, jika kadar jabîrah melebihi kadar yang lumrah itu, maka:
a. Jika kadar jabîrah yang lebih itu mungkin diangkat, maka kita harus mengangkatnya, lalu membasuh tempatnya, dan kemudian mengusap jabîrah.
b. Jika kadar jabîrah itu tidak mungkin diangkat, maka kita cukup mengusap seluruh jabîrah itu. Pada kondisi ini, ihtiyâth[25] dengan bertayammum juga jangan kita tinggalkan.[26]
Masalah 70: Berdasarkan pendapat yang aqwâ, kita boleh hanya membasuh sekitar luka yang terbuka dan tidak mungkin dibasuh. Dan di samping itu,[27] berdasarkan ihtiyâth mustahab[28] kita hendaknya meletakkan secarik kain di atas luka itu dan lantas kita mengusap kain tersebut.[29]
Masalah 71: Jika di atas kulit kita terdapat sesuatu yang dapat menghalangi sampainya air dan tidak mungkin dihilangkan, seperti ter dan benda-benda yang sejenis, maka kita cukup mengusap penghalang tersebut. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengusap penghalang itu sedemikian rupa sehingga minimal basuhan terwujud. Dan lebih ihtiyâth dari itu,[30] kita juga bertayammum.[31]
Masalah 72: Wudu dan mandi orang yang memiliki jabîrah dapat menghilangkan hadas, bukan hanya membolehkan amal yang memiliki syarat wudu atau mandi. Begitu juga tayammumnya, asalkan kewajibannya memang tayammum.
Masalah 73: Jika kewajiban kita adalah tayammum dan di anggota tayammum kita terdapat jabîrah yang tidak mungkin dilepas, maka kita cukup mengusap jabîrah tersebut. Begitu juga halnya apabila terdapat penghalang lain yang tidak mungkin dihilangkan.
Masalah 74: Jika uzur orang yang memiliki jabîrah sudah hilang, maka ia tidak wajib mengqadha seluruh salat yang telah dikerjakannya. Bahkan menurut pendapat yang zhâhir, ia boleh mengerjakan salat-salat selanjutnya dengan wudu dan selainnya selama wudu itu belum batal.[32]
Masalah 75: Orang yang memiliki jabîrah boleh mengerjakan salat di awal waktu, asalkan ia tidak memiliki harapan uzurnya akan hilang. Tetapi jika ia masih memiliki harapan, maka berdasarkan ihtiyâth wajib[33] ia harus menunda salatnya.[34]
________________________________________

[1] Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh membasuhnya terbalik.

[2] Imam Khamenei dan Syaikh Behjat: Bahkan kita wajib membasuh wajah dan juga kedua tangan dimulai dari bagian atas hingga ke bagian bawah. Jika kita membasuh kedua anggota wudu itu terbalik, maka wudu kita batal.

[3] Masalah: Membasuh wajah dan kedua tangan sebanyak sekali dan dua kali adalah boleh, dan membasuhnya lebih dari itu tidak masyrû‘ (tidak ada dalam ketentuan syariat). Jika basuhan yang lebih itu adalah untuk tangan kiri, maka kesahan wudu kita adalah isykâl.

Syaikh Behjat: Basuhan kedua untuk wajah dan kedua tangan adalah sunah.

[4] Masalah: Jika sesuatu yang telah mengering itu bisa dihilangkan tanpa ada kesulitan, maka kita wajib menghilangkannya. Jika tidak, maka hukumnya sama dengan hukum jabîrah. Ini semua bila sesuatu yang telah mengering itu adalah darah. Jika sesuatu yang telah mengering itu telah menjadi kulit, sekalipun kulit tipis, maka sesuatu itu adalah suci dan tidak wajib dihilangkan.

[5] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengusap kepala dengan menggunakan tangan kanan. Ya, kita tidak wajib mengusapnya dimulai dari bagian atas ke bawah.

Syaikh Behjat: Yang utama adalah kita mengusap kepala dengan menggunakan tangan kanan.

Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengusap kepala dimulai dari bagian atas ke bawah dengan menggunakan telapak tangan kanan.

[6] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kadar lebar pengusapan itu adalah tiga jari tertutup dan kadar panjangnya adalah satu jari.

[7] Imam Khamenei: Bahkan sekiranya usapan tangan kita dapat mempengaruhi (baca: membasahi) anggota wudu tersebut, bukan sebaliknya.

[8] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengusap kaki dimulai dari ujung jari-jari kaki hingga pergelangan kaki.

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya kita mengusap hingga pergelangan kaki.

[9] Syaikh Behjat: Yang wajib bila kita tidak terpaksa adalah mengusap dengan menggunakan telapak tangan.

[10] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, wudu kita tetap batal meskipun kita lupa atau tidak tahu bahwa air itu adalah hasil gasab.

[11] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang azhhar, bejana itu tidak boleh dipakai, baik kita tidak memiliki air lain selain air tersebut maupun tidak.

[12] Syaikh Behjat: Jika kita tidak memiliki air lain selain air tersebut, maka kita harus bertayammun. Jika kita tidak bertayammum, tetapi kita mencelupkan anggota wudu (ke dalam bejana itu) atau mengucurkan air dengan niat wudu, maka wudu kita batal. Ya, jika kita menuangkan air tersebut (ke anggota wudu) tanpa berniat wudu, lalu kita mengusapnya, maka wudu kita sah.

[13] Sayyid Khu’i: Kesahan wudu itu adalah kuat (lâ takhlû min quwwah), kecuali jika kita berwudu dengan cara irtimâsî. Maka kesahan wudu kita isykâl.

[14] Syaikh Behjat: Ia sendiri wajib berniat. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, kita juga harus bertayammum.

[15] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mendahulukan kaki kanan atas kaki kiri.

[16] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mendahulukan kaki kanan atas kaki kiri.

[17] Masalah: Kita tidak boleh berwudu untuk mengerjakan salat wajib sebelum waktunya masuk. Ya, berwudu dengan niat supaya kita selalu berada dalam kondisi suci adalah sunah secara syar‘î, (meskipun waktu salat belum masuk).

[18] Syaikh Behjat: Darah istihadah, haid, dan nifas juga begitu.

[19] Sayyid Khu’i: Mereka tidak wajib berwudu bila hadas keluar di pertengahan salat secara tiba-tiba. Meskipun demikian, yang ahwath adalah hendaklah mereka berwudu.

[20] Imam Khamenei: Wudu tidak wajib untuk melakukan tawaf sunah yang bukan menjadi bagian dari ibadah umrah dan haji yang sunah. Ya, wudu itu wajib untuk mengerjakan salat tawaf tersebut.

Sayyid Khu’i: Wudu tidak wajib untuk mengerjakan hal-hal yang sunah. Meskipun demikian, wudu itu bisa menjadi wajib karena faktor nazar.

[21] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang awlâ (lebih utama), nama mereka itu memiliki hukum tersebut.

[22] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita jangan menyentuh nama Rasulullah saw., para imam maksum as., dan Sayyidah Az-Zahrâ’ as.

[23] Syaikh Behjat: Kita boleh menyempurnakan salat tersebut dengan menharapkan realita yang sebenarnya; jika terbukti bahwa kita telah berwudu, maka berdasarkan pendapat yang azhhar salat kita sah.

[24] Sayyid Khu’i: Kita harus mengulangi salat yang kedua.

[25] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita menambahkan tayammum. Kecuali jika mengusap jabîrah itu tidak bisa disebut sebagai membasuh, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita juga harus bertayammum. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, kita juga harus bertayammum jika kadar jabîrah yang lebih dari kadar yang lumrah itu terdapat di anggota wudu yang harus diusap.

[26] Sayyid Khu’i: Kita harus berwudu dan bertayammum apabila jabîrah itu terletak di anggota tayammum, dan kita tidak boleh hanya mencukupkan diri dengan tayammum.

[27] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengusap luka tersebut dengan sisa air yang terdapat di tangan, asalkan hal ini tidak berbahaya. Jika mengusap itu berbahaya, maka kita cukup membasuh daerah sekitar luka saja. Ini semua apabila luka itu terdapat di anggota wudu yang harus dibasuh. Jika luka itu terdapat di anggota wudu yang harus diusap dan kita tidak mungkin untuk mengusapnya dengan menggunakan sisa air yang terdapat di tangan kita, maka kita harus bertayammum. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab apabila memungkinkan, kita hendaknya meletakkan secarik kain di atas luka tersebut dan lantas kita mengusap kain itu, dan di samping itu kita juga harus bertayammum.

[28] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

[29] Sayyid Khu’i: Dan kita juga bertayammum.

[30] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita juga harus melakukan wudu jabîrah.

[31] Sayyid Khu’i: Kita wajib bertayammum. Jika penghalang itu terdapat di anggota tayammum, maka kita harus bertayammum dan juga harus berwudu.

[32] Sayyid Khu’i: Jika ia sembuh ketika waktu salat masih luas, maka menurut pendapat yang aqwâ ia harus mengulangi salat.

[33] Syaikh Behjat: Bedasarkan ihtiyâth wajib, ia harus bersabar (hingga uzurnya hilang).

[34] Masalah: Menurut pendapat yang zhâhir, hukum wudu jabîrah masih berlaku meskipun jabîrah itu menutupi satu anggota wudu secara sempurna, khususnya apabila jabîrah itu terdapat di anggota yang harus diusap.

Jika jabîrah itu menutupi mayoritas anggota wudu, maka kita ber-ihtiyâth dengan melakukan amalan jabîrah dan bertayammum bila memungkinkan dan jabîrah itu tidak disertai penghalang (yang lain). Meskipun demikian, tayammum saja sudah cukup. Ya, jika penghalang itu juga menutupi anggota tayammum, maka kita harus melakukan wudu jabîrah.

Sayyid Khu’i dan Syaikh Behjat: Jika jabîrah yang menutupi anggota wudu secara sempurna itu terdapat di kepala atau kedua kaki, maka kita harus bertayammum, dan jika jabîrah itu terdapat di wajah atau kedua tangan, maka kita jangan meninggalkan ihtiyâth wajib dengan bertayammum dan berwudu. Begitu juga halnya bila jabîrah itu menutupi seluruh anggota wudu.
PASAL 4
MANDI
1. Mandi Jenabah
Masalah 76: Jenabah terjadi disebabkan oleh dua faktor:
a. Keluarnya air sprema dan cairan yang memiliki hukum sperma, seperti cairan yang keluar dari kemaluan kita sebelum kita ber-istibrâ’ dengan kencing, seperti akan dipaparkan nanti. Tolok ukur dalam masalah ini adalah keluarnya sperma itu ke luar kemaluan kita dan sperma itu adalah milik kita sendiri. Oleh karena itu, jika sperma seorang laki-laki keluar dari kemaluan seorang perempuan—terlepas dari masalah hubungan suami istri, maka sperma tersebut tidak menyebabkan perempuan itu telah junub. Kecuali jika perempuan itu mengetahui bahwa sperma orang laki-laki itu telah bercampur dengan sperma dirinya.
b. Hubungan suami istri meskipun sperma tidak keluar. Hubungan ini terwujud bila hasyafah (ujung zakar hingga batas khitan) telah masuk ke dalam vagina atau dubur. Jika hasyafah seseorang terputus, maka berdasarkan dalil yang kuat[1] hubungan suami istri itu terwujud bila kemaluannya telah masuk sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan suami istri terjadi (musammâ ad-dukhûl). Dengan demikian, kedua belah pihak laki-laki dan perempuan mengalami jenabah dan tidak ada perbedaan antara anak kecil, orang gila, dan selain mereka. Mandi jenabah yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz adalah sah dan dapat menghilangkan hadas jenabah.
Masalah 77: Jika sperma telah bergerak dari tempatnya ketika kita terjaga atau sedang tidur karena bermimpi, maka kita tidak wajib mandi selama sperma itu belum keluar. Jika kita tidak memiliki air dan waktu salat telah masuk, maka kita tidak wajib menahan sperma itu, meskipun ketidakwajiban menahan sperma ini isykâl (lâ yakhlû min ta’ammul) bila menahannya tidak berbahaya bagi kita. Ya, jika kita juga tidak memiliki bahan yang dapat digunakan untuk bertayamum, dan kita berada dalam kondisi suci, maka kita wajib menahan sperma tersebut, kecuali bila menahan sperma itu berbahaya bagi kita.
Sama dengan hukum di atas bila kita sengaja menjunubkan diri dengan melakukan hubungan suami istri dengan istri kita sendiri dengan tujuan untuk melampiaskan birahi.
Masalah 78: Menurut pendapat yang lebih kuat, mandi jenabah seperti mandi-mandi yang lain tidak wajib secara syar‘î, kecuali memandikan jenazah sebagaimana akan dipaparkan nanti. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang hanya bisa dikerjakan setelah kita mandi jenabah; yaitu mandi jenabah adalah syarat kesahan hal-hal tersebut:
a. Seluruh jenis salat, kecuali salat jenazah.
b. Tawaf wajib, bahkan tidak jauh bila mandi jenabah juga menjadi syarat kesahan[2] tawaf sunah.
c. Puasa bulan Ramadhan dan qadhanya; artinya puasa tersebut batal apabila kita sengaja junub atau kita lupa kalau sedang junub.
Masalah 79: Hal-hal yang diharamkan atas orang yang sedang junub adalah berikut ini:
a. Menyentuh tulisan Al-Qur’an, kosa kata Allah serta seluruh nama dan sifat-Nya yang khusus bagi-Nya. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[3] begitu juga nama para nabi dan imam maksum as.
b. Memasuki Masjidil Haram dan masjid Nabi saw., meskipun hanya melintas saja.
c. Diam di dalam selain kedua masjid tersebut. Bahkan sekadar memasukinya jika ia tidak berjalan atau tidak ingin mengambil sesuatu dari dalamnya. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[4] makam suci para imam maksum as. juga diikutkan dalam hukum ini.
d. Meletakkan sesuatu dalam masjid, meskipun ia meletakkannya dari luar.
e. Membaca[5] surah ‘Azâ’im yang berjumlah empat surah, meskipun hanya sebagiannya, dan bahkan basmalah-nya[6] saja bila ia berniat ingin membaca surah ‘Azâ’im tersebut.
Empat surah ‘Azâ’im itu adalah surah Al-‘Alaq, An-Najm, Alif Lâm Mîm Tanzîl, dan Ha Mîm As-Sajdah.
Masalah 80: Hal-hal yang dimakruhkan atas orang yang junub adalah berikut ini:
a. Makan dan minum.
b. Membaca lebih dari tujuh ayat selain surah ‘Azâ’im.
c. Menyentuh selain tulisan Al-Qur’an, seperti sampulnya.
d. Tidur.
e. Memakai daun pacar.
f. Melakukan jimak, meskipun ia telah junub karena bermimpi.
1.1. Kewajiban-Kewajiban Mandi Jenabah
Masalah 81: Mandi jenabah memiliki beberapa kewajiban berikut ini:
a. Niat; seluruh syarat yang telah dipaparkan pada pembahasan niat wudu juga harus dipenuhi dalam niat mandi.
b. Membasuh kulit bagian luar dan tidak cukup kita membasuh selain kulit. Oleh karena itu, kita harus menghilangkan penghalang sampainya air ke kulit dan menyampaikan air ke bagian bawah rambut. Tetapi kita tidak wajib membasuh bagian dalam mata, hidung, dan organ tubuh lainnya. Ya, berdasarkan ihtiyâth wajib,[7] kita harus membasuh bagian tubuh yang diragukan apakah termasuk bagian dalam atau bagian luar tubuh, sebagaimana ihtiyâth wajib[8] adalah membasuh rambut secara mutlak; (baik rambut panjang maupun rambut pendek).
c. Membasuh seluruh badan secara berurutan apabila kita mandi jenabah secara tartîbî yang memang lebih utama daripada mandi jenabah secara irtimâsî. Maksud berurutan di sini adalah kita membasuh seluruh kepala termasuk leher dan juga membasuh sebagian tubuh sebagai mukadimah (supaya kita yakin bahwa seluruh kepala telah terbasuh). Kemudian kita membasuh seluruh bagian kanan tubuh[9] sembari membasuh sebagian tubuh sebelah kiri dan leher sebagai mukadimah. Setelah itu, kita membasuh seluruh bagian kiri tubuh sambil membasuh sebagian tubuh sebelah kanan dan leher sebagai mukadimah. Aurat dan pusar juga harus dibagi menjadi dua bagian; bagian yang kanan dibasuh pada saat kita membasuh bagian kanan tubuh kita dan bagian yang kiri dibasuh ketika kita membasuh bagian kiri tubuh kita.
Pada saat membasuh setiap bagian tubuh itu, kita tidak harus membasuhnya secara berurutan.
Masalah 82: Menurut pendapat yang zhâhir, mandi jenabah secara iritmâsî bisa terwujud dengan kita memasukkan seluruh tubuh ke dalam air secara perlahan-lahan. Dan yang wajib berdasarkan ihtiyâth[10] adalah seluruh tubuh kita harus berada di dalam air dalam satu waktu.
Masalah 83: Jika kita yakin setelah usai mandi bahwa air tidak sampai ke sebagian tubuh kita, maka kita harus mengulangi mandi bila kita mandi jenabah secara irtimâsî. Akan tetapi, jika kita mandi jenabah secara tartîbî dan bagian tubuh yang belum terbasuh itu terdapat di bagian kiri tubuh kita, maka kita cukup membasuh bagian tubuh yang belum terbasuh itu meskipun mandi kita telah lama usai. Jika bagian tubuh itu terdapat di bagian kanan tubuh kita, maka kita harus membasuh bagian tubuh yang belum terbasuh itu saja dan mengulangi membasuh bagian kiri tubuh kita.[11] Dan jika bagian tubuh itu terdapat di kepala, maka kita harus membasuh bagian tubuh yang belum terbasuh itu saja dan mengulangi membasuh bagian kanan dan kiri tubuh kita.
Masalah 84: Dalam mandi jenabah secara tartîbî, kita tidak wajib mandi secara berkesibambungan (muwâlât).
d. Air harus mutlak, suci, dan mubah. Bahkan berdasarkan ihtiyâth, tempat mandi, saluran air, dan bejena air juga harus mubah, meskipun ketiadaan syarat ini juga memiliki dalil.[12]
e. Kita harus mandi sendiri bila kita tidak terpaksa.
Masalah 85: Jika kita bermaksud tidak ingin membayar ongkos mandi kepada penjaga kamar mandi umum, kita berniat akan membayar ongkos mandi itu dari uang haram, atau kita berniat ingin membayarnya di kemudian hari tanpa kerelaan penjaga kamar mandi itu, maka mandi jenabah kita batal, meskipun kita berhasil meminta kerelaannya setelah itu.
Masalah 86: Jika kita mandi jenabah lantaran keluar sperma dan kemudian setetes cairan yang diragukan apakah sperma dan air kencing keluar dari kemaluan kita, maka cairan itu dihukumi sperma bila kita belum ber-istibrâ’ dengan kencing (setelah sperma itu keluar). Oleh karena itu, kita hanya wajib mandi jenabah saja. Jika kita telah kencing (setelah sperma itu keluar), tetapi belum ber-istibrâ’ dengan cara mengurut kemaluan kita setelah kencing itu, maka cairan itu dihukumi air kencing. Oleh karena itu, kita hanya wajib berwudu saja. Jika kita telah ber-istibrâ’ dengan kencing dan juga dengan mengurut kemaluan kita, tetapi kita memberi kemungkinan bahwa cairan itu bukan air kencing dan bukan juga sperma,[13] maka kita tidak memiliki kewajiban apapun. Apabila kita tidak memiliki kemungkinan seperti itu, dan kita telah melakukan kedua istibrâ’ tersebut sebelum mandi jenabah,[14] lalu cairan itu keluar setelah mandi jenabah usai, maka kita harus ber-ihtiyâth[15] dengan mandi dan berwudu sekaligus. Tetapi apabila kita telah melakukan kedua istibrâ’ itu setelah mandi jenabah usai, kemudian cairan itu keluar, maka kita cukup berwudu saja.[16]
Masalah 87: Mandi jenabah dapat mencukupi wudu untuk setiap amalan yang memiliki syarat wudu.[17]
Masalah 88: Jika kita memiliki beberapa jenis mandi, baik mandi wajib, sunah, maupun campuran antara mandi wajib dan mandi sunah, lalu kita meniatkan seluruh mandi itu dengan sekali mandi, maka mandi kita itu sah dan—secara mutlak—sudah mencukupi seluruh mandi tersebut. Jika di antara mandi yang kita miliki itu terdapat mandi jenabah, maka kita tidak perlu berwudu lagi untuk mengerjakan amalan yang memiliki syarat wudu. Jika tidak terdapat mandi jenabah, maka kita harus berwudu sebelum atau sesudah mandi (bila ingin mengerjakann amalan tersebut). Akan tetapi, jika kita tidak meniatkan seluruh mandi itu, maka isykâl mandi yang telah kita lakukan itu dapat mencukupi seluruhnya, dan ihtiyâth dalam hal ini jangan kita tinggalkan.[18] Ya, tidak jauh (lâ yab‘ud) bila niat mandi jenabah dapat mencukupi seluruh mandi itu. Tetapi tidak selayaknya ihtiyâth dengan meniatkan seluruh mandi itu kita tinggalkan.
2. Mandi Haid
Darah haid berwarna merah kehitam-hitaman atau berwarna merah segar yang disertai dengan tekanan, rasa pedih, dan panas. Sedangkan darah istihadah memiliki sifat-sifat yang sebaliknya dengan sifat-sifat darah haid. Seluruh sifat ini adalah sifat-sifat yang biasanya dimiliki oleh kedua jenis darah itu.
Darah yang dialami oleh seorang anak perempuan sebelum ia genap berusia sembilan tahun bukan darah haid, meskipun darah itu memiliki sifat-sifat darah haid. Apakah darah ini adalah darah istihadah, lantaran ia tidak akan mengalami jenis darah lain selain darah istihadah itu? Hal ini masih diragukan (taraddud), meskipun tidak jauh (lâ yab‘ud) bila darah itu adalah darah istihadah. Begitu juga halnya dengan darah yang dialami oleh seorang wanita setelah ia memasuki masa menopause.
Masa menopause seorang wanita adalah usia enam puluh (60) tahun bila ia berkebangsaan Quraisy dan lima puluh (50) tahun bila ia berkebangsaan non-Quraisy.
Masalah 89: Darah haid bisa dialami oleh wanita yang menyusui. Apakah darah haid bisa dialami oleh wanita yang sedang hamil atau tidak? Terdapat dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang lebih kuat adalah bisa.
Masalah 90: Jika darah haid telah keluar ke bagian luar kemaluan meskipun dengan jalan dikeluarkan dengan menggunakan jari atau lainnya, maka hukum-hukum darah haid berlaku, sekalipun darah haid itu berukuran sebesar ujung jarum. Begitu juga seorang wanita masih tetap menjalani masa haid bila bagian dalam kemaluannya masih mengandung darah sekalipun sedikit.
Akan tetapi, jika darah haid telah keluar dari tempatnya ke ruang kemaluan sehingga bisa dikeluarkan, tetapi darah itu tidak keluar ke bagian luar kemaluan, maka ihtiyâth dengan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan atas wanita yang sedang haid dan mengerjakan segala sesuatu yang harus dikerjakan oleh wanita suci jangan ditinggalkan.[19]
Masalah 91: Jika seorang wanita tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah luka yang ada di ruang kemaluannya, maka tidak jauh (lâ yab‘ud) bila ia wajib menguji; bila darah itu keluar dari sebelah kiri, maka darah itu adalah darah haid, dan bila darah itu keluar dari sebelah kanan, maka darah itu adalah darah luka.
Masalah 92: Minimal masa haid adalah tiga hari dan maksimalnya—seperti minimal masa suci—adalah sepuluh hari. Menurut pendapat yang lebih kuat, darah haid harus keluar secara berturut-turut (mutawâlî) selama tiga hari itu, dan tidak cukup darah itu keluar selama tiga hari dalam tempo sepuluh hari itu. Jika darah itu keluar secara tidak berturut-turut (selama tiga hari pertama), maka ihtiyâth dengan mengerjakan kedua kewajiban itu tidak layak ditinggalkan; seperti seorang wanita melihat darah selama satu atau dua hari, lalu darah itu berhenti, kemudian ia melihat darah lagi dalam tempo sepuluh hari itu sehingga jumlah tiga hari itu menjadi sempurna.
Masalah 93: Wanita yang mengalami haid diklasifikan dalam dua klasifikasi:
a. Wanita yang tidak memiliki kebiasaan:
• Wanita mubtadi’ah; yaitu wanita yang belum pernah mengalami haid sama sekali.
• Wanita Mudhtharibah; yaitu wanita yang telah menglami haid beberapa kali, tetapi ia belum memiliki kebiasaan haid yang tertentu.
• Wanita nâsiyah; yaitu wanita yang lupa kebiasaan haidnya.
b. Wanita yang memiliki kebiasaan; seorang wanita bisa memiliki sebuah kebiasaan haid bila ia telah mengalami haid sebanyak dua kali secara berturu-turut dan dalam waktu, dalam jumlah hari, atau dalam waktu dan jumlah hari haid yang sama. Atas dasar ini, wanita yang memiliki kebiasaan haid ini diklasifikan dalam tiga klasifikasi:
▪ Wanita yang memiliki kebiasaan dari sisi waktu haid.
▪ Wanita yang memiliki kebiasaan dari sisi jumlah hari haid.
▪ Wanita yang memiliki kebiasaan dari sisi waktu dan jumlah hari haid.
Berkenaan dengan dua wanita pertama di atas ini, ihtiyâth tidak layak ditinggalkan.
Masalah 94: Jika wanita yang memiliki kebiasaan dari sisi waktu haid melihat darah pada kebiasaannya dan sebelum itu, pada kebiasaannya dan setelah itu, atau pada kebiasaannya dan beberapa hari sebelum dan setelah itu, dan seluruh hari ia melihat darah itu tidak lebih dari sepuluh hari, maka ia harus menjadikan seluruh hari itu sebagai masa haid. Tetapi apabila seluruh hari ia melihat darah itu lebih dari sepuluh hari, maka masa haidnya adalah kebiasaannya saja dan selebihnya adalah darah istihadah.[20]
Masalah 95: Jika wanita yang memiliki kebiasaan haid melihat darah lebih dari kebiasaannya dan darah itu keluar tidak lebih dari sepuluh hari, maka seluruh darah itu adalah haid.
Masalah 96: Jika seorang wanita memiliki kebiasaan haid sekali dalam sebulan, dan ia melihat darah sebanyak dua kali pada suatu bulan setelah dipisah oleh minimal masa suci antara kedua darah itu, maka:
a. Jika salah satu darah itu keluar pada masa kebiasaannya, maka ia harus menjadikan darah itu sebagai darah haid. Begitu juga darah yang kedua apabila darah ini memiliki sifat-sifat darah haid. Jika darah yang kedua ini memiliki sifat-sifat darah istihadah, maka ia harus ber-ihtiyâth dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid dan mengerjakan hal-hal yang diwajibkan atas wanita yang suci.
b. Jika kedua darah itu keluar di luar masa kebiasaannya, maka ia harus menjadikan kedua darah itu—secara mutlak—sebagai darah haid.
Masalah 97: Jika darah wanita mubtadi’ah, mudhtharibah, dan wanita yang memiliki kebiasaan selama sepuluh hari berhenti sebelum sepuluh hari pada lahiriahnya, tetapi ada kemungkinan darah itu masih tersisa di dalam kemaluan mereka, maka mereka wajib ber-istibrâ’ dengan memasukkan kapas atau benda yang lain ke dalam kemaluan tersebut. Jika kapas itu keluar dalam kondisi bersih, maka mereka harus mandi dan mengerjakan salat. Tetapi jika kapas itu keluar dengan belepotan darah, meskipun darah itu berwarna kekuning-kuningan, maka mereka harus menunggu hingga mereka suci atau hingga sepuluh hari berlalu.
Jika darah itu keluar tidak lebih dari sepuluh hari, maka seluruh darah itu adalah haid.
Masalah 98: Jika darah haid keluar lebih dari sepuluh hari, baik banyak maupun sedikit, maka masa haid seorang wanita telah bercampur dengan masa sucinya. Dengan demikian:
a. Jika ia memiliki kebiasaan yang pasti dari sisi waktu dan jumlah hari haid, maka ia harus menjadikan kebiasaan itu sebagai masa haid dan selebihnya adalah istihadah.
b. Jika ia tidak memiliki kebiasaan yang pasti, baik dari sisi jumlah hari maupun waktu haid, lantaran ia adalah wanita mubtadi’ah, mudhtharibah dari sisi waktu dan jumlah hari haid, atau nâsiyah juga dari sisi waktu dan jumlah hari haid, maka:
▪ Apabila warna darah itu berbeda-beda, maka ia harus memilah-milahnya; ia harus menjadikan darah yang memiliki sifat-sifat darah haid sebagai darah haid dan darah yang memiliki sifat-sifat darah istihadah sebagai darah istihadah. Hal ini dengan syarat: (1) darah yang memiliki sifat-sifat darah haid itu keluar tidak kurang dari tiga hari dan tidak lebih dari sepuluh hari dan (2) darah setelahnya yang juga memiliki sifat-sifat darah haid tidak bertentangan dengan darah tersebut. Hal ini bisa terjadi apabila darah yang tidak memiliki sifat-sifat darah haid yang kurang dari sepuluh hari menjadi pemisah antara kedua darah itu.
▪ Apabila darah itu memiliki satu warna, maka ia tidak bisa memilah-milahnya. Dalam kondisi seperti, jika ia tidak memiliki kerabat wanita yang memiliki kebiasaan haid yang sama, maka berdasarkan ihtiyâth—jika bukan berdasarkan pendapat yang lebih kuat—ia harus menjadikan tujuh hari dari setiap bulan sebagai masa haid, dan selebihnya adalah istihadah. Tetapi, jika kerabat wanita itu masih ada dan memiliki kebiasaan haid yang sama, maka wanita mubtadi’ah harus mengikuti kebiasaan mereka.
Masalah 99: Berdasarkan ihtiyâth—jika bukan berdasarkan pendapat yang lebih kuat, wanita yang tidak bisa memilah-milah darahnya karena berwarna sama harus menjalani masa haid dari sejak hari pertama ia melihat darah. Jika kerabat wanita yang telah disebutkan pada masalah di atas itu tidak ada, maka ia harus menjalani masa haid selama tujuh hari.
2.1. Hukum-Hukum Wanita Haid
Wanita yang sedang haid memiliki beberapa hukum, antara lain:
a. Ia tidak boleh mengerjakan salat, puasa, dan tawaf.
b. Ia haram mengerjakan segala sesuatu yang diharamkan atas orang yang berhadas, seperti telah dijelaskan pada pembahasan wudu.
c. Ia haram melakukan segala sesuatu yang diharamkan atas orang yang junub, seperti telah dipaparkan sebelum ini.
d. Ia haram melakukan hubungan suami istri melalui vagina, bagi dia sendiri dan bagi orang laki-laki. Akan tetapi, ia boleh menikmati seluruh jenis kenikmatan yang lain seperti ciuman dan lain sebagainya. Setelah suci, ia boleh melakukan hubungan suami istri sekalipun ia belum mandi wajib. Meskipun hal ini adalah makruh. Bahkan ia boleh melakukan hubungan suami istri sebelum ia mencuci vaginanya, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia meninggalkan hubungan suami istri sebelum vaginanya dicuci.[21]
e. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[22] melakukan hubungan suami istri dengan wanita yang sedang haid mewajibkan kafarah. Kafarah melakukan hubungan suami istri ini adalah 1 dinar[23] bila terjadi di permulaan haid, ½ dinar bila terjadi pertengahan haid, dan ¼ dinar bila terjadi di penghujung haid. Dan wanita itu tidak wajib membayar kafarah, meskipun ia rela dengan hubungan suami istri itu.
Maksud dari permulaan haid adalah sepertiga pertama masa haid, pertengahan haid adalah sepertiga kedua masa haid, dan penghujung haid adalah sepertiga terakhir masa haid.
f. Talak yang dilakukan atas wanita yang sedang haid adalah batal, bila ia pernah disetubuhi, tidak hamil, dan suaminya hadir di tempat atau memiliki hukum seperti orang yang hadir di tempat sehingga—meskipun tidak berada di sisi sang istri—sang suami dapat mencari berita tentang istrinya itu dengan mudah.
g. Jika darah haid seorang wanita telah tuntas, maka ia wajib mandi pada saat ingin mengerjakan amalan yang memerlukan syarat kesucian dari hadas besar.
h. Puasa wajib yang tidak dikerjakan oleh wanita yang sedang haid wajib diqadha. Begitu juga salat wajib selain salat wajib harian, karena salat wajib harian tidak wajib diqadha.
Masalah 100: Jika wanita yang sedang haid telah suci sebelum waktu salat usai, dan ia masih memiliki waktu untuk mengerjakan satu rakaat salat dengan seluruh syaratnya, maka ia wajib mengerjakan salat secara adâ’. Jika ia tidak mengerjakannya secara adâ’, maka ia wajib mengqadhanya. Jika ia masih memiliki waktu untuk mengerjakan salat sebanyak lima rakaat ketika ia tidak bepergian atau memiliki waktu untuk mengerjakan tiga rakaat ketika ia sedang bepergian, maka ia wajib mengerjakan dua salat. Ini semua untuk salat Zhuhur dan Ashar. Adapun untuk salat Maghrib dan Isya’, jika waktu yang tersisa kurang dari empat rakaat salat, baik ia sedang bepergian maupun tidak, maka ia hanya wajib mengerjakan salat Isya’ dan kewajiban salat Maghrib gugur darinya.
Masalah 101: Wanita yang sedang haid sunah mengganti kapas pembalut (softex), lalu berwudu pada setiap waktu salat dan duduk selama waktu yang ia perlukan untuk mengerjakan salat dengan menghadap ke arah Kiblat dan berzikir kepada Allah swt.
3. Mandi Istihadah
Pada umumnya, darah istihadah berwarna kuning, dingin, lembut, dan keluar tanpa tekanan, rasa sakit, dan pedih. Darah istihadah kadang-kadang juga memiliki sifat-sifat darah haid, seperti telah dipaparkan sebelum ini. Darah istihadah tidak memiliki batas minimal dan tidak juga batas maksimal.
Darah istihadah diklasifikasikan dalam tiga kategori:
a. Darah istihadah sedikit; darah istihadah sedikit terjadi bila kapas pembalut wanita berlumuran darah, tapi darah itu tidak meresap ke bagian dalam kapas dan juga tidak menembus ke bagian luarnya. Hukum darah istihadah sedikit adalah wanita yang sedang mengalami darah istihadah harus berwudu bila ingin mengerjakan setiap salat dan mencuci kemaluannya bila berlumuran darah. Dan berdasarkan ihtiyâth,[24] ia harus mengganti atau menyucikan kapas pembalut tersebut.
b. Darah istihadah sedang; darah istihadah sedang terjadi bila darah itu meresap ke bagian dalam kapas pembalut dan menembus ke bagian luarnya, tapi tidak mengalir hingga mengenai kain yang berada di atasnya. Hukum darah istihadah sedang—di samping kewajiban di atas—adalah ia harus mandi sekali untuk mengerjakan salat Shubuh. Bahkan berdasarkan pendapat yang lebih kuat, ia harus mandi untuk mengerjakan setiap salat yang darah istihadah itu keluar sebelum atau di pertengahan salat tersebut.
c. Darah istihadah banyak; darah istihadah banyak terjadi bila darah itu mengalir hingga mengenai kain yang berada di atas kapas pembalut. Hukum darah istihadah banyak—di samping kewajiban tersebut di atas[25] dan juga di samping kewajiban mengganti atau menyucikan kain yang berada di atas kapas pembalut tersebut—adalah ia harus mandi juga untuk mengerjakan salat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak, dan satu mandi lagi untuk mengerjakan salat Maghrib dan Isya’ dengan dijamak. Ya, jika darah istihadah itu keluar setelah salat Shubuh, maka ia hanya wajib mandi sebanyak dua kali pada hari itu: satu mandi untuk salat Zhuhur dan Ashar dan satu mandi lagi untuk salat Maghrib dan Isya’. Jika darah istihadah itu keluar setelah salat Zhuhur dan Ashar, maka ia hanya wajib mandi sekali saja untuk mengerjakan salat Maghrib dan Isya’.
Masalah 102: Menjamak antara dua salat tersebut hanyalah sebuah keringanan (rukhshah), bukan kewajiban (‘azîmah). Oleh karena itu, jika wanita yang sedang mengalami darah istihadah tidak menjamak salat, maka ia wajib mandi pada setiap kali ingin mengerjakan salat. Ya, ia wajib segera mengerjakan salat setelah usai wudu dan mandi bila darah istihadahnya tidak berhenti setelah mandi dan wudu itu, sebagaimana ia juga wajib—berdasarkan ihtiyâth[26]—menguji dirinya demi mengetahui darah istihadah itu termasuk kategori darah istihadah yang mana.
Masalah 103: Setelah wudu dan mandi, wanita yang sedang mengalami darah istihadah wajib mencegah darah itu supaya tidak keluar lagi. Hal ini asalkan ia tidak khawatir tindakan ini dapat membahayakan dirinya. Jika darah itu keluar karena ia teledor tidak mencegah darah tersebut, maka ia harus mengulangi salat. Bahkan berdasarkan ihtiyâth—bila bukan berdasarkan pendapat yang lebih kuat, ia juga harus mengulangi mandi dan wudu.[27]
Masalah 104: Jika darah istihadah berubah dari kategori yang lebih rendah menjadi darah istihadah dalam kategori yang lebih tinggi, maka ia harus menetapkan darah istihadah untuk kategori yang lebih tinggi dari sejak perubahan itu terjadi, sekalipun perubahan itu terjadi di pertengahan salat. Jika darah istihadah berubah dari kategori yang lebih tinggi menjadi darah istihadah dalam kategori yang lebih rendah, maka ia harus mengerjakan kewajiban darah istihadah dalam kategori yang lebih tinggi untuk mengerjakan satu salat, dan untuk selanjutnya ia mengerjakan kewajiban darah istihadah dalam kategori yang lebih rendah tersebut.
Masalah 105: Secara mutlak, wanita yang sedang mengalami istihadah sedikit sah berpuasa. Adapun selain wanita ini, untuk kesahan puasanya disyaratkan mandi pada siang hari berdasarkan pendapat yang lebih kuat.[28] Dan untuk wanita yang sedang mengalami istihadah banyak, ihtiyâth[29] dengan mandi pada malam hari untuk malam sebelumnya jangan ditinggalkan.
Masalah 106: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, wanita yang sedang mengalami istihadah boleh diam di dalam masjid dan memasuki Masjidil Haram dan masjid Nabi saw. tanpa ia harus mandi terlebih dahulu. Meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya ia meninggalkan tindakan tersebut.
4. Mandi Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari seorang wanita lantaran melahirkan, baik darah itu keluar bersamaan dengan kelahiran bayi maupun setelahnya, sebelum masa sepuluh hari usai dari sejak ia melahirkan, meskipun bayi itu keguguran dan belum memiliki roh. Bahkan meskipun bayi itu masih berbentuk gumpalan darah atau gumpalan daging, asalkan kita tahu bahwa gumpalan darah dan daging itu adalah asal muasal pertumbuhan bayi tersebut.
Maksimal masa nifas adalah sepuluh hari dan dihitung dari sejak bayi keluar dan terpisah, bukan dari sejak wanita itu mulai melahirkan. Masa nifas tidak memiliki kadar minimal. Oleh karena itu, nifas terjadi dengan ia melihat darah walaupun sekejap, asalkan sebelum masa sepuluh hari itu usai.
Masalah 107: Jika seorang wanita melihat darah nifas selama sepuluh hari dan darah itu berlanjut hingga lebih dari sepuluh hari, dan ia memiliki kebiasaan dari sisi jumlah hari haid, maka ia harus menjalankan kebiasaan haidnya dalam menjalankan masa nifas ini, baik kebiasaan haidnya itu berjumlah sepuluh hari maupun kurang dari itu. Tetapi jika ia tidak memiliki kebiasaan haid, maka ia harus menjadikan sepuluh hari itu sebagai masa nifas, dan untuk selanjutnya ia harus melakukan kewajiban yang harus dilakukan oleh wanita yang sedang istihadah. Hanya saja, ihtiyâth dengan melakukan kewajiban wanita yang sedang nifas dan wanita yang sedang istihadah hingga delapan belas hari tidak layak ditinggalkan.
Masalah 108: Disyaratkan adanya pemisah minimal masa suci; yaitu sepuluh hari, antara masa nifas dan masa haid berikutnya. Adapun antara masa nifas dan masa haid sebelumnya, berdasarkan pendapat yang lebih kuat pemisah minimal masa suci itu tidak disyaratkan.
Masalah 109: Jika darah nifas sudah berhenti pada lahiriahnya saja, maka wanita itu wajib menguji. Jika darah nifas betul-betul sudah tuntas, maka ia wajib mandi ketika ingin mengerjakan amalan yang memiliki syarat mandi besar, sebagaimana kewajiban yang harus dilakukan oleh wanita yang sedang haid.
Masalah 110: Hukum wanita yang sedang nifas adalah sama dengan hukum wanita yang sedang haid. Oleh karena itu, wanita yang sedang nifas tidak boleh disetubuhi, tidak sah diceraikan, haram salat dan berpuasa, wajib mengqadha puasa bukan salat, dan lain sebagainya seperti telah dipaparkan sebelum ini.[30]
5. Mandi Lantaran Menyentuh Mayit
Mandi ini wajib lantaran kita menyentuh jenazah seorang manusia setelah seluruh tubuhnya menjadi dingin dan sebelum dimandikan secara sempurna. Jika mayit tidak bisa dimandikan, maka tayamum memiliki hukum yang sama dengan mandi, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab tayamum (dalam masalah ini) tidak bisa disamakan dengan mandi. Ya, sentuhan rambut tidak mewajibkan mandi lantaran menyentuh mayit, baik rambut kita yang menyentuh tubuh mayit maupun kita yang menyentuh rambut mayit.[31]
Potongan tubuh[32] yang terpisah dari orang yang masih hidup memiliki hukum seperti mayit dan menyentuh potongan tubuh ini mewajibkan mandi lantaran menyentuh mayit. Hal ini apabila potongan tubuh itu memiliki tulang. Berdasarkan ihtiyâth mustahab,[33] tulang yang tidak berdaging juga memiliki hukum yang sama dengan potongan daging yang bertulang, meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat tulang itu tidak memiliki hukum yang sama.
Masalah 111: Jika kita menyentuh mayit dan kita ragu apakah kita telah menyentuhnya sebelum tubuh mayit itu telah menjadi dingin atau setelah itu, maka kita tidak wajib mandi. Berbeda halnya apabila kita ragu apakah kita telah menyentuhnya setelah mayit itu dimandikan atau sebelum itu, maka kita wajib mandi lantaran menyentuh mayit.
Masalah 112: Berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang kuat, menyentuh mayit dapat membatalkan wudu.
Masalah 113: Berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang kuat, kita wajib mandi lantaran menyentuh mayit ketika kita ingin mengerjakan amalan yang memerlukan syarat kesucian dari hadas kecil. Dan berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang kuat juga, mandi lantaran menyentuh mayit adalah syarat untuk amalan yang memerlukan syarat kesucian, seperti menyentuh tulisn Al-Qur’an. Ya, kita boleh memasuki masjid dan membaca surah ‘Azâ’im meskipun kita belum mandi. Dengan demikian, menyentuh mayit tidak berbeda dengan hadas kecil. Hanya saja, menyentuh mayit mewajibkan mandi ketika kita ingin mengerjakan salat dan kewajiban-kewajiban yang lain.[34]
Masalah 114: Menyentuh mayit secara berulang-ulang tidak mewajibkan pengulangan mandi, sebagaimana halnya hadas-hadas yang lain.
6. Hukum Mayit
Jika seorang muslim sedang menghadapi sakaratul maut (ihtidhâr), maka berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang kuat[35] ia wajib secara kifâyah dihadapkan ke arah Kiblat.[36] Berdasarkan ihtiyâth, hal ini harus dilakukan selama ia belum dipindah dari tempat ia menghadapi sakaratul maut itu, dan (setelah itu) ia tidak wajib lagi dihadapkan ke arah Kiblat dalam seluruh kondisi hingga ia usai dimandikan. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya ia tetap dihadapkan ke arah Kiblat dalam seluruh kondisi tersebut.
Pada saat menghadapi sakaratul maut itu, sunah kita menalkinkan dua kalimat syahadah, pengakuan atas dua belas imam, dan kalimat Al-Faraj kepadanya. Kalimat Al-Faraj tersebut adalah berikut ini:
لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ السَّبْعِ وَ رَبُّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا فِيْهِنَّ وَمَا بَيْنَهُنَّ وَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ
Begitu juga sunah kita menutup matanya, mengatupkan mulutnya, mengikat kedua rahangnya (sehingga mulutnya tidak terbuka), menjulurkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya, menjulurkan kakinya, memberitahukan kepada mukminin (tentang kematiannya), dan segera kita mempersiapkan ritual pamakamannya, kecuali bila kematiannya meragukan; maka kita harus menunggu hingga kita memperoleh keyakinan tentang kematiannya.
6.1. Memandikan Mayit
Kita wajib secara kifâyah memandikan mayit seorang muslim. Begitu juga kita wajib memandikan bayi yang mengalami keguguran, asalkan ia telah berusia genap empat bulan.[37]
Masalah 115: Jika sebuah potongan tubuh terpisah dari mayit sebelum ia dimandikan, maka:
a. Apabila potongan tubuh itu tidak bertulang, maka potongan tubuh tersebut tidak wajib dimandikan. Berdasarkan ihtiyâth wajib, potongan tubuh ini harus dibungkus dengan sehelai kain dan lantas dikuburkan.[38]
b. Jika potongan tubuh itu bertulang, tapi tidak berasal dari bagian dada mayit, maka potongan tubuh tersebut harus dimandikan dan lantas dikuburkan setelah dibungkus dengan sehelai kain.
c. Jika potongan tubuh itu hanyalah tulang dan tidak berdaging, maka tulang tak berdaging ini memiliki hukum yang sama dengan potongan tubuh yang bertulang dan tidak berasal dari bagian dada tersebut dari sisi kewajiban dikuburkan saja. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, tulang tak berdaging ini juga memiliki hukum yang sama dari sisi kewajiban dimandikan, meskipun ketidaksamaan hukum dari sisi ini adalah pendapat yang kuat.
d. Jika potongan tubuh itu adalah dada atau sebagian dada yang menjadi tempat hati, maka potongan tubuh tersebut harus dimandikan, dikafani, disalati, dan lantas dikuburkan.
Masalah 116: Memandikan mayit sebagaimana mengafani dan menyalatinya adalah wajib kifâyah atas seluruh mukalaf. Jika sebagian dari mereka telah memandikannya, maka kewajiban itu gugur dari pundak mukalaf yang lain. Ya, jika wali mayit ingin memandikannya sendiri atau menentukan seseorang untuk memandikannya, maka keinginannya itu tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan jika pihak ketiga ingin memandikan mayit, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat memandikan ini disyaratkan harus seizin wali.
Masalah 117: Wali yang tidak boleh diganggu-gugat atau harus dimintai izin itu adalah seluruh ahli waris mayit, baik lantaran hubungan nasab maupun sebab. Hak kewalian mereka ini berurutan sesuai urutan peringkat warisan (thabaqât al-irts). Ya, suami lebih berhak atas istrinya daripada seluruh kerabat istri yang lain.
Masalah 118: Orang yang memandikan mayit disyaratkan harus memiliki kelamin yang sama dengan mayit, kecuali bila mayit itu adalah anak kecil yang usianya tidak lebih dari tiga tahun.
Masalah 119: Orang yang memandikan mayit harus seorang muslim. Bahkan dalam kondisi tidak terpaksa, ia harus bermazhab Syi‘ah Imamiah.
Masalah 120: Jika orang yang berkelamin sama dengan mayit tidak ditemukan, meskipun seorang ahli kitab, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kewajiban memandikan mayit gugur.
Masalah 121: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[39] orang yang memandikan mayit harus sudah balig. Oleh karena itu, jika seorang anak kecil memandikan mayit, maka hal ini tidak cukup, meskipun ia sudah mumayyiz.
6.1.1. Tata Cara Memandikan Mayit
Pertama kali, kita harus menghilangkan seluruh benda najis yang menempel di tubuh mayit. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita cukup membasuh setiap anggota tubuhnya sebelum ia dimandikan.
Kita harus memandikan mayit dengan tiga kali mandi:
a. Menggunakan air yang telah dicampur dengan daun bidara.
b. Menggunakan air yang telah dicampur dengan kapur barus.
c. Menggunakan air murni.
Cara memandikan mayit pada ketiga kali memandikan itu adalah seperti cara mandi jenabah. Tetapi berdasarkan ihtiyâth wajib,[40] memandikan mayit secara irtimâsî tidak mencukupi. Ya, kita boleh mencelupkan setiap bagian dari ketiga bagian tubuh mayit; yaitu kepala dan leher, bagian tubuh sebelah kanan, dan bagian tubuh sebelah kiri, ke dalam air yang banyak dengan tetap memperhatikan urutan-urutan mandi yang harus dijaga.
Masalah 122: Daun bidara dan kapur barus harus berukuran sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa air telah dicampur dengan kedua benda tersebut. Tetapi kemutlakan air itu harus tetap dijaga. Jika salah satu atau kedua campuran itu tidak bisa ditemukan, maka berdasarkan pendapat yang kuat kita harus memandikan mayit dengan menggunakan air murni sembari meniatkan air tersebut sebagai ganti dari campuran yang tidak bisa ditemukan itu. Lebih dari itu, kita juga harus menjaga urutan memandikan mayit tersebut di atas dengan niat kita.
Masalah 123: Jika air tidak bisa ditemukan, maka kita harus melakukan tayamum terhadap mayit sebanyak tiga kali sebagai ganti dari ketiga mandi tersebut secara berurutan. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya melakukan tayamum sekali sebagai ganti dari seluruh mandi tersebut, meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat tayamum ini tidak wajib. Begitu juga kita harus melakukan tayamum terhadap mayit itu jika kita khawatir kulitnya akan berserakan bila ia dimandikan, seperti bila kulitnya terbakar atau sedang menderita penyakit cacar air.
Masalah 124: Ihtiyâth dengan bertayamum dengan menggunakan tangan orang yang masih hidup dan juga dengan tangan mayit itu sendiri bila memungkinkan jangan ditinggalkan, meskipun tayamum hanya dengan menggunakan tangan mayit itu sendiri bila memungkinkan sudah mencukupi.[41]
Masalah 125: Jika mayit sedang berada dalam kondisi ihram, maka ia tetap harus dimandikan dengan tiga kali mandi sebagaimana mayit yang tidak sedang berihram. Akan tetapi, air untuk mandi yang kedua tidak boleh dicampur dengan kapur barus, kecuali ia meninggal dunia setelah bertahalul (taqshîr) dalam ibadah umrah dan setelah melakukan sai dalam ibadah haji.
Masalah 126: Jika seorang mayit dikuburkan tanpa dimandikan terlebih dahulu sekalipun karena lupa, maka kuburannya harus dibongkar demi memandikannya, asalkan pembongkaran kuburan itu tidak mengandung halangan, seperti penghinaan terhadap kehormatan mayit atau kesulitan (haraj). Begitu juga halnya apabila terbukti setelah penguburan usai bahwa cara memandikan mayit itu batal.
Masalah 127: Kita tidak boleh memungut upah untuk memandikan mayit, kecuali apabila upah itu dijadikan sebagai ongkos untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak wajib.
Masalah 128: Pada saat memandikan mayit, beberapa hal berikut ini adalah sunah:
• Mayit dibaringkan di atas ranjang kayu khusus buatan India atau ranjang yang lain.
• Mayit dimandikan di bawah atap.
• Mencuci tangan mayit hingga pertengahan hasta sebelum ia dimandikan. Dan juga membasuh kepalanya dengan busa air daun bidara atau bunga hollyhock.
• Memijat perut mayit dengan lembut pada dua mandi pertama, kecuali bila mayit itu adalah wanita yang sedang hamil.
• Mengeringkan tubuh mayit setelah ia usai dimandikan, dan lain sebagainya.
6.2. Mengafani Mayit
Mengafani mayit sebagaimana memandikannya adalah wajib kifâyah. Kafan mayit yang wajib adalah tiga helai kafan:
a. Kafan yang dipotong seperti sarung yang menutupi bagian tubuh mayit dari pusar hingga lutut.
b. Kafan yang dipotong seperti baju gamis. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[42] kafan ini harus menutupi tubuh mayit—minimal—hingga pertengahan betis.
c. Kafan yang dipotong berbentuk jubah yang menutupi seluruh tubuh mayit. Dengan ini, ukuran panjang kafan ini harus melebihi tinggi tubuh mayit. Tetapi lebarnya harus berukuran sedemikian rupa sehingga kedua sisinya dapat diletakkan di atas sisi yang lain.
Jika kafan tidak bisa ditemukan kecuali seukuran yang dapat menutupi aurat saja, maka kafan ini juga wajib.
Masalah 129: Kita tidak boleh mengafani mayit dengan menggunakan kain-kain kafan berikut ini:
a. Kain kafan hasil gasab meskipun dalam kondisi terpaksa.
b. Kain kafan yang terbuat dari sutera murni meskipun mayit adalah anak kecil dan wanita.
c. Kain kafan yang terbuat dari kulit bangkai.
d. Kain kafan yang najis.
e. Kain kafan yang terbuat dari kulit atau bulu binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan. Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib juga kafan yang terbuat dari kulit binatang yang dagingnya boleh dimakan.[43]
Ya, semua kain kafan tersebut—kecuali kain kafan hasil gasab—boleh digunakan dalam kondisi terpaksa.
Masalah 130: Jika kain kafan menjadi najis sebelum mayit diletakkan di dalam kubur, maka benda najis itu harus dihilangkan.
Masalah 131: Biaya membeli kain kafan—kecuali kadar kafan yang telah dikecualikan—diambilkan dari pokok harta warisan dalam kadar kain yang lumrah dan sesuai dengan kedudukan sosialnya. Biaya kain kafan ini harus lebih didahulukan dari utang dan tanggungan-tanggungan mayit yang lain. Seluruh biaya persiapan pemakaman (tajhîz) yang lain juga harus diambilkan dari harta warisan. Berkenaan dengan biaya yang lebih dari kadar biaya yang wajib, kita tidak selayaknya meninggalkan ihtiyâth, tapi tetap dengan memperhatikan kondisi sosial mayit supaya tidak menyebabkan kehinaan baginya.
Masalah 132: Kain kafan dan seluruh biaya persiapan pemakaman seorang istri ditanggung oleh suaminya, meskipun istri itu kaya. Ya, jika seseorang siap menanggung kafannya dan hal ini bukan kehinaan bagi istri itu, maka suami tidak wajib menanggung biaya kafannya. Jika suami itu miskin, maka kafan istri tersebut dipungut dari harta peninggalan dirinya.
6.3. Tahnîth
Berdasarkan pendapat yang lebih sahih (ashahh), tahnîth adalah wajib. Ya, kita tidak boleh men-tahnîth orang yang meninggal dunia dalam kondisi ihram. Tahnîth disyaratkan harus setelah mayit dimandikan atau ditayamumi. Dan berdasarkan pendapat yang lebih kuat, tahnîth boleh dilakukan sebelum atau sesudah mengafani mayit, meskipun sebelum mengafani mayit adalah lebih utama.[44]
Tata cara men-tahnîth mayit adalah kita mengusapkan kapur barus ke tujuh anggota sujudnya. Dan kita sunah menambahkan ujung hidung ke dalam anggota sujud yang harus di-tahnîth itu, bahkan hal ini sesuai dengan ihtiyâth.[45]
Masalah 133: Kadar kapur barus yang wajib adalah sekadar ada (al-musammâ) di mana bisa dikatakan bahwa anggota sujud mayit telah diusap dengan kapur barus. Akan tetapi, yang lebih utama dan lebih sempurna adalah hendaknya kapur barus itu berbobot seberat 7 mitsqâl shairafî. Kita juga sunah mencampur kapur barus ini dengan sedikit turbah Imam Husain as. Tetapi, kita tidak boleh mengusapkannya ke bagian anggota tubuh yang merusak kehormatan turbah tersebut, seperti kedua ujung ibu jari kaki.
6.4. Adab dan Sunah-Sunah Menguburkan Mayit
Di antara sunah-sunah mu’akkad berkenaan dengan masalah ini adalah dua hal berikut ini:
a. Meletakkan dua ranting kayu yang masih segar bersama mayit. Yang lebih utama adalah pelepah kurma. Jika pelepah kurma tidak ada, maka ranting pohon bidara. Jika ranting pohon bidara tidak ada, maka ranting pohon willow. Jika ranting pohon willow tidak ada, maka ranting pohon delima. Jika ranting pohon delima tidak ditemukan, maka ranting setiap pohon yang masih segar.
Yang lebih baik, hendaknya ranting itu berukuran sepanjang tulang hasta. Dan yang lebih baik juga, hendaknya kita meletakkan salah satu ranting itu di sisi kanan tubuh mayit dan menempel ke kulitnya. Salah satu ujung ranting ini kita letakkan di atas tulang selangka. Dan ranting kedua kita letakkan di sisi kiri tubuh mayit di atas kafan yang dipotong seperti gamis dan di bawah kafan yang dipotong seperti jubah. Salah satu ujung ranting ini juga kita letakkan di atas tulang selangka.
b. Tasyyî‘ jenazah. Tasyyî‘ jenazah memiliki keutamaan yang banyak dan pahala yang besar. Sunah kita memikul jenazah dengan bahu dan berjalan di belakang atau di kedua sisi jenazah. Tapi makruh kita tertawa, bermain-main, dan bersenda-gurau.
6.5. Menyalati Mayit
Menyalati setiap mayit muslim adalah wajib kifâyah. Tetapi kita tidak wajib menyalati mayit anak kecil kecuali jika ia telah berusia 6 tahun. Kesunahan menyalati mayit anak kecil yang belum berusia 6 tahun adalah ta’ammul;[46] (yaitu ketetapan hukum sunah itu tidak bisa dibuktikan—pen.).
Kita tidak boleh menyalati mayit kafir dan seluruh klasifikasinya, meskipun orang yang murtad, serta semua golongan Islam yang memiliki hukum orang kafir, seperti kaum Nawâshib dan Khawârij. Seseorang yang ditemukan mati di negeri muslimin dan barang yang ditemukan di negara Islam diikutkan kepada muslimin.
Masalah 134: Waktu mengerjakan salat mayit adalah setelah ritual memandikan dan mengafani mayit usai. Kewajiban menyalati mayit tidak gugur meskipun kita tidak dapat memandikan, mengafani, dan menguburkan mayit.
Masalah 135: Orang yang mengerjakan salat mayit harus bermazhab Syi‘ah Imamiah. Ya, berdasarkan pendapat yang paling kuat, ia tidak harus sudah berusia balig. Tetapi, apakah salat yang telah dikerjakan oleh anak yang belum balig ini dapat memenuhi salat atas nama mukalaf yang sudah berusia balig? Ta’ammul.
Masalah 136: Jika mayit berwasiat supaya orang tertentu menyalati dirinya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib[47] wali mayit harus memberikan izin dan washî harus meminta izin (kepada wali).
Masalah 137: Salat mayit sunah didirikan secara berjamaah. Berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya syarat-syarat imam salat jamaah seperti keadilan dan lain sebagainya terpenuhi. Bahkan berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya syarat-syarat terbentuknya sebuah salat jamaah juga terpenuhi. Hanya saja, tidak jauh (lâ yab‘ud) bila syarat-syarat imam salat dan syarat-syarat terbentuknya sebuah salat jamaah itu tidak diharuskan, kecuali beberapa syarat yang berfungsi sebagai pembentuk sebuah salat jamaah secara ‘urfî.
6.5.1. Tata Cara Menyalati Mayit
Salat mayit memiliki lima takbir:
a. Takbir pertama, lalu kita membaca dua kalimat syahadah.
b. Takbir kedua, lalu kita membaca salawat untuk Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau.
c. Takbir ketiga, lalu kita berdoa untuk seluruh muslimin dan muslimat.
d. Takbir keempat, dan lantas kita berdoa untuk mayit.
e. Takbir kelima, dan usailah salat mayit tersebut.
Dalam semua bacaan itu, kita cukup membaca sebuah bacaan yang bisa disebut dua kalimat syahadah, salawat, dan doa untuk mereka. Tetapi, yang lebih baik adalah hendaknya kita membaca doa-doa yang telah disebutkan dalam hadis sebagai doa setelah setiap takbir tersebut.
Masalah 138: Jika kita ragu apakah sudah membaca takbir lebih sedikit atau lebih banyak, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus menetapkan takbir yang lebih sedikit. Tetapi, jika kita ragu apakah sudah membaca bacaan yang lebih sedikit atau lebih banyak, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus menetapkan bacaan yang lebih banyak dengan rajâ’.
Masalah 139: Dalam bacaan salat mayit, kita boleh mengubah kata ganti (dhamîr) menjadi kata ganti laki-laki atau perempuan (sesuai dengan jenis kelamin mayit). Dan masalahnya mudah bila kita tidak mengetahui apakah mayit itu berkelamin laki-laki atau perempuan.
Masalah 140: Dalam salat mayit, kita wajib berniat qurbah, menentukan mayit sehingga ia tidak samar lagi, menghadap ke arah Kiblat, berdiri, dan mayit harus diletakkan di hadapan kita dalam posisi terlentang dan sejajar dengan kita.
Masalah 141: Dalam salat mayit, tidak disyaratkan kita bersuci dari hadas dan benda-benda najis dan tidak juga memenuhi seluruh syarat kesahan salat. Menghindari hal-hal yang dapat membatalkan salat juga tidak disyaratkan, kecuali seperti tertawa dan berbicara. Ihtiyâth berkenaan dengan tertawa dan berbicara ini jangan ditinggalkan. Bahkan berdasarkan ihtiyâth, hendaknya kita memperhatikan segala sesuatu yang disyaratkan dalam salat.
Masalah 142: Jika mayit telah dikuburkan sebelum disalati, baik lantaran lupa atau uzur yang lain, atau terbukti bahwa salat mayit yang telah kita kerjakan adalah batal, maka kuburannya tidak boleh dibongkar hanya demi kita mengerjakan salat mayit. Kita cukup menyalatinya dari atas kuburan, kecuali jika ia sudah tidak bisa disebut mayit lagi (lantaran tubuhnya sudah hancur lebur).
6.6. Menguburkan Mayit
Menguburkan seorang mayit muslim dan orang yang memiliki hukum orang muslim adalah wajib kifâyah. Menguburkan mayit adalah memendamnya dalam sebuah lubang di bumi yang telah kita gali. Dalam menguburkan mayit, tidak cukup kita meletakkan mayit di atas tanah dan lantas kita membangun sebuah bangunan di atasnya. Begitu juga tidak cukup kita hanya meletakkannya dalam sebuah peti jenazah. Ya, jika kita tidak mungkin menggali sebuah lubang, maka cukup kita membangun sebuah bangunan dan meletakkan mayit di dalamnya, dan begitu juga tata cara memendam mayit yang lain.
Masalah 143: Jika seseorang meninggal dunia di laut dan tidak mungkin kita mengirimnya ke daratan lantaran khawatir tubuhnya akan membusuk, sulit untuk mengirimnya ke daratan, atau karena uzur yang lain, maka ia harus dimandikan, dikafani, di-tahnîth, disalati, dan lantas diletakkan dalam sebuah tong atau benda-benda yang sejenis, lalu dibuang ke dalam laut. Begitu juga halnya jika kita khawatir musuh seorang mayit akan membongkar kuburannya demi melampiaskan dendam.
Masalah 144: Mayit harus dikuburkan dengan menghadap ke arah Kiblat. Ia harus ditidurkan miring dan sisi kanan tubuhnya menyentuh tanah. Untuk negara-negara yang terletak di sebelah utara, kepala mayit harus berada di sebelah barat.
Masalah 145: Jika kita tidak mengetahui arah Kiblat, maka kita wajib mencarinya melalui cara yang meyakinkan (‘ilm) atau cara yang memiliki hukum seperti itu. Hal ini asalkan kita tidak khawatir terhadap mayit dan tidak menimbulkan kemudaratan bagi orang-orang yang menangani ritual persiapan pemakaman. Jika kita tidak mungkin menggunakan cara tersebut, maka berdasarkan ihtiyâth[48] kita harus menggunakan sangkaan. Jika kita juga tidak memiliki sangkaan, maka syarat menghadap Kiblat gugur. Syarat menghadap Kiblat juga gugur bila seseorang meninggal dunia dalam sumur dan jasadnya tidak mungkin dikeluarkan dan tidak juga dihadapkan ke arah Kiblat. Sumur itu harus ditutup dan dijadikan kuburan baginya. Hal ini asalkan tidak ada halangan, seperti sumur itu adalah milik orang lain.
Masalah 146: Mayit tidak boleh dikuburkan di tanah hasil gasab, baik tanah itu sendiri adalah hasil gasab maupun manfaatnya. Tanah yang telah diwakafkan untuk selain kuburan termasuk kategori tanah hasil gasab. Begitu juga bila orang lain masih memilik hak atas sebidang tanah, seperti tanah gadai tanpa seizin penerima gadai.
Masalah 147: Berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang paling kuat, mayit tidak boleh dikuburkan dalam masjid, meskipun kuburan itu tidak mengganggu dan tidak juga menimbulkan kemudaratan.
Masalah 148: Orang-orang kafir dan anak-anak mereka tidak boleh dikuburkan di pekuburan muslimin. Bahkan jika mereka telah dikuburkan di pekuburan muslimin, kuburan mereka itu harus dibongkar dan dipindahkan.
Masalah 149: Kita haram membongkar kuburan seorang muslim dan orang yang memiliki hukum orang muslim, kecuali kita yakin bahwa jasadnya telah musnah dan menjadi debu.
Masalah 150: Kita boleh membongkar sebuah kuburan dalam beberapa kondisi berikut ini:
a. Mayit dikuburkan di tanah hasil gasab, baik tanah itu sendiri adalah hasil gasab maupun manfaatnya, walaupun kita tidak tahu atau lupa. Ya, yang lebih baik, bahkan lebih ahwath adalah pemilik tanah membiarkan mayit itu dikubur di tanah miliknya, sekalipun dengan memungut ganti rugi.
b. Membongkar kuburan untuk memandikan, mengafani, atau men-tahnîth mayit.
c. Penetapan sebuah hak bergantung pada pengamatan dan pemeriksaan jasad mayit.
d. Mayit dikuburkan di sebuah tempat yang menyebabkan kehormatannya tercoreng, seperti comberan dan tempat pembuangan sampah. Begitu juga jika ia dikuburkan di pekuburan orang-orang kafir.
e. Kita khawatir seekor binatang buas memangsa jasad mayit, banjir menghanyutkannya, dan lain sebagainya.
6.7. Mandi-Mandi Sunah
Mandi sunah dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
a. Mandi yang sunah lantaran waktu (zamâniyyah):
• Mandi di hari Jumat.
• Mandi di malam-malam yang ganjil pada bulan Ramadhan; yaitu malam pertama, ketiga , kelima, dan selanjutnya, serta mandi di seluruh sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
• Mandi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adhha.
• Mandi pada hari pengangkatan Nabi Muhammad saw. sebagai rasul (hari Mab‘ats).
• Mandi pada hari bumi dibentangkan (Dahw Al-Ardh), dan lain sebagainya.
b. Mandi yang sunah lantaran tempat (makâniyyah):
• Mandi lantaran kita ingin memasuki daerah Mekkah, area haram Mekkah, Masjidil Haram, dan Ka‘bah.
• Mandi lantaran kita ingin memasuki daerah Madinah, area haram Madinah, dan masjid nabawi.
c. Mandi yang sunah lantaran sebuah pekerjaan:
• Mandi ihram.
• Mandi tawaf.
• Mandi ziarah.
• Mandi karena membunuh cecak.
• Mandi karena kita melihat orang yang dihukum salib bila kita sengaja berusaha untuk melihatnya.
• Mandi lantaran kita teledor tidak mengerjakan salat gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, bila matahari dan bulan itu mengalami gerhana total. Bahkan ihtiyâth berkenaan dengan mandi ini tidak layak ditinggalkan.[49]
________________________________________

[1] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, hubungan suami istri itu terwujud dengan sekadar ia memasukkan kemaluannya.

[2] Imam Khamenei: Kesucian tidak disyaratkan dalam tawaf sunah. Ya, kita tidak boleh memasuki Masjidil Haram bila kita sedang junub.

Sayyid Khu’i: Kesucian tidak disyaratkan dalam tawaf sunah, meskipun tawaf sunah itu menjadi wajib lantaran nazar.

[3] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Sayyid Khu’i: Yang lebih utama adalah mereka juga disertakan dalam hukum tersebut.

[4] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, ia tidak boleh diam di dalam makam-makam suci itu, dan bahkan melintasi makam-makam suci tersebut atau melintasi serambinya.

[5] Imam Khamenei: Dan bahkan hanya membaca empat ayat ‘Azâ’im saja. Ayat ‘Azâ’im adalah ayat yang mewajibkan sujud sebagai berikut:

a. Surah As-Sajdah, ayat 15.

b. Surah Fushshilat, ayat 37.

c. Surah An-Najm, ayat 62.

d. Surah Al-‘Alaq, ayat 19.

[6] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, seluruh surah hingga basamalah-nya juga disertakan dalam hukum ini.

[7] Syaikh Behjat: Kita tidak wajib membasuh bagian tubuh tersebut. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya kita membasuhnya.

[8] Syaikh Behjat: Kita wajib membasuh rambut pendek yang kulit kita tampak dari sela-selanya, dan kita tidak wajib membasuh rambut yang panjang.

Sayyid Khu’i: Kita tidak wajib membasuh rambut kecuali rambut yang termasuk bagian tubuh, seperti rambut yang halus.

[9] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, bagian kanan dan kiri tubuh kita harus dibasuh secara berurutan; bagian kanan tubuh kita harus dibasuh terlebih dahulu, lalu bagian kiri tubuh.

Syaikh Behjat: Membasuh tubuh secara berurutan adalah wajib. Dan ihtiyâth wajib adalah setiap bagian tubuh itu juga harus dibasuh secara berurutan dimulai dari atas hingga ke bawah.

Sayyid Khu’i: Ihtiyâth mustahab adalah kita membasuh tubuh secara berurutan.

[10] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth, kita harus berniat ketika kita mulai memasukkan tubuh ke dalam air. Dan menurut pendapat yang azhhar, cukup kita berniat pada saat seluruh tubuh kita telah berada di dalam air.

[11] Sayyid Khu’i: Kita cukup membasuh bagian tubuh yang belum terbasuh itu saja, dan kita tidak wajib membasuh bagian kiri tubuh kita lagi.

[12] Sayyid Khu’i: Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan wudu.

[13] Yaitu kita memberi kemungkinan bahwa cairan itu adalah madzi, wadzi, atau wadi.

[14] Sayyid Khu’i: Ia tidak memaparkan masalah ini.

[15] Syaikh Behjat: Jika kita telah ber-istibrâ’ setelah kencing, kemudian kita melihat setetes cairan yang diragukan antara air kencing dan sperma (keluar dari kemaluan kita), maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mandi dan juga berwudu. Hal ini apabila kita telah berwudu sebelum cairan itu keluar. Tetapi apabila kita belum berwudu, maka kita cukup berwudu saja.

[16] Sayyid Khu’i: Meskipun kita memberi kemungkinan sperma kita—sekalipun sedikit—keluar bersama air kencing.

[17] Masalah: Ya, jika di pertengahan mandi kita melakukan sesuatu yang dapat membatalkan wudu, maka mandi kita tetap sah. Tetapi kita harus berwudu bila ingin mengerjakan amalan yang memiliki syarat wudu. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengulangi mandi dengan niat melaksanakan kewajiban yang ada di pundak kita; entah mandi kita itu telah sempurna atau kita masih harus menyempurnakan mandi (at-tamâm aw al-itmâm), lalu kita berwudu setelah itu.

Sayyid Khu’i: Jika kita berhadas kecil pada saat sedang mandi jenabah, maka kita harus mengulangi mandi, dan bedasarkan ihtiyâth mustahab kita hendaknya berwudu.

[18] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, mandi kita batal, kecuali bila niat mandi kita itu secara global kembali kepada niat untuk seluruh mandi tersebut.

[19] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang azhhar, pada kondisi ini hukum haid tidak berlaku.

[20] Sayyid Khu’i: Ia harus ber-ihtiyâth selama seluruh masa haid itu, meskipun darahnya di sebagian hari atau seluruhnya tidak memiliki sifat-sifat darah haid. Hal ini apabila ia tahu bahwa darah itu keluar pada waktu kebiasaannya. Apabila ia tidak tahu hal itu, maka ia harus menjadikan darah yang memiliki sifat-sifat darah haid sebagai darah haid (asalkan darah itu keluar tidak kurang dari tiga hari dan tidak lebih dari sepuluh hari) dan menjadikan darah yang memiliki sifat-sifat darah istihadah sebagai darah istihadah. Apabila seluruh darah itu memiliki sifat-sifat darah haid, maka ia harus menjalani masa haid selama enam atau tujuh hari, dan darah selebihnya adalah istihadah.

[21] Sayyid Khu’i: Kitab Al-Minhâj sesuai dengan teks di atas. Tetapi, dalam kitab Al-‘Urwah Al-Wutsqâ ia menulis, “Ihtiyâth ini jangan ditinggalkan.”

[22] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth mustahab.

[23] 1 dinar sama dengan 3,456 gram emas.

[24] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

[25] Sayyid Khu’i: Wanita yang sedang mengalami darah istihadah banyak tidak wajib berwudu ketika ingin mengerjakan salat.

[26] Syaikh Behjat: Jika ia tidak mengetahui kategori darah istihadah itu, maka ia wajib meneliti bila memungkinkan.

[27] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, ia harus mengulangi mandi.

[28] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, kesahan puasa wanita yang sedang mengalami istihadah banyak bergantung kepada mandi itu. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, kesahan puasa wanita yang sedang mengalami istihadah sedang bergantung kepada mandi pada waktu fajar.

[29] Syaikh Behjat: Syarat mandi untuk mengerjakan salat Shubuh demi kesahan puasa wanita yang sedang mengalami istihadah banyak tidak kosong dari dalil (lâ yakhlû min wajh), bukan dua kali mandi sebelum mengerjakan salat Maghrib dan Isya’ dengan niat untuk malam yang telah berlalu atau untuk malam yang akan datang berdasarkan pendapat yang azhhar. Adapun wanita yang sedang mengalami istihadah sedang, ia wajib mandi untuk salat Maghrib dan Isya’ tersebut (demi kesahan puasanya).

[30] Sayyid Khu’i: Isykâl hukum kedua wanita itu disamakan. Tapi berdasarkan ihtiyâth wajib, wanita yang sedang nifas harus melaksanakan seluruh hukum yang telah disebutkan tersebut.

[31] Sayyid Khu’i: Tidak ada perbedaan antara anggota tubuh yang memiliki roh dan yang tidak memiliki roh. Tolok ukur menyentuh mayit dengan rambut atau menyentuh rambut mayit adalah tolok ukur ‘urfî (ash-shidq al-‘urfî), dan tolok ukur ini berbeda antara panjang dan pendeknya sebuah rambut.

[32] Imam Khamenei: Menyentuh potongan tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup tidak mewajibkan mandi lantaran menyentuh mayit, baik potongan tubuh itu berupa daging yang bertulang maupun salah satu dari daging dan tulang tersebut secara terpisah.

[33] Syaikh Behjat: Kita tidak wajib mandi lantaran menyentuh mayit bila kita menyentuh daging yang tidak bertulang. Tetapi berdasarkan ihtiyâth wajib, kita wajib mandi lantaran menyentuh mayit bila kita menyentuh tulang dan gigi mayit yang terpisah darinya, jika tulang dan gigi itu belum dimandikan. Begitu juga berdasarkan ihtiyâth wajib, kita wajib mandi bila kita menyentuh tulang tak berdaging yang terpisah dari manusia yang masih hidup.

[34] Masalah: Mandi lantaran menyentuh mayit ini tidak mencukupi wudu. Oleh karena itu, kita harus berwudu ketika ingin mengerjakan salat dan kewajiban-kewajiban lain (yang memerlukan kesucian).

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita juga harus berwudu.

[35] Imam Khamenei: Berdasarkan pendapat yang lebih utama (awlâ), menghadapkan seorang muslim yang sedang menghadapi sakaratul maut ke arah Kiblat itu adalah pendapat yang kuat, dan ihtiyâth dalam hal ini jangan ditinggalkan.

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

[36] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, orang muslim tersebut harus dihadapkan ke arah Kiblat. Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, ia sendiri harus menghadap ke arah Kiblat bila memungkinkan.

[37] Masalah: Seorang syahid yang terbunuh di medan perang tidak wajib dimandikan, dengan syarat muslimin menemukannya sudah tidak bernyawa lagi. Jika tidak demikian, maka berdasarkan ihtiyâth wajib ia harus dimandikan.

[38] Syaikh Behjat: Seluruh bagian tubuh mayit yang terpisah darinya harus dikuburkan bersama mayit tersebut, meskipun bagian tubuh itu berupa rambut, kuku, dan gigi. Akan tetapi, jika penguburan bagian tubuh itu bersama mayit mengharuskan kuburan harus digali, maka berdasarkan ihtiyâth wajib bagian tubuh itu harus dikuburkan secara terpisah.

[39] Imam Khamenei: Bahkan ia harus sudah berusia balig dan mengetahui seluk-beluk masalah memandikan mayit.

[40] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, mayit hendaknya tidak dimandikan secara irtimâsî selama memandikannya secara tartîbî masih memungkinkan.

[41] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, tayamum itu harus dilakukan dengan menggunakan tangan orang yang masih hidup, dan juga dengan tangan mayit itu sendiri bila memungkinkan.

[42] Syaikh Behjat: Kafan ini harus menutupi seluruh badan mayit dari kedua bahu hingga pertengahan betis.

[43] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kafan yang terbuat dari kulit binatang berdaging halal itu jangan digunakan. Tetapi tidak masalah kita menggunakan kafan yang terbuat dari bulunya.

[44] Sayyid Khu’i: Tahnîth dilakukan sebelum atau pada saat mengafani mayit.

[45] Syaikh Behjat: Ujung hidung mayit sunah di-tahnîth.

[46] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus menyalatinya sekalipun ia belum berusia 6 tahun, asalkan ia telah mengenal salat.

[47] Syaikh Behjat: Izin wali mayit adalah syarat, meskipun mayit telah berwasiat untuk orang tertentu. Atas dasar ini, berdasarkan pendapat yang azhhar, ia tetap harus meminta izin kepada wali mayit.

[48] Syaikh Behjat: Kita wajib mencari arah Kiblat itu. Berdasarkan pendapat yang azhhar, cukup kita memperoleh sangkaan (‘uqalâ’î), meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab kita hendaknya memperoleh keyakinan (‘ilm) atau kemantapan hati (ithmi’nân).

[49] Syaikh Behjat: Hanya mandi jenabah yang dapat mencukupi wudu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memiliki syarat bersuci.

Sayyid Khu’i: Setiap mandi yang kesunahannya sudah ditetapkan dapat mencukupi wudu, seperti mandi ihram, mandi ziarah ke Baitullah, mandi untuk berpisah dengan Rasulullah saw., mandi lantaran menyentuh mayit yang telah dimandikan, dan mandi untuk mengqadha salat gerhana. Mandi istihadah sedang tidak termasuk dalam kategori mandi-mandi ini.
PASAL 5
TAYAMUM
Hal-Hal yang Membolehkan Tayamum
Hal-hal yang membolehkan tayamum adalah beberapa hal berikut ini:
a. Kita tidak memiliki air yang cukup untuk digunakan bersuci, baik mandi maupun wudu. Dalam kondisi ini, kita harus mencari air hingga kita putus asa; bila tanah tidak rata, maka kita cukup mencari air sejauh sekali lemparan anak panah, dan bila tanah rata, maka kita harus mencarinya sejauh dua kali lemparan anak panah. Kita harus mencari air di empat penjuru bila kita memberi kemungkinan bahwa air dapat ditemukan di empat penjuru itu. Ya, jika kita tahu bahwa ada air di tempat yang lebih jauh dari kedua jarak yang telah ditentukan tersebut, maka kita wajib memperolehnya. Untuk mencari air, kita bisa mewakilkan kepada orang lain, bila hati kita bisa mantap dengan ucapannya.
Masalah 151: Jika kita telah mencari air sejauh jarak yang telah ditetapkan, lalu kita bertayamum (lantaran tidak menemukan air) dan mengerjakan salat, kemudian kita mendapatkan air di tempat pencarian air atau pada saat kita pulang kembali dari mencari air, maka salat kita itu sah dan kita tidak perlu mengqadha atau mengulanginya.
Masalah 152: Jika kita khawatir terhadap diri, kehormatan, atau harta kita yang memang kita perlukan, maka kewajiban mencari air gugur. Begitu juga halnya bila kita tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencarinya.
Masalah 153: Jika kita memiliki air yang hanya cukup digunakan untuk bersuci, maka kita tidak boleh menumpahkannya setelah waktu salat masuk. Bahkan ketidakbolehan menumpahkan air dan begitu juga membatalkan wudu sebelum waktu salat tiba bila kita tidak mempunyai air adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
b. Kita takut dan khawatir untuk mengambil air.
c. Kita khawatir mengalami bahaya bila kita menggunakan air disebabkan kita sakit, memiliki luka, dan lain sebagainya, tetapi semua itu tidak sampai pada batas jabîrah.
Jika kita yakin atau khawatir akan mengalami bahaya (bila menggunakan air) dan kita bertayamum, tapi kemudian terbukti bahwa bahaya itu tidak ada,[1] maka:
▪ Apabila hal itu terbukti sebelum kita mengerjakan salat, maka tayamum kita itu batal.
▪ Apabila hal itu terbukti setelah kita usai mengerjakan salat, maka salat kita sah.[2]
d. Kita takut binatang yang layak dihormati kehausan bila kita menggunakan air.
e. Terdapat kesulitan (al-haraj wa al-masyaqqah) yang biasanya tidak bisa kita pikul untuk mencari air.
f. Untuk memperoleh air, kita harus membayar dengan seluruh harta yang kita miliki atau mengeluarkan sebagian harta yang dapat membahayakan kondisi ekonomi kita.
g. Waktu salat sudah sempit untuk kita bisa memperoleh atau menggunakan air.
h. Air harus kita gunakan untuk menyucikan najis dan penggunaan-penggunaan lain yang tidak bisa diganti dengan selain air. Akan tetapi berdasarkan ihtiyâth,[3] pertama kali air itu harus digunakan untuk mandi, dan kemudian tayamum (bila terbukti air tidak mencukupi).
Masalah 154: Jika kita harus memilih antara mengerjakan seluruh salat tepat waktu dengan tayamum atau mengerjakan satu rakaat salat tepat waktu dengan berwudu, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita harus memilih opsi yang pertama. Akan tetapi, ihtiyâth[4] mengqadha salat dengan bersuci menggunakan air jangan kita tinggalkan.
Masalah 155: Kita boleh bertayamum untuk mengerjakan salat mayit dan tidur, meskipun kita bisa menggunakan air.
Benda-Benda yang Dapat Digunakan Bertayamum
Benda yang hendak kita gunakan untuk bertayamum harus berupa sha‘îd; yaitu segala sesuatu yang terdapat di bumi,[5] baik berupa tanah, kerikil, batu, maupun tanah liat. Bahkan tanah kapur dan naurah[6] sebelum dibakar. Tetapi ihtiyâth adalah tanah. Jika kita memiliki tanah dan benda-benda yang sejenis, maka berdasarkan ihtiyâth[7] kita tidak boleh bertayamum dengan menggunakan tanah kapur dan naurah yang telah dibakar. Tetapi berdasarkan pendapat yang zhâhir, kita boleh bertayamum dengan menggunakan tembikar, batu bata, dan benda-benda terbuat dari tanah lainnya yang telah dibakar.[8]
Masalah 156: Tidak sah kita bertayamum dengan menggunakan sha‘îd yang najis atau hasil gasab, kecuali apabila kita dipaksa harus diam di atas tanah hasil gasab atau kita tidak tahu bahwa tanah itu adalah hasil gasab.
Masalah 157: Jika sha‘îd tidak bisa didapatkan, maka kita harus bertayamum dengan menggunakan debu yang terdapat di pakaian, yang menempel di atas pelana binatang tunggangan, atau yang terdapat di bulu tengkuk binatang tunggangan kita. Hal ini apabila kita tidak bisa mengibaskan debu tersebut dan mengumpulkannya di sebuah tempat, lalu kita menggunakannya untuk tayamum. Jika kita bisa mengibaskannya, maka kita wajib mengibaskannya (dan lalu mengumpulkannya di sebuah tempat). Jika debu ini juga tidak bisa didapatkan, maka kita harus bertaymum dengan menggunakan tanah lumpur.
Masalah 158: Jika kita tidak bisa bertayamum dengan menggunakan cara tersebut di atas, maka kita telah kehilangan dua jenis benda yang dapat digunakan untuk bersuci (fâqid ath-thahûrain; yaitu air dan tanah). Berdasarkan pendapat yang paling kuat,[9] mengerjakan salat secara adâ’ gugur dari pundak kita, tetapi berdasarkan ihtiyâth wajib[10] kita memiliki kewajiban qadha.[11]
Tata Cara Tayamum
Tata cara tayamum dalam kondisi tidak terpaksa adalah kita memukulkan kedua telapak tangan secara bersamaan ke atas tanah sebanyak sekali. Kemudian kita mengusap dahi dan dua pelipis secara bersamaan dan menyeluruh dengan dimulai dari tempat rambut tumbuh hingga bagian atas hidung dan kedua alis mata. Berdasarkan ihtiyâth wajib,[12] kedua alis mata ini juga harus diusap.
Kemudian, kita mengusap bagian belakang telapak tangan dengan menggunakan telapak tangan kiri dimulai dari pergelangan tangan hingga ujung jari-jemari, dan lalu kita mengusap bagian belakang telapak tangan kiri dengan menggunakan telapak tangan kanan juga dimulai dari pergelangan tangan hingga ujung jari-jemari.[13]
Masalah 159: Berdasarkan ihtiyâth, tidak cukup kita meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah tanpa memukulkannya, meskipun cukup meletakkan tangan saja itu adalah pendapat yang kuat.[14]
Masalah 160: Jika kita tidak bisa memukulkan telapak tangan dan juga tidak bisa mengusap dengannya, maka kita harus menggunakan bagian belakang telapak tangan. Akan tetapi, kita tidak boleh menggunakan bagian belakang telapak tangan bila telapak tangan itu hanya sekadar najis[15] dengan benda najis yang tidak dapat berpindah dan tidak bisa dihilangkan.[16] Dalam kondisi seperti ini, kita tetap harus memukulkan kedua telapak tangan ke atas tanah dan mengusap dengannya.
Ya, jika benda najis itu menjadi penghalang dan menutupi seluruh telapak tangan, serta kita tidak mungkin menyucikan dan menghilangkannya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengumpulkan antara memukulkan telapak tangan dan memukulkan bagian belakang telapak tangan.[17]
Masalah 161: Dalam tayamum, beberapa hal berikut ini disyaratkan:
a. Niat sesuai dengan tata cara yang telah dijelaskan pada pembahasan wudu. Dalam niat, kita harus meniatkan apakah tayamum itu sebagai ganti dari wudu atau mandi. Kita harus berniat ketika kita memukulkan kedua telapak tangan ke atas tanah.
b. Bertayamum sendiri (al-mubâsyarah).[18]
c. Bertayamum secara berurutan (at-tartîb) seperti telah kita ketahui bersama.
d. Bertayamum secara berkesinambungan (al-muwâlât).
e. Mengusap dahi dan kedua tangan dimulai dari atas hingga ke bawah.
f. Menghilangkan penghalang yang terdapat di anggota tubuh yang mengusap dan anggota tubuh yang diusap.
Masalah 162: Kita cukup memukulkan telapak tangan ke atas tanah[19] sebanyak sekali untuk mengusap wajah dan kedua tangan, baik dalam tayamum sebagai ganti dari wudu maupun sebagai ganti dari mandi, meskipun yang paling utama adalah kita memukulkan telapak tangan sebanyak dua kali. Dan kita bisa memilih antara memukulkan telapak tangan sebanyak dua kali itu secara berurutan atau memukulkan telapak tangan sekali untuk mengusap wajah dan memukulkannya sekali lagi untuk mengusap kedua tangan. Tetapi, ihtiyâth mustahab dengan memukulkan telapak tangan sebanyak dua kali; sekali untuk mengusap wajah dan sekali lagi untuk mengusap kedua tangan tidak layak kita tinggalkan, khususnya untuk tayamum sebagai ganti dari mandi.
Masalah 163: Jika salah satu tangan kita terputus, maka kita harus memukulkan tangan yang masih tersisa ke atas tanah dan lalu mengusap dahi dengan tangan tersebut. Kemudian kita mengusapkan bagian belakang telapak tangan itu ke atas tanah. Dan jika mungkin, maka berdasarkan ihtiyâth[20] kita bertayamum dengan cara tersebut dan juga meminta bantuan kepada orang lain.
Masalah 164: Pada saat mengusap dahi dan kedua tangan, kita harus menjalankan anggota tubuh yang mengusap di atas anggota tubuh yang diusap. Tidak cukup kita menggerakkan anggota tubuh yang diusap di bawah anggota tubuh yang mengusap. Ya, gerakan yang sedikit tidak membuat tayamum kita batal.
Hukum-Hukum Tayamum
Masalah 165: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[21] tidak sah kita bertayamum untuk mengerjakan salat wajib sebelum waktunya masuk. Jika waktu salat itu sudah masuk, maka kita sah bertayamum meskipun waktu salat belum sempit, baik kita memiliki harapan uzur yang mewajibkan tayamum itu akan sirna di akhir waktu maupun tidak. Akan tetapi, jika kita masih memiliki harapan uzur itu akan sirna, maka ihtiyâth tidak layak kita tinggalkan. Jika kita tahu bahwa uzur itu akan sirna, maka kita wajib menunggu.
Masalah 166: Jika kita bertayamum[22] untuk mengerjakan sebuah salat yang waktunya telah masuk, lalu tayamum itu belum batal dan uzur kita juga belum sirna hingga waktu salat yang lain masuk, maka kita boleh mengerjakan salat tersebut di awal waktunya, kecuali bila kita tahu bahwa uzur kita akan sirna di akhir waktu. Kita juga bisa melakukan hal-hal yang memiliki syarat kesucian seperti menyentuh tulisan Al-Qur’an, memasuki masjid, dan lain sebagainya (dengan tayamum tersebut).
Masalah 167: Jika kita memiliki hadas besar selain jenabah, maka kita harus bertayamum sebanyak dua kali: salah satunya sebagai ganti dari mandi dan yang lain sebagai ganti dari wudu. Untuk jenabah, kita cukup bertayamum sekali. Tayamum sekali tidak bisa mencukupi beberapa sebab yang mewajibkan mandi.
Masalah 168: Orang junub yang berhadas setelah ia bertayamum tidak berbeda dengan orang yang telah mandi jenabah lalu berhadas. Ia hanya harus berwudu atau bertayamum sebagai ganti dari wudu.[23]
Masalah 169: Jika air ditemukan setelah kita usai mengerjakan salat, maka kita tidak wajib mengulanginya. Salat itu telah usai dan sah.
________________________________________

[1] Sayyid Khu’i: Kesahan tayamum dan salat kita adalah isykâl, dan ihtiyâth dengan mengulangi salat jangan kita tinggalkan.

[2] Imam Khamenei: Jika terbukti tidak ada bahaya setelah kita usai mengerjakan salat, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengulangi salat lagi.

Syaikh Behjat: Jika keyakinan kita itu timbul lantaran dalil dan bukti yang legitimatif (ad-dalâ’il al-mu‘tabarah), maka salat kita sah. Jika tidak demikian, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengulangi salat.

[3] Syaikh Behjat: Kita harus meninggalkan wudu dan mandi bila kita khawatir mengalami kehausan jika air itu digunakan untuk wudu dan mandi.

[4] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, kita boleh memilih opsi yang kita kehendaki. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya kita memilih tayamum.

[5] Masalah: Benda-benda yang tidak termasuk dalam kategori bumi seperti barang tambang, emas, dan perak tidak sah kita gunakan untuk bertayamum. Ya, kita sah bertayamum dengan menggunakan batu mulia, seperti batu marmer dan batu-batu yang sejenis. Jika kita tidak bisa mencairkan salju sehingga bisa digunakan untuk berwudu atau mandi dalam kadarnya yang minimal (al-musammâ), maka kita tidak sah menggunakannya untuk bertayamum. Dalam kondisi seperti ini, kita telah kehilangan dua jenis benda yang dapat digunakan untuk bersuci (fâqid ath-thahûrain; yaitu air dan tanah).

[6] Depilatory; bahan penghilang rambut—pen.

[7] Imam Khamenei: Tidak jauh (lâ yab‘ud) bila kita masih boleh bertayamum dengan menggunakan kedua benda itu.

[8] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh bertayamum dengan menggunakan batu mulia seperti batu akik dan firuz. Begitu juga tembikar, kapur, dan noureh yang telah dibakar.

[9] Imam Khamenei: Kita harus mengerjakan salat pada waktu itu juga tanpa wudu dan tanpa tayamum berdasarkan ihtiyâth wajib, dan kemudian kita harus mengqadhanya di luar waktu.

[10] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengerjakan salat pada waktu itu juga. Akan tetapi, kita juga wajib mengqadhanya.

[11] Berdasarkan pendapat yang paling kuat, kewajiban salat secara adâ’ adalah gugur, dan kita wajib mengqadhanya. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya juga mengerjakan salat tersebut secara adâ’.

[12] Imam Khamenei: Bahkan kita wajib mengusap kedua alis tersebut.

[13] Imam Khamenei: Setelah itu, berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus memukulkan kedua telapak tangan lagi ke atas tanah, kemudian kita mengusap bagian belakang telapak tangan kanan dengan menggunakan telapak tangan kiri dan lalu mengusap bagian belakang telapak tangan kiri dengan menggunakan telapak tangan kanan.

Syaikh Behjat dan Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita memukulkan kedua telapak tangan lagi ke atas tanah, kemudian kita mengusap bagian belakang telapak tangan kanan dengan menggunakan telapak tangan kiri dan lalu mengusap bagian belakang telapak tangan kiri dengan menggunakan telapak tangan kanan.

[14] Imam Khamenei: Kekuatan pendapat ini isykâl. Oleh karena itu, ihtiyâth (dengan memukulkan kedua telapak tangan ke atas tanah) jangan kita tinggalkan.

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, tidak cukup kita hanya meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah.

[15] Imam Khamenei: Anggota tayamum tidak disyaratkan suci, dan ini bukanlah pendapat yang jauh (laysa biba‘îd).

[16] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, kesucian tidak disyaratkan secara mutlak, baik untuk anggota tubuh yang mengusap maupun anggota tubuh yang diusap (al-mâsih wa al-mamsûh).

[17] Syaikh Behjat: Jika telapak tangan kita najis dan tidak mungkin disucikan, maka kita harus bertayamum dengan menggunakan telapak tangan tersebut. Dan jika bagian belakang telapak tangan kita suci, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengumpulkan antara tayamum dengan menggunakan telapak tangan yang najis dan tayamum dengan menggunakan bagian belakang telapak tangan yang suci.

[18] Masalah: Jika kita tidak bisa bertayamum sendiri lantaran kita terjangkit penyakit lumpuh atau penyakit-penyakit yang serupa, maka kita harus meminta bantuan kepada orang lain. Ia harus memukulkan telapak tangan kita ke atas tanah dan mengusap dengan menggunakan telapak tangan kita tersebut. Jika hal itu tidak mungkin karena kita tidak memiliki tangan misalnya, maka ia harus memukulkan kedua telapak tangannya sendiri ke atas tanah dan lantas mengusapkannya ke wajah kita.

[19] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus memukulkan telapak tangan ke atas tanah untuk mengusap dahi, kedua pelipis, dan kedua tangan. Lalu kita memukulkannya sekali lagi untuk mengusap kedua tangan. Dan hal ini tidak berbeda apakah tayamum itu adalah sebagai ganti dari wudu atau sebagai ganti dari mandi.

[20] Syaikh Behjat tidak menyinggung masalah. Ya, beliau hanya menyebutkan masalah berikut ini:

“Jika kita tidak bisa menggunakan tangan kita lantaran tangan itu patah atau lantaran faktor-faktor yang serupa, maka kita harus meminta bantuan kepada orang lain untuk bertayamum.”

[21] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh bertayamum sebelum waktu salat masuk.

[22] Imam Khamenei dan Syaikh Behjat: Bahkan meskipun kita bertayamum untuk mengerjakan sebuah pekerjaan sunah, baik berupa salat maupun selain salat.

[23] Imam Khamenei: Jika kita tidak bisa mandi untuk mengerjakan amalan-amalan selanjutnya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus bertayamum sekali lagi sebagai ganti dari mandi, kemudian kita bBAB II
BENDA-BENDA NAJIS
PASAL 1
BENDA-BENDA NAJIS
Benda-benda najis ada sebelas macam: (1) air kencing, (2) kotoran binatang, (3) sperma, (4) bangkai, (5) darah, (6) anjing, (7) babi, (8) benda yang memabukkan, (9) fuqâ‘, (10), orang kafir, dan (11) keringat unta pemakan najis (al-jallâl).
(a) Air Kencing dan Kotoran Binatang
Seluruh jenis air kencing dan kotoran yang berasal dari binatang[1] berdarah memancar pada saat disembelih dan berdaging haram adalah najis, meskipun daging binatang tersebut menjadi haram lantaran sebuah faktor dari luar (al-‘âridh), seperti binatang pemakan najis dan binatang yang pernah disetubuhi oleh manusia.
(b) Sperma
Seluruh jenis sperma yang berasal dari binatang berdarah memancar ketika disembelih adalah najis, baik daging binatang itu halal maupun tidak.
(c) Bangkai
Bagian bangkai binatang berdarah memancar yang memiliki roh pada saat binatang itu masih hidup[2] adalah najis. Begitu juga, bagian tubuh binatang hidup yang terpotong dan memiliki roh adalah najis, kecuali bagian-bagian kecil yang terpisah dari tubuhnya, seperti jerawat, kulit bekas penyakit kudis, dan lain sebagainya.
Masalah 170: Daging, gajih, atau kulit yang kita terima dari tangan seorang muslim atau kita beli dari pasar muslimin dihukumi suci, asalkan kita tidak tahu bahwa barang itu berasal dari tangan orang kafir, meskipun penyembelihannya tidak bisa dipastikan. Begitu juga halnya berkenaan dengan daging, gajih, dan kulit yang ditemukan tergeletak di sebuah daerah yang berpenduduk muslim. Adapun jika kita tahu bahwa barang itu berasal dari seorang kafir, tetapi kita memberi kemungkinan bahwa orang muslim sebagai penerima barang dari tangan orang kafir telah melakukan penelitian sebelum itu dan ia yakin tentang penyembelihannya, maka barang itu juga dihukumi suci, asalkan berdasarkan ihtiyâth wajib[3] orang muslim itu memperlakukan barang-barang tersebut seperti barang yang berasal dari binatang yang telah disembelih.[4]
Masalah 171: Jika kita menerima daging, gajih, atau kulit dari seorang kafir atau membelinya dari pasar orang-orang kafir, tetapi kita tidak tahu apakah barang itu berasal dari binatang yang berdarah memancar atau yang tidak berdarah memancar seperti ikan, maka barang itu dihukumi suci. Akan tetapi, kita tidak boleh mempergunakannya untuk mengerjakan salat.
Jika kita menerima suatu barang dari orang-orang kafir, dan kita tidak tahu apakah barang itu berasal dari seekor binatang atau selainnya, maka barang tersebut adalah suci. Bahkan kita juga bisa mempergunakannya untuk mengerjakan salat. Dan termasuk kategori barang ini, plastik dan lilin yang diimpor dari negara mereka, meskipun kita tidak mengetahui hakikatnya.[5]
(d) Darah
Seluruh darah yang berasal dari binatang berdarah memancar pada saat disembelih adalah najis. Adapun darah yang berasal dari binatang yang tidak berdarah memancar seperti ikan dan binatang-binatang yang sejenis adalah suci. Berdasarkan ihtiyâth,[6] kita harus menghindari gumpalan darah (al-‘ulqah) yang terbentuk dari sperma, sekalipun gumpalan darah yang masih terdapat dalam telur. Meskipun demikian, kesucian gumpalan darah yang masih terdapat dalam telur adalah pendapat yang memiliki keunggulan (lâ yakhlû min rujhân).
Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, darah yang terdapat dalam telur adalah suci, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya kita menghindari darah ini.[7]
Masalah 172: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[8] kita harus menghindari darah yang tersisa dalam tubuh binatang berdaging haram yang telah disembelih. Jika binatang itu berdaging halal, maka darah tersebut suci asalkan darah sembelihan telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang lumrah.
Masalah 173: Darah yang keluar dari sela-sela gigi adalah najis dan tidak boleh ditelan. Ya, jika darah itu telah sirna lantaran telah bercampur dengan air ludah, maka darah itu menjadi suci dan boleh ditelan. Dengan demikian, kita tidak wajib menyucikan mulut kita dengan berkumur-kumur atau dengan cara yang lain.
(e) Anjing dan Babi
Tubuh, air liur, dan seluruh bagian tubuh anjing dan babi darat, meskipun bagian tubuh yang tidak memiliki roh seperti bulu, tulang, dan bagian-bagian tubuh yang lain adalah najis.
(f) Benda yang Memabukkan
Seluruh benda memabukkan yang berbentuk cair dari asalnya[9] adalah najis. Adapun benda memabukkan yang berbentuk padat dari asalnya seperti ganja adalah suci, meskipun telah dijadikan cair. Berdasarkan pendapat yang zhâhir, air perasan anggur yang telah mendidih lantaran dimasak dan dua pertiganya belum menguap adalah suci, meskipun air perasaan anggur ini haram diminum. Akan tetapi, air perasan kismis adalah halal. Ya, jika air perasan anggur dan kismis itu mendidih dengan sendirinya dan menjadi memabukkan seperti ditegaskan oleh sebagian orang, maka kedua air perasan ini adalah najis. Jika kita ragu (apakah air perasan itu telah mendidih dengan sendirinya atau tidak), maka air perasan itu dihukumi suci.
Masalah 174: Secara mutlak, tidak masalah kita memakan kismis dan kurma yang telah mendidih dalam minyak atau dijadikan campuran masakan dan kuah.
(g) Fuqâ‘
Fuqâ‘ adalah sejenis minuman khusus yang biasanya terbuat dari gandum.
(h) Orang Kafir
Orang kafir adalah:
a. Orang yang memeluk selain agama Islam.[10]
b. Orang yang memeluk agama Islam, tetapi ia mengingkari ajaran agama yang sudah paten (dharûriyât ad-dîn) dan pengingkaran ini berkonsekuensi pengingkaran terhadap agama, pembohongan terhadap Rasulullah saw., atau pelecehan terhadap syariat beliau yang suci.
c. Orang yang memeluk agama Islam, tetapi ia mengucapkan suatu ucapan atau mengerjakan sebuah pekerjaan yang menyebabkan ia kafir.
Kaum Nawâshib adalah najis secara mutlak. Adapun kaum Ghulat, jika keghulatan mereka berkonsekuensi pengingkaran terhadap ketuhanan Allah, keesaan Ilahi, atau missi Rasulullah saw., maka mereka adalah kafir. Jika tidak demikian, maka mereka tidak najis.
(i) Keringat Unta Pemakan Najis
Keringat unta pemakan najis adalah najis. Menurut pendapat yang paling kuat, keringat binatang pemakan najis selain unta adalah suci. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab,[11] kita hendaknya menghindari keringat binatang ini.
Berdasarkan pendapat yang paling kuat juga, keringat orang yang junub lantaran perbuatan haram adalah suci. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab,[12] ia hendaknya menghindari keringat ini ketika ingin mengerjakan salat. Dan selayaknya ia ber-ihtiyâth menghindarinya secara mutlak.[13]
________________________________________

[1] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Kotoran burung adalah suci, baik daging burung itu halal dimakan maupun tidak.

[2] Masalah: Bagian tubuh binatang yang tidak memiliki roh seperti bulu, rambut, gigi, tulang, dan tanduk adalah suci, kecuali apabila bagian tubuh itu berasal dari binatang najis ‘ainî, seperti anjing dan babi.

[3] Syaikh Behjat: Jika kita tahu bahwa orang muslim sebagai penerima daging, gajih, dan kulit dari tangan seorang kafir belum mengadakan penelitian tentang penyembelihan binatang tersebut menurut tata cara syar‘î, maka semua barang itu dihukumi najis.

[4] Sayyid Khu’i: Syarat itu tidak jauh (lâ yab‘ud).

[5] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Adapun jika kita tidak tahu bahwa barang itu berasal dari binatang yang belum disembelih, tetapi berasal dari binatang yang penyembelihannya masih diragukan, maka barang tersebut dihukumi suci. Akan tetapi, tidak sah kita menggunakannya untuk mengerjakan salat.

[6] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus menghindari darah yang terdapat dalam telur.

[7] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, darah itu adalah najis.

[8] Syaikh Behjat: Darah yang tersisa dalam tubuh binatang yang telah disembelih sesuai dengan tuntunan syariat adalah suci. (Beliau tidak membedakan antara binatang yang halal dimakan dan binatang yang haram dimakan).

[9] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Seluruh benda memabukkan yang berbentuk cair dari asalnya adalah najis.

Sayyid Khu’i: Hal itu berdasarkan ihtiyâth wajib untuk selain khamar dan minuman keras yang terbuat dari anggur (nabîdz).

[10] Imam Khamenei: Selain ahli kitab seperti para pengikut agama Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan Shâbi’în. Menurut pendapat yang paling kuat, mereka secara subtansial adalah suci.

Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, ahli kitab adalah najis.

[11] Syaikh Behjat: Keringat unta pemakan najis adalah suci. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya menghindari keringat ini ketika ingin mengerjakan salat. Adapun keringat selain unta, maka kita tidak perlu menghindarinya.

[12] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar dan ahwath, ia harus menghindari keringat tersebut selama belum mengering. Keringat itu mencegah (kesahan salat) ketika sedang mengucur dan belum mengering. Berdasarkan ihtiyâth wajib, hukum ini juga berlaku atas orang yang melakukan hubungan dengan istrinya pada waktu yang diharamkan melakukan hubungan suami istri, kecuali apabila tugasnya adalah tayamum.

[13] Sayyid Khu’i: Keringatnya adalah suci, tetapi ia tidak boleh salat dengan keringat tersebut.
erwudu atau bertayamum.
PASAL 2
HUKUM-HUKUM BENDA NAJIS
Masalah 175: Untuk kesahan salat dan tawaf, baik salat dan tawaf wajib maupun sunah, tubuh kita disyaratkan harus suci, termasuk rambut, kuku, dan seluruh bagian tubuh kita yang lain, serta pakaian yang menutupi atau yang tidak menutupi tubuh kita, kecuali beberapa pakaian yang dikecualikan. Begitu juga pada saat kita bersujud, tempat dahi kita disyaratkan harus suci. Tetapi tempat anggota-anggota sujud yang lain tidak harus suci selama benda najis itu tidak berpindah ke anggota sujud kita.
Masalah 176: Kita wajib menghilangkan benda najis dari seluruh bagian masjid, termasuk—berdasarkan ihtiyâth wajib[1]—bagian luar temboknya. Sama seperti hukum masjid, makam suci para imam maksum as. dan bangunannya, serta seluruh benda yang wajib diagungkan dalam kaca mata syariat sehingga penajisannya bertentangan dengan keagungan benda itu, seperti tanah makam suci Imam Husain as.
Masalah 177: Menyucikan masjid tersebut adalah wajib kifâyah dan tidak khusus dikenakan kepada orang yang telah menajiskannya. Begitu juga kewajiban menyucikan itu adalah sebuah kewajiban yang harus segera dilaksanakan bila ia mampu.
Masalah 178: Kewajiban yang telah disebutkan di atas tidak berbeda antara masjid yang masih bagus, masjid yang sudah rusak, dan masjid yang sudah ditinggalkan.[2] Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, hukum itu juga masih berlaku untuk masjid yang sudah berubah fungsi, seperti sebuah masjid digasab orang dan dijadikan rumah, losmen, atau toko.[3]
Masalah 179: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[4] hukum-hukum benda najis juga berlaku atas sebuah benda yang telah menyentuh benda najis tersebut. Dengan demikian, suatu benda yang menyentuh sebuah benda yang telah menyentuh air kencing harus dicuci sebanyak dua kali, dan begitu seterusnya. Ya, jika perantara menjadi banyak,[5] maka berdasarkan pendapat yang aqrab (lebih dekat) benda yang menyentuh sebuah benda yang telah menyentuh suatu benda yang terkena najis (mutanajjis) tidak menjadi najis.
________________________________________

[1] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kecuali apabila pewakaf tidak memasukkan bagian luar tembok itu ke dalam bagian masjid.

[2] Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, hukum itu tidak berlaku lagi apabila masjid itu telah rusak.

[3] Imam Khamenei: Jika bekas-bekas masjid itu telah musnah dan tidak ada harapan dapat dibangun kembali, maka keharaman menajiskannya tidak dapat dipastikan, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab kita jangan menajiskannya.

[4] Syaikh Behjat: Benda yang terkena najis (mutanajjis) dapat menajiskan, meskipun perantara berbilang dan menjadi banyak.

[5] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib untuk benda yang menyentuh benda (perantara) kedua. Adapun benda yang menyentuh benda (perantara) ketiga, makan benda tersebut tidak menjadi najis.
PASAL 3
KAFARAH
Masalah 412: Melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa di atas, di samping mewajibkan qadha, juga mewajibkan kafarah, apabila kita melakukannya dengan sengaja dan atas dasar kehendak kita sendiri tanpa ada unsur paksaaan dari pihak luar. Semua itu berdasarkan ihtiyâth wajib[1] berkenaan dengan berbohong terhadap Allah, Rasulullah saw., dan para imam maksum as., memasukkan kepala ke dalam air, dan enema,[2] dan berdasarkan pendapat yang paling kuat berkenaan dengan sisa hal-hal yang dapat membatalkan puasa tersebut. Bahkan, kewajiban mengqadha dan membayar kafarah lantaran berbohong kepada mereka adalah suatu pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah). Ya, berdasarkan pendapat yang lebih kuat, sengaja muntah tidak mewajibkan kafarah.
Dalam kewajiban membayar kafarah, berdasarkan ihtiyâth wajib, tidak ada perbedaan[3] antara orang alim dan jahil muqashshir. Adapun jahil qâshir yang tidak sadar bahwa ia harus bertanya hukum, menurut pendapat yang zhâhir, ia tidak wajib membayar kafarah, meskipun membayar kafarah adalah ahwath baginya.[4]
Masalah 413: Kafarah membatalkan puasa Ramadhan adalah salat satu dari tiga hal berikut ini:[5]
a. Membebaskan seorang budak.
b. Berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
c. Memberi makan 60 orang miskin.
Kita bisa memilih salah satu dari ketiga jenis kafarah itu, meskipun ahwath adalah kita hendaknya memilih kafarah tersebut secara berurutan bila memungkinkan.
Berdasarkan ihtiyâth wajib,[6] kita harus membayar ketiga kafarah itu apabila kita membatalkan puasa dengan melakukan hal-hal yang haram, seperti makan makanan hasil gasab, minum khamar, melakukan hubungan suami istri yang diharamkan, dan lain sebagainya. Ya, kafarah tidak berulang-ulang apabila kita melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa secara berulang-ulang. Akan tetapi, berkenaan dengan hubungan suami istri, kita tidak selayaknya meninggalkan ihtiyâth.[7]
Masalah 414: Kafarah dengan memberi makan orang fakir dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a. Mengenyangkan mereka.
b. Memberikan bahan makanan berupa jou, gandum, tepung, beras, roti, atau bahan makanan yang lain sebanyak 1 mud kepada setiap orang dari mereka, dan ahwath adalah 2 mud.
Jika seorang fakir memiliki keluarga, kita boleh memberikan kafarah kepada mereka sejumlah keluarga yang ia miliki, masing-masing sebesar 1 mud, apabila kita percaya bahwa ia akan memberikan makan kepada mereka atau memberikan bahan makanan itu kepada mereka.
1 mud adalah sama dengan kg.
Masalah 415: Berpuasa dua bulan secara berturut-turut dapat terwujud dengan kita berpuasa penuh pada bulan pertama dan satu hari pada bulan kedua. Untuk selanjutnya, kita boleh memisah-pisah puasa, meskipun kita tidak terpaksa.
Masalah 416: Dalam beberapa kondisi berikut ini kita hanya wajib mengqadha puasa tanpa kafarah:
a. Kita mengalami jenabah dan tidur lagi untuk yang kedua kali setelah kita bangun dari tidur (yang pertama), lalu kita tidak bangun hingga fajar menyingsing. Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum juga demikian berkenaan dengan tidur yang ketiga setelah kita bangun sebanyak dua kali. Meskipun demikian, kewajiban membayar kafarah berkenaan dengan tidur yang ketiga ini adalah sangat ahwath sekali. Tidur yang menyebabkan kita bermimpi tidak dihitung sebagai tidur pertama.
b. Puasa kita batal lantaran tidak berniat, riya’, atau memutus niat puasa tetapi belum melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa.
c. Kita lupa tidak mandi jenabah dan berlalu satu atau beberapa hari.
d. Kita melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa tanpa meneliti dan memperhatikan fajar, lalu terbukti fajar telah menyingsing pada saat itu. Ini semua apabila kita mampu untuk meneliti dan memperhatikan fajar, dan bahkan—berdasarkan ihtiyâth—bila kita tidak mampu sekalipun.[8] Jika kita telah meneliti fajar dan memiliki sangkaan bahwa fajar belum menyingsing, maka menurut pendapat yang lebih kuat kita tidak wajib mengqadha puasa. Bahkan, ketidakwajiban mengqadha puasa ini bila kita ragu apakah fajar sudah menyingsing atau belum setelah kita melakukan penelitian adalah sebuah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
e. Kita makan karena percaya kepada informasi orang lain bahwa waktu masih malam, padahal fajar sudah menyingsing.
f. Kita makan karena menyangka bahwa orang yang memberitahukan fajar sudah menyingsing hanya bergurau semata.
g. Kita berbuka puasa karena percaya kepada informasi orang lain bahwa malam telah masuk, padahal malam belum masuk. Ini semua apabila ia adalah orang yang bisa dijadikan sandaran dalam informasinya. Jika tidak demikian, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita juga wajib membayar kafarah.
h. Kita berbuka puasa lantaran hari sudah gelap dan kita yakin bahwa malam sudah masuk, padahal malam belum masuk. Ini semua apabila tidak terdapat suatu faktor di langit (yang menyebabkan kita berkeyakinan demikian). Adapun jika terdapat faktor tersebut di langit dan kita menyangka malam telah masuk, lalu setelah itu terbukti bahwa sangkaan kita itu salah, maka kita tidak wajib mengqadha puasa.
i. Kita memasukkan air ke dalam mulut, lalu berkumur-kumur dan lain sebagainya supaya mulut kita segar, dan air itu masuk ke dalam tenggorokan kita. Adapun jika kita lupa dan lalu menelan air itu, maka kita tidak wajib mengqadha puasa. Begitu juga halnya jika kita berkumur-kumur untuk wudu dan air itu masuk ke dalam tenggorokan. Berdasarkan ihtiyâth, hukum ini hanya berlaku untuk wudu salat wajib saja. Meskipun demikian, universalitas hukum ini untuk seluruh jenis wudu, bahkan untuk seluruh jenis bersuci adalah suatu pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).[9]
________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Beliau mengecualikan beberapa hal, akan tetapi tidak menyebutkan ihtiyâth ini.
[2] Syaikh Behjat: Tentang enema dengan menggunakan benda cair, ihtiyâth wajib adalah membayar kafarah.
[3] Imam Khamenei: (a) Jika kita melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa lantaran kita tidak tahu hukum; seperti kita minum obat lantaran tidak tahu bahwa obat juga memiliki hukum seluruh makanan dan minuman, atau kita memasukkan kepala ke dalam air lantaran tidak tahu bahwa hal ini dapat membatalkan puasa, maka puasa kita adalah batal dan kita hanya wajib mengqadhanya tanpa kafarah.

(b) Jika kita melakukan sesuatu yang kita tahu haram, akan tetapi kita tidak tahu bahwa sesuatu itu dapat membatalkan puasa, maka puasa kita batal dan kita wajib mengqadhanya. Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita juga harus membayar kafarah.

(c) Jika kita boleh atau wajib membatalkan puasa lantaran suatu faktor; seperti kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa atau kita terjun ke dalam air untuk menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, maka kita hanya wajib mengqadha puasa tanpa kafarah.
[4] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, kewajiban membayar kafarah hanya khusus untuk orang yang mengetahui salah satu dari dua hal: (a) sesuatu yang akan ia lakukan itu dapat membatalkan puasa dan (b) sesuatu yang akan ia kerjakan itu adalah haram. Orang yang tidak mengetahui keduanya tidak wajib membayar kafarah, meskipun ia adalah jahil muqashshir dan tidak memiliki uzur.
[5] Masalah: Karena tidak ada sistem perbudakan pada masa kini, maka kita hanya memiliki dua opsi terakhir.
[6] Imam Khamenei: Tidak jauh (lâ yab‘ud) bila ihtiyâth ini tidak wajib.

Syaikh Behjat: Hal itu adalah wajib berdasarkan ihtiyâth wajib.
[7] Imam Khamenei: Bahkan, jika hubungan suami istri atau onani diulangi, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kafarah juga harus diulangi.

Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, kafarah harus diulangi dengan pengulangan onani. (Dinukil dari Al-‘Urwah Al-Wutsqâ)
[8] Syaikh Behjat: Jika kita telah meneliti fajar terlebih dahulu dan hati kita mantap bahwa fajar belum menyingsing, maka kita tidak wajib mengqadha puasa, apalagi membayar kafarah.
[9] Sayyid Khu’i: Ihtiyâth (dengan mengqadha puasa) jangan kita tinggalkan apabila kita berwudu untuk selain salat wajib.
PASAL 2
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Masalah 408: Jika kita sedang berpuasa, maka kita harus menghindari beberapa hal berikut ini:
1.Makan, baik makanan yang biasa dimakan, seperti roti, maupun makanan yang tidak biasa dimakan, seperti pasir, meskipun sangat sedikit. Tolok ukur dalam hal ini adalah suatu tindakan yang dapat dinamakan makan secara ‘urfi, meskipun misalnya melalui jalur hidung.
2. Minum, baik minuman yang biasa diminum, seperti air, maupun minuman yang tidak biasa diminum, seperti perasan air batang kayu, meskipun sangat sedikit. Tolok ukur dalam hal ini adalah suatu tindakan yang dapat dinamakan minum secara ‘urfi, meskipun misalnya melalui jalur hidung.
3. Hubungan suami istri, baik obyeknya adalah laki-laki maupun perempuan, manusia maupun binatang, melalui jalur depan maupun jalur belakang, dan baik masih hidup maupun sudah mati. Sengaja melakukan hubungan suami istri dengan cara apapun itu dapat membatalkan puasa, meskipun air sperma kita tidak keluar. Adapun jika kita melakukan hubungan suami istri lantaran lupa atau karena suatu paksaan yang mencabut hak pilih kita (al-qahr), maka hal ini tidak membatalkan puasa. Akan tetapi, melakukan hubungan suami istri lantaran sebuah paksaan yang tidak sampai pada batas ini (al-ikrâh) dapat membatalkan puasa. Hubungan suami istri terwujud dengan terbenamnya hasyafah atau kadar hasyafah. Bahkan, tidak jauh (lâ yab‘ud) bila puasa orang yang tidak memiliki hasyafah batal dengan sekadar ia memasukkan kemaluannya (musammâ ad-dukhûl).
4. Mengeluarkan air sperma dengan jalan onani, berpegangan, berciuman, atau cara-cara yang lain yang dimaksudkan untuk mengeluarkan air sperma. Bahkan, jika kita tidak bermaksud untuk mengeluarkan air sperma sekalipun, akan tetapi menurut kebiasaan, air sperma kita akan keluar dengan cara-cara itu, maka tindakan itu juga dapat membatalkan puasa. Ya, jika air sperma kita keluar tanpa kita melakukan sebuah tindakan yang dapat menyebabkan air sperma keluar, walaupun air sperma kita itu keluar lantaran kebiasaan kita (bila kita berada dalam kondisi seperti itu), akan tetapi semua itu terjadi tanpa niat dan maksud dari kita, maka hal ini tidak membatalkan puasa. Begitu juga halnya berkenaan air sperma yang keluar setelah kita bermimpi basah dengan jalan istibrâ’ atau bersamaan dengan air kencing sebelum kita mandi wajib.
5. Sengaja menetap dalam kondisi junub hingga fajar menyingsing pada bulan Ramadhan dan ketika kita mengqadha puasa bulan Ramadhan. Bahkan, jika kita menetap dalam kondisi junub ketika kita mengqadha puasa Ramadhan, sekalipun tidak atas dasar kesengajaan, maka menurut pendapat yang lebih kuat puasa kita adalah batal. Begitu juga, jika kita tidak mandi jenabah pada malam hari bulan Ramadhan sebelum fajar menyingsing lantaran lupa hingga berlalu satu atau beberapa hari, maka menurut pendapat yang paling kuat puasa kita adalah batal.[1]
Masalah 409: Jika kita tidak memiliki air dan tanah untuk bersuci (fâqid ath-thahûrain), maka puasa kita tetap sah, meskipun kita menetap dalam kondisi junuh, haid, atau nifas. Ya, jika menetap dalam kondisi junub dapat membatalkan puasa meskipun hal ini terjadi tanpa kesengajaan dari kita, seperti ketika kita ingin mengqadha puasa Ramadhan, maka menurut pendapat yang zhâhir puasa kita batal, meskipun kita tidak memiliki air dan tanah untuk bersuci.
Masalah 410: Jika kita junub di malam hari bulan Ramadhan, maka kita masih boleh tidur sebelum mandi wajib, asalkan kita memberi kemungkinan untuk bangun, walaupun setelah sekali atau dua kali bangun, dan bahkan lebih dari itu apabila kita memiliki kebiasaan bangun sebelum fajar menyingsing. Jika kita tidur dengan kemungkinan itu, lalu kita tidak bangun hingga fajar menyingsing, dan sebelum tidur kita menetapkan untuk tidak mandi setelah bangun tidur, kita ragu apakah hendak mandi atau tidak setelah bangun tidur, atau kita tidak berniat untuk mandi padahal kita tidak ragu, tidak lupa, dan tidak lupa untuk mandi, maka hukum kita dalam hal ini adalah seperti hukum orang yang sengaja menetap dalam kondisi junub. Oleh karena itu, kita harus mengqadha puasa dan membayar kafarah. Akan tetapi, jika kita menetapkan untuk mandi setelah bangun tidur, maka kita tidak memiliki tanggungan apapun.[2]
6. Sengaja berbohong terhadap Allah swt., Rasulullah saw., dan para imam maksum as., berdasarkan pendapat yang lebih kuat,[3] dengan cara menyandarkan suatu perkataan (al-isnâd) kepada mereka. Begitu juga, berbohong terhadap para nabi dan washî. Sengaja berbohong ini tidak berbeda apakah berhubungan dengan masalah agama atau dunia. Berbohong ini bisa terwujud dengan menggunakan cara apapun. Yang penting, cara itu adalah manifestasi berbohong, meskipun dengan menggunakan isyarat dan tulisan.
7. Memasukkan seluruh kepala ke dalam air berdasarkan ihtiyâth wajib,[4] meskipun tubuh kita berada di luar air. Air mudhâf tidak memiliki hukum air mutlak dalam hal ini. Ya, berkenaan dengan perasan air bunga, khususnya perasan air bunga yang sudah hilang aromanya, ihtiyâth jangan kita tinggalkan.[5]
8. Memasukkan debu yang kasar ke dalam tenggorokan. Dan bahkan debu yang tidak kasar berdasarkan ihtiyâth. Hanya saja, menurut pendapat yang lebih kuat, debu yang tidak kasar tidak membatalkan puasa.[6] Apakah debu yang tidak dapat kita hindari juga dapat membatalkan puasa? Masih isykâl.[7] Menurut pendapat yang lebih kuat, uap air tidak memiliki hukum debu yang kasar, kecuali apabila uap air itu berubah menjadi air dalam rongga mulut dan lantas kita menelannya. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat juga,[8] asap tidak memiliki hukum debu yang kasar. Ya, berdasarkan ihtiyâth wajib, rokok memiliki hukum debu yang kasar.
9. Enema dengan menggunakan benda cair, meskipun karena kita sakit atau lantaran faktor-faktor yang serupa. Tidak masalah kita menggunakan benda padat untuk enema asalkan digunakan untuk pengobatan, seperti supositoria (obat perangsang buang air yang dimasukkan ke dalam dubur). Adapun memasukkan benda seperti ganja yang digunakan sebagai makanan dan supaya tubuh kita segar kembali, hal ini adalah isykâl, dan ihtiyâth dengan menghindarinya jangan kita tinggalkan. Begitu juga (kita harus meninggalkan) segala sesuatu yang dapat berfungsi sebagai makanan melalui jalan enema ini, dan bahkan jalan selain enema, seperti infus. Dan tidak masalah kita menggunakan benda yang tidak berfungsi sebagai makanan.
10. Sengaja muntah sekalipun terpaksa. Akan tetapi, muntah yang tidak sengaja tidak membatalkan puasa. Tolok ukur dalam hal ini adalah suatu tindakan bisa dinamakan muntah. Jika sesuatu keluar pada saat kita bersendawa dan sampai di rongga mulut, lalu kita tidak sengaja menelannya, maka puasa kita tidak batal. Akan tetapi, jika kita sengaja menelannya, maka puasa kita batal dan kita harus mengqadhanya serta membayar kafarah.
Masalah 411: Hal-hal yang dapat membatalkan puasa di atas, selain menetap dalam kondisi junub seperti telah dipaparkan, hanya membatalkan puasa apabila terjadi dengan sengaja. Adapun jika semua itu terjadi tanpa unsur kesengajaan, maka hal ini tidak membatalkan puasa.
Kesengajaan dalam hal ini dapat membatalkan puasa dengan semua jenis dan kategorinya, tanpa ada perbedaan antara orang alim (baca: tahu hukum) dan orang jahil (baca: tidak tahu hukum), baik ia adalah jahil muqashshir berdasarkan pendapat yang lebih kuat maupun jahil qâshir berdasarkan ihtiyâth wajib[9].[10]
________________________________________
[1] Masalah: Puasa kita, baik puasa wajib maupun puasa sunah, tidak batal dengan kita bermimpi basah di siang hari.
[2] Imam Khamenei: Jika kita tidak bangun hingga fajar menyingsing meskipun memiliki niat tersebut, maka puasa kita batal. Meskipun demikian, kita tetap wajib menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa dan lalu mengqadhanya. Kita tidak wajib membayar kafarah. Akan tetapi, ahwath adalah kita membayar kafarah.

Sayyid Khu’i: Dalam tidur kedua, qadha adalah wajib, sedangkan kafarah tidak wajib.
[3] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Mengikutkan para nabi dan washî mereka, serta Sayyidah Fathimah as. dalam hukum ini adalah pendapat yang berdalil (lâ yakhlû min wajh).
[4] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat.
[5] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, puasa kita batal dengan kita memasukkan kepala ke dalam air mudhâf.
[6] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, debu yang tidak kasar memiliki hukum debu yang kasar.
[7] Sayyid Khu’i: Debu itu tidak masalah.
[8] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, asap juga memiliki hukum debu yang kasar.
[9] Sayyid Khu’i: Tidak ada perbedaan antara kedua jenis jahil itu.
[10] Masalah: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, puasa bulan Ramadhan kita adalah batal apabila kita lupa tidak mandi jenabah di malam hari hingga berlalu satu atau beberapa hari. Ihtiyâth dengan mengikutkan qadha puasa bulan Ramadhan dengan hukum puasa bulan Ramadhan jangan kita tinggalkan.

Berdasarkan pendapat yang lebih kuat juga, mandi haid dan nifas tidak diikutkan dengan hukum mandi jenabah dalam hal ini, meskipun mengikutkannya adalah ahwath. (Dinukil dari Al-‘Urwah Al-Wutsqâ)
BAB V
PUASA
PASAL 1
NIAT
Masalah 401: Dalam puasa, kita harus berniat puasa; yaitu kita berkeinginan untuk mengerjakan ibadah khusus yang telah ditentukan dalam syariat Islam itu dan bertekad bulat untuk meninggalkan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa dengan tujuan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah). Untuk kesahan puasa, kita tidak disyaratkan mengetahui seluruh hal yang membatalkan puasa secara rinci dan detail.
Dalam berpuasa, kita harus menentukan jenis puasa yang kita telah berniat untuk menaati perintah Allah semata. Untuk ini, kita cukup menentukannya secara global. Sebagai contoh, apabila kita hanya memiliki kewajiban satu jenis puasa, maka kita cukup meniatkan puasa yang ada dalam pundak kita itu.
Menurut pendapat yang azhhar, dalam puasa sunah yang mutlak, kita tidak perlu menentukan jenis puasa sunah itu. Bahkan, begitu juga halnya dalam puasa sunah tertentu, apabila penentuan puasa sunah ini berhubungan dengan waktu dan hari tertentu. Ya, jika kita ingin menggapai pahala khusus untuk hari itu, maka kita harus memastikan hari tersebut dan berniat puasa untuk hari itu.
Masalah 402: Jika kita ingin mengqadha puasa untuk orang lain, maka kita harus berniat menqadhanya untuk orang tersebut (an-niyâbah).
Masalah 403: Pada bulan Ramadhan, puasa selain Ramadhan tidak sah, baik puasa wajib maupun puasa sunah, dan baik kita wajib berpuasa pada bulan Ramadhan itu maupun tidak seperti pada saat kita bepergian. Bahkan, baik kita tidak tahu maupun lupa bahwa bulan itu adalah bulan Ramadhan.
Masalah 404: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, niat tidak memiliki tempat[1] secara syar‘i dalam puasa wajib tertentu. Tolok ukur dalam hal ini adalah terlaksanya puasa berdasarkan tekad bulat dan niat (untuk berpuasa) yang terdapat dalam diri kita, meskipun kita lalai akan niat itu lantaran tidur dan tindakan-tindakan yang serupa, baik tekad bulat itu telah terwujud sebelum fajar menyingsing maupun bersamaan dengan terbitnya fajar. Oleh karena itu, jika kita telah bertekad bulat untuk berpuasa untuk hari esok dari hari sebelumnya dan lantas kita tidur hingga sore hari esok dengan tekad itu, maka berdasarkan pendapat yang lebih sahih (ashahh) puasa kita adalah sah.
Masalah 405: Jika kita tidak berniat lantaran sebuah uzur, seperti lupa, lalai, atau tidak tahu, lalu uzur kita hilang sebelum matahari tergelincir,[2] maka waktu niat kita secara syar‘i memanjang hingga matahari tergelincir, asalkan kita belum melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Jika matahari telah tergelincir, maka waktu niat kita telah habis.[3] Ya, isykâl bila hukum niat ini diaplikasikan untuk uzur-uzur yang lain.[4] Bahkan, isykâl juga hukum niat ini diaplikasikan untuk uzur sakit (yang terobati sebelum matahari tergelincir), meskipun aplikasi hukum ini untuk uzur sakit adalah pendapat yang mendekati kebenaran (lâ yakhlû min qurb).[5]
Untuk puasa sunah, waktu niat memanjang hingga sebelum matahari terbenam sekadar waktu yang cukup untuk memperbaharui niat.
Masalah 406: Pada hari keraguan; apakah hari itu adalah akhir bulan Sya‘ban atau awal bulan Ramadhan, kita harus menetapkan puasa kita untuk bulan Sya‘ban.[6] Jika terbukti setelah itu bahwa hari keraguan tersebut adalah awal bulan Ramadhan, maka puasa kita itu dihitung sebagai puasa Ramadahan. Jika kita berpuasa pada hari keraguan itu dengan niat bahwa puasa itu adalah puasa wajib apabila hari tersebut adalah awal bulan Ramadhan atau puasa sunah bila hari itu adalah akhir bulan Sya‘ban, maka tidak jauh (lâ yab‘ud) bila puasa kita itu sah.[7]
Masalah 407: Sebagaimana niat adalah wajib di permulaan puasa, kontinuitas niat itu juga wajib di pertengahan puasa. Jika kita berniat[8] memutus niat puasa wajib yang tertentu atau ragu apakah ingin meneruskan niat puasa atau tidak, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat puasa kita adalah batal, meskipun kita kembali berniat puasa sebelum matahari tergelincir. Adapun berkenaan dengan selain puasa wajib tertentu, jika kita berniat memutus niat puasa, kemudian kembali berniat puasa sebelum matahari tergelincir, maka puasa kita adalah sah.
Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, hanya berniat untuk melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa tidak dapat membatalkan puasa.[9]
________________________________________
[1] Imam Khamenei: Akan tetapi, yang lebih utama adalah kita berniat setiap hari sebelum fajar menyingsing.
[2] Sayyid Khu’i: Hukum ini memiliki isykâl, dan ihtiyâth dengan memperbaharui niat dan mengqadha puasa jangan kita tinggalkan.
[3] Imam Khamenei: Jika kita telah melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa atau matahari tergelincir, maka puasa kita batal dan kita wajib meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa demi menghormati bulan Ramadhan hingga matahari terbenam dan mengqadha puasa tersebut. Adapun jika kita belum melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan matahari juga belum terbenam, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus berniat puasa, berpuasa, dan lalu mengqadhanya.

Syaikh Behjat: Kita boleh memperbaharui niat secara ikhtiyârî untuk selain puasa wajib yang tertentu dan puasa kita ini sah. Adapun jika kita bangun dari tidur setelah waktu Zhuhur berlalu, maka kita tidak bisa lagi berniat puasa wajib.
[4] Syaikh Behjat: Beliau tidak memerinci masalah ini. Beliau hanya menulis, “Barang siapa tidur tanpa berniat puasa ....”
[5] Imam Khamenei: Jika orang yang sakit sembuh dari penyakitnya di pertengahan siang, maka ia tidak wajib berpuasa. Ya, jika ia sembuh sebelum matahari tergelincir dan juga belum melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa, maka berdasarkan ihtiyâth mustahab ia hendaknya berpuasa pada hari itu dan lalu mengqadhanya.
[6] Masalah: Kita tidak wajib berpuasa pada hari keraguan. Ya, kita boleh berpuasa dengan niat puasa bulan Sya‘ban, puasa qadha, puasa kafarah, atau puasa-puasa yang lain. Jika terbukti bahwa hari keraguan itu adalan awal bulan Ramadhan, maka puasa kita itu dihitung sebagai puasa bulan Ramadhan.
[7] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, puasa itu adalah batal.
[8] Imam Khamenei: Jika kita ragu apakah ingin memutus niat puasa atau tidak, maka kesahan puasa kita adalah isykâl, dan berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus menyempurnakan puasa itu dan lalu mengqadhanya.
[9] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus menyempurnakan puasa itu dan lalu mengqadhanya.
PASAL 10
SALAT JUMAT
Salat Jumat berjumlah dua rakaat. Tata caranya adalah seperti tata cara salat Shubuh. Dalam salat Jumat, sunah kita membaca qirâ’ah dengan suara keras, membaca surah Al-Jumu‘ah pada rakaat pertama, dan surah Al-Munâfiqûn pada rakaat kedua. Salat Jumat memiliki dua qunut: pertama, sebelum rukuk rakaat pertama dan kedua, setelah rukuk rakaat kedua.
Masalah 387: Pada saat imam maksum as. berkuasa, salat Jumat memiliki hukum wajib ta‘yînî. Akan tetapi, pada masa kegaiban beliau, salat Jumat memiliki hukum wajib takhyîrî; yaitu kita bisa memiliki antara mengerjakan salat Jumat atau salat Zhuhur. Akan tetapi, mengerjakan salat Jumat adalah afhdal (lebih utama), dan mengerjakan salat Zhuhur adalah ahwath (lebih hati-hati). Dan lebih ihtiyâth lagi adalah kita mengumpulkan antara mengerjakan salat Jumat dan salat Zhuhur.
Syarat-Syarat Salat Jumat
Salat Jumat harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a. Jumlah peserta; minimal jumlah peserta salat Jumat yang diperlukan adalah 5 orang dan salah seorang dari mereka bertindak sebagai imam. Salat Jumat tidak bisa terlaksana dengan jumlah peserta kurang dari 5 orang.
b. Dua khutbah; dua khutbah adalah wajib dan salat Jumat tidak bisa terbentuk tanpa kedua khutbah ini.
c.Berjamaah; salat Jumat tidak bisa terbentuk dengan salat furâdâ.
d. Tidak ada salat Jumat lain yang didirikan dalam jarak yang kurang dari 3 mil. Jika jarak antara kedua salat Jumat itu adalah 3 mil atau lebih, maka kedua salat Jumat itu sah. Jika terdapat sebuah kota besar yang berukuran beberapa farsakh, maka beberapa salat Jumat boleh didirikan pada setiap batas 3 mil.
Masalah 388: Ada beberapa hal yang diwajibkan dalam kedua khutbah tersebut berikut ini:
a. At-Tahmîd (memuji Allah) dan—berdasarkan ihtiyâth wajib[1]—lantas diikuti dengan Ats-Tsanâ’ (menjunjung dan memuja-Nya).
b. Kemudian, mengirimkan salawat kepada Rasulullah saw. berdasarkan ihtiyâth wajib[2] pada khutbah pertama dan berdasarkan pendapat yang lebih kuat pada khutbah kedua.
c. Kemudian, berwasiat untuk bertakwa kepada Allah berdasarkan pendapat yang lebih kuat pada khutbah pertama dan berdasarkan ihtiyâth wajib[3] pada khutbah kedua.
d. Kemudian, membaca satu surah Al-Qur’an yang pendek berdasarkan pendapat yang lebih kuat pada khutbah pertama dan berdasarkan ihtiyâth wajib pada khutbah kedua.
e.Berdasarkan ihtiyâth mustahab,[4] mengirimkan salawat kepada para imam maksum as. setelah mengirimkan salawat kepada Rasulullah saw. dan memintakan ampun untuk mukminin dan mukminat pada khutbah kedua.
Yang paling utama adalah kita membaca khutbah yang telah diriwayatkan dari para maksum as.
Masalah 289: Imam salat Jumat yang juga bertindak sebagai khatib harus menyebutkan hal-hal berikut ini dalam khutbahnya:
a. Seluruh kemaslahatan muslimin yang berhubungan dengan agama dan dunia mereka.
b. Memberitahukan kepada mereka segala peristiwa yang terjadi di negara-negara Islam dan non-Islam dan memiliki hubungan dengan mereka dalam agama dan dunia mereka, seperti masalah politik dan ekonomi yang memiliki peran penting dalam mewujudkan kemerdekaan dan tata cara hubungan mereka dengan negara-negara lain.
c. Memperingatkan mereka akan bahaya campur tangan negara-negara kolonialis asing dalam urusan politik dan ekonomi mereka.
d. Seluruh kemasalahatan muslimin yang lain.
Masalah 390: Kedua khutbah Jumat boleh dibaca sebelum matahari tergelincir (zawâl). Akan tetapi, pembacaan khutbah ini harus diatur sedemikian rupa sehingga matahari tergelincir pada saat khatib usai membaca kedua khutbah tersebut. Dan ahwath[5] adalah kedua khutbah itu dibaca pada saat matahari tergelincir.[6]
Masalah 391: Kedua khutbah Jumat harus dibaca sebelum salat Jumat didirikan. Jika imam salat Jumat mengerjakan salat Jumat terlebih dahulu, maka salat Jumat itu batal, dan ia harus mengulangi salat Jumat setelah membaca kedua khutbah Jumat.
Menurut pendapat yang zhâhir, imam salat Jumat tidak wajib mengulangi salat Jumat apabila ia lebih dahulu mengerjakan salat Jumat itu sebelum membaca kedua khutbah karena tidak tahu hukum atau lupa. Bahkan, ketidakwajiban mengulangi salat Jumat itu apabila ia mengerjakannya terlebih dahulu karena tidak sengaja dan tanpa pengetahuan adalah sebuah pendapat yang memiliki dalil (kâna lahu wajh).
Masalah 392: Khatib harus berdiri pada saat membaca khutbah Jumat. Khatib dan imam salat Jumat harus satu orang; (yaitu orang yang bertindak sebagai khatib Jumat juga harus bertindak sebagai imam salat Jumat—pen.).
Masalah 393: Berdasarkan ihtiyâth, bila bukan berdasarkan pendapat yang lebih kuat, khatib harus mengeraskan suaranya sehingga jumlah minimal peserta salat Jumat dapat mendengar suaranya. Bahkan menurut pendapat yang zhâhir, ia tidak boleh memelankan suaranya. Khatib selayaknya mengeraskan suaranya sehingga seluruh hadirin dapat mendengar suaranya, dan bahkan hal ini adalah ahwath.[7]
Jika peserta salat Jumat sangat banyak, maka ia selayaknya membaca khutbah dengan menggunakan pengeras suara untuk menyampaikan nasihat dan tablig agama, khususnya tentang masalah-masalah yang sangat penting, kepada mereka.
Masalah 394: Berdasarkan ihtiyâth,[8] bahkan menurut pendapat yang awjah (lebih jitu), para peserta salat Jumat harus mendengarkan khutbah Jumat. Bahkan, berdasarkan ihtiyâth, mereka harus diam dan tidak berbicara apapun pada saat pembacaan khutbah Jumat berlangsung. Meskipun demikian, menurut pendapat yang lebih kuat, makruh mereka berbicara pada saat itu. Jika berbicara menyebabkan fungsi khutbah Jumat hilang dan mereka tidak dapat mendengarkan khutbah, maka mereka wajib tidak berbicara.
Orang yang Wajib Mengerjakan Salat Jumat
Masalah 395: Salat Jumat adalah wajib atas mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a.Berusia taklif (berusia balig dan berakal).
b.Laki-laki.
c. Merdeka, (bukan budak).
d. Tidak buta dan tidak terjangkit penyakit.
e. Bukan orang yang sudah tua bangka.
f. Jarak antara tempat tinggal mereka dan tempat salat Jumat didirikan tidak lebih dari 2 farsakh.
Mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak wajib menghadiri salat Jumat, meskipun kita berpendapat bahwa salat Jumat adalah wajib ta‘yînî.
Masalah 396: Jika mereka yang tidak memenuhi persyaratan di atas secara kebetulan menghadiri salat Jumat atau memaksakan diri untuk menghadirinya, maka salat Jumat mereka sah dan mencukupi dari salat Zhuhur. Begitu juga halnya berkenaan dengan mereka yang diizinkan untuk tidak menghadiri salat Jumat lantaran hujan atau hawa dingin yang menyengat, dan juga berkenaan dengan mereka yang menghadiri salat Jumat menyulitkan mereka.
Ya, salat Jumat orang yang gila tidak sah. Akan tetapi, salat Jumat yang dikerjakan oleh anak kecil adalah sah. Hanya saja, jumlah minimal salat Jumat tidak boleh disempurnakan dengan menggunakan anak kecil dan salat Jumat juga tidak bisa terwujud bila hanya dihadiri oleh anak-anak kecil saja.
Masalah 397: Musafir boleh[9] menghadiri salat Jumat; salat Jumatnya adalah sah dan mencukupi salat Zhuhur. Akan tetapi, salat Jumat yang hanya didirikan oleh para musafir tanpa mengikuti orang-orang yang tidak musafir adalah tidak sah. Musafir juga tidak boleh menjadi penyempurna jumlah minimal peserta salat Jumat.
Orang perempuan juga boleh menghadiri salat Jumat dan salatnya ini mencukupi salat Zhuhur, asalkan minimal jumlah peserta salat Jumat telah sempurna oleh kalangan kaum laki-laki.
Waktu Salat Jumat[10]
Masalah 398: Waktu salat Jumat tiba pada saat matahari tergelincir. Jika imam salat Jumat telah usai membaca kedua khutbah pada saat matahari tergelincir, maka ia boleh memulai salat Jumat. Berdasarkan pendapat yang aqrab (lebih dekat), akhir waktu salat Jumat adalah bila ukuran bayangan orang yang memiliki tinggi tubuh normal telah berukuran dua langkah.
Masalah 399: Jika kita telah memulai salat Jumat, lalu waktunya habis, maka salat Jumat kita adalah sah, asalkan kita telah mengerjakan satu rakaat dari salat Jumat itu pada waktunya. Jika tidak, maka salat Jumat kita adalah batal. Dan dalam kondisi ini, ihtiyâth dengan memilih salat Zhuhur—berdasarkan pendapat bahwa salat Jumat adalah wajib takhyîrî, sebagaimana hal ini adalah pendapat yang lebih kuat—jangan kita tinggalkan.[11]
Masalah 400: Jika waktu salat Jumat telah habis, maka kita harus mengerjakan salat Zhuhur. Salat Jumat tidak memiliki qadha.
Beberapa Poin Penting
Pertama, seluruh persyaratan yang harus terpenuhi dalam salat jamaah juga harus terpenuhi dalam salat Jumat; yaitu tidak boleh ada penghalang, tempat imam berdiri tidak boleh lebih tinggi dari tempat makmum berdiri, jarak antara imam dan antara saf-saf salat harus terjaga, dan lain sebagainya. Begitu juga, seluruh persyaratan yang harus terpenuhi dalam diri imam salat jamaah juga harus terpenuhi dalam diri imam salat Jumat; yaitu berakal, bermazhab Syi‘ah Imamiah, adil, dan syarat-syarat yang lain.[12] Ya, salat Jumat tidak sah bila anak kecil atau orang perempuan bertindak sebagai imam salat Jumat, meskipun kita memperbolehkan mereka berdua menjadi imam bagi sejenis kelamin mereka dalam selain salat Jumat.
Kedua, azan kedua pada hari Jumat adalah sebuah bid‘ah yang haram. Azan ini dikumandangkan setelah azan asli (pertanda salat Zhuhur sudah masuk). Azan ini juga disebut dengan “azan ketiga”.
________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Kedua khutbah Jumat tidak boleh kosong dari nasihat dan bacaan Al-Qur’an.

[2] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, salawat ini harus dibaca pada setiap khutbah.

[3] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, setiap khutbah harus berisi nasihat dan bacaan Al-Qur’an.

[4] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, khutbah kedua harus berisi salawat atas seluruh maksum as., satu per satu.

[5] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, sebagian dari kedua khutbah itu harus dibaca setelah matahari tergelincir.

Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, kadar yang wajib dari kedua khutbah itu harus dibaca setelah matahari tergelincir.

[6] Sayyid Khu’i: Kedua khutbah itu harus dibaca setelah matahari tergelincir.

[7] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kedua khutbah Jumat harus dibaca sedemikian rupa sehingga para hadirin dapat memahami artinya, sekalipun dengan menggunakan selain bahasa Arab. Meskipun demikian, kesahan salat Jumat bergantung pada memperdengarkan khutbah pada jumlah minimal peserta salat Jumat.

[8] Syaikh Behjat: Mereka wajib diam dan haram berbicara di pertengahan khutbah, apabila hal itu menyebabkan fungsi khutbah Jumat hilang.

[9]
Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth, setelah matahari tergelincir, kita jangan bepergian dari kota tempat didirikan salat Jumat yang memenuhi persyaratan.

[10] Masalah: Waktu salat Jumat dimulai dari awal waktu Zhuhur. Berdasarkan ihtiyâth, salat Jumat jangan ditunda hingga melebihi permulaan ‘urfi waktu salat Zhuhur (± 1 atau 2 jam dari awal waktu Zhuhur). Jika salat Jumat tidak didirikan hingga saat itu, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus mengerjakan salat Zhuhur sebagai ganti dari salat Jumat itu.

[11] Syaikh Behjat: Jika kita menunda salat Jumat dari awal waktu, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengumpulkan antara salat Jumat dan salat Zhuhur.

[12] Imam Khamenei: Imam salat Jumat disyaratkan harus ditunjuk oleh pemimpin negara Islam (Al-Hâkim Asy-Syar‘i) yang adil. Akan tetapi, syarat ini hanya diperlukan berkenaan dengan aktualisasi efek-efek yang hanya khusus dimiliki oleh imam salat Jumat yang ditunjuk secara langsung, bukan berkenaan dengan pendirian salat Jumat itu sendiri.
PASAL 9
SALAT JAMAAH
Salat Jamaah adalah sebuah sunah mu’akkad dalam seluruh salat wajib, khususnya salat wajib lima waktu sehari-hari. Kesunahan salat jamaah ini lebih memperoleh penekanan lagi untuk salat Maghrib, Isya’, dan Shubuh.
Salat jamaah memiliki pahala yang sangat besar. Akan tetapi, salat jamaah ini tidak wajib kecuali untuk salat Jumat apabila seluruh persyaratan yang akan dipaparkan nanti terpenuhi. Salat jamaah tidak disyariatkan untuk salat sunah. Ya, dengan niat rajâ’, tidak masalah kita mengerjakan salat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan berjamaah.
Masalah 365: Untuk selain salat Jumat, salat hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha, jumlah minimal yang diperlukan untuk salat jamaah adalah dua orang; satu orang bertindak sebagai imam dan yang lain bertindak sebagai makmum, baik makmum adalah laki-laki maupun perempuan, dan bahkan anak kecil yang sudah mumayyiz menurut pendapat yang paling kuat.
Masalah 366: Untuk keterwujudan salat jamaah di selain salat Jumat, dua salat hari raya, dan sebagian bagian salat yang bisa diulangi—apabila hal ini memang disyariatkan, imam tidak disyaratkan harus berniat menjadi imam salat jamaah. Hanya saja, pahala salat jamaah berhak ia dapati apabila ia berniat menjadi imam salat jamaah. Adapun makmum, ia harus berniat menjadi makmum. Jika ia tidak berniat menjadi makmum, maka salat jamaah tidak terwujud, meskipun ia mengikuti imam dalam tindakan dan ucapan.
Imam salat jamaah harus berjumlah satu orang. Begitu juga, kita wajib menentukan imam salat jamaah dengan nama, sifat, isyarat internal, atau isyarat eksternal; seperti kita berniat untuk bermakmum kepada imam yang sedang berdiri ini. Jika kita berniat bermakmum kepada salah satu dari dua imam yang sedang berdiri itu, maka salah jamaah tidak terwujud.
Masalah 367: Jika kita berniat untuk bermakmum kepada seseorang dengan dasar keyakinan bahwa orang itu adalah Zaid, lalu terbukti bahwa ia adalah ‘Amr, masalah ini memiliki dua kemungkinan:
a. Jika ‘Amr bukan orang yang adil, maka salat dan jamaah kita, keduanya adalah batal, apabila kita menambah satu rukun salat karena mengikuti seluruh tindakan dan ucapan imam itu. Jika kita tidak menambah rukun salat, maka kesahan salat kita adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah). Dan ahwath adalah kita menyempurnakan salat itu bersama imam dan lantas mengulanginya.
b. Jika ‘Amr adalah orang yang adil, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat salat dan jamaah kita adalah sah, baik kita berniat sebelumnya untuk bermakmum kepada Zaid dan menyangka bahwa imam yang sedang berdiri itu adalah Zaid maupun kita berniat untuk bermakmum kepada imam yang sedang berdiri itu dan menyangka bahwa ia adalah Zaid. Dan ahwath dalam kondisi pertama ini adalah kita menyempurnakan salat bersama imam dan lantas mengulanginya, apabila salat yang telah kita kerjakan bersama imam itu tidak sesuai dengan syarat-syarat kesahan salat furâdâ.
Masalah 368: Jika kita sedang mengerjakan salat secara furâdâ, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita tidak boleh mengubah niat menjadi makmum di pertengahan salat itu.[1]
Masalah 369: Menurut pendapat yang zhâhir, di bagian salat manapun, kita boleh mengubah niat dari salat jamaah menjadi salat furâdâ, walaupun kita tidak terpaksa. Mengubah niat juga boleh meskipun kita telah berniat demikian dari sejak permulaan salat.[2] Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab,[3] kita hendaknya jangan mengubah niat kecuali untuk keperluan penting (dharûrah), khususnya untuk kondisi kedua (berniat mengubah niat dari sejak permulaan salat—pen.) tersebut.
Masalah 370: Jika kita dapat mengejar imam pada saat ia sedang rukuk walaupun setelah ia usai membaca zikir, atau kita hadir di salat jamaah sebelum imam rukuk dan tidak memulai salat hingga ia rukuk, maka kita bisa mengikuti salat jamaah dan rakaat itu dihitung sebagai satu rakaat bagi salat kita. Dan hal ini adalah minimal kondisi yang harus kita capai untuk memperoleh satu rakaat di permulaan salat jamaah.
Masalah 371: Jika kita rukuk lantaran menyangka akan dapat mengejar imam pada saat ia sedang rukuk, akan tetapi kita tidak dapat mengejarnya atau kita ragu apakah telah dapat mengejarnya atau tidak, maka tidak jauh (lâ tab‘ud) bila salat kita itu sah secara furâdâ.[4] Dan ahwath adalah kita menyempurnakan salat itu dan lantas mengulanginya.
Syarat-Syarat Salat Jamaah[5]
Di samping hal-hal yang telah dipaparkan di atas, salat jamaah juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, tidak boleh ada penghalang yang dapat mencegah pandangan antara imam dan makmum atau antara satu makmun dan makmum lain yang berfungsi sebagai penghubung saf salat dengan imam. Ini semua apabila makmum adalah laki-laki. Jika makmum adalah perempuan, maka tidak masalah terdapat penghalang antara ia dan imam, dan tidak juga antara ia dan makmum laki-laki. Adapun antara ia dan makmum perempuan lain yang berfungsi sebagai penghubung saf salat dengan imam, dan begitu juga antara ia dan imam perempuan—bila imam perempuan memang disyariatkan, maka adanya penghalang itu adalah isykâl.[6]
Kedua, tempat imam berdiri tidak boleh lebih tinggi daripada tempat makmum berdiri, kecuali sedikit. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, ketinggian tempat imam berdiri itu tidak boleh melebihi kadar yang ‘urf tidak memandang bahwa tempat imam berdiri lebih tinggi daripada tempat makmum berdiri, walaupun dari sisi pandang toleransi ‘urfi (musâmahah).
Tidak masalah tempat makmum berdiri lebih tinggi daripada tempat imam berdiri, sekalipun perbedaan ketinggiannya sangat banyak. Akan tetapi, banyak dalam batas yang normal (muta‘âraf), seperti atap toko dan rumah, bukan ketinggian bangunan pencakar langit pada masa kita sekarang ini berdasarkan ihtiyâth.[7]
Ketiga, makmum tidak boleh menjauh dari imam atau dari saf salat yang berada di depannya sebatas yang—menurut kebiasaan yang berlaku—sangat jauh. Dan berdasarkan ihtiyâth, antara tempat sujud makmum dan tempat berdiri imam atau antara tempat sujud makmum dan tempat berdiri makmum yang berada di depannya tidak boleh terdapat pemisah yang lebih dari satu langkah normal. Dan lebih ihtiyâth lagi[8] adalah tempat sujud makmum hendaknya berada persis di belakang tempat berdiri imam atau makmum yang berada di depannya tanpa terpisah sedikit pun.
Keempat, makmum tidak boleh berdiri lebih maju dari imam, dan ahwath[9] adalah hendaknya ia berdiri lebih mundur dari imam, walaupun sedikit.
Masalah 372: Jika saf salat sangat panjang sehingga sampai ke pintu masjid dan satu saf atau beberapa saf juga terbentuk di luar masjid, serta seorang makmum yang berada di saf ini berdiri di depan pintu, sedangkan makmum yang lain berdiri di kedua sisi kanan dan kiri makmum tersebut, maka salat para makmum saf pertama yang berdiri di kedua sisi makmum tersebut adalah batal, karena antara mereka dan imam atau saf salat yang berada di depan mereka terdapat penghalang. Bahkan, kebatalan salat mereka adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah). Begitu juga halnya berkenaan dengan mihrab yang masuk ke dalam tembok. Ya, salat seluruh makmum yang berdiri di saf-saf kedua dan selanjutnya adalah sah.
Masalah 373: Jika salat makmum yang berada di saf depan telah usai, maka isykâl bila makmum yang berada di saf berikutnya tetap berniat menjadi makmum, sekalipun para makmum yang berada di saf depan tersebut kembali mengikuti salat jamaah tanpa tenggang waktu. Oleh karena itu, ihtiyâth[10] dengan mengubah niat menjadi salat furâdâ[11] jangan ditinggalkan oleh para makmum yang berada di saf berikut tersebut.
Masalah 374: Makmum yang berdiri di saf berikut boleh mengucapkan Takbiratul Ihram sebelum makmum yang berada di saf depan, asalkan makmum yang berada di saf depan ini telah berdiri dan bersiap-siap untuk mengucapkan Takbiratul Ihram.
Hukum Salat Jamaah
Menurut pendapat yang lebih kuat, makmum harus meninggalkan qirâ’ah pada rakaat pertama dan kedua untuk salat yang harus dibaca dengan suara pelan (al-ikhfâtiyyah). Begitu juga halnya berkenaan dengan rakaat pertama dan kedua untuk salat yang harus dibaca dengan suara keras (al-jahriyyah), apabila ia masih mendengar suara imam sekalipun samar-samar dan tidak jelas. Jika ia tidak dapat mendengar suara imam, maka ia boleh, bahkan sunah membaca qirâ’ah.
Masalah 375: Jika kita masih mendengar qirâ’ah imam secara sepotong-potong, maka berdasarkan ihtiyâth wajib[12] kita harus meninggalkan qirâ’ah secara mutlak.
Masalah 376: Imam tidak menanggung bacaan salat kita selain qirâ’ah yang harus dibaca pada rakaat pertama dan kedua. Ini pun apabila kita bermakmum kepadanya pada rakaat pertama dan kedua itu.[13] Jika kita tidak bermakmum kepadanya pada kedua rakaat itu, maka kita harus membaca qirâ’ah.
Jika imam tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk menyelesaikan bacaan qirâ’ah secara sempurna, maka kita cukup membaca Al-Fâtihah saja dan mengabaikan bacaan surah, dan lalu mengejar imam pada saat ia sedang rukuk. Jika ia juga tidak memberi kesempatan kepada kita untuk menyelesaikan bacaan Al-Fâtihah, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita boleh menyempurnakan bacaan qirâ’ah secara sempurna dan mengejar imam pada saat ia sedang sujud, dan mungkin inilah tindakan yang ahwath. Meskipun demikian, kita juga boleh berniat memisahkan diri dari imam dan mengerjakan salat secara furâdâ.[14]
Masalah 377: Dalam tindakan dan gerak-gerik, kita wajib mengikuti imam.[15] Yaitu, kita tidak boleh mendahului imam dan juga tidak boleh—terlalu mencolok—tertinggal darinya. Adapun dalam ucapan, menurut pendapat yang paling kuat, kita tidak wajib mengikuti imam, kecuali Takbiratul Ihram. Dalam membaca Takbiratul Ihram, kita tidak boleh mendahului dan juga tidak boleh bersamaan dengan imam. Berdasarkan ihtiyâth,[16] kita jangan mulai membaca Takbiratul Ihram sebelum Takbiratul Ihram imam usai.
Masalah 378: Jika kita bangun dari rukuk atau sujud sebelum imam lantaran lupa atau karena menyangka bahwa imam telah bangun dari rukuk atau sujud, maka kita harus kembali rukuk atau sujud dan mengikuti imam. Dalam kondisi ini, penambahan rukun tidak membatalkan salat. Jika kita tidak kembali rukuk atau sujud, maka telah berdosa. Akan tetapi, salat kita tetap sah apabila kita telah membaca zikir rukuk atau sujud dan melaksanakan seluruh kewajiban yang harus dilaksanakan pada saat rukuk dan sujud. Jika tidak demikian, maka berdasarkan ihtiyâth wajib[17] salat kita adalah batal.
Masalah 379: Jika kita bangun dari rukuk sebelum imam karena lupa, kemudian kita rukuk kembali lantaran mengikuti imam dan imam bangun dari rukuk sebelum kita sampai ke batas rukuk, maka tidak jauh (lâ yab‘ud) bila salat kita batal. Dan ahwath adalah kita menyempurnakan salat tersebut dan lantas mengulanginya.
Masalah 380: Jika kita bangun dari sujud dan melihat imam masih sedang sujud, lalu kita menyangka bahwa sujud imam itu adalah sujud yang pertama dan kita kembali sujud lantaran mengikuti imam, kemudian terbukti bahwa sujud imam tersebut adalah sujud yang kedua, maka isykâl sujud kita itu dihitung sebagai sujud yang kedua.[18] Dan ihtiyâth dengan menyempurnakan salat tersebut dan lantas mengulanginya jangan kita tinggalkan. Jika kita menyangka bahwa sujud imam itu adalah sujud yang kedua, lalu kita sujud lagi dengan niat sujud yang kedua dan lantas terbukti bahwa sujud imam itu adalah sujud yang pertama, maka sujud kita yang kedua itu dianggap sebagai sujud yang kedua. Dalam kondisi ini, kita bisa berniat furâdâ dan lalu menyempurnakan salat tersebut. Akan tetapi, tidak jauh (lâ yab‘ud) bila kita masih boleh mengikuti imam pada sujud yang kedua.
Masalah 381: Jika kita sedang sibuk mengerjakan salat sunah, lalu salat jamaah didirikan dan kita khawatir tidak akan dapat mengejarnya, maka sunah kita memutus salat sunah tersebut. Jika kita sedang mengerjakan salat wajib secara furâdâ, maka sunah kita mengubah salat itu menjadi salat sunah dan menyempurnakannya sebanyak dua rakaat.
Syarat-Syarat Imam Salat Jamaah[19]
Imam salat jamaah harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a. Beriman; (yaitu bermazhab Syi‘ah Imamiah).[20]
b. Anak halal.
c. Berakal.
d. Baligh, jika makmum juga sudah berusia baligh. Bahkan, isykâl anak yang belum baligh menjadi imam untuk anak yang juga belum baligh. Lebih dari itu, ketidakbolehan anak itu manjadi imam untuk anak yang seusia dengan dirinya adalah pendapat yang mendekati kebenaran (lâ yakhlû min qurb).
e. Laki-laki, jika makmum juga laki-laki. Bahkan, berdasarkan ihtiyâth, syarat ini juga diperuntukkan untuk semua jenis kelamin makmum, baik makmum laki-laki maupun perempuan.[21]
f. Adil. Kita tidak boleh bermakmum kepada imam yang fasik dan juga kepada imam yang tidak diketahui kepribadiannya. Karakteristik adil adalah sebuah kondisi kejiwaan yang muncul dari aktualisasi ketakwaan yang kontinu, dapat mencegah dosa besar; bahkan dosa kecil berdasarkan pendapat yang paling kuat, apabila lagi melakukan dosa kecil secara terus-menerus yang tindakan ini termasuk dalam kategori dosa besar, dan juga dapat mencegah tindakan-tindakan yang—secara ‘urf—mengindikasikan ketidakpedulian pelakunya terhadap agama. Berdasarkan ihtiyâth, imam salat harus menghindari hal-hal yang bertentangan harga diri (al-murû’ah). Akan tetapi, berdasarkan pendapat yang lebih kuat,[22] hal ini tidak harus ia hindari.
Masalah 382: Jika kita tahu bahwa diri kita tidak adil, akan tetapi makmum meyakini bahwa kita adalah seorang yang adil, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita boleh menjadi imam salat. Meskipun demikian, ahwath adalah kita tidak menjadi imam salat.
Masalah 383: Karakteristik adil dapat dibuktikan dengan kesaksian dua orang adil dan kemasyhuran yang menyebabkan hati kita mantap. Bahkan, kepercayaan (al-wutsûq) terhadap keadilan seseorang yang muncul dalam diri kita lantaran faktor apapun sudah cukup untuk itu. Begitu juga, kesalehan lahiriah (husn azh-zhâhir) cukup untuk itu.
Masalah 384: Kebolehan bermakmum kepada orang yang memiliki uzur adalah isykâl, dan ihtiyâth dalam hal ini dengan tidak bermakmum kepadanya jangan kita tinggalkan. Meskipun demikian, suatu pendapat yang memiliki dalil (lâ yakhlû min wajh) bila orang yang memiliki uzur diperbolehkan menjadi imam untuk orang yang memiliki uzur yang serupa atau untuk orang yang memiliki uzur lebih parah daripada dirinya; seperti orang yang salat dengan duduk menjadi imam untuk orang yang salat dengan berbaring.[23] Ya, tidak masalah orang yang salat dengan duduk menjadi imam untuk orang yang juga salat dengan duduk dan orang yang bertayamum dan memiliki jabîrah menjadi imam untuk selain mereka.[24]
Masalah 385: Jika imam dan makmum berbeda pendapat dalam hukum salat, baik atas dasar ijtihad maupun taklid, makmum sah bertaklid kepadanya meskipun amalan salat mereka tidak menyatu, selama makmum masih menilai bahwa salat imam adalah sah. Jika makmum meyakini, baik atas dasar ijtihad maupun taklid, bahwa salat imam adalah batal, maka makmum tidak boleh bermakmum kepadanya. Dalam hal ini, makmum tidak wajib meneliti dan bertanya-tanya.
Masalah 386: Jika terbukti setelah salat usai bahwa imam adalah orang yang fasik atau tidak bersuci (pada saat salat), maka salah jamaah kita tetap sah, dan hal-hal yang dimaafkan dalam salat jamaah juga dimaafkan dalam salat kita itu.
________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Beliau tidak menyinggung masalah ini. Ya, beliau menfatwakan bahwa apabila kita telah mengubah niat menjadi salat furâdâ di pertengahan salat jamaah, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita tidak boleh kembali menjadi makmum lagi.
[2] Sayyid Khu’i: Kesahan salat jamaah kita adalah isykâl.
[3] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, kita boleh mengubah niat dari salat jamaah menjadi salat furâdâ di pertengahan salat jamaah yang kesahannya tidak disyaratkan berjamaah, sekalipun kita telah memiliki niat demikian dari sejak sebelum memulai salat jamaah. Akan tetapi, mengubah niat ini mungkin bisa dilarang apabila menyebabkan salat jamaah kacau-balau dan para makmum keliru.
[4] Sayyid Khu’i: Salat kita batal.
[5] Masalah: Tidak isykâl bahwa kita boleh mendirikan salat jamaah kedua di dekat salat jamaah pertama. Akan tetapi, jika salat jamaah kedua menjadi faktor fitnah tersebar dan perpecahan muslimin atau mengandung penghinaan dan pelecehan terhadap nama imam salat jamaah pertama, maka salat jamaah kedua tidak boleh kita dirikan lagi. Begitu juga halnya hukum salat furâdâ pada saat salat jamaah didirikan.
[6] Syaikh Behjat: Tidak masalah terdapat penghalang antara makmum perempuan dan imam salat, apabila imam salat adalah laki-laki atau perempuan.

Sayyid Khu’i: Hukum masalah ini adalah seperti hukum untuk laki-laki.
[7] Syaikh Behjat: Tidak masalah tempat makmum berdiri lebih tinggi daripada tempat imam berdiri, sekalipun perbedaan ketinggiannya sangat banyak.
[8] Syaikh Behjat: Menurut pendapat yang azhhar, tidak masalah apabila pemisah itu hanya sekadar satu langkah yang normal.
[9] Syaikh Behjat: Menurut pendapat yang azhhar, makmum dan imam boleh berdiri sejajar, dan ahwath adalah makmum hendaknya berdiri lebih mundur dari imam.
[10] Syaikh Behjat: Dalam asumsi di atas, salat para makmum yang berada di saf berikut itu adalah sah, asalkan mereka sebelumnya dapat melihat para makmum di depan mereka yang melihat imam.
[11] Sayyid Khu’i: Salat para makmum yang berada di saf berikut itu adalah sah, asalkan para makmum yang berada di depan mereka langsung kembali mengikuti salat jamaah tanpa tenggang waktu.
[12] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh membaca potongan qirâ’ah imam yang masih kita dengar.
[13] Masalah: Jika qirâ’ah imam tidak benar dalam pandangan kita sebagai makmum, maka kita tidak boleh bermakmum kepadanya pada rakaat pertama dan kedua. Ya, kita boleh bermakmum kepadanya pada rakaat ketiga atau keempat apabila ia memang tidak bisa membaca qirâ’ah dengan benar.
[14] Sayyid Khu’i: Kita hanya membaca Al-Fâtihah saja. Jika menyempurnakan Al-Fâtihah menyebabkan kita tidak bisa mengikuti gerak-gerik imam (al-mutâba‘ah), maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus berniat furâdâ.
[15] Masalah: Jika kita mengikuti salat jamaah pada rakaat kedua dan imam duduk untuk membaca tasyahud, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus duduk berjongkok. Dan tidak masalah kita juga membaca tasyahud bersama imam.

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya duduk berjongkok. Dan sunah kita membaca qunut dan tasyahud bersama imam.
[16] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengakhirkan memulai Takbiratul Ihram.
[17] Syaikh Behjat: Hanya lantaran tidak membaca zikir, salat kita tidak batal.
[18] Syaikh Behjat: Sujud kita itu dihitung sebagai sujud kedua dan kita langsung dapat menyempurnakan salat bersama imam.
[19] Masalah: Kita tidak selayaknya bermakmum kepada selain ulama. Hal ini apabila kita mungkin untuk bermakmum kepada seorang ulama sekalipun dengan keluar menuju ke suatu masjid yang memiliki seorang ulama. Bahkan, dalam kondisi tertentu, kita tidak boleh bermakmum kepada selain ulama, apabila hal ini dapat menimbulkan penghinaan dan pelecehan terhadap nama ulama.
[20] Masalah: Kita boleh mengerjakan salat di belakang seorang imam yang bermazhab Ahli Sunah demi menjaga dan memelihara persatuan Islam. Salat ini adalah sah dan mencukupi.
[21] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Jika seluruh makmum adalah perempuan, maka imam boleh perempuan.
[22] Imam Khamenei: Melakukan hal-hal yang bertentangan dengan harga diri juga dapat mecoreng karakteristik adil.
[23] Syaikh Bahjat dan Sayyid Khu’i: Hal ini memiliki isykâl.
[24] Masalah: Kita tidak sah bermakmum kepada orang yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, baik dari asalnya maupun lantaran suatu faktor; seperti orang yang kehilangan tangannya atau kehilangan ibu jari kakinya.
PASAL 8
SALAT MUSAFIR
Musafir harus mengqashar salat yang berjumlah empat rakaat, asalkan beberapa syarat berikut terpenuhi. Adapun berkenaan dengan salat Shubuh dan Maghrib, ia tidak boleh mengqasharnya. Syarat-syarat mengqashar salat adalah berikut ini:
a. Menempuh Jarak Perjalanan Tertentu
Jarak perjalanan (al-masâfah) yang harus kita tempuh adalah 8 farsakh; dalam sekali perjalanan pergi atau pulang maupun gabungan antara jarak pulang dan pergi dengan syarat jarak pada saat kita pergi tidak boleh kurang dari 4 farsakh.
Masalah 346: Jarak syar‘i yang harus kita tempuh, baik jarak sekali perjalanan (imtidâdiyyah) maupun jarak gabungan (mulaffaqah), adalah sama dengan ± 45 kilo meter.[1] Jika jarak yang kita tempuh kurang dari jarak yang telah ditentukan itu, maka kita harus menyempurnakan salat.
Masalah 347: Titik permulaan untuk menghitung jarak perjalanan adalah tembok batas kota dan untuk kota yang tidak memiliki tembok pembatas adalah rumah terakhir di kota itu. Ini semua untuk selain kota besar. Untuk kota besar, titik permulaan untuk menghitung jarak perjalanan adalah batas akhir daerah tempat tinggal kita, asalkan setiap daerah di kota itu terpisah-pisah secara pasti sehingga setiap daerah itu berbentuk desa-desa yang berdekatan. Jika tidak demikian, maka isykâl kita memulai titik permulaan menghitung jarak perjalanan itu dari akhir daerah tempat tinggal kita tersebut; seperti apabila daerah-daerah di kota kita saling bersambung. Di kota semacam ini, ihtiyâth adalah kita mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat, apabila jarak perjalanan kita tidak mencapai jarak syar‘i bila dihitung dari batas akhir daerah tempat tinggal kita dan mencapai jarak syar‘i bila dihitung dari rumah kita. Meskipun demikian, pendapat yang mengatakan bahwa titik permulaan menghitung jarak perjalanan dalam kota semacam ini dimulai dari rumah kita adalah pendapat yang tidak jauh (laisa bi ba‘îd).[2]
Masalah 348: Jarak syar‘i dapat dibuktikan dengan pengetahuan kita sendiri dan dua orang saksi. Jika hanya satu orang adil yang bersaksi, maka berdasarkan ihtiyâth[3] kita harus mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat.[4] Jika kita ragu apakah kita sudah menempuh jarak syar‘i atau belum, maka berdasarkan ihtiyâth[5] kita harus meneliti dengan cara bertanya atau cara yang lain selama hal ini tidak menimbulkan kesulitan (haraj) bagi kita.[6]
b. Berniat Menempuh Jarak Perjalanan dari Sejak Keluar Rumah
Oleh karena itu, jika kita berniat menempuh sebuah jarak perjalanan yang kurang dari jarak syar‘i yang telah ditentukan, kemudian setelah sampai di tujuan kita ingin melanjutkan perjalanan yang juga berjarak kurang dari jarak syar‘i yang telah ditentukan tersebut, maka kita harus menyempurnakan salat selama pergi itu saja meskipun seluruh jarak perjalanan yang telah kita tempuh telah mencapai jarak syar‘i yang telah ditentukan. Begitu juga halnya apabila kita bepergian tanpa niat tertentu dan kita tidak tahu berapakah jarak perjalanan yang harus kita tempuh; seperti apabila kita keluar rumah untuk mencari seekor binatang yang lari.
Masalah 349: Tolok ukur dalam mengqashar salat adalah niat untuk menempuh jarak syar‘i yang telah ditetapkan, meskipun hal ini memakan waktu selama berhari-hari, selama salah satu faktor yang dapat memutus perjalanan tidak terjadi dan pepergian yang berlanjut selama berhari-hari itu tidak keluar dari nama pepergian; seperti kita hanya menempuh jarak perjalanan yang sangat pendek sekali setiap hari dengan tujuan untuk rekreasi dan lain sebagainya, bukan lantaran jalan yang sulit ditempuh. Dalam kondisi seperti ini, kita harus menyempurnakan salat, dan ahwath adalah mengumpulkan antara mengqashar dan menyempurnakan salat.
c. Kontinuitas Niat untuk Menempuh Jarak Syar‘i
Jika niat kita berubah atau kita ragu (apakah akan meneruskan perjalanan atau tidak) sebelum menempuh jarak 4 farsakh, maka kita harus menyempurnakan salat. Akan tetapi, salat yang telah kita qashar selama perjalanan itu adalah sah, dan kita tidak perlu mengulanginya di dalam waktu salat atau mengqadhanya di luar waktu salat. Jika perubahan niat atau keraguan itu terjadi setelah kita menempuh jarak 4 farsakh, maka kita tetap harus mengqashar salat, sekalipun kita tidak akan pulang pada hari itu juga, asalkan kita berniat untuk pulang sebelum tempo sepuluh hari.
d. Tidak Ada Niat untuk Memutus Perjalanan
Kita tidak berniat untuk memutus perjalanan dengan niat ingin bermukim di suatu tempat selama minimal sepuluh hari atau dengan kita melalui daerah tempat tinggal kita selama kita menempuh jarak perjalanan itu. Atas dasar ini, jika kita bermaksud menempuh jarak 4 farsakh dengan niat ingin bermukim selama sepuluh hari di pertengahan atau di akhir jarak 4 farsakh itu, atau kita memiliki rumah tempat tinggal di pertengahan atau di akhir jarak 4 farsakh tersebut dan kita melaluinya, maka kita harus menyempurnakan salat.
e. Perjalanan Kita bukan Perjalanan Maksiat
Jika perjalanan kita adalah sebuah perjalanan maksiat, maka kita tidak boleh mengqashar salat, baik perjalanan itu sendiri adalah sebuah perjalanan maksiat; seperti melarikan diri dari medan jihad, maupun tujuan perjalanan itu adalah sebuah maksiat; seperti perjalanan untuk merampok harta orang lain atau menerima harta haram dari seorang penguasa yang zalim. Ya, hal-hal haram yang terjadi di pertengahan perjalanan tidak termasuk dalam kategori perjalanan maksiat, seperti menggunjing orang lain dan hal-hal haram lain yang tidak menjadi tujuan perjalanan kita. Dalam kondisi ini, kita tetap harus mengqashar salat. Bahkan, berdasarkan pendapat yang lebih kuat, menunggangi tunggangan atau mobil hasil gasab tidak termasuk dalam kategori perjalanan maksiat. Ya, jika kita bepergian dengan tujuan untuk meninggalkan sebuah kewajiban, maka ihtiyâth dengan mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat jangan kita tinggalkan, meskipun kewajiban hanya menyempurnakan salat saja dalam kondisi ini adalah sebuah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
Masalah 350: Jika kita pulang dari perjalanan maksiat setelah bertobat atau setelah terjadi suatu faktor yang mengeluarkan kepulangan kita itu dari kategori perjalanan maksiat; seperti kita pulang lantaran sebuah tujuan lain yang bersifat independen, bukan sekadar pulang ke kampung halaman kita, maka kita harus mengqashar salat. Jika tidak demikian, maka kita tetap harus menyempurnakan salat, dan ahwath adalah kita mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat.
Masalah 351: Pepergian untuk berburu dengan tujuan yang sia-sia tak berarti (lahw) seperti banyak dilakukan oleh kaum bangsawan termasuk dalam kategori perjalanan maksiat. Akan tetapi, jika kita berburu untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, maka kita harus mengqashar salat. Jika kita berburu dengan tujuan bisnis dan diperjualbelikan, maka kita tidak boleh berpuasa. Adapun berkenaan dengan salat, masih ada isykâl berkenaan dengan hal ini, dan ahwath[7] adalah kita mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat.[8]
Pepergian untuk rekreasi tidak termasuk dalam kategori perjalanan maksiat dan tidak mengharuskan kita menyempurnakan salat.
f. Rumah Kita tidak Bersama Kita
Kita tidak memiliki rumah yang senantiasa berpindah-pindah bersama kita, seperti sebagian pengembara padang pasir yang senantiasa menjelajahi gurun sahara, lalu bermukim di suatu tempat yang berair dan bertumbuh-tumbuhan dalam beberapa waktu dan mereka tidak mengambil keputusan untuk memilih tempat tinggal yang pasti. Termasuk dalam kategori ini, para nahkoda dan pemilik bahtera yang rumah mereka berada dalam bahtera tersebut. Dengan demikian, mereka wajib menyempurnakan salat. Ya, jika mereka bepergian untuk keperluan yang lain, seperti melaksanakan ibadah haji, berziarah, atau tujuan-tujuan yang lain, maka mereka harus mengqashar salat.
g. Pepergian Bukan Profesi Kita
Kita tidak memiliki profesi pepergian, seperti pemilik kuda sewaan yang sekaligus bertindak sebagai sais, pemungut zakat dan pajak negara, pemilik mobil sewaan (yang sekaligus berfungsi sebagai sopir), dan lain sebagainya. Ya, mereka harus mengqashar salat dalam perjalanan yang tidak berfungsi sebagai profesi mereka.[9]
Tolok ukur dalam hal ini adalah keputusan kita untuk menjadikan pepergian sebagai pekerjaan dan profesi kita. Hal ini bisa terwujud dengan kita mengambil keputusan untuk itu sekaligus kita mulai melakukan profesi tersebut sesuai dengan kadar yang layak diperhitungkan (mu‘taddun bih). Untuk mewujudkan hal itu, kita tidak perlu mengulangi pepergian sebanyak dua kali atau berkali-kali. Ya, tidak jauh (lâ yab‘ud)[10] bila kita wajib mengqashar salat dalam pepergian pertama[11] meskipun seluruh kategori yang diperlukan dalam hal ini sudah terwujud. Meskipun demikian, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengumpulkan antara mengqashar dan menyempurnakan salat dalam perjalan pertama dan perjalanan kedua. Dan pada perjalanan ketiga, kita wajib menyempurnakan salat.
h. Sampai pada Haddut Tarakhkhush
Kita harus sampai di Haddut Tarakhkhush. Kita tidak boleh mengqashar salat sebelum kita sampai pada batas ini.
Haddut Tarakhkhush adalah sebuah tempat di mana kita tidak lagi mendengar suara azan atau tidak lagi melihat tembok pembatas kota. Kita harus sudah tidak melihat tembok pembatas kota itu sendiri, bukan sekadar tidak melihat bayangannya saja. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya sudah tidak mendengar suara azan dan juga tidak melihat tembok pembatas kota lagi, (baru kita mengqashar salat). (Di samping itu), kedua hal ini harus terwujud lantaran kita menjauh dari kota tempat tinggal kita, bukan karena sebab yang lain.
Ketika kita pulang dari pepergian, hukum musafir sudah selesai apabila kita telah sampai di Haddut Tarakhkhush. Pada saat itu, kita harus menyempurnakan salat. Dan berdasarkan ihtiyâth, kita juga harus memperhatikan bahwa kedua tanda di atas sudah tidak terwujud lagi.
Masalah 352: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, tolok ukur tidak terdengarnya suara azan adalah suara azan sudah terdengar sedemikian rupa sehingga suara yang masih kita dengar tidak dapat dipastikan apakah suara azan atau suara selain azan. Kita selayaknya ber-ihtiyâth apabila suara yang kita dengar masih berupa suara azan, akan tetapi bagian-bagian kalimat azan itu tidak terdengar dengan jelas. Dan kita selayaknya juga ber-ihtiyâth apabila kita masih mendengar suara azan (secara samar) dan suara itu sepenuhnya masih belum lenyap dari pendengaran kita.
Jika sebuah kota tidak memiliki rumah-rumah di perbatasannya atau tidak memiliki tembok pembatas kota, maka kita harus mengira-ngira (untuk menentukan batas Haddut Tarakhkhush).
Faktor-Faktor yang Dapat Memutus Perjalanan
Ada beberapa faktor yang dapat memutus perjalanan. Faktor-faktor tersebut adalah berikut ini:
a. Daerah Tempat Tinggal
Jika kita melalui daerah tempat tinggal kita, maka perjalanan kita telah terputus. Untuk mengqashar salat setelah itu, kita harus berniat menempuh jarak syar‘i baru. Daerah tempat tinggal itu tidak berbeda apakah daerah tempat tinggal kita yang asli dan tempat kelahiran kita atau tempat tinggal baru; yaitu daerah yang kita jadikan sebagai tempat tinggal kita untuk selamanya. Untuk mewujudkan daerah tempat tinggal ini, tidak disyaratkan kita memiliki sebuah rumah dan tidak juga bermukim selama enam bulan di situ.[12] Ya, untuk daerah tempat tinggal baru, disyaratkan kita harus bermukim di situ sedemikian rupa sehingga secara ‘urf daerah itu adalah daerah tempat tinggal kita. Bahkan, apabila kita bermukim di sebuah daerah tidak dengan niat untuk bermukim di situ selamanya dan tidak juga berniat untuk meninggalkan daerah itu, maka daerah itu akan menjadi daerah tempat tinggal kita bila kita telah bermukim di situ dalam waktu yang sangat lama.[13]
Masalah 353: Jika kita telah berpaling dari tempat tinggal asli atau tempat tinggal baru kita, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat tempat tinggal itu sudah tidak menjadi tempat tinggal kita lagi secara mutlak, meskipun kita masih memiliki rumah di situ yang telah kita diami selama enam bulan atau lebih. Dan ahwath dalam asumsi ini adalah kita mengumpulkan antara mengqashar dan menyempurnakan salat.
Masalah 354: Kita mungkin memiliki dua tempat tinggal yang aktual dalam satu waktu di dua daerah yang berbeda, dan kita bermukim di masing-masing tempat tinggal itu selama enam bulan pada setiap tahun. Adapun tempat tinggal lebih dari dua, hal ini adalah isykâl dan dalam kondisi ini kita harus ber-ihtiyâth.[14]
b. Niat untuk Tinggal Selama Sepuluh Hari
Satu faktor lain yang dapat memutus perjalanan adalah niat untuk tinggal selama sepuluh hari berturut-turut di suatu tempat atau kita tahu akan tinggal di tempat itu selama sepuluh hari berturut-turut meskipun di luar keinginan kita.
Seluruh malam yang terdapat di antara hari pertama dan hari kesepuluh termasuk dalam hitungan sepuluh hari, kecuali malam pertama dan malam terakhir.
Dalam niat tinggal selama sepuluh hari ini, disyaratkan kesatuan tempat tinggal secara ‘urf.[15]
Masalah 355: Ketika menetapkan niat untuk tinggal selama sepuluh hari, kita tidak harus berniat untuk tidak keluar dari garis pembatas kota. Jika kita berniat pada saat niat tinggal itu untuk keluar mengunjungi sebagian perkebunan dan pertanian yang ada di kota itu sekalipun, maka hukum orang mukim masih tetap berlaku atas kita. Bahkan, jika kita berniat pada saat itu untuk keluar sampai pada Haddut Tarakhkhush, dan bahkan sampai pada jarak yang kurang dari 4 farsakh sekalipun, hal ini pun tidak menjadi masalah, asalkan kita ingin kembali ke tempat penginapan secepat mungkin; yaitu kita hanya ingin menetap di situ selama satu atau dua jam misalnya[16] sehingga secara ‘urf kita masih dianggap menetap di daerah itu selama sepuluh hari. Adapun lebih dari itu, hal ini adalah isykâl, khususnya apabila kita ingin bermalam.
Masalah 356: Jika kita telah berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di sebuah daerah, kemudian niat kita berubah, dan kita telah mengerjakan sebuah salat yang berjumlah empat rakaat secara sempurna dengan niat pertama itu, maka kita harus tetap menyempurnakan salat selama berada di daerah itu, meskipun kita telah mengambil keputusan untuk pergi dari situ setelah satu atau dua jam kemudian. Akan tetapi, jika kita belum mengerjakan salat sama sekali atau telah mengerjakan sebuah salat yang tidak bisa diqashar, seperti salat Shubuh, maka setelah mengubah niat itu kita harus mengqashar salat. Dalam mengqashar salat, hukum ragu-ragu adalah sama seperti hukum mengubah niat.
Masalah 357: Jika kita telah bermaksud untuk tinggal selama sepuluh hari di sebuah daerah dan hukum menyempurnakan salat telah terwujud dengan kita mengerjakan satu salat (yang berjumlah empat rakaat) secara sempurna, lalu kita keluar ke suatu tempat yang berjarak kurang dari jarak syar‘i dan kita masih berniat untuk kembali ke daerah itu sebagai tempat penginapan kita; karena seluruh barang dan keperluan perjalanan kita masih terdapat di situ dan kita belum berpaling dari daerah tersebut, maka tidak isykâl bahwa kita harus tetap menyempurnakan salat setelah kembali ke daerah itu, asalkan kita masih tetap berniat untuk tetap tinggal di situ selama sepuluh hari. Jika kita tidak berniat untuk tinggal selama sepuluh hari setelah kembali ke daerah tersebut, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita harus tetap menyempurnakan salat secara mutlak, khususnya apabila maksud untuk tinggal selama sepuluh hari itu terwujud pada saat kita sedang berada dalam perjalanan pulang ke tempat tinggal kita. Dan ahwath adalah kita mengumpulkan antara mengqashar dan menyempurnakan salat, khususnya pada saat kita berada di pertengahan jalan untuk kembali ke daerah itu dan di daerah itu sendiri, dan lebih khusus lagi apabila tempat kita menginap tersebut kita pilih pada saat kita sedang berada dalam perjalanan untuk pulang ke daerah tempat tinggal kita.
Jika kita keluar ke suatu tempat yang berjarak kurang dari jarak syar‘i, lalu kita ragu antara ingin kembali dan tidak ingin kembali ke tempat penginapan, atau kita lalai sama sekali tentang hal ini, maka ihtiyâth dengan mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat tidak selayaknya kita tinggalkan. Meskipun demikian, menurut pendapat yang lebih kuat, kita bisa tetap menyempurnakan salat selama kita belum bermaksud untuk melakukan pepergian baru.
c. Tinggal di Suatu Daerah Selama Tiga Puluh Hari dalam Kondisi Ragu[17]
Termasuk dalam kategori ragu, apabila kita telah mengambil keputusan untuk pergi besok atau besok lusa dari daerah tersebut, dan lalu kita tidak jagi pergi. Begitu juga seterusnya hingga berlalu tiga puluh hari. Bahkan, juga termasuk dalam kategori ragu ini, apabila kita mengambil keputusan untuk tinggal di daerah itu selama sembilan hari misalnya, dan setelah berlalu sembilan hari itu kita mengambil keputusan baru untuk tinggal selama sembilan hari lagi, dan bergitulah selanjutnya. Maka, kita harus mengqashar salat hingga tiga puluh hari, dan setelah tiga puluh hari berlalu, kita harus menyempurnakan salat, meskipun tidak tersisa kecuali satu salat. Jika kita keluar ke suatu tempat yang berjarak kurang dari jarak syar‘i setelah kewajiban menyempurnakan salat terwujud untuk kita, maka hukum masalah ini adalah seperti hukum keluar ke tampat tersebut setelah kita berniat untuk tinggal selama sepuluh hari. Hukum masalah telah dipaparkan di atas.
Hukum Musafir
Telah kita ketahui bersama bahwa setelah seluruh syarat yang diperlukan terpenuhi, dua rakaat dari salat Zhuhur, Ashar, dan Isya’ gugur dari pundak musafir. Salat sunah Rawâtib Zhuhur dan Ashar juga gugur, dan salat sunah Rawâtib yang lain tetap pada tempatnya. Berdasarkan ihtiyâth, ia hendaknya mengerjakan salat sunah Wutairah Isya’ dengan niat rajâ’.
Masalah 358: Jika kita menyempurkan salat setelah seluruh syarat untuk mengqashar salat terpenuhi, dan kita mengetahui hukum dan subyek hukum, maka salat kita batal dan kita harus mengulanginya selama waktu salat masih ada atau mengqadhanya bila waktu salat sudah habis. Jika kita tidak tahu hukum bahwa musafir harus mengqashar salat, maka kita tidak wajib mengulangi salat, apalagi mengqadhanya. Jika kita mengetahui hukum salat musafir, akan tetapi tidak tahu kriteria-kriteria khusus yang dimiliki oleh salat musafir, maka kita wajib mengulangi salat selama waktu salat masih ada atau mengqadhanya bila waktu salat sudah habis. Adapun jika kita lupa kalau sedang bepergian dan lalu menyempurnakan salat, maka kita harus mengulangi salat selama waktu salat masih ada dan tidak wajib mengqadhanya bila waktu salat sudah habis.[18]
Mengqashar salat di tempat yang kita harus menyempurnakan salat menyebabkan salat kita batal secara mutlak.[19]
Masalah 359: Jika kita lupa kalau sedang dalam perjalanan dan ingat hal itu di pertengahan salat sebelum melakukan rukuk untuk rakaat ketiga, maka kita harus menyempurnakan salat tersebut secara qashar dan salat itu sudah cukup. Akan tetapi, jika kita ingat setelah itu, maka salat kita batal dan kita harus mengulanginya selama waktu salat masih ada, sekalipun hanya tinggal waktu untuk satu rakaat.
Masalah 360: Jika waktu salat sudah tiba sedangkan kita masih berada di tempat tinggal kita dan memiliki kesempatan untuk mengerjakan salat, lalu kita bepergian sebelum mengerjakan salat hingga melalui Haddut Tarakhkhush dan waktu salat masih ada, maka kita harus mengqashar salat. Akan tetapi, ihtiyâth dengan menyempurnakan salat juga jangan kita tinggalkan.
Jika waktu salat telah tiba sedangkan kita masih berada dalam perjalanan, lalu kita sampai di tempat tinggal kita sebelum mengerjakan salat dan waktu salat masih ada, maka kita harus menyempurnakan salat, dan ahwath adalah kita juga menyempurnakan salat.
Masalah 361: Jika kita tidak memiliki niat untuk tinggal selama sepuluh hari, maka kita bisa memilih antara mengqashar atau menyempurnakan salat di empat tempat berikut ini:
a.Masjidil Haram.
b.Masjid Nabawi.
c.Masjid Kufah.
d.Makam suci Imam Husain as.
Akan tetapi, menyempurnakan salat adalah lebih utama.
Mengikutkan kota Makkah dan Madinah[20] dalam hukum Masjidil Haram dan Masjid Nabawi masih diragukan (ta’ammul),[21] dan ihtiyâth dengan memilih mengqashar salat jangan kita tinggalkan.[22]
Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, Ar-Rawdhah Asy-Syarîfah (seluruh kawasan yang menjadi bagian makam suci Imam Husain as.) termasuk dalam kategori makam suci itu.
Masalah 362: Hak memilih antara mengqashar atau menyempurnakan di keempat tempat itu bersifat kontinu. Oleh karena itu, kita boleh berpindah niat dari salat qashar ke salat sempurna atau sebaliknya di pertengahan salat selama masih ada tempat untuk berpindah.
Masalah 363: Setiap usai mengerjakan salat qashar, sunah kita membaca zikir berikut ini sebanyak 30 kali:
سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ وَ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ
Masalah 364: Puasa tidak diikutkan dalam hukum boleh memilih tersebut di atas.[23]
________________________________________
[1] Sayyid Khu’i: ± 44 kilo meter.
[2] Imam Khamenei: Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara kota besar dan kota kecil.
[3] Syaikh Behjat: Dalam hal ini, sangkaan secara mutlak sudah cukup.
[4] Sayyid Khu’i: Dalam hal ini, satu orang yang adil, bahkan mutlak orang yang tsiqah (dapat dipercaya) sudah cukup.
[5] Syaikh Behjat: Penelitian itu adalah wajib selama tidak menimbulkan kesulitan (‘usr wa haraj).
[6] Sayyid Khu’i: Secara mutlak, kita tidak wajib meneliti.
[7] Syaikh Behjat: Jika berburu itu sudah sampai pada suatu batas tertentu sehingga menjadi profesi kita, maka kita harus menyempurnakan salat. Jika tidak demikian, maka kita tidak boleh berpuasa. Adapun berkenaan dengan salat, masih ada isykâl tentang hal ini, dan ahwath adalah kita mengumpulkan antara menyempurnakan dan mengqashar salat.
[8] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang azhhar, kita harus mengqashar salat.
[9] Imam Khamenei: Termasuk dalam kategori mereka, orang yang profesinya menuntut pepergian. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini akan dipaparkan pada pembahasan tambahan nanti.
[10] Imam Khamenei: Pada pepergian pertama, kita wajib mengqashar salat dan pada pepergian kedua, kita wajib menyempurnakan salat.
[11] Sayyid Khu’i: Tidak ada perbedaan antara pepergian pertama dan selainnya. Tolok ukur dalam hal ini adalah pepergian menjadi profesi kita atau profesi kita menuntut pepergian dan pepergian ini berfungsi sebagai mukadimahnya.

Untuk memenuhi syarat ini, kita harus berniat untuk melakukan pepergian secara berkesinambungan. Dan hal ini terwujud bila kita bepergian selama tiga hari dalam satu minggu dan empat hari berada di tempat tinggal kita. Adapun jika kita hanya bepergian selama dua hari (dalam seminggu), maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengumpulkan antara mengqashar dan menyempurnakan salat. Semua ini berkenaan dengan pepergian yang berjarak pendek. Untuk pepergian yang berjarak jauh, seperti pergi ke kota Kharsan dan Najaf, mungkin kita cukup bepergian sebanyak sekali dalam sebulan.
[12] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, tempat tinggal itu akan terwujud apabila kita telah memiliki sebuah rumah di suatu daerah yang telah kita diami selama enam bulan.
[13] Sayyid Khu’i: Disyaratkan kita berniat mukim di situ untuk selamanya. Mereka yang berhijrah ke Najaf atau pusat-pusat keagamaan yang lain untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak bisa disebut telah bermukim di situ dan daerah itu bukan daerah tempat tinggal mereka. Ya, daerah itu memiliki hukum seperti daerah tempat tinggal mereka dan mereka harus menyempurnakan salat di situ.
[14] Syaikh Behjat dan Sayyid Khu’i: Kita mungkin memiliki tiga tempat tinggal atau lebih.
[15] Imam Khamenei: Dalam niat untuk tinggal selama sepuluh hari ini, tidak ada perbedaan antara kota besar dan kota kecil apabila kita belum berniat untuk menentukan suatu tempat di daerah tertentu. Begitu juga tidak ada perbedaan antara kota besar dan kota kecil dalam kita memilih tempat tinggal untuk menjalani hidup selamanya.
[16] Imam Khamenei: Bahkan, kita tidak boleh menetap di tempat itu lebih dari sepertiga siang atau malam dalam seluruh sepuluh hari itu, bukan untuk setiap kalinya.

Sayyid Khu’i: Jika waktu keluar kita sangat pendek.
[17] Masalah: Kondisi ragu itu harus terjadi pada satu tempat. Jika keraguan itu terjadi pada dua tempat, maka berlalunya tiga hari tidak cukup untuk menetapkan hukum menyempurnakan salat.
[18] Syaikh Behjat: Jika ia mengetahui hukum salat musafir dan tidak mengetahui kriteria-kriteria khusus yang dimiliki oleh salat musafir atau tidak mengetahui subyek hukum bahwa jarak yang telah ditempuh itu sudah mencapai jarak syar‘i, maka ia harus mengulangi salat selama waktu salat masih ada dan tidak wajib mengqadhanya bila waktu salat sudah habis.
[19] Sayyid Khu’i: Jika kita tinggal di sebuah daerah selama sepuluh hari dan lalu mengqashar salat lantaran kita tidak tahu bahwa hukum salat kita adalah sempurna, maka berdasarkan pendapat yang azhhar salat kita sah.
[20] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang zhâhir, seluruh kawasan kota Makkah dan Madinah diikutkan dalam hukum Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saw. Akan tetapi, tidak demikian halnya berkenaan dengan kota Kufah dan Karbala. Menurut pendapat yang zhâhir, kita boleh menyempurnakan salat di Ar-Rawdhah Asy-Syarîfah, bukan di serambi dan halaman (ar-ruwâq wa ash-shahn) makam beliau.
[21] Imam Khamenei: Kota Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah juga diikutkan dalam hukum boleh memilih antara menyempurnakan dan mengqashar salat, sekalipun bagian-bagian kota yang baru dibuat.
[22] Syaikh Behjat: Tentang ketiga masjid tersebut, berdasarkan ihtiyâth wajib, kita memiliki hak memilih hanya dalam batas bangunannya yang kuno. Adapun bagian-bagian bangunannya yang baru, berdasarkan ihtiyâth, kita harus mengqashar salat.
[23] Imam Khamenei:Pembahasan Tambahan tentang Orang yang Memiliki Profesi Pepergian atau Profesinya Menuntut Pepergian

Masalah 1: Jika pekerjaan kita menuntut pepergian atau pepergian adalah mukadimah pekerjaan yang kita miliki, maka hukum kita adalah berikut ini:

Jika kita pergi dan pulang sebanyak minimal satu kali dalam setiap sepuluh hari ke tempat pekerjaan kita untuk bekerja, maka kita harus menyempurnakan salat dan puasa kita sah di tempat pekerjaan kita, di tempat penginapan kita, dan dalam perjalanan pulang dan pergi menuju ke tempat pekerjaan itu.

Masalah 2: Hukum menyempurnakan salat bila kita memiliki pekerjaan yang menuntut pepergian mensyaratkan kita jangan tinggal di satu tempat, baik di tempat pekerjaan kita, di tempat tinggal kita, maupun di tempat penginapan kita, selama sepuluh hari. Jika kita tinggal di tempat itu selama sepuluh hari, maka kita harus mengqashar salat pada pepergian pertama setelah sepuluh hari itu. Kemudian, pada pepergian kedua, hukum menyempurnakan salat akan berlaku lagi.

Masalah 3: Permulaan sepuluh hari yang menyebabkan hukum menyempurnakan salat itu terputus adalah waktu kita sampai di tempat yang kita hendak tinggal selama sepuluh hari. Malam-malam yang berada di antara hari pertama dan hari kesepuluh masuk dalam hitungan sepuluh hari itu ....

Masalah 4: Jika kita ingin membatalkan niat tinggal sepuluh hari di satu tempat itu, kita cukup keluar di pertengahan sepuluh hari ke tempat lain atau ke suatu tempat yang berjarak kurang dari jarak syar‘i dalam beberapa waktu yang dapat membatalkan niat tinggal selama sepuluh hari; seperti kita cukup keluar dalam waktu yang sangat pendek.

Masalah 5: Seluruh profesi pepergian yang kita miliki tidak disyaratkan harus berukuran jarak syar‘i. Jika salah satu profesi pepergian itu sudah berukuran jarak syar‘i, maka hal ini sudah cukup. Seperti kita melakukan perjalanan dari Qom ke Tehran untuk bekerja, kemudian kita melakukan perjalanan lagi dari Tehran ke beberapa kota lain yang tidak berukuran jarak syar‘i.

Masalah 6: Jika tugas yang dimiliki oleh para pejuang bangsa dianggap sebagai profesi dan pekerjaan secara ‘urf, dan tugas ini menuntut mereka harus melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, maka hukum salat mereka adalah sempurna dan puasa mereka adalah sah, selama mereka tidak memisah antara dua pepergian untuk melakukan profesi itu dengan tinggal selama sepuluh hari di satu tempat.

Masalah 7: Jika pepergian yang dilakukan oleh para pejuang dan tentara militer untuk mengikuti latihan kemiliteran terjadi sebelum mereka menerima tugas jihad, maka hukum mereka adalah seperti hukum seluruh musafir yang lain. Akan tetapi, jika pepergian itu terlaksana setelah tugas itu disebut sebagai profesi dan pekerjaan bagi mereka, maka pepergian itu memiliki hukum pepergian untuk bekerja.

Masalah 8: Tempat kita bekerja tidak memiliki hukum seperti tempat tinggal kita. Oleh karena itu, hanya melewati tempat bekerja itu tidak bisa menjadi faktor yang dapat memutus perjalanan. Tempat kita bekerja bisa menjadi faktor yang dapat memutus perjalanan apabila kita pergi ke tempat tersebut untuk bekerja.

Masalah 9: Menetap di tempat bekerja untuk beberapa hari tidak mencegah kontinuitas hukum menyempurnakan salat, asalkan hal itu terjadi setelah perjalanan pertama. Ya, jika kita melakukan pepergian pertama ke tempat pekerjaan dan tinggal di situ untuk beberapa hari, maka kita harus mengqashar salat. Kondisi ini berlanjut hingga kita melakukan pepergian kedua. Setelah itu, kita harus menyempurnakan salat.

Masalah 10: Jika kita telah berkali-kali pergi ke tempat bekerja, lalu pada suatu hari kita pergi ke tempat bekerja bukan untuk bekerja, tetapi untuk suatu tujuan pribadi misalnya, maka kita harus mengqashar salat pada pepergian kali ini. Akan tetapi, setelah kita pulang ke rumah dan lalu pergi lagi ke tempat bekerja untuk bekerja, kita harus menyempurnakan salat.

Masalah 11: Berkenaan dengan tempat bekerja, tidak ada perbedaan apakah tempat bekerja itu hanya satu atau berbilang; pepergian ke masing-masing tempat bekerja itu adalah sebuah pepergian profesi. Begitu juga tidak ada perbedaan apakah jenis pekerjan kita hanya satu atau berbeda-beda.

Masalah 12: Kewajiban militer adalah sebuah profesi dan pekerjaan setelah periode pengajaran dan pelatihan untuk itu usai. Oleh karena itu, pepergian untuk memenuhi kewajiban militer itu adalah sebuah pepergian profesi. Adapun sebelum periode pengajaran dan pelatihan usai, hukum mereka yang terkena kewajiban militer adalah seperti hukum seluruh musafir yang lain.

Masalah 13: Pepergian untuk belajar tidak termasuk pepergian profesi. Hukum para pelajar dalam hal ini adalah seperti hukum para musafir yang lain.

Catatan: Tentang masalah ini, Imam Khamenei tidak memiliki fatwa yang pasti. Beliau membolehkan para mukalid beliau untuk merujuk kepada fatwa marja‘ yang lain. Dalam masalah ini, kita bisa merujuk kepada Syaikh Behjat yang menfatwakan bahwa pepergian yang dilakukan para pelajar untuk belajar adalah sebuah pepergian profesi. Ya, jika kita tidak ingin merujuk kepada fatwa beliau, kita harus mengumpulkan antara mengqashar dan menyempurnakan salat.

Masalah 14: Jika kita menjadikan tablig sebagai profesi dan ‘urf juga memandang hal itu sebagai sebuah pekerjaan, maka hukum pepergian kita untuk tablig adalah sebuah pepergian profesi.
PASAL 7
SALAT HARI RAYA
Salat hari raya dalam hal ini adalah salat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Salat hari raya adalah wajib pada saat imam maksum as. hadir, memegang tampuk kekuasaan, dan seluruh syarat yang lain terpenuhi, dan sunah ketika ia gaib.[1]
Berdasarkan ihtiyâth, kita hendaknya mengerjakan salat hari raya pada masa kita sekarang ini secara furâdâ.[2] Ya, tidak masalah kita mendirikan salat hari raya secara berjamaah dengan niat rajâ’.
Waktu salat hari raya adalah dari matahari terbit hingga matahari tergelincir. Salat hari raya berjumlah dua rakaat, dan pada setiap rakaat kita harus membaca Al-Fâtihah dan satu surah sempurna. Yang paling utama adalah kita membaca surah Asy-Syams pada rakaat pertama dan surah Al-Ghâsyiyah pada rakaat kedua, atau kita membaca surah Al-A‘lâ pada rakaat pertama dan surah Asy-Syams pada rakaat kedua. Setelah usai membaca surah, kita mengucapkan takbir dan membaca qunut, masing-masing sebanyak lima kali, pada rakaat pertama dan mengucapkan takbir dan membaca qunut, masing-masing sebanyak empat kali, pada rakaat kedua. Pada saat qunut, semua jenis zikir dan doa bisa mencukupi. Tidak masalah kita membaca doa qunut yang sudah masyhur (di kalangan masyarakat) dengan niat mengharapkan pahala, dan hal ini adalah suatu tindakan yang baik.
Jika kita mengerjakan salat hari raya secara berjamaah, maka imam salat tidak menanggung bacaan kita selain qirâ’ah (Al-Fâtihah dan surah), sebagaimana layaknya salat-salat jamaah yang lain.
________________________________________
[1] Masalah: Para wakil wali faqih yang memiliki izin untuk mendirikan salat hari raya dan begitu juta para imam salat Jumat yang telah ditunjuk olehnya boleh mendirikan salat hari raya secara berjamaah pada masa kita sekarang ini. Adapun selain mereka, berdasarkan ihtiyâth, mereka hendaknya mengerjakan salat hari raya secara furâdâ. Tidak masalah mereka mendirikan salat hari raya secara berjamaah dengan niat rajâ’, bukan dengan niat wurûd; (yaitu berniat memang salat hari raya secara berjamaah itulah yang wajib).
[2] Sayyid Khu’i: Salat hari raya adalah sunah, baik didirikan secara berjamaah maupun furâdâ.
PASAL 6
MENYEWA UNTUK SALAT QADHA
Masalah 340: Seperti halnya ibadah-ibadah yang lain, kita boleh menyewa orang lain untuk mengerjakan salat qadha bagi orang yang sudah meninggal dunia. Orang yang telah disewa harus berniat bahwa dirinya bertindak sebagai pengganti orang yang sudah meninggal dunia itu (an-niyâbah wa al-badaliyyah). Dalam niat qurbah, ia harus meniatkan niat qurbah untuk mayit, bukan untuk dirinya. Lebih dari itu, ia juga harus menentukan mayit pada saat berniat sekalipun secara global, seperti mayit pemilik harta dan lain sebagainya.
Masalah 341: Jika kita memiliki tanggungan sebuah kewajiban seperti salat dan puasa, maka kita harus berwasiat supaya seseorang disewa untuk mengerjakan tanggungan kita itu. Kecuali apabila kita memiliki seorang wali yang wajib mengqadha kewajiban kita itu dan hati kita mantap bahwa ia akan melakasanakan tugasnya.[1]
Masalah 342: Orang yang disewa untuk mengerjakan salat harus mengetahui bagian-bagian salat, syarat-syarat salat, hal-hal yang dapat membatalkan salat, hukum-hukum kekeliruan dan kesalahan yang terjadi dalam salat, dan lain sebagainya, baik berdasarkan ijtihad maupun taklid yang sah. Ia tidak disyaratkan harus orang yang adil. Akan tetapi, cukup apabila ia dapat dipercaya.
Masalah 343: Seperti telah kita ketahui bersama sebelum ini, ketidakwajiban mengqadha salat secara berurutan, khususnya salat-salat yang tidak diketahui urutan waktu qadhanya, adalah suatu pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah). Atas dasar ini, kita boleh menyewa beberapa orang untuk mengqadha salat qadha seorang mayit dan kita tidak wajib menentukan waktu khusus bagi mereka (untuk mengerjakan salat qadha itu). Mereka juga boleh mengerjakan salat qadha itu pada satu waktu.[2]
Masalah 344: Orang yang telah disewa untuk mengerjakan qadha salat tidak boleh menyewa orang lain lagi tanpa seizin penyewa.
Masalah 345: Jika penyewa tidak menentukan tata cara pelaksanaan salat qadha secara khusus dengan mensyaratkan supaya seluruh sunah salat dilaksanakan dan juga tidak ada tata cara khusus yang berlaku di kalangan masyarakat, maka orang yang disewa harus melaksanakan sunah-sunah salat biasa dikerjakan oleh masyarakat umum, seperti qunut, takbir untuk rukuk, dan sunah-sunah yang semisal.


________________________________________
[1] Masalah: Selama kita masih hidup, kita wajib mengerjakan salat wajib kita sendiri dan salat yang dikerjakan oleh orang lain atas nama kita tidak dapat mencukupi untuk itu.
[2] Sayyid Khu’i: Disyaratkan imam salat jamaah harus mengetahui bahwa mayit memang sesungguhnya memiliki qadha salat. Jika qadha salat yang dikerjakan untuk seorang mayit hanya bersifat ihtiyâth (kehati-hatian) belaka, maka salat jamaah (yang didirikan untuk itu) adalah batal.
PASAL 5
SALAT QADHA
Kita wajib mengqadha salat wajib harian yang tidak kita kerjakan pada waktunya kecuali salat Jumat, baik kita tidak mengerjakannya dengan sengaja, karena lupa, tidak tahu hukum, kita tidur yang yang berlanjut hingga akhir waktu salat, maupun karena faktor-faktor yang lain. Begitu juga kita wajib mengqadha salat yang telah kita kerjakan dan salat itu terbukti batal.
Beberapa salat berikut ini tidak wajib diqadha:
a. Salat yang ditinggalkan oleh seorang anak kecil ketika ia masih kecil
b. Salat Salat yang ditinggalkan oleh orang gila pada saat ia gila.
c. Salat yang ditinggalkan oleh orang pingsan, asalkan ia pingsan bukan lantaran ulah perbuatannya sendiri. Jika tidak demikian, maka berdasarkan ihtiyâth wajib ia harus mengqadhanya.[1]
d. Salat yang ditinggalkan oleh orang kafir pada saat ia kafir, kecuali orang murtad. Berdasarkan pendapat yang lebih sahih (al-ashahh), qadha yang dikerjakan oleh orang murtad setelah bertobat adalah sah, meskipun ia adalah seorang murtad fitri.
Wanita yang sedang haid dan nifas tidak wajib mengqadha salat apabila darah haid dan nifas itu keluar hingga akhir waktu salat.[2]
Masalah 328: Jika faktor-faktor yang menyebabkan ketidakwajiban qadha salat sirna ketika waktu salat masih ada, maka kita mengerjakan salat secara adâ’, meskipun kita hanya dapat mengerjakan satu rakaat saja berikut bersuci (dari hadas besar maupun hadas kecil) sekalipun dengan menggunakan tanah.
Masalah 329: Jika kita tidak memiliki air dan tanah untuk bersuci (fâqid ath-thahûrain), maka kita wajib mengqadha salat dan—berdasarkan pendapat yang lebih kuat—kewajiban salat secara adâ’ gugur dari pundak.[3] Akan tetapi, ithiyâth dengan mengerjakan salat secara adâ’ jangan kita tinggalkan.
Masalah 330: Jika kita tidak mengerjakan salat pada waktu kita berada di tempat yang memperbolehkan kita memilih antara mengqashar dan menyempurnakan salat, seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saw., maka berdasarkan pendapat yang zhâhir kita juga boleh memilih mengqadha salat tersebut dengan mengqashar atau menyempurnakannya, asalkan kita mengqadhanya juga di tempat itu.[4] Akan tetapi, jika kita mengqadhanya di luar tempat tersebut, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengqadhanya dengan mengqashar.[5]
Masalah 331: Sunah kita mengqadha salat-salat sunah Rawatib harian. Jika kita tidak mampu mengqadhanya, maka sunah kita bersedekah semampu kita. Ukuran sedekah yang paling minimal adalah 1 mud untuk setiap dua rakaat. Jika kita tidak mampu, maka kita bersedekah sebesar 1 mud untuk setiap empat rakaat. Jika kita juga tidak mampu, maka kita bersedekah sebesar 1 mud untuk seluruh salat Rawatib yang dikerjakan di malam hari dan 1 mud untuk seluruh salat sunah Rawatib yang dikerjakan di siang hari.
Masalah 332: Jika salat qadha yang kita miliki berjumlah lebih dari satu,[6] maka berdasarkan ihtiyâth[7] kita harus mendahulukan qadha salat yang terlebih dahulu tidak dikerjakan, asalkan kita tahu tata cara bagaimana salat-salat itu tidak dikerjakan, salat mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu, dan salat mana yang harus dikerjakan kemudian. Adapun salat yang dalam kondisi adâ’ harus dikerjakan secara berurutan seperti salat Zhuhur dan Ashar serta salat Maghrib dan Isya’ dalam satu hari, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita harus mengqadhanya secara berurutan. Dengan semua itu, ketidakwajiban mengqadha salat secara berurutan, kecuali salat-salat yang harus dikerjakan secara berurutan pada kondisi adâ’, adalah sebuah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
Masalah 333: Jika kita yakin memiliki qadha salat tertentu seperti salat Shubuh beberapa kali, akan tetapi kita tidak tahu jumlahnya, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita boleh mencukupkan diri dengan mengqadhanya sejumlah salat yang kita yakini. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth, kita hendaknya mengulang-ulangi qadha sedemikian rupa sehingga kita memiliki sangkaan kuat bahwa pundak kita telah terbebaskan dari kewajiban qadha itu. Begitu juga halnya apabila kita memiliki qadha salat untuk beberapa hari yang tidak kita ketahui jumlahnya.
Masalah 334: Kita tidak wajib langsung mengqadha salat. Kewajiban mengqadha salat adalah sebuah kewajiban yang meluas selama hayat masih dikandung badan. Akan tetapi, selama hal itu tidak menyebabkan keteledoran dan peremehan dalam mengerjakan kewajiban.
Masalah 335: Kita tidak wajib mendahulukan salat qadha atas salat adâ’. Oleh karena itu, kita boleh mengerjakan salat adâ’ meskipun kita masih memiliki salat qadha. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mendahulukan salat qadha atas salat adâ’, khususnya salat qadha untuk hari itu.
Masalah 336: Kita boleh mengqadha salat dengan berjamaah, baik imam salat jamaah juga sedang mengerjakan salat qadha maupun sedang mengerjakan salat adâ’. Bahkan hal ini adalah sunah. Salat imam dan makmun tidak wajib satu salat.
Masalah 337: Wali; yaitu anak yang terbesar,[8] wajib mengqadha salat yang ditinggalkan oleh ayahnya[9] yang telah meninggal dunia lantaran sebuah uzur, seperti tertidur, lupa, dan lain sebagainya. Menurut pendapat yang lebih kuat,[10] tidak ada perbedaan antara salat yang ia tinggalkan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Ya, salat yang telah ia tinggalkan lantaran ingkar tidak wajib diqadha, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab salat ini juga hendaknya diqadha. Menurut pendapat yang zhâhir, wali juga wajib mengqadha salat yang telah dikerjakan oleh ayahnya dengan salah.
Jika wali meninggal dunia setelah ayahnya meninggal dunia, maka adik laki-lakinya tidak wajib mengqadha salat tersebut. Wali tidak wajib berakal dan berusia balig pada saat ayahnya meninggal dunia. Atas dasar ini, wali yang masih kecil wajib mengqadha salat ayahnya setelah ia berusia balig dan wali yang gila juga wajib mengqadhanya setelah ia berakal.
Masalah 338: Jika seorang mayit memiliki dua anak laki-laki yang berusia sama, maka qadha salatnya dibagi di antara mereka berdua secara sama rata.[11] Jika masih ada salat qadha yang tersisa, maka mereka berdua wajib mengqadhanya secara kifâyah.
Masalah 339: Wali tidak wajib mengqadha salat secara langsung. Ia boleh menyewa orang lain untuk itu. Orang yang telah disewa harus meniatkan salat qadha atas nama mayit, bukan atas nama wali. Jika wali sendiri atau orang lain mengerjakan salat qadha, maka ia harus mengerjakan kewajibannya sendiri, baik berdasarkan ijtihad maupun taklid.
________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth, ia wajib mengqadha.
[2] Masalah: Selain pengikut mazhab Syi‘ah juga tidak wajib mengqadha salat setelah mereka memeluk mazhab Syi‘ah, asalkan mereka telah mengerjakan seluruh salat sesuai dengan ketentuan mazhab mereka atau sesuai dengan tuntunan mazhab yang hak.
[3] Imam Khamenei: Telah dijelaskan sebelum ini bahwa kita harus mengerjakan salat pada waktunya dan lantas mengqadhanya.
Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak wajib mengerjakan salat secara adâ’ dan kita hanya wajib mengqadhanya.
[4] Sayyid Khu’i: Kita harus mengqadhanya secara qashar, baik kita mengqadhanya di tempat itu maupun di luar tempat tersebut.
[5] Masalah: Jika kita tidak mengerjakan salat selama kita berada dalam sebuah perjalanan, maka kita harus mengqadhanya secara qashar, baik kita mengqadhanya di daerah tempat tinggal kita sendiri maupun di perjalanan, kecuali apabila perjalanan kita itu adalah sebuah perjalanan maksiat. Maka, kita harus mengqadha salat tersebut secara sempurna.
[6] Masalah: Kita tidak wajib menjaga urutan dalam mengqadha salat, sebagaimana juga kita tidak wajib mengulang-ulangi salat supaya urutan salat terwujud. Kita hanya wajib mengqadha salat sejumlah yang kita yakin tidak kita kerjakan. Dengan ini, kita bisa mengerjakan salat sebagaimana kita mengerjakan salat wajib harian; kita bisa memulai dari salat Shubuh, kemudian salat Zhuhur, dan begitulah selanjutnya salat-salat yang lain. Ya, kita harus menjaga urutan salat Zhuhur dan Ashar serta salat Maghrib dan Isya’ dalam satu hari, seperti telah dijelaskan di atas.
[7] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar dan ahwath, urutan salat harus diperhatikan.
[8] Masalah: Anak yang terbesar adalah anak laki-laki terbesar pada saat sang ayah meninggal dunia apabila ia memiliki anak laki-laki lebih dari satu. Anak laki-laki terbesar itu tidak harus anak pertama. Oleh karena itu, jika anak pertama telah meninggal dunia pada saat sang ayah masih hidup, maka wali adalah anak berikutnya.
[9] Imam Khamenei: Bahkan ia juga wajib mengqadha salat ibunya.
[10] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth.
[11] Sayyid Khu’i: Kewajiban mengqadha salat itu atas kedua anaknya adalah sebuah kewajiban kifâyah.
PASAL 4
SALAT AYAT
Masalah 291: Sebab salat Ayat adalah gerhana matahari dan bulan sekalipun sebagiannya saja, gempa bumi, dan setiap tanda kekuasaan Ilahi yang menakutkan menurut pandangan mayoritas manusia, baik tanda kekuasaan Ilahi itu terjadi di langit seperti angin hitam, angin merah, dan angin kuning yang berhembus di luar kebiasaan dll. maupun tanda kekuasaan Ilahi yang terjadi di bumi berdasarkan ihtiyâth[1] seperti bumi terbelah dan lain sebagainya.[2]
Masalah 292: Waktu pelaksanaan salat Ayat untuk gerhana matahari dan bulan adalah ketika matahari dan bulan itu mulai mengalami gerhana hingga ketika mulai memudar. Akan tetapi, ihtiyâth[3] dengan segera mengerjakan salat Ayat sebelum gerhana matahari dan bulan mulai memudar jangan kita tinggalkan. Jika kita menunda pelaksanaan salat Ayat dari masa itu, maka kita harus mengerjakannya tidak dengan niat adâ’ dan tidak juga dengan niat qadha. Akan tetapi, dengan niat qurbah mutlak.
Adapun berkenaan dengan gempa bumi dan peristiwa-peristiwa lain yang pada umumnya berlangsung singkat sehingga kita tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan salat Ayat, seperti goncangan bumi dan suara pekikan (yang menakutkan), kita harus mengerjakan salat Ayat pada saat peristiwa-peristiwa itu terjadi. Jika kita tidak mengerjakannya, maka kita harus mengerjakan salat Ayat setelah itu selama kita masih hidup. Akan tetapi, salat Ayat ini harus dikerjakan dengan niat adâ’.
Masalah 293: Kewajiban mengerjakan salat Ayat hanya dikhususkan bagi mereka yang hidup di daerah kejadian tanda kekuasaan Ilahi itu dan juga bagi mereka yang hidup di daerah teritorial yang dihitung satu dengan daerah kejadian tanda kekuasan Ilahi tersebut.
Masalah 294: Jika kita tidak tahu bahwa gerhana terjadi hingga gerhana itu memudar secara sempurna, maka kita tidak wajib mengqadha salat Ayat asalkan gerhana itu bukan gerhana total. Adapun jika kita tahu bahwa gerhana telah terjadi lalu kita tidak mengerjakan salat Ayat sekalipun karena lupa atau gerhana tersebut adalah gerhana total, maka kita wajib mengqadha salat Ayat.
Masalah 295: Salat Ayat berjumlah dua rakaat dan setiap rakaatnya memiliki lima rukuk. Atas dasar ini, jumlah seluruh rukuk salat Ayat adalah sepuluh rukuk. Tata cara pelaksanaan salat Ayat adalah sebagai berikut:
Kita membaca Takbiratul Ihram dengan disertai niat, tidak berbeda dengan salat wajib harian. Setelah itu, kita membaca Al-Fâtihah dan satu surah sempurna. Setelah membaca surah, kita rukuk dan lantas bangun dari rukuk. Kemudian, kita membaca Al-Fâtihah dan satu surah sempurna lagi. Lalu, kita rukuk kembali dan lantas bangun dari rukuk. Dan begitulah seterusnya hingga kita rukuk untuk yang kelima kali. Setelah bangun dari rukuk yang kelima, kita melakukan dua kali sujud. Setelah dua sujud itu usai, kita bangun kembali dan lantas mengerjakan segala sesuatu yang telah kita kerjakan pada rakaat pertama. Setelah usai (mengerjakan rakaat kedua ini), kita membaca tasyahud dan salam.
Kita juga boleh memilah-milah satu surah sempurna menjadi lima rukuk untuk setiap rakaat salat Ayat. Caranya adalah kita membaca Al-Fâtihah setelah membaca Takbiratul Ihram. Setelah itu, kita membaca satu ayat, lebih sedikit atau lebih banyak, dari sebuah surah. Lalu, kita rukuk dan lantas bangun dari rukuk. Kemudian, kita membaca kelanjutan surah tersebut (tanpa membaca Al-Fâtihah lagi). Dan begitulah seterusnya hingga kita rukuk untuk yang kelima kali dan menyempurnakan surah itu. Setelah berdiri untuk mengerjakan rakaat kedua, kita melakukan segala sesuatu yang telah kita kerjakan pada rakaat pertama.
Masalah 296: Jika kita memilah-milah surah sesuai dengan tata cara yang telah dipaparkan di atas, maka pembacaan Al-Fâtihah tidak disyariatkan kecuali sekali pada berdiri pertama. Kecuali apabila kita menyempurnakan bacaan Al-Fâtihah itu pada berdiri kedua atau ketiga misalnya. Maka, kita wajib membaca Al-Fâtihah lagi dan satu atau sebagian surah pada berdiri berikutnya setelah kita berdiri dari rukuk.
Masalah 297: Seluruh persyaratan, kewajiban, dan hal-hal sunah yang harus dipenuhi dalam salat wajib harian—seperti telah Anda ketahui—juga harus dipenuhi dalam salat Ayat.
Masalah 298: Dalam salat Ayat, sunah kita membaca qunut pada setiap berdiri kedua. Atas dasar ini, jumlah seluruh qunut salat Ayat adalah lima qunut. Meskipun demikian, kita juga boleh hanya membaca dua qunut: qunut pertama sebelum rukuk kelima dan qunut kedua sebelum rukuk kesepuluh. Akan tetapi, kita harus membaca qunut pertama itu dengan niat rajâ’. Kita juga boleh hanya membaca qunut kedua saja.
Salat Ayat sunah dikerjakan dengan berjamaah dan membaca surah yang panjang.


________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, salat Ayat adalah wajib ketika tanda kekuasaan Ilahi terjadi, baik terjadi di langit maupun di bumi, asalkan tanda kekuasaan Ilahi tersebut menyebabkan mayoritas manusia takut.
[2] Imam Khamenei: Bahkan salat Ayat adalah wajib ketika bumi terbelah atau tergoncang.
[3] Syaikh Behjat: Kita tidak boleh menunda pelaksanaan salat Ayat hingga gerhana matahari dan bulan mulai memudar. Jika kita menundanya, maka kita harus mengerjakannya tanpa niat adâ’ atau qadha.
PASAL 3
POIN-POIN PENTING
a. Qunut
Masalah 288: Sunah kita membaca qunut ketika mengerjakan salat-salat wajib harian, dan lebih ditekankan lagi pada salat-salat yang harus dibaca dengan suara keras (al-jahriyyah). Bahkan berdasarkan ihtiyâth, kita jangan meninggalkan qunut pada saat mengerjakan salat-salat yang harus dibaca dengan suara keras ini.
Tempat pembacaan qunut adalah sebelum rukuk pada rakaat kedua dan setelah usai membaca qirâ’ah. Jika kita lupa tidak membacanya, maka kita membacanya setelah bangun dari rukuk.
Qunut juga disunahkan dalam salat sunah yang berjumlah dua rakaat di tempat pembacaan qunut yang telah dijelaskan di atas, sekalipun salat sunah Syaf‘ berdasarkan pendapat yang lebih kuat. Dan yang lebih utama adalah kita membaca qunut dalam salat sunah Syaf‘ ini dengan niat rajâ’. Membaca qunut dalam salat Witir sebagai bagian dari salat malam adalah sunah yang sangat ditekankan (mu’akkad).
Masalah 289: Dalam qunut, tidak disyaratkan bacaan khusus.[1] Untuk qunut, kita cukup membaca doa dan zikir yang kita mampu. Yang lebih baik adalah doa yang diriwayatkan dari para maksum as.
Masalah 290: Ketika membaca qunut, tidak disyaratkan kita mengangkat kedua tangan. Meskipun demikian, pendapat ini memiliki isykâl. Oleh karena itu, berdasarkan ihtiyâth, kita jangan meninggalkannya.[2]
b. Ta‘qîb Salat
Sunah kita membaca ta‘qîb setelah usai mengerjakan salat sekalipun salat sunah. Dalam salat wajib, kesunahan membaca ta‘qîb ini lebih memperoleh penekanan, khususnya setelah usai mengerjakan salat Shubuh.
Maksud ta‘qîb adalah membaca doa, zikir, Al-Qur’an, dan lain sebagainya setelah usai mengerjakan salat. Yang lebih utama adalah membaca doa-doa yang telah diriwayatkan dari para maksum as. seperti telah disebutkan dalam buku-buku doa dan hadis. Mungkin doa dan zikir yang paling utama adalah tasbih Sayyidah Az-Zahra’ as.[3] Tata cara membaca tasbih ini berdasarkan ihtiyâth adalah ﴿الله أكبر﴾ sebanyak 34 kali, ﴿الحمد لله﴾ sebanyak 33 kali, dan ﴿سبحان الله﴾ sebanyak 33 kali.
c. Hal-Hal yang Membatalkan Salat
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan salat:
1. Hadas kecil dan hadas besar.
Hadas dapat membatalkan salat di manapun hadas itu terjadi, sekalipun pada saat kita sedang membaca huruf terakhir dari salam salat berdasarkan pendapat yang lebih kuat, baik hadas itu terjadi secara sengaja maupun lupa, kecuali orang yang berpenyakit selalu keluar air kencing, sakit perut yang senantiasa keluar angin dan air besar, dan wanita yang sedang mengalami darah istihadah, sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini.
2. Bersedekap.
Berdasarkan pendapat yang lebih kuat,[4] bersedekap dengan sengaja—seperti dilakukan oleh sebagian muslimin—dapat membatalkan salat. Hal itu lantaran bersedekap (dalam salat) tidak disyariatkan. Ya, dalam kondisi terpaksa, tidak masalah kita bersedekap.
3. Memalingkan tubuh.
Sengaja memalingkan tubuh ke belakang atau ke arah kanan dan kiri, dan bahkan ke arah yang terletak antara arah kanan dan kiri tersebut sekiranya kita keluar dari posisi menghadap ke arah Kiblat dapat membatalkan salat.[5]
4. Berbicara dengan sengaja.
Berbicara dengan sengaja sekalipun dua huruf yang tidak memiliki arti dapat membatalkan salat. Jika kita mengucapkan sebuah kata yang memiliki arti sekalipun satu huruf, akan tetapi kita mengucapkannya tidak dengan tujuan mengungkapkan arti tersebut (qashd al-hikâyah), maka berdasarkan pendapat yang paling kuat salat kita tidak batal.[6] Ya, tidak masalah kita menjawab salam (yang diucapkan oleh orang lain) dengan tujuan penghormatan. Bahkan, menjawab salam ini adalah wajib.[7] Jika kita tidak menjawab salam dan melanjutkan membaca qirâ’ah atau zikir-zikir yang lain, lebih-lebih apabila kita hanya diam (tidak membaca apapun) sekadar waktu yang kita perlukan untuk menjawab salam, maka salat kita tidak batal. Akan tetapi, kita hanya harus menanggung dosa lantaran meninggalkan kewajiban menjawab salam itu secara khusus. Kita juga wajib memperdengarkan jawaban kita kepada pemberi salam. Jika pemberi salam berada sangat jauh dari posisi kita sehingga ia tidak dapat mendengar jawaban kita, maka berdasarkan pendapat yang zhâhir kita tidak wajib menjawabnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh menjawabnya ketika kita sedang mengerjakan salat.
5. Tertawa terbahak-bahak.
Tertawa terbahak-bahak dapat membatalkan salat, meskipun hal itu terjadi karena terpaksa. Ya, tidak masalah bila kita tertawa terbahak-bahak karena lupa sebagaimana tidak masalah juga bila kita tersenyum sekalipun sengaja.
6. Menangis dengan suara keras.
Menangis dengan suara keras lantaran kehilangan hal-hal yang bersifat duniawi dapat membatalkan salat. Berbeda halnya dengan menangis karena urusan ukhrawi atau demi memohon harta duniawi kepada Allah swt. Jika kita tidak dapat menahan tangisan yang dapat membatalkan salat, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus mengulangi salat. Bahkan kewajiban mengulangi salat ini adalah sebuah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
7. Tindakan yang dapat menghilangkan bentuk salat.
Setiap tindakan yang dapat menghilangkan bentuk salat sehingga salat yang sedang kita kerjakan tidak bisa dinamakan salat lagi dapat membatalkan salat, baik tindakan itu dilakukan dengan sengaja maupun lupa.
8. Makan dan minum.
Berdasarkan ihtiyâth wajib,[8] makan dan minum walaupun sedikit[9] dapat membatalkan salat, kecuali apabila kita haus sedangkan kita sibuk berdoa dalam salat Witir untuk salat malam dan kita ingin berpuasa pada hari itu dan khawatir fajar tiba-tiba menyingsing.
9. Mengucapkan “Amin”.
Mengucapkan “Amin” dengan sengaja setelah usai membaca Al-Fâtihah dapat membatalkan salat. Tidak masalah kita mengucapkan “Amin” bila kita lupa atau terpaksa.
10. Keraguan tentang jumlah rakaat.
Keraguan tentang jumlah rakaat salat yang berjumlah kurang dari empat rakaat dan tentang rakaat pertama dan kedua dari salat yang berjumlah empat rakaat—seperti akan dijelaskan pada pembahasan mendatang—dapat membatalkan salat.
11. Menambah atau mengurangi rukun dan selain rukun salat.
Menambah atau mengurangi rukun salat, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, dan selain rukun salat dengan sengaja dapat membatalkan salat.
Kita tidak boleh[10] memutus salat wajib semau kita sendiri (ikhtiyâran). Dan berdasarkan ihtiyâth, kita juga jangan memutus salat sunah semau kita sendiri, meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita boleh memutus salat sunah.
d. Kekurangan yang Terjadi dalam Salat
Masalah 299: Jika kita tidak bersuci dari hadas besar, baik hal itu terjadi karena sengaja maupun lupa, baik kita tahu maupun tidak tahu, makan salat kita batal. Berbeda halnya dengan hadas kecil. Penjelasan detail tentang hal ini dan seluruh syarat yang harus diperhatikan telah dijelaskan pada pembahasan yang lalu.
Jika kita tidak melakukan salah satu kewajiban salat dengan sengaja, maka salat kita batal. Begitu juga halnya apabila kita sengaja menambahkan sesuatu kepada kewajiban salat dengan niat menjadi bagian dari salat.
Masalah 300: Jika kita mengurangi salah satu kewajiban salat karena lupa dan kita tidak ingat kecuali setelah tempat pelaksanaannya berlalu, maka salat kita batal apabila kewajiban itu adalah rukun salat. Apabila kewajiban itu bukan rukun salat, maka salat kita sah. Akan tetapi, kita harus melakukan sujud sahwi—sesuai dengan penjelasan yang akan dipaparkan pada pembahasan mendatang—dan mengqadha kewajiban tersebut setelah salat usai apabila kewajiban salat itu adalah tasyahud atau satu sujud, dan kita tidak wajib mengqadha selain dua kewajiban itu. Jika kita ingat sebelum tempat pelaksanaan kewajiban itu berlalu, maka kita harus mengerjakannya.
Jika kita lupa tidak membaca salam dan ingat sebelum kita mengerjakan hal-hal yang dapat membatalkan salat, baik bila dilakukan secara sengaja maupun lupa,[11] maka kita harus membaca salam. Jika kita tidak membaca salam, maka salat kita batal.
Masalah 301: Jika kita lupa tidak mengerjakan rakaat terakhir misalnya, lalu kita ingat setelah membaca tasyahud dan sebelum membaca salam, maka kita harus berdiri dan mengerjakan rakaat tersebut. Jika kita ingat setelah membaca salam dan sebelum mengerjakan hal-hal yang dapat membatalkan salat bila dilakukan karena lupa, maka kita juga harus berdiri dan menyempurnakan salat. Jika kita ingat setelah melakukan hal-hal yang dapat membatalkan salat tersebut, maka kita harus mengulangi salat.
e. Keraguan
Masalah 302: Jika kita ragu apakah sudah mengerjakan salat atau belum, dan waktu salat telah berlalu, maka kita tidak perlu memperhatikan keraguan itu dan menganggap bahwa kita telah mengerjakannya. Apabila waktu salat belum berlalu, maka kita harus mengerjakannya. Sangkaan apakah sudah mengerjakan salat atau belum dalam hal ini memiliki hukum keraguan.
Masalah 303: Kita hanya boleh tidak memperhatikan keraguan yang terjadi setelah waktu salat berlalu itu dan menganggap bahwa kita telah mengerjakan salat apabila keraguan itu juga timbul setelah waktu salat berlalu. Jika kita ragu dalam waktu salat dan lupa tidak mengerjakan salat hingga waktunya berlalu, maka kita harus mengqadhanya, meskipun keraguan itu tetap berlanjut hingga setelah waktu salat berlalu dan pada saat ini kita juga ragu apakah sudah mengerjakan salat atau belum.
Masalah 304: Hukum orang yang sering ragu apakah sudah mengerjakan salat atau belum adalah seperti hukum selainnya. Seluruh perincian apakah keraguannya itu terjadi di dalam atau di luar waktu salat juga berlaku di sini. Adapun berkenaan dengan orang yang terjangkit penyakit waswas, ia tidak boleh memperhatikan keraguannya meskipun keraguan itu timbul di dalam waktu salat.
Masalah 305: Jika kita ragu tentang salah satu amalan salat dan kita belum mengerjakan amalan lain yang harus dikerjakan setelah amalan yang diragukan tersebut, maka kita harus mengerjakannya; seperti kita ragu apakah sudah membaca Takbiratul Ihram sebelum kita mulai membaca qirâ’ah sekalipun isti‘âdzah-nya atau ragu apakah sudah membaca Al-Fâtihah sebelum kita mulai membaca surah. Jika keraguan itu timbul setelah kita mulai mengerjakan amalan salat lain yang harus dikerjakan setelah amalan yang diragukan tersebut, meskipun amalan lain itu adalah sebuah amalan sunah, maka kita tidak boleh memperhatikan keraguan itu dan kita anggap telah mengerjakan amalan itu, baik amalan lain itu termasuk amalan yang independen seperti contoh di atas maupun bukan amalan yang independen; seperti kita ragu apakah sudah membaca bagian pertama surah sedangkan kita telah sampai di penghujung surah. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab,[12] hendaknya mengerjakan amalan yang diragukan itu dengan niat qurbah mutlak.
Masalah 306: Jika kita ragu apakah amalan salat yang telah kita kerjakan adalah sah atau batal, maka kita tidak perlu memperhatikan keraguan itu, meskipun keraguan itu timbul di tempat pelaksanaan amalan tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab[13] dalam kondisi seperti ini, hendaknya kita mengulangi salat dengan niat qurbah, dan apabila amalan itu adalah rukun salat, maka berdasarkan ihtiyâth mustahab[14] juga hendaknya kita menyempurnakan salat dan lantas mengulanginya.
Masalah 307: Jika kita ragu apakah sudah membaca salam atau belum, maka kita tidak perlu memperhatikan keraguan itu, apabila kita telah melakukan sesuatu yang merupakan konsekuensi dari keusaian salat seperti membaca ta‘qîb dan lain sebagainya atau telah mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan salat.
f. Keraguan tentang Rakaat Salat Wajib
Masalah 301: Jika kita ragu tentang jumlah rakaat, lalu keraguan kita sirna, maka keraguan tersebut tidak memiliki hukum apapun. Adapun jika keraguan kita tetap berlangsung, maka keraguan itu membatalkan salat yang berjumlah dua dan tiga rakaat serta rakaat pertama dan kedua untuk salat yang berjumlah empat rakaat. Akan tetapi, keraguan itu tidak membatalkan salat dalam beberapa kondisi berikut ini:
a. Keraguan antara rakaat kedua dan ketiga setelah kita menyempurnakan dua sujud. Dalam kondisi ini, kita harus menetapkan rakaat ketiga dan lantas mengerjakan rakaat keempat. Setelah salat usai, kita harus mengerjakan salat ihtiyâth sebanyak 1 rakaat dengan berdiri atau 2 rakaat dengan duduk. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengumpulkan kedua salat ihtiyâth tersebut dengan mendahulukan salat ihtiyâth dengan berdiri dan kemudian mengulangi salat.
b. Keraguan antara rakaat ketiga dan keempat dalam kondisi apapun kita berada. Dalam kondisi ini, kita harus menetapkan rakaat keempat. Hukum kondisi ini sama seperti hukum kondisi di atas, kecuali mendahulukan salat ihtiyâth dengan berdiri.
c. Keraguan antara rakaat kedua dan keempat setelah kita menyempurnakan dua sujud. Dalam kondisi ini, kita harus menetapkan rakaat keempat dan lalu menyempurnakan salat. Setelah itu, kita harus mengerjakan salat ihtiyâth sebanyak 2 rakaat dengan berdiri.
d. Keraguan antara rakat kedua, ketiga, dan keempat setelah menyempurnakan dua sujud. Dalam kondisi ini, kita harus menetapkan rakaat keempat dan lalu menyempurnakan salat. Setelah itu, kita harus mengerjakan salat ihtiyâth sebanyak 2 rakaat dengan berdiri dan 2 rakaat dengan duduk. Berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita hendaknya mendahulukan 2 rakaat salat ihtiyâth dengan berdiri.
e. Keraguan antara rakaat keempat dan kelima. Keraguan ini memiliki dua kondisi:
(1) Setelah kita bangun dari sujud terakhir. Dalam kondisi ini, kita harus menetapkan rakaat keempat dan lantas membaca tasyahud dan salam. Setelah itu, kita harus mengerjakan sujud sahwi sebanyak dua kali sujud.
(2) Pada saat kita sedang berdiri. Kondisi ini masuk dalam kategori keraguan antara rakaat ketiga dan keempat pada saat kita sedang berdiri. Oleh karena itu, kita harus menetapkan rakaat keempat dan langsung duduk. Lalu kita membaca tasyahud dan salam. Setelah itu, kita mengerjakan salat ihtiyâth sebanyak 2 rakaat dengan duduk atau 1 rakaat dengan berdiri.
f. Keraguan antara rakaat ketiga dan kelima pada saat kita sedang berdiri. Kondisi ini masuk dalam kategori keraguan antara rakaat kedua dan keempat. Maka, kita harus langsung duduk dan mengamalkan amalan keraguan.
g. Keraguan antara rakaat ketiga, keempat, dan kelima pada saat kita sedang berdiri. Keraguan ini masuk dalam kategori keraguan antara rakaat kedua, ketiga, dan keempat. Maka, kita harus langsung duduk dan mengamalkan amalan keraguan tersebut.
h. Keraguan antara rakaat kelima dan keenam pada saat kita sedang berdiri. Keraguan ini masuk dalam kondisi kelima di atas.
Berdasarkan ihtiyâth mustahab, pada empat kondisi terakhir ini, kita hendaknya mengulangi salat di samping mengerjakan amalan keraguan (yang telah ditetapkan itu).
Masalah 309: Selain keraguan tentang rakaat salat yang telah disebutkan di atas dapat membatalkan salat.
Masalah 310: Jika kita mengalami salah satu keraguan di atas dan tidak mengetahui tugas (yang harus kita lakukan):
1. Jika waktu salat sudah sempit atau kita tidak mungkin untuk belajar pada saat waktu salat masih ada, maka kita harus melakukan salah satu kemungkinan yang lebih kuat bila ada. Apabila kemungkinan yang lebih kuat ini tidak ada, maka kita harus melakukan salah satu kemungkinan yang ada. Setelah itu, kita harus menyempurnakan salat dan lantas mengulanginya berdasarkan ihtiyâth, bila waktunya masih ada. Ya, jika kita tahu setelah itu bahwa salat tersebut tidak sesuai dengan kewajiban yang sebenarnya, maka kita harus mengulanginya meskipun kita tidak mengerjakan salat itu pada waktunya.
2. Jika waktu salat masih banyak dan kita mungkin untuk belajar di waktu itu, maka kita harus memutus salat dan mempelajarinya. Meskipun demikian, kita boleh menyempurnakan salat sesuai dengan salah satu kemungkinan yang kita miliki dan kemudian mempelajarinya. Jika kemungkinan yang telah kita pilih itu sesuai dengan kewajiban yang sebenarnya, maka kita bisa mencukupkan diri dengan salat tersebut. Jika tidak, maka kitas harus mengulanginya. Meskipun demikian, berdasarkan ihtiyâth, bagaimanapun jua kita hendaknya mengulangi salat.
Masalah 311: Jika kita tidak mampu berdiri dan mengalami salah satu keraguan yang sah tersebut, maka kita harus mengerjakan salat ihtiyâth yang seharusnya dikerjakan dengan berdiri dalam kondisi duduk.
Masalah 312: Jika kita mengalami keraguan yang sah, maka kita tidak boleh memutus salat dan lantas mengulanginya. Kita harus mengerjakan kewajiban yang telah ditentukan bagi orang yang ragu.
Masalah 313: Jika kita bepergian ke suatu tempat yang membolehkan kita memilih antara meng-qashar atau menyempurnakan salat, lalu kita berniat qashar dan ragu tentang jumlah rakaat (di pertengahan salat), maka tidak jauh (lâ yab‘ud) bila kita harus menentukan amal dengan perantara hukum keraguan dan menangani (keraguan tersebut) tanpa kita perlu berpindah niat (menyempurnakan salat). Akan tetapi, ihtiyâth dengan mengamalkan hukum keraguan setelah berpindah niat dan lantas mengulangi salat tidak layak kita tinggalkan.
g. Keraguan yang Tidak Perlu Diperhatikan
Ada beberapa keraguan yang tidak perlu kita perhatikan, yaitu:
a. Keraguan yang muncul setelah tempat pelaksanaan sebuah kewajiban salat berlalu.
b. Keraguan yang muncul setelah waktu salat berlalu.
c. Keraguan yang muncul setelah kita usai mengerjakan salat dengan syarat salah satu sisi keraguan tersebut adalah kesahan salat.
d. Keraguan orang yang sering ragu. Tolok ukur bahwa kita telah menjadi seorang yang sering ragu adalah ‘urf, dan tidak jauh (lâ yab‘ud) bila hal itu terwujud dalam kurang dari tiga kali salat secara berturut-turut.
e. Keraguan yang dimiliki oleh imam salat jamaah atau makmun tentang jumlah rakaat salat, asalkan salah seorang dari mereka tidak ragu. Dalam kondisi ini, orang yang ragu dari mereka harus mengikuti orang yang tidak ragu. Aplikasi hukum ini terhadap keraguan tentang amalan salat juga adalah sebuah pendapat yang berdalil (lâ yakhlû min wajh).
Adapun jika masing-masing imam salat jamaah dan makmun ragu dan keraguan mereka adalah satu, maka masing-masing dari mereka harus mengamalkan kewajiban yang telah ditentukan untuk keraguan tersebut. Akan tetapi, jika keraguan mereka berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali antara keraguan mereka itu, maka makmun harus berpisah dari imam dan masing-masing mereka mengerjakan kewajiban yang telah ditentukan bagi keraguannya sendiri. Adapun jika masih terdapat hubungan dan titik temu (qadar musytarak) antara keraguan mereka, maka mereka harus menetapkan kewajiban berdasarkan titik temu tersebut dan di samping itu, berdasarkan ihtiyâth mereka juga mengulangi salat.
f. Keraguan tentang rakaat salat sunah. Dalam kondisi ini, kita bisa memilih antara menetapkan rakaat yang paling sedikit atau yang paling banyak. Akan tetapi, menetukan rakaat yang paling sedikit adalah lebih utama. Ya, jika menetukan rakaat yang paling banyak dapat membatalkan salat, maka kita harus menentukan rakaat yang paling sedikit.
h. Sangkaan
Masalah 314: Secara mutlak, sangkaan tentang jumlah rakaat adalah sama seperti keyakinan, sekalipun dalam salat yang berjumlah dua rakaat, tiga rakaat, dan rakaat pertama dan kedua untuk salat yang berjumlah empat rakaat. Akan tetapi, ihtiyâth[15] berkenaan dengan selain dua rakaat terakhir untuk salat yang berjumlah empat rakaat adalah kita mengamalkan sangkaan tersebut dan lantas mengulangi salat.
Masalah 315: Aplikasi sangkaan tentang amalan salat memiliki isykâl[16] yang mengharuskan kita ber-ihtiyâth[17] apabila sangkaan itu bertentangan dengan tugas yang telah ditetapkan bagi keraguan; seperti kita menyangka telah mengerjakan sebuah amalan salat sedangkan kita masih berada di tempat pelaksanaan amalan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, jika sangkaan kita berkenaan dengan amalan salat seperti qirâ’ah, maka kita harus membacanya dengan niat qurbah, dan jika sangkaan kita berkenaan dengan amalan salat seperti rukuk, maka kita harus rukuk dan lantas mengulangi salat.
i. Salat Ihtiyâth
Masalah 316: Salat ihtiyâth adalah wajib. Oleh karena itu, kita tidak boleh meninggalkannya dan mengulangi salat dari permulaan. Kita wajib langsung mengerjakan salat ihtiyâth setelah usai salat dan juga tidak boleh memisahkan antara keduanya dengan melakukan hal-hal yang membatalkan salat. Jika kita melakukan hal itu, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus tetap mengerjakan salat ihtiyâth dan lantas mengulangi salat.[18] Ya, jika terbukti kita tidak perlu mengerjakan salat ihtiyâth sebelum memulainya, maka kita tidak wajib mengerjakannya.
Masalah 317: Untuk salat ihtiyâth, kita harus berniat, membaca Takbiratul Ihram, membaca Al-Fâtihah; berdasarkan ihtiyâth wajib[19] kita jangan membaca Al-Fâtihah dan basmalah-nya dengan suara keras,[20] rukuk, sujud, membaca tasyahud, dan salam. Salat ihtiyâth tidak memiliki qunut dan surah.
Masalah 318: Jika kita ragu apakah sudah mengerjakan salat ihtiyâth atau belum, dan waktu salat sudah berlalu, maka kita tidak perlu memperhatikannya. Jika waktu salat masih ada, sedangkan kita belum mengerjakan suatu pekerjaan yang lain, belum melakukan suatu hal yang dapat membatalkan salat, dan belum terwujud pemisah yang panjang, maka kita harus menetapkan bahwa kita belum mengerjakan salat ihtiyâth. Akan tetapi, dengan adanya salah satu dari tiga hal ini, apabila kita menetapkan bahwa kita telah mengerjakan salat ihtiyâth, maka penetapan ini adalah suatu penetapan yang berdalil. Hanya saja, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengulangi salat ihtiyâth dan lantas mengulangi salat.
Masalah 319: Jika kita ragu tentang amalan salat ihtiyâth, maka kita harus mengerjakannya asalkan kita masih berada di tempat amalan tersebut. Akan tetapi, jika kita telah berlalu dari tempat tersebut, maka kita harus menetapkan bahwa kita telah mengerjakannya.
Jika kita ragu tentang jumlah rakaat salat ihtiyâth, maka berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita harus menetapkan rakaat yang terbanyak, kecuali apabila rakaat yang terbanyak ini dapat membatalkan salat. Jika demikian, maka kita harus menetapkan rakaat yang paling sedikit. Akan tetapi, di samping menetapkan rakaat yang paling sedikit ini, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengulangi salat ihtiyâth dan juga mengulangi salat.
Masalah 320: Jika kita lupa tidak mengerjakan salat ihtiyâth dan telah mulai mengerjakan salat yang lain, baik salat sunah maupun salat wajib, maka kita harus memutus salat tersebut dan mengerjakan salat ihtiyâth, khususnya apabila salat kedua itu harus dikerjakan setelah salat pertama. Dan di samping itu, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengulangi salat pertama. Semua itu apabila salat kedua belum berlangsung begitu lama sehingga tidak mengganggu kewajiban mengerjakan salat ihtiyâth dengan segera. Jika tidak demikian, maka tidak jauh (lâ yab‘ud) bila kita wajib berpindah niat kepada salat pertama asalkan salat kedua itu harus dikerjakan setelah salat pertama. Dan di samping itu, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya juga mengulangi salat pertama itu. Apabila salat kedua itu tidak wajib dikerjakan setelah salat pertama, maka kita harus memutusnya dan mengulangi salat pertama.
j. Bagian Salat yang Terlupakan
Masalah 321: Bagian-bagian salat yang terlupakan tidak wajib diqadha, kecuali sujud dan—berdasarkan ihtiyâth wajib[21]—tasyahud. Pada saat mengerjakannya, kita harus berniat bahwa sujud dan tasyahud itu adalah qadha untuk sujud dan tasyahud yang terlupakan. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, kita tidak wajib mengqadha bagian-bagian tasyahud (yang terlupakan), sekalipun salawat atas Nabi Muhammad dan keluarga beliau.
Masalah 322: Pada saat mengerjakan qadha tasyahud, kita tidak wajib membaca salam. Begitu juga pada saat mengerjakan qadha sujud, kita tidak wajib membaca tasyahud dan salam. Ya, jika bagian salat yang terlupakan adalah tasyahud terakhir, maka berdasarkan ihtiyâth[22] kita harus mengerjakannya dengan niat qurbah mutlak tanpa berniat adâ’ atau qadha sembari membaca salam setelah itu. Dan berdasarkan ihtiyâth[23] juga kita harus mengerjakan sujud sahwi sebanyak dua kali sujud.
Masalah 323: Jika kita yakin bahwa kita lupa tidak sujud atau membaca tasyahud dan tempat pelaksanaannya telah berlalu, lalu keyakinan kita ini berubah menjadi keraguan setelah kita usai mengerjakan salat, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus mengqadhanya, meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita tidak wajib mengqadhanya.
k. Sujud Sahwi
Masalah 324: Kita wajib mengerjakan sujud sahwi lantaran beberapa faktor berikut ini:
a. Berbicara karena lupa, sekaklipun kita menyangka bahwa kita telah usai salat.
b. Lupa tidak mengerjakan satu sujud[24] dan tempat pelaksanaannya telah berlalu.
c. Membaca salam bukan pada tempatnya, berdasarkan ihtiyâth wajib.
d. Lupa tidak membaca tasyahud dan tempat pelaksanaannya telah berlalu, berdasarkan ihtiyâth wajib.[25]
e. Keraguan antaran rakaat keempat dan kelima.
Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengerjakan sujud sahwi lantaran penambahan atau pengurangan bagian salat yang tidak kita ingat di tempat pelaksanaannya. Meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat, sujud sahwi tidak wajib karena selain faktor yang telah dijelaskan di atas.[26]
Masalah 325: Jika kita memiliki kewajiban sujud sahwi, qadha bagian-bagian salat yang terlupakan, dan salat ihtiyâth, maka kita harus mengerjakan sujud sahwi setelah kita mengerjakan dua kewajiban itu. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mendahulukan salat ihtiyâth atas qadha bagian-bagian salat yang terlupakan. Bahkan kewajiban mendahulukannya ini adalah sebuah pendapat yang lebih unggul (lâ yakhlû min rujhân).
Masalah 326: Setelah usai mengerjakan salat, kita harus segara mengerjakan sujud sahwi. Jika kita menundanya, maka kita telah bermaksiat, meskipun salat kita tetap sah. Kewajiban dan kesegeraan melakukan sujud sahwi itu tidak gugur, sekalipun kita menundanya.
Masalah 327: Untuk sujud sahwi, kita wajib berniat bersamaan dengan permulaan tindakan yang mewujudkan nama sujud. Dalam sujud sahwi, kita tidak wajib menentukan faktor yang mewajibkannya meskipun faktor itu berbilang dan juga tidak wajib mengucapkan takbir meskipun hal ini adalah ahwath. Berdasarkan ihtiyâth, kita harus memenuhi seluruh syarat sujud yang harus terpenuhi dalam sujud salat, khususnya meletakkan ketujuh anggota sujud di atas tanah, meskipun ketidakwajiban seluruh syarat tersebut kecuali hal-hal yang dapat mewujudkan nama sujud adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlâ min quwwah). Begitu juga berdasarkan ihtiyâth mustahab,[27] pada setiap sujud, kita hendaknya membaca salah satu zikir khusus berikut ini:
• بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ.
• بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ، ٱللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ.
• بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.
Berdasarkan ihtiyâth, kita hendaknya memilih membaca zikir yang terakhir. Akan tetapi, ketidakwajiban membaca zikir apapun, apalagi zikir khusus tersebut, adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).[28]
Setelah bangun dari sujud yang terakhir, kita wajib membaca tasyahud dan salam.


________________________________________
[1] Masalah: Qunut tidak disyaratkan harus dibaca dengan bahasa Arab. Jika kita membacanya dengan menggunakan bahasa apapun, maka hal ini sudah cukup.
[2] Syaikh Behjat: Sunah kita mengangkat kedua tangan. Bahkan berdasarkan ihtiyâth, kita jangan meninggalkannya di selain kondisi taqiyyah.
[3] Imam Ja‘far Ash-Shâdiq as. berkata, “Kami memerintahkan anak-anak kami untuk membaca tasbih Fathimah as., sebagaimana kami memerintahkan mereka untuk salat. Maka saya pun selalu membaca tasbih tersebut. Karena tidak ada orang yang senantiasa membacanya, lalu ia celaka.”
Beliau juga berkata, “Tasbih Fathimah as. yang dibaca setiap hari setelah usai mengerjakan setiap salat lebih saya cintai daripada salat seribu rakaat yang dikerjakan setiap hari.” Al-Kâfî, jilid 3, hal. 343, hadis no. 13-15.
[4] Sayyid Khu’i: Jika kita bersedekap tidak dengan niat bagian dari salat, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus menyempurnakan salat dan lantas mengulanginya.
[5] Imam Khamenei: Jika kita sengaja memalingkan wajah dan tubuh kita atau salah satunya dari Kiblat sedemikian rupa sehingga kita dapat melihat salah satu sisi kanan atau kiri kita dengan mudah, maka salat kita batal. Jika kita memalingkannya karena lupa, maka berdasarkan ihtiyâth wajib salat kita juga batal. Ya, jika kita memalingkan wajah ke salah satu arah kiri atau kanan kita sedikit, maka salat kita tidak batal.
[6] Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang zhâhir, satu huruf yang tidak memahamkan arti sekalipun dapat membatalkan salat, seperti huruf Al-Mabânî dan Al-Ma‘ânî, seperti hamzah Al-Istifham dan lam Al-Ikhtishâsh.
[7] Masalah: Menjawab salam adalah wajib, baik pemberi salam adalah laki-laki maupun wanita. Bahkan kita wajib menjawab salam meskipun pemberi salam adalah seorang anak kecil yang sudah mumayyiz. Jika kita memberi salam kepada sekelompok orang yang di antara mereka ada orang yang sedang mengerjakan salat dan ada juga yang tidak sedang mengerjakan salat, maka orang yang sedang mengerjakan salat jangan terburu-buru menjawab salam. Ini semua apabila kita menggunakan kata salam. Jika kita tidak menggunakan salam, maka orang yang sedang mengerjakan salat itu tidak boleh menjawab salam. Ya, orang yang tidak sedang mengerjakan salat wajib menjawab salam tersebut apabila salam (yang tidak menggunakan kata salam) itu dihitung sebagai sebuah penghormatan dan salam dalam pandangan ‘urf.

Syaikh Behjat: Jika kita ragu apakah kita termasuk orang yang diberi salam atau tidak, maka kita tidak boleh menjawabnya. Begitu pula halnya apabila kita tahu bahwa pemberi salam juga memaksudkan kita, akan tetapi salah seorang di antara kita telah menjawab salamnya.
[8] Syaikh Behjat: Jika makan dan minum itu tidak menyebabkan bentuk salat sirna atau muwâlât terbengkalai, maka menurut pendapat yang azhhar salat kita tidak batal asalkan makan dan minum itu terjadi karena lupa. Jika makan dan minum (yang tidak menyebabkan bentuk salat sirna) ini terjadi dengan sengaja, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus menyempurnakan salat dan lantas mengulanginya.
[9] Sayyid Khu’i: Makan dan minum dapat membatalkan salat apabila menghilangkan bentuk salat.
[10] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib.
[11] Imam Khamenei: Atau sebelum kita melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan bentuk salat.
[12] Syaikh Behjat: Beliau membenarkan salat tersebut dan tidak menyebutkan ihtiyâth.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang zhâhir, hukum sangkaan tentang amalan salat adalah sama dengan hukum keraguan.
[17] Syaikh Behjat: Kita harus menganggap sangkaan itu sebagai sebuah keyakinan. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya mengulangi amalan yang kita sangka telah dikerjakan itu selama amalan tersebut bukan rukun salat.
[18] Sayyid Khu’i: Tidak sah kita mengulangi salat, kecuali apabila kita telah melakukan hal-hal yang membatalkan salat.
[19] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus membacanya dengan suara pelan.
[20] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita membacanya dengan suara pelan.
[21] Syaikh Behjat: Bagian-bagian salat tidak wajib diqadha kecuali sujud, tasyahud, dan bagian-bagian tasyahud.
[22] Syaikh Behjat: Hukum itu sesuai dengan ihtiyâth.
[23] Syaikh Behjat: Kita harus mengerjakan sujud sahwi dengan niat melaksanakan tugas yang sekarang ada di pundak kita (al-wazhîfah al-fi‘liyyah).
[24] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib.
[25] Syaikh Behjat: Sujud sahwi adalah wajib lantaran kita menambah salam dan berdasarkan ihtiyâth wajib juga wajib lantaran menambah atau mengurangi bagian salat yang non-rukun.
[26] Sayyid Khu’i: (Sujud sahwi tidak wajib) karena kita berdiri pada waktu yang semestinya kita harus duduk atau sebaliknya.
[27] Syaikh Behjat: Hukum itu sesuai dengan ihtiyâth wajib.
[28] Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita wajib membaca zikir.
PASAL 2
AMALAN SALAT
a. Niat
Masalah 233: Niat adalah kehendak untuk mengerjakan sebuah pekerjaan. Dalam niat, kita harus berniat mendekatkan diri (qurbah) kepada Allah swt. dan melaksanakan perintah-Nya. Ketika berniat, kita tidak harus mengucapkannya dengan mulut, karena niat adalah sebuah pekerjaan kalbu. Begitu juga kita tidak wajib melintaskannya dalam hati. Untuk mewujudkan itu, cukup adanya sebuah pendorong (dalam diri kita), dan begitu juga cukup keinginan untuk mengerjakan perintah (Ilahi) dan sejenisnya menjadi faktor penggerak bagi kita.
Masalah 234: Ikhlas disyaratkan dalam niat. Ketika kita menambahkan suatu tujuan yang bertentangan dengan faktor keikhlasan, khususnya riya’, maka amal kita batal. Ya, jika tujuan tambahan selain riya’ dimaksud sebagai sebuah tujuan sampingan dan tujuan asli kita hanyalah melaksanakan perintah Ilahi, maka tujuan tambahan semacam ini tidak isykâl. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth,[1] seluruh bentuk kemenduaan faktor penggerak sebuah amal sekalipun tujuan tambahan itu bersifat sampingan, lebih-lebih apabila bersifat independen, dapat menyebabkan amal kita batal.
Masalah 235: Jika kita mengeraskan suara ketika membaca zikir atau qirâ’ah dengan tujuan untuk memberitahukan kepada orang lain, maka salat kita tidak batal, asalkan tujuan dasar kita dari membaca zikir dan qirâ’ah itu hanyalah demi melaksanakan perintah Ilahi. Begitu juga halnya apabila kita mengerjakan salat di sebuah tempat atau waktu tertentu demi menggapai suatu tujuan yang mubah.
Masalah 236: Kita wajib menentukan jenis salat yang ingin kita kerjakan dalam niat kita, meskipun secara global; seperti kita berniat mengerjakan kewajiban yang ada di pundak kita, apabila kewajiban itu hanya satu, atau berniat mengerjakan kewajiban pertama yang ada di pundak kita kemudian yang kedua, apabila kewajiban itu berbilang.
Masalah 237: Kita tidak wajib berniat salat adâ’ atau qadha setelah kita meniatkan salat yang harus dikerjakan secara adâ’ atau qadha itu sendiri. Ya, jika kita juga memiliki kewajiban salat qadha (di samping salat adâ’), maka kita harus menentukan jenis salat yang akan kita kerjakan dan apakah salat itu adalah salat wajib (qadha) untuk hari itu atau untuk hari yang lain.
Masalah 238: Kita tidak wajib berniat salat qashar atau salat sempurna apabila salat yang hendak kita kerjakan memang sudah pasti salat qashar atau salat sempurna. Bahkan, bergitu pula halnya apabila kita mengerjakan salat di tempat yang membolehkan kita memilih antara salat qashar atau salat sempurna. Atas dasar ini, jika kita memulai salat dalam kondisi ragu (antara salat qashar atau salat sempurna) dan setelah tasyahud pertama kita akan mengucapkan salah karena ingin meng-qashar salat atau akan meneruskan dua rakaat lagi, maka salat kita pun masih sah. Bahkan, jika kita telah memutuskan untuk meng-qashar atau menyempurnakan salat, maka berdasarkan pendapat yang azhhar kita tidak harus menepati keputusan itu dan boleh menentukan keputusan yang lain.
Masalah 239: Kita tidak wajib meniatkan salat wajib atau sunah. Kita cukup meniatkan qurbah mutlak. Akan tetapi, ihtiyâth mustahab adalah kita meniatkan salat wajib atau sunah.
Masalah 240: Kita bisa berpindah dari satu salat ke salat yang lain dalam beberapa kondisi berikut ini:
a. Kita mengerjakan salat kedua dari dua salat yang harus dikerjakan secara berurutan lantaran lalai atau lupa. Dalam hal ini, kita harus berpindah ke salat pertama.
b. Kita mengerjakan salat adâ’, lalu ingat bahwa kita masih memiliki salat qadha. Dalam hal ini, sunah kita berpindah ke salat qadha asalkan masih ada tempat untuk pindah, kecuali apabila kita khawatir kehilangan waktu utama salat yang sedang kita kerjakan itu. Jika demikian, kesunahan berpindah salat bermasalah (ta’ammul), bahkan ketidaksunahan berpindah salat adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).
c. Berpindah dari salat wajib ke salat sunah dalam dua kondisi berikut ini:
♦ Kita mengerjakan salat Zhuhur pada hari Jumat seraya membaca sebuah surah selain surah Al-Jumu‘ah lantaran lupa dan telah mencapai setengah surah tersebut atau lebih.
♦ Kita sedang sibuk mengerjakan salat wajib lima waktu, lalu salat berjamaah didirikan dan kita khawatir akan ketinggalan salat berjamaah tersebut.
b. Takbiratul Ihram[2]
Masalah 241: Takbiratul Ihram adalah sebuah rukun yang dapat membatalkan salat bila kita menguranginya, baik secara sengaja maupun lantaran lupa. Begitu juga halnya bila kita menambahinya. Bentuk dan susunan Takbiratul Ihram adalah Allôhu Akbar (الله أکبر). Selain susunan itu atau susunan yang serupa dengannya tidak mencukupi. Pada saat membacanya, kita harus berdiri tegak.
Masalah 242: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[3] kita jangan menyambung doa yang dibaca sebelum Takbiratul Ihram dengan Takbiratul Ihram tersebut, yang berkonsekuensi hamzah kata Allah (الله) tidak boleh kita baca. Menurut pendapat yang zhâhir, kita boleh menyambung Takbiratul Ihram dengan isti‘âdzah atau basmalah yang dibaca setelah itu. Jika demikian, kita harus menampakkan harakat ra’ pada kata Akbar (أكبر). Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya kita juga meninggalkan tindakan ini.[4]
Masalah 243: Sunah kita menambahkan enam kali takbir atas Takbiratul Ihram, baik kita membacanya sebelum Takbiratul Ihram, setelah membaca Takbiratul Ihram, maupun kita membagi-bagi enam takbir tersebut dengan membacanya sebelum dan setelah Takbiratul Ihram. Ihtiyâth adalah opsi pertama. Dan yang paling utama adalah kita membacanya disertai doa-doa yang sunah kita baca.
Masalah 244: Ketika membaca Takbiratul Ihram, sunah kita mengangkat kedua tangan hingga menyentuh kedua telinga atau hingga ke hadapan wajah sembari kita mulai membaca Takbiratul Ihram pada saat mulai mengangkat kedua tangan dan mengakhirinya ketika kedua tangan kita sudah turun ke bawah. Yang lebih utama adalah kita merapatkan jari-jemari kedua tangan dan menghadapkan kedua telapak tangan ke arah Kiblat.
c. Berdiri (Qiyâm)
Masalah 245: Berdiri adalah rukun untuk Takbiratul Ihram—yang disertai dengan niat—dan untuk rukuk; yaitu rukuk terlaksana dari posisi berdiri tersebut. Berdiri ini disebut berdiri yang menyambung dengan rukuk (al-qiyâm al-muttashil bi ar-rukû‘).
Masalah 246: Bila memungkinkan,[5] ketika berdiri, kita wajib berdiri tegak dan tenang sesuai dengan kondisi (fisik) kita masing-masing.
Masalah 247: Pada saat berdiri, kita tidak boleh membuka kedua kaki terlalu lebar sehingga kondisi tersebut tidak bisa disebut berdiri (qiyâm). Bahkan berdasarkan pendapat yang paling kuat, kita tidak boleh membuka kedua kaki seukuran yang melebihi batas normal (al-muta‘âraf), meskipun kondisi itu masih disebut berdiri.
Masalah 248: Jika kita tidak mampu berdiri sama sekali, sekalipun dengan bersandar, mencondongkan tubuh, membuka kedua kaki, dan lain sebagainya, maka kita harus mengerjakan salat dengan duduk. Dalam kondisi ini, kita harus duduk tegak dan tanpa bersandar kepada apapun. Jika kita tidak bisa duduk sama sekali, maka kita harus mengerjakan salat dalam kondisi tidur ke sebelah kanan.[6] Apabila kita tidak bisa duduk dalam kondisi seperti ini, maka kita harus tidur ke sebelah kiri. Jika kita juga tidak bisa tidur dalam kondisi seperti ini, maka kita harus tidur terlentang seperti orang yang sedang menghadapi kematian.
Masalah 249: Jika kita mampu berdiri pada sebagian rakaat, maka kita wajib berdiri (pada rakaat-rakaat tersebut). Hal ini berlaku hingga kita tidak mampu berdiri lagi. Maka, kita harus duduk. Kemudian apabila kita mampu berdiri lagi, maka kita harus berdiri. Dan begitulah selanjutnya.
d. Qirâ’ah dan Zikir[7]
Masalah 250: Pada rakaat pertama dan kedua salat wajib, kita wajib membaca surah Al-Fâtihah dan satu surah[8] sempurna setelah itu. Dalam sebagian kondisi, kita boleh tidak membaca surah tersebut. Bahkan ketika waktu salat sudah sempit dan pada kondisi-kondisi yang sejenis, kita wajib tidak membaca surah.
Masalah 251: Membaca Al-Fâtihah juga wajib ketika kita mengerjakan salat sunah. Artinya, Al-Fâtihah adalah syarat kesahan salat sunah tersebut. Adapun surah, kita tidak wajib membaca surah apapun. Hanya saja surah bisa wajib lantaran sebuah faktor eksternal seperti nazar dan lain sebagainya. Ya, jika sebuah salat sunah memiliki cara membaca surah tertentu, maka surah itu disyaratkan demi terwujudnya salat sunah tersebut, kecuali apabila surah tersebut hanya merupakan syarat kesempurnaan salat itu, bukan dalam pensyariatan dan kesahannya.
Masalah 252: Ketika mengerjakan salat wajib, kita tidak boleh membaca salat satu surah ‘Azâ’im. Jika kita membacanya[9] lantaran lupa hingga sampai pada ayat sajdah atau mendengarkan seseorang sedang membaca ayat sajdah pada saat kita sedang mengerjakan salat, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus menggunakan isyarat untuk sujud Tilâwah, kemudian kita melakukan sujud Tilâwah setelah usai salat. Meskipun menurut pendapat yang lebih kuat, isyarat untuk sujud Tilâwah pada saat salat tersebut sudah cukup.[10]
Masalah 253: Basmalah adalah bagian dari surah. Oleh karena itu, kita harus membacanya (di permulaan setiap surah), kecuali surah Barâ’ah. Surah Al-Fîl dan Al-Îlâf, begitu juga surah Adh-Dhuhâ dan Al-Insyirâh terhitung satu surah. Atas dasar ini, kita harus membaca kedua surah itu secara berurutan beserta basmalah yang terdapat di antara keduanya, dan membaca salat satu dari kedua surah itu saja tidak cukup.
Sebelum membaca basmalah, kita harus menentukan surah (yang hendak kita baca). Atas dasar ini, jika kita memulai membaca basmalah, lalu kita ingin membaca surah yang lain, maka kita harus mengulangi membaca basmalah.[11]
Masalah 254: Al-Fâtihah dan surah wajib dibaca dengan suara pelan (ikhfât) pada salat Zhuhur dan Ashar, kecuali bacaan basmalah. Kaum lelaki wajib membaca Al-Fâtihah dan surah dengan suara keras (jahr) pada saat salat Shubuh serta rakaat pertama dan kedua salat Maghrib dan Isya’. Orang yang lupa, bahkan seluruh orang yang tidak sengaja (membaca tidak sesuai dengan kewajibannya)[12] dimaafkan. Adapun kaum wanita, mereka bisa memilih antara membaca dengan suara pelan atau keras, apabila laki-laki yang bukan mahramnya tidak ada.[13]
255: Tolok ukur membaca dengan suara keras dan pelan (al-jahr wa al-ikhfât) adalah terdengar dan tidak terdengarnya suara kita, bukan kita memperdengarkan dan tidak memperdengarkan bacaan kita kepada orang yang berada di samping kita. Dalam membaca dengan suara keras, kita tidak boleh berlebih-lebihan seperti berteriak. Begitu juga kita jangan keterlaluan memelankan suara sehinga—dalam kondisi tidak ada penghalang—kita tidak dapat mendengar suara kita sendiri.
Masalah 256: Tolok ukur kesahan bacaan Al-Fâtihah dan surah yang disyaratkan dalam salat adalah mengucapkan setiap huruf dari tempat-tempatnya (makhârij) sedemikian rupa sekiranya kita dianggap oleh pemilik bahasa telah mengucapkan huruf ta’ misalnya bukan huruf tho’, memperhatikan harakat dan segala sesuatu yang memiliki peran dalam bentuk sebuah kalimat, dan juga memperhatikan sukun dan harakat i‘râb seperti yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab.
Berdasarkan ihtiyâth, kita harus memperhatikan mad lazim, tidak menghentikan bacaan (waqf) dengan memberikan harakat pada huruf terakhir sebuah kalimat, tidak menyambung bacaan (washl) dengan mematikan (sukun) huruf terakhir sebuah kalimat, dan meng-idghâm-kan tanwin dan nun mati kepada huruf ya’, ro’, mim, lam, wawu, dan nun. Meskipun berdasarkan pendapat yang diutamakan (mutarajjih), kita tidak wajib memperhatikan semua itu.[14]
Berdasarkan ihtiyâth, kita jangan membuang tanwin dari kalimat ﴿أحدٌ﴾ yang terdapat dalam surah Al-Ikhlash apabila kita menyambungnya dengan ayat setelahnya.
Berdasarkan ihtiyâth wajib,[15] kita wajib membuang hamzah Washl ketika kita menyambung hamzah tersebut dengan kalimat sebelumnya, seperti hamzah yang terdapat pada kalimat ﴿الله﴾, ﴿الرحمن﴾, dan ﴿اهدنا﴾, dan wajib membaca hamzah Qath‘, seperti hamzah yang terdapat pada kalimat ﴿إياك﴾ dan ﴿أنعمت﴾. Jika kita membaca hamzah Washl tersebut dengan sengaja, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus menyempurnakan salat dan lantas mengulanginya.
Masalah 257: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[16] kita tidak boleh melanggar bacaan yang telah ditetapkan dalam tujuh jenis bacaan Al-Qur’an (al-qirâ’ât as-sab‘), meskipun kebolehan membaca Al-Qur’an dengan salah satu bacaan yang telah ditetapkan dalam sepuluh jenis bacaan Al-Qur’an (al-qirâ’ât al-‘asyr) bisa dibenarkan (lâ yab‘ud).
Masalah 258: Untuk selain dua rakaat pertama dan kedua salat wajib, kita bisa memilih antara membaca zikir atau Al-Fâtihah.[17] Yang utama bagi imam salat jamaah adalah membaca Al-Fâtihah dan bagi makmum membaca zikir.[18] Jika kita mengerjakan salat sendirian, maka keduanya adalah sama. Bacaan zikir adalah berikut ini:
سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ
Kita cukup membaca zikir itu sebanyak sekali, dan ihtiyâth[19] mustahab adalah tiga kali.
e. Rukuk
Masalah 259: Pada setiap rakaat salat wajib harian, kita harus rukuk sekali. Rukuk adalah rukun salat yang dapat membatalkan salat apabila kita menambah atau menguranginya, baik secara sengaja maupun lantaran lupa, kecuali dalam salat jamaah bila kita melakukannya untuk mengikuti imam.
Pada saat rukuk, kita harus membungkukkan tubuh sedemikian rupa sehingga tangan kita dapat menyentuh lutut. Dan berdasarkan ihtiyâth,[20] sehingga telapak tangan kita dapat menyentuh lutut. Sekedar membungkuk tidak cukup. Pada saat rukuk, sunah kita meletakkan kedua telapak tangan dengan jari-jari terbuka di atas kedua lutut kita. Dan berdasarkan ihtiyâth, kita jangan meninggalkan hal ini bila memungkinkan.[21]
Masalah 260: Pada saat membungkuk, disyaratkan kita membungkuk dengan niat untuk rukuk. Jika kita membungkuk dengan niat ingin meletakkan sesuatu di atas lantai misalnya, maka membungkuk ini tidak cukup dianggap sebagai rukuk. Dalam kondisi ini, kita harus berdiri lagi kemudian membungkuk kembali (untuk rukuk).[22]
Masalah 261: Jika kita lupa tidak rukuk dan kita merunduk untuk sujud, lalu kita ingat sebelum meletakkan dahi di atas tanah, maka kita harus kembali berdiri dan kemudian rukuk. Tidak cukup kita berdiri seraya membungkuk sampai batas rukuk. Jika kita ingat setelah memasuki sujud pertama atau setelah bangun dari sujud pertama itu, maka berdasarkan ihtiyâth[23] kita harus kembali ke posisi rukuk seperti tata cara yang telah dijelaskan di atas, menyempurnakan salat, dan lantas mengulanginya.
Masalah 262: Pada saat rukuk, kita wajib membaca zikir. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita cukup membaca zikir secara mutlak. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth,[24] zikir itu harus sekadar[25] tiga kali zikir rukuk yang pendek ﴿سبحان الله﴾ atau sekali zikir rukuk yang panjang ﴿سبحان الله ربي العظيم و بحمده﴾.
Masalah 263: Tubuh kita wajib tenang pada saat membaca zikir rukuk yang wajib.[26] Jika kita sengaja meninggalkan hal ini, maka salat kita batal. Berbeda halnya jika kita lupa.[27] Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth, kita hendaknya mengulangi salat sekalipun kita lupa.[28]
Masalah 264: Jika tubuh kita tidak bisa tenang lantaran sebuah penyakit atau uzur-uzur yang lain, maka syarat ini gugur. Akan tetapi, kita wajib menyempurnakan zikir yang wajib sebelum kita keluar dari batas rukuk.
Masalah 265: Sunah kita membaca takbir untuk rukuk ketika kita masih berada dalam kondisi berdiri tegak. Berdasarkan ihtiyâth, kita jangan meninggalkan hal ini.[29]
f. Sujud
Masalah 266: Untuk setiap rakaat, kita wajib sujud sebanyak dua kali. Kedua sujud ini adalah rukun salat. Jika kita menambahi atau mengurangi satu sujud saja karena lupa, maka salat kita tidak batal. Dalam sujud, kita harus merunduk dan meletakkan dahi di atas tanah[30] sedemikian rupa sekiranya sekedar nama sujud sudah terwujud; yaitu seukuran satu ruas ujung jari. Berdasarkan ihtiyâth mustahab, tempat sujud hendaknya berukuran sebesar 1 dirham.
Yang dimaksud dengan dahi adalah bagian dahi yang terdapat di antara tempat rambut tumbuh hingga hidung bagian atas dan kedua bulu mata dari sisi panjang dan antara kedua pelipis dari sisi lebar.
Masalah 267: Berdasarkan ihtiyâth wajib, seluruh berat badan harus tertumpu pada ketujuh anggota sujud. Oleh karena itu, jika anggota sujud hanya menyentuh tanah, maka hal ini tidak cukup. Tempat anggota-anggota sujud tidak wajib sama rata.
Masalah 268: Ketika sujud, kita wajib membaca zikir seperti penjelasan yang telah dipaparkan pada pembahasan rukuk. Ketenangan tubuh juga wajib terwujud pada saat kita sujud.[31]
Masalah 269: Tidak masalah kita mengubah letak anggota-anggota sujud ketika kita tidak sedang sibuk[32] membaca zikir, kecuali dahi. Oleh karena itu, tidak masalah bila kita membaca ﴿سبحان الله﴾ kemudian kita mengangkat tangan lantaran sebuah keperluan, lalu kita meletakkannya kembali dan melanjutkan sisa zikir tersebut.
Masalah 270: Ketika sujud, kita harus meletakkan dahi di atas bahan yang sah digunakan untuk sujud, seperti telah dijelaskan pada pembahasan “Tempat Salat”.[33]
Masalah 271: Kita wajib bangun dari sujud pertama dan duduk dengan tenang dan tegak. Begitu juga kita wajib merunduk untuk sujud sehingga tempat dahi kita sama dengan tempat kita berdiri. Jika salat satu tempat itu lebih tinggi daripada yang lain, maka salat kita tidak sah, kecuali apabila perbedaan antara kedua tempat itu hanya berukuran satu sisi lebar batu bata yang berukuran normal atau seukuran empat jari-jari yang dirapatkan.
Masalah 272: Jika kita tidak sengaja meletakkan dahi di atas tempat yang tidak sah digunakan untuk sujud, maka kita harus menggesernya ke atas tempat yang sah digunakan untuk sujud. Kita tidak boleh mengangkat dahi tersebut. Jika kondisi tidak memungkinkan kecuali kita harus mengangkat dahi, dan hal ini menyebabkan kita menambah sujud, maka berdasarkan ihtiyâth wajib[34] kita harus menyempurnakan salat dan lantas mengulanginya.
Masalah 273: Jika dahi kita terangkat dari tanah secara tidak sengaja dan kemudian kembali menyentuh tanah secara tidak sengaja pula, maka tidak jauh (lâ yab‘ud) apabila hal itu dianggap kembali ke sujud pertama. Oleh karena itu, sujud itu dianggap satu sujud.
Masalah 274: Jika kita tidak mampu sujud (secara sempurna), akan tetapi kita masih mampu melakukan sebagian peringkat sujud yang ringan, maka kita wajib melakukan peringkat tersebut dengan tetap memperhatikan seluruh syarat yang telah dipaparkan di atas. Jika kita tidak mampu merunduk sama sekali, maka kita harus mengisyaratkan dengan kepala. Jika kita juga tidak mampu, maka kita harus mengisyaratkan dengan kedua mata. Dan berdasarkan ihtiyâth,[35] kita harus mengangkat bahan yang digunakan untuk sujud apabila kita bisa meletakkan dahi di atasnya.
Masalah 275: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[36] kita jangan meninggalkan duduk istirahat (jalsah al-istirâhah). Duduk istirahat adalah sebuah jenis duduk dalam kondisi tenang setelah kita bangun dari sujud kedua dan sebelum kita berdiri.
Masalah 276: Dalam sujud, sunah wanita duduk terlebih dahulu sebelum sujud, merapatkan seluruh tubuhnya, dan menempel ke tanah dengan tidak mengembangkan kedua tangannya. Dalam semua jenis duduk, sunah ia duduk dengan kaki bersilang di bawah paha.[37]
Masalah 277: Ketika kita membaca ayat sajdah, kita wajib sujud. Jika kita mendengar sebuah ayat sajdah, maka kita juga wajib sujud dengan syarat ayat tersebut dibaca dengan niat membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, jika seseorang mengucapkan ayat tersebut tidak dengan tujuan membaca Al-Qur’an, ayat tersebut dibaca oleh seorang anak kecil yang belum mumayyiz atau orang yang sedang tidur, atau ayat itu terbaca lantaran kita menahan suara, maka kita tidak wajib sujud.[38]
g. Tasyahud
Masalah 278: Dalam salat yang berjumlah dua rakaat, kita wajib membaca tasyahud sekali setelah bangun dari sujud yang terakhir. Dalam salat yang berjumlah tiga dan empat rakaat, kita wajib membaca tasyahud sebanyak dua kali; tasyahud pertama setelah kita bangun dari sujud terakhir pada rakaat kedua dan tasyahud kedua setelah kita bangun dari sujud terakhir pada rakaat terakhir. Tasyahud adalah wajib yang non-rukun.
Masalah 279: Yang wajib[39] dalam tasyahud adalah kita membaca bacaan berikut ini:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، ٱللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ
Sunah kita memulai tasyahud dengan membaca salah satu dari dua bacaan berikut ini:
• الحمد لله.
• بسم الله و بالله و الحمد لله و خير الأسماء لله.[40]
Masalah 280: Ketika membaca tasyahud, kita harus membacanya dengan benar sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Jika kita tidak mampu untuk itu, maka kita harus mempelajarinya.
Masalah 281: Ketika membaca tasyahud, kita wajib duduk dalam kondisi tenang dengan cara apapun. Akan tetapi, makruh kita duduk berjongkok. Berdasarkan ihtiyâth, kita hendaknya meninggalkan duduk semacam ini. Pada saat membaca tasyahud, sunah kita duduk tawarruk.
h. Membaca Salam
Masalah 282: Membaca salam adalah wajib dalam salat dan—pada lahiriahnya—termasuk bagian dari salat. Salam salat memiliki dua bentuk:
• اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.
• اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, dengan tambahan وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ berdasarkan ihtiyâth. Akan tetapi, berdasarkan pendapat yang lebih kuat,[41] tambahan itu adalah sunah. Jika kita membaca bentuk pertama salam, maka bentuk kedua salam adalah bagian salat yang sunah. Jika kita tidak membaca bentuk pertama salam, maka berdasarkan pendapat yang zhâhir bentuk salam yang kedua adalah bagian salat yang wajib.
Adapun berkenaan dengan ﴿اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ﴾, bacaan ini adalah termasuk bagian dari tasyahud. Berdasarkan ihtiyâth, hendaknya kita senantiasa membacanya. Meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat, bacaan itu adalah sunah. Berdasarkan ihtiyâth juga,[42] setelah membaca bacaan ini, hendaknya kita membaca kedua bentuk salam tersebut dengan membaca bentuk salam yang pertama terlebih dahulu.
i. Berurutan (At-Tartîb)
Masalah 283: Seluruh amalan salat itu wajib dilakukan secara berurutan. Dengan demikian, kita wajib mendahulukan Takbiratul Ihram atas qirâ’ah, Al-Fâtihah atas surah, surah atas rukuk, rukuk atas sujud, dan begitulah seterusnya.
Masalah 284: Jika kita mendahulukan sebuah rukun salat atas rukun salat yang lain, maka salat kita batal. Adapun jika kita mendahulukan sebuah rukun salat atas amalan salat yang non-rukun karena lupa, maka hal ini tidak masalah. Begitu juga halnya jika kita mendahulukan amalan salat yang non-rukun atas rukun salat karena lupa, seperti halnya kita mendahulukan amalan salat yang non-rukun atas amalan lain salat yang juga non-rukun lantaran lupa. Akan tetapi, jika ada kemungkinan untuk mengulangi, maka kita harus mengulangi amalan tersebut sehingga keberurutan terwujud dan salat kita sah.
j. Berturut-turut (Muwâlât)
Masalah 285: Seluruh amalan salat wajib dilakukan secara berturut-turut dan berkesinambungan. Artinya, tidak boleh ada pemisah antara amalan tersebut sedemikian rupa sehingga bentuk salat sirna dan rangkaian amalan yang sedang kita kerjakan itu tidak bisa disebut salat. Jika kita meninggalkan muwâlât ini dengan sengaja atau lupa, maka salat kita batal.
Masalah 286: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[43] muwâlât dengan arti keberturut-turutan ‘urfî juga wajib. Ya, jika kita meninggalkan keberturut-turutan ini lantaran lupa, maka salat kita tidak batal.[44]
Masalah 288: Sebagaimana muwâlât antara amalan salat adalah wajib, muwâlât juga wajib dalam qirâ’ah, takbir, zikir, dan tasbih; yaitu antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara kalimat-kalimat yang terdapat dalam satu ayat, dan bahkan antara huruf-huruf sebuah ayat. Jika kita meninggalkan muwâlât ini karena lupa, maka hal ini tidak masalah. Akan tetapi, kita harus mengulangi bacaan, kecuali apabila tindakan ini menyebabkan muwâlât dalam (amalan) salat dengan arti yang telah dijelaskan di atas tidak terlaksana. Jika demikian, maka salat kita batal, meskipun muwâlât ini tidak terlaksana lantaran lupa.[45]
________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth, amal kita adalah batal, baik tujuan kita adalah murni riya’ kepada orang lain maupun gabungan antara melaksanakan perintah Allah dan riya’.
[2] Masalah: Kita wajib berdiri tegak dan tenang ketika membaca Takbiratul Ihram. Jika kita membacanya dalam kondisi tidak tegak dan tidak tenang, maka Takbiratul Ihram itu batal. Kita wajib mengucapkan Takbiratul Ihram sedemikian rupa sehingga bisa disebut qirâ’ah (bacaan) dan dapat kita dengar dalam kondisi normal. Takbiratul Ihram harus dibaca dengan menggunakan bahasa Arab yang benar. Selain bahasa Arab dan bahasa Arab yang tidak sesuai dengan kaidah gramatikal (al-malhûn) tidak dapat mencukupi. Jika kita tidak bisa membaca Takbiratul Ihram dengan menggunakan bahasa Arab, maka kita wajib mempelajarinya.
[3] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus membaca Takbiratul Ihram secara berkesinambungan antara kata Allah dan Akbar, serta antara huruf-hurufnya.
[4] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita jangan menyambung Takbiratul Ihram dengan bacaan setelah itu.
[5] Imam Khamenei: Bahkan disyaratkan kita tidak boleh berdiri miring sekiranya tubuh kita condong ke suatu arah dengan jelas.
[6] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Jika kita tidak mampu duduk, maka kita harus tidur ke sebelah kanan. Jika kita juga tidak mampu (tidur ke sebelah kanan), maka berdasarkan ihtiyâth kita harus tidur ke sebelah kiri.
[7] Masalah: Kita wajib mempelajari bacaan Al-Fâtihah, surah, dan bagian-bagian salat yang lain secara benar, asalkan kita memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya. Jika kita tidak memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus bermakmum bila memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka kita harus mengerjakan salat sesuai dengan kemampuan kita.
[8] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib.

Syaikh Behjat: Membaca surah adalah wajib bagi orang yang bisa membacanya atau mempelajarinya.
[9] Imam Khamenei: Jika kita membaca salat satu surah ‘Azâ’im dengan sengaja atau karena lupa hingga sampai pada ayat sajdah, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus melakukan sujud Tilâwah, lalu kita bangun seraya menyempurnakan bacaan surah dan salat, kemudian mengulangi salat. Adapun jika kita belum membaca ayat sajdah, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus meninggalkan surah tersebut dan membaca surah yang lain, kemudian kita menyempurnakan salat tersebut dan lantas mengulanginya. Ya, jika kita mendengarkan seseorang membaca ayat sajdah pada saat kita sedang mengerjakans salat, maka kita harus menggunakan isyarat untuk sujud Tilâwah, lalu kita menyempurnakan salat, dan kita tidak memiliki kewajiban apapun.

Syaikh Behjat: Jika kita membaca ayat sajdah, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus membaca surah yang lain. Akan tetapi, seusai salat, kita harus melakukan sujud Tilâwah. Adapun jika kita belum membaca ayat sajdah, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus meninggalkan surah ‘Azâ’im (yang sedang kita baca itu) dan membaca surah yang lain.
[10] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus sujud setelah itu.
[11] Imam Khamenei: Kita tidak wajib mengulangi basmalah. Basmalah yang telah kita baca itu cukup untuk setiap surah yang kita inginkan.
[12] Masalah: Jika kita sengaja membaca dengan suara keras padahal kita harus membaca dengan suara pelan atau sebaliknya, maka salat kita batal. Ya, salat orang yang lupa dan yang tidak mengetahui (hukum) adalah sah, meskipun mereka membaca tidak sesuai dengan kewajiban mereka. Akan tetapi, jika mereka ingat atau mengetahui hukum di pertengahan salat, maka mereka wajib menyempurnakan salat sembari membaca dengan suaru pelan atau keras, dan mereka tidak wajib mengulangi bacaan yang telah dibacanya dengan suara keras atau pelan itu.
[13] Imam Khamenei: Yang lebih utama adalah mereka jangan membaca dengan suara keras bila ada laki-laki yang bukan mahram mendengarkan suara mereka.
[14] Imam Khamenei: Kita tidak wajib menampakkan harakat akhir sebuah kalimat ketika kita menyambung kalimat tersebut dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, kita boleh mematikan (sukun) huruf nun pada ayat ﴿مالك يوم الدين﴾ meskipun kita menyambungnya dengan ayat ﴿إياك نعبد و إياك نستعين﴾, dan tindakan ini tidak isykâl. Bahkan tindakan ini boleh kita lakukan antara kalimat-kalimat yang terdapat dalam satu ayat. Hanya saja, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya jangan menyambung bacaan dengan mematikan huruf terakhir sebuah kalimat dalam satu ayat.

Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, kita boleh menyambung bacaan dengan mematikan huruf terakhir sebuah kalimat. Bacaan kita tidak batal meskipun kita menghentikan bacaan (waqf) dengan memberikan harakat pada huruf terakhir sebuah kalimat, asalkan kita melakukannya tidak dengan sengaja. Dan berdasarkan ihtiyâth, kita harus meninggalkannya bila kita tidak memiliki uzur.

Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh menghentikan bacaan dengan memberikan harakat pada huruf terakhir sebuah kalimat dan juga tidak boleh menyambung bacaan dengan mematikan huruf terakhir sebuah kalimat.

Kita wajib memperhatikan mad yang terdapat pada kalimat seperti ﴿ضالين﴾. Bahkan hal ini lebih ahwath pada kalimat-kalimat seperti ﴿جاء﴾, ﴿جيء﴾, dan ﴿سوء﴾.

Berdasarkan ihtiyâth, dalam ayat ﴿قل هو الله أحد الله الصمد﴾, kita harus membaca ﴿أحدنِ الله﴾.
[15] Sayyid Khu’i dan Syaikh Behjat: Kita wajib membuang hamzah Washl dan membaca hamzah Qath‘. Jika kita tidak memperhatikan hal ini, maka salat kita batal.
[16] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus membaca sesuai dengan bacaan tersebut.
[17] Imam Khamenei: Akan tetapi, jika kita membaca Al-Fâtihah, maka kita membaca basmalah-nya dengan suara keras, sekalipun ihtiyâth adalah kita membacanya dengan suara pelan apabila kita mengerjakan salat sendirian. Adapun jika kita berada di tengah-tengah salat jamaah, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus membacanya dengan suara pelan (ikhfât).

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, jika kita membaca Al-Fâtihah pada dua rakaat tersebut, maka kita harus membacanya dengan suara pelan.
[18] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib, makmum harus memilih membaca tasbih tersebut pada saat ia mengerjakan salat-salat yang harus dibaca dengan suara keras (ash-shalawât al-jahriyyah).
[19] Syaikh Behjat: Hal ini adalah lebih utama dan ahwath.
[20] Syaikh Behjat: Yang lebih utama adalah demikian.
[21] Imam Khamenei: Bahkan jika ujung jari-jari tangan kita dapat menyentuh lutut pada saat rukuk, maka hal ini sudah cukup. Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut pada saat rukuk.
[22] Masalah: Salat kita tidak batal karena tambahan rukuk itu lantaran rukuk (yang disyaratkan dalam salat) belum terwujud. Hal itu karena membungkuk itu—pada hakikatnya—bukan rukuk yang sebenarnya. Adapun jika membungkuk dengan niat rukuk, kemudian kita menambah satu rukuk lagi juga dengan niat rukuk, maka salat kita batal.
[23] Imam Khamenei: Bahkan kita wajib berdiri, lalu rukuk, kemudian sujud sebanyak dua kali dan menyempurnakan salat. Setelah itu, berdasarkan ihtiyâth, kita harus melakukan dua sujud sahwi lantaran tambahan sujud yang telah kita lakukan itu.
[24] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus membaca zikir rukuk yang pendek sebanyak tiga kali.
[25] Imam Khamenei: Ini semua bagi orang yang tidak memiliki uzur. Adapun jika kita tidak mampu menyempurnakan zikir yang wajib dalam kondisi rukuk lantaran sebuah penyakit atau uzur-uzur yang lain, maka kita cukup membaca zikir rukuk yang pendek sebanyak sekali. Jika kita juga tidak mampu untuk itu, dan kita hanya mampu rukuk sebentar saja, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mulai membaca zikir rukuk dari sejak kita memulai rukuk dan menyempurnakannya ketika kita berdiri dari rukuk.
[26] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Begitu juga halnya berdasarkan ihtiyâth wajib berkenaan dengan zikir yang sunah.
[27] Imam Khamenei: Jika tubuh kita tidak tenang tanpa sengaja pada saat membaca zikir rukuk yang wajib, maka kita harus mengulangi membaca zikir setelah tubuh kita tenang kembali. Begitu juga halnya berkenaan dengan zikir sujud yang wajib dan sunah.
[28] Masalah: Jika kita sengaja mulai membaca zikir yang wajib sebelum kita sampai pada batas rukuk dan sebelum tubuh kita tenang, padahal kita tahu bahwa ketenangan tubuh itu adalah wajib pada saat membaca zikir, maka salat kita batal. Begitu juga halnya apabila kita bangun dari rukuk sebelum kita menyempurnakan zikir padahal kita tahu bahwa kita tidak boleh bangun dari rukuk sebelum zikir rukuk usai. Jika kita bangun dari rukuk lantaran lupa dan ingat sebelum kita keluar dari batas rukuk, maka kita harus membaca zikir dalam kondisi tubuh yang tenang. Akan tetapi, jika kita ingat setelah kita keluar dari batas rukuk, maka salat kita sah dan kita tidak memiliki kewajiban apapun.
[29] Masalah: Pada saat rukuk, sunah kita memandang tempat yang berada di depan kedua kaki kita. Sebelum atau sesudah membaca zikir, sunah kita membaca salawat atas Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau as. Setelah bangun dari rukuk, sunah kita membaca ﴿سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ﴾. Sunah wanita meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha tepatnya di atas kedua lututnya dan tidak meluruskan kedua lututnya.
[30] Masalah: Seluruh anggota sujud yang lain juga harus diletakkan di atas tanah. Jika kita tidak meletakkan dahi di atas tanah, maka sujud belum terwujud meskipun seluruh anggota sujud yang lain sudah diletakkan di atas tanah. Adapun jika kita telah meletakkan dahi di atas tanah, akan tetapi kita lupa tidak meletakkan seluruh anggota sujud yang lain di atas tanah, maka sujud kita sah dan dihitung satu sujud.
[31] Seluruh penjabaran yang telah dipaparkan pada pembahasan rukuk juga berlaku di sini.
[32] Masalah: Jika kita mengangkat salah satu dari ketujuh anggota sujud pada saat kita sedang membaca zikir yang wajib dan sebelum zikir itu usai, maka salat kita batal apabila kita tetap berada dalam kondisi seperti itu (hingga sujud usai). Adapun jika kita mengulangi membaca zikir setelah anggota sujud itu diletakkan kembali, maka salat kita sah.
[33] Masalah: Dalam kondisi taqiyyah, tidak masalah kita sujud di atas selain tanah, seperti karpet, dan kita tidak wajib menghindarkan diri dari tempat tersebut dan pergi ke tempat yang lain. Ya, jika kondisi memungkinkan kita untuk memilih sehingga kita bisa sujud di atas anyaman daun pelepah atau bahan-bahan lain yang sah digunakan untuk sujud, maka kita harus memilih tempat yang dihampari bahan tersebut. (Dinukil dari Al-‘Urwah Al-Wutsqâ)

Imam Khamenei: Dalam kondisi yang memungkinkan kita untuk memilih, berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus sujud di atas bahan yang sah digunakan untuk sujud.

Imam Khomeini: Kita tidak wajib sujud di atas bahan yang sah digunakan untuk sujud meskipun dalam kondisi yang memungkinkan kita untuk memilih.
[34] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth, kita mengulangi salat setelah menyempurnakannya sebelum itu, meskipun kesahan salat itu masih dimungkinkan.
[35] Syaikh Behjat: Jika kita tidak mampu, maka kita harus merunduk sedemikian rupa sekiranya hal itu dapat dinamakan sujud dan mengangkat bahan yang kita gunakan untuk sujud seraya menempelkannya ke dahi kita. Jika kita tidak bisa melakukan demikian, maka kita harus menggunakan isyarat.
[36] Syaikh Behjat dan Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang azhhar, duduk istirahat adalah tidak wajib, meskipun melakukan duduk ini sesuai dengan ihtiyâth mustahab.
[37] Masalah: Setelah salat usai, sunah kita melakukan sujud syukur; yaitu kita bersyukur atas seluruh nikmat (yang telah dilimpahkan atas kita), khususnya nikmat taufik sehingga kita dapat mengerjakan salat. Dalam sujud syukur, kita meletakkan dahi di atas tanah. Yang paling utama adalah kita membaca ﴿شُكْرًا لله﴾ sebanyak tiga kali atau lebih (pada saat sujud itu).
[38] Imam Khamenei: Jika kita mendengarkan ayat sajdah dari radio, televisi, tape recorder, atau alat-alat yang sejenis, maka kita wajib sujud.
[39] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib.
[40] Masalah: Setelah usai membaca tasyahud, tidak masalah kita membaca ﴿وَ تَقَبَّلْ شَفَاعَتَهُ وَ ارْفَعْ دَرَجَتَهُ﴾, asalkan tidak dengan niat bahwa bacaan itu adalah bagian dari tasyahud. Untuk membacanya, kita harus berniat rajâ’ (mengharapkan pahala dari Allah). Ini semua berkenaan dengan tasyahud kedua. Adapun berkenaan dengan tasyahud pertama, bacaan tersebut adalah sunah.
[41] Imam Khamenei: Bahkan itulah yang lebih utama.
[42] Syaikh Behjat: Itulah yang lebih utama.
[43] Imam Khamenei: Muwâlât dengan arti tidak boleh ada pemisah yang panjang dan keluar dari kebiasaan (ghair muta‘âraf) antara bagian-bagian salat.

Syaikh Behjat: Muwâlât dengan arti bentuk salat tidak sirna dalam pandangan mukminin yang teguh memegang agama (mutasyarri‘ah) apabila kita tidak melakukan muwâlât tersebut dalam sebagian kondisi.
[44] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, salat kita batal bila kita meninggalkan muwâlât tersebut secara sengaja, bukan karena lupa atau sebuah uzur.

Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang azhhar, muwâlât dengan arti seluruh bagian salat harus dilakukan secara berturut-turut dan berkesinambungan (at-tawâlî wa at-tatâbu‘) adalah tidak wajib. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara sengaja dan lupa.
[45] Imam Khamenei: Jika kita meninggalkan muwâlât, akan tetapi hal ini tidak menyirnakan bentuk salat, lalu kita ingat setelah memasuki sebuah rukun salat, maka salat kita sah. Akan tetapi, jika kita ingat sebelum memasuki sebuah rukun salat, maka kita harus mengulangi amalan salat tersebut dengan muwâlât.
BAB IV
SALAT

PASAL 1
SALAT WAJIB DAN SALAT SUNAH
a. Jumlah Salat Wajib dan Salat Sunah
Masalah 187: Salat diklasifikasikan dalam dua kategori: salat wajib dan salat sunah.
a. Salat wajib adalah salat wajib lima waktu dalam sehari samalam, salat Jumat, salat qadha yang harus dikerjakan oleh anak laki-laki terbesar untuk ayahnya,[1] salat ayat, salat tawaf wajib, salat jenazah, dan salat yang harus dikerjakan oleh seorang mukalaf lantaran nazar, transaksi penyewaan, dan faktor-faktor yang lain. Akan tetapi, pengalkulasian salat terakhir ini dalam kategori salat wajib hanya berdasarkan musâmahah (toleransi).[2]
b. Salat sunah sangat banyak sekali. Di antaranya adalah:
▪ Salat sunah Rawâtib; yaitu 8 rakaat sebelum salat Zhuhur, 8 rakaat sebelum salat Ashar, 4 rakaat setelah salat Maghrib, dan 2 rakaat setelah salat Isya’ yang dikerjakan dalam kondisi duduk. Salat sunah Isya’ ini disebut salat wutairah. Waktu masing-masing salat sunah ini memanjang seperti waktu salat wajibnya. Salat sunah Rawâtib yang terakhir adalah 2 rakaat sebelum salat Shubuh. Waktu salat ini adalah fajar pertama dan memanjang hingga sekadar waktu yang cukup kita digunakan untuk mengerjakan salat Shubuh sebelum mega merah matahari terbit.
Ketika kita melakukan pepergian yang mewajibkan qashar, 8 rakaat salat sunah Zhuhur dan 8 rakaat salat Ashar gugur. Tetapi salat-salat sunah Rawâtib yang lain tidak gugur.
▪ 11 rakaat salat sunah malam; yaitu 8 rakaat salat malam, 2 rakaat salat syaf‘, dan 1 rakaat salat witir. Waktu salat sunah malam adalah pertengahan malam hingga fajar kedua muncul. Tetapi waktu sahar adalah waktu yang paling utama dari waktu-waktu yang lain.
Masalah 188: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, salat Ghufailah termasuk dalam kategori salat sunah, tapi bukan salat sunah Rawâtib.
Berdasarkan pendapat yang lebih kuat juga, salat Ghufailah berjumlah 2 rakaat dan dikerjakan setelah salat Maghrib dan sebelum megah merah matahari di sebelah barat sirna. Tata cara salat ini telah disebutkan dalam buku-buku yang lebih rinci.
Masalah 189: Pada hari Jumat, salat sunah Rawâtib Zhuhur dan Ashar boleh dikerjakan sebelum matahari tergelincir (zawâl). Bahkan kita boleh menambah empat rakaat kepada jumlah rakaat kedua salat sunah sehingga jumlah keseluruhan salat sunah ini menjadi 20 rakaat.
b. Waktu Salat Wajib
Masalah 190: Waktu salat Zhuhur dan Ashar adalah dari sejak matahari tergelincir (zawâl) hingga terbenam. Awal waktu ini adalah waktu khusus salat Zhuhur sekadar waktu yang dapat kita gunakan untuk mengerjakannya sesuai dengan kondisi kita. Akhir waktu ini adalah waktu khusus salat Ashar[3] sesuai dengan penjelasan di atas. Waktu antara kedua bagian waktu ini adalah waktu musytarak antara salat Zhuhur dan Ashar.
Masalah 191: Waktu salat Maghrib dan Isya’ bagi kita yang tidak terpaksa adalah dari matahari terbenam hingga pertengahan malam. Awal waktu ini adalah waktu khusus salat Maghrib sekadar waktu yang dapat kita gunakan untuk mengerjakannya sesuai dengan kondisi kita. Akhir waktu ini adalah waktu khusus salat Isya’ sesuai dengan penjelasan di atas. Waktu antara kedua bagian waktu ini adalah waktu musytarak antara salat Maghrib dan Isya’.
Masalah 192: Jika kita tidak mengerjakan salat Maghrib dan Isya’ hingga pertengahan malam berlalu, baik karena terpaksa, lupa, maupun sengaja,[4] maka berdasarkan ihtiyâth wajib[5] kita harus mengerjakan kedua salat tersebut hingga fajar tiba dengan niat mâ fi adz-dzimmah (kewajiban yang ada di pundak kita).
Masalah 193: Waktu salat Shubuh dimulai dari fajar kedua menyingsing hingga matahari terbit.[6]
Masalah 194: Waktu utama (fadhîlah) salat Zhuhur dimulai dari matahari tergelincir (zawâl) hingga bayangan sebuah syâkhish[7] berukuran sepanjang syâkhish itu sendiri. Waktu utama utama salat Ashar dimulai dari bayangan syâkhish berukuran syâkhish itu sendiri hingga bayangan itu berukuran dua kali lipat syâkhish.
Waktu utama salat Maghrib dimulai dari matahari terbenam hingga syafaq (mega merah di arah barat setelah matahari terbenam) sirna, dan waktu utama salat Isya’ dimulai dari mega merah itu sirna hingga sepertiga malam.
Waktu utama salat Shubuh dimulai dari awal waktu salat Shubuh hingga mega merah di arah timur muncul.
Masalah 195: Jika kita sengaja mendahulukan salat Zhuhur atas salat Ashar, atau salat Isya’ atas salat Maghrib, maka salat yang kita dahulukan itu batal secara mutlak. Akan tetapi, jika kita mendahulukannya lantaran lupa, lalu ingat hal itu setelah salat usai, maka salat yang kita dahulukan itu sah, dan setelah itu kita mengerjakan salat[8] yang semestinya harus kita kerjakan pertama kali.[9] Jika kita ingat hal itu di pertengahan salat, maka kita harus mengubah niat menjadi salat yang sebelumnya, kecuali apabila kita tidak bisa lagi mengubah niat tersebut; seperti kita mendahulukan salat Isya’ dan ingat hal itu pada saat rukuk untuk rakaat keempat. Dalam kondisi ini, berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita menyempurnakan salat Isya’, kemudian mengerjakan salat Maghrib dan mengulangi salat Isya’. Bahkan kebatalan salat Isya’ tersebut adalah sebuah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min qiwwah).
Masalah 196: Kita boleh[10] mengubah niat dari salat kedua (Ashar atau Isya’) kepada salat pertama (Zhuhur atau Maghrib), dan tidak boleh sebaliknya. Oleh karena itu, jika kita telah mulai mengerjakan salat Zhuhur atau Maghrib, lalu kita ingat di pertengahan salat bahwa kita telah mengerjakannya, maka kita tidak boleh[11] mengubah niat kepada salat setelahnya (Ashar atau Isya’). Berbeda halnya apabila kita melakukan sebaliknya. Dalam kondisi ini, kita mengubah niat dari salat kedua kepada salat pertama, asalkan kita masih bisa untuk mengubah niat.
Masalah 197: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita boleh mengerjakan salat sunah di waktu salat wajib selama waktu salat wajib itu tidak sempit. Begitu juga halnya meskipun kita memiliki kewajiban salat qadha.
Masalah 198: Jika kita yakin bahwa waktu salat telah masuk,[12] lalu kita mengerjakan salat, atau (dalam hal ini) kita mengandalkan tanda-tanda yang mu‘tabar (bernilai), seperti kesaksian dua orang adil, dan seluruh salat kita terlaksana di luar waktu salat, maka salat tersebut batal. Akan tetapi, jika sebagian salat itu meskipun sedikit terlaksana di dalam waktu salat, maka salat tersebut sah.[13]
Masalah 199: Jika kita tidak memiliki uzur, maka kita harus mengetahui pada saat memulai salat bahwa waktu salat telah masuk. Kesaksian dua orang yang adil dapat menduduki posisi pengetahuan ini, asalkan kesaksian itu bersandarkan pada pembuktian inderawi (hissî), (bukan pada sangkaan belaka). Berdasarkan ihtiyâth wajib,[14] azan tidak cukup[15] untuk membuktikan masuknya waktu salat meskipun muazin adalah seorang yang adil dan mengetahui waktu salat. Jika kita memiliki uzur seperti awan tebal dan uzur-uzur yang sejenis, maka kita boleh bersandarkan pada sangkaan. Adapun jika kita memiliki uzur khusus seperti kebutaan dan uzur-uzur yang sejenis, maka kita jangan meninggalkan ihtiyâth[16] dengan menunda salat hingga kita yakin bahwa waktu salat telah masuk.
c. Kiblat
Masalah 200: Jika kita sedang mengerjakan salat-salat wajib, baik salat wajib harian maupun selainnya, sekalipun salat jenazah, maka kita harus menghadap ke arah Kiblat, asalkan memungkinkan. Pada saat mengerjakan salat sunah, kita juga harus menghadap ke arah Kiblat apabila kita mengerjakannya di atas bumi pada saat kondisi tubuh kita tenang. Akan tetapi, jika kita mengerjakan salat sunah dengan berjalan kaki atau mengendarai kendaran, maka kita tidak wajib menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 201: Kita harus yakin[17] bahwa kita menghadap ke arah Kiblat pada saat mengerjakan salat. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kesaksian dua orang adil (bayyinah)[18] dapat menduduki posisi keyakinan, asalkan kesaksian mereka bersandarkan pada pembuktian inderawi (hissî). Jika kedua jalan ini tidak mungkin diperoleh, maka kita harus mengerahkan seluruh kemampuan kita (untuk menentukan arah Kiblat) dan mengamalkan sangkaan kita. Jika keempat arah adalah sama dalam pandangan kita, maka kita harus mengerjakan salat dengan menghadap kepada empat arah tersebut, asalkan waktu salat masih banyak. Apabila waktu salat sudah sempit, maka kita harus mengerjakan salat menghadap ke arah yang sesuai dengan keluasan waktu kita.
Masalah 202: Jika kita mengerjakan salat dengan menghadap ke suatu arah sesuai dengan ketentuan cara-cara yang mu‘tabar, lalu terbukti bahwa arah itu adalah keliru, maka salat kita sah asalkan arah tersebut masih terletak di area antara kanan dan kiri Kiblat. Jika kecondongan arah itu melebihi kedua area tersebut, maka kita harus mengulangi salat asalkan waktu salat masih ada, dan apabila waktu salat sudah habis, maka kita tidak perlu mengqadhanya, sekalipun arah itu membelakangi Kiblat. Akan tetapi, ihtiyâth mustahab adalah kita mengqadhanya.
d. Pakaian Salat
Masalah 203: Dalam kondisi tidak terpaksa (ikhtiyâr), kita harus menutupi aurat pada saat mengerjakan salat dan segala amalan yang masih merupakan bagian dari salat, seperti rakaat ihtiyâth, qadha bagian-bagian salat yang terlupakan berdasarkan pendapat yang paling kuat, dan dua kali sujud sahwi berdasarkan ihtiyâth wajib.[19] Dan kita jangan meninggalkan ihtiyâth pada saat melakukan tawaf.
Masalah 204: Jika aurat kita tersingkap karena tidak sengaja, atau aurat kita kelihatan dari sejak permulaan salat sedangkan kita tidak mengetahui hal itu, maka salat kita sah. Akan tetapi, kita harus segera menutupinya apabila kita tahu hal itu di pertengahan salat. Dan berdasarkan ihtiyâth,[20] hendaknya kita menyempurnakan salat tersebut dan mengulanginya lagi.[21] Begitu juga halnya dalam dua kondisi tersebut apabila kita lupa tidak menutupi aurat.
Masalah 205: Wanita harus menutupi seluruh tubuhnya termasuk leher dan bagian bawah dagunya, kecuali bagian wajah yang wajib dibasuh pada saat berwudu, kedua telapak tangan, dan kedua kaki hingga betis. Ia wajib menutupi sebagian dari pinggiran bagian tubuh yang dikecualikan tersebut sebagai mukadimah (bahwa sekujur tubuh yang wajib ditutupi sudah tertutupi).
Masalah 206: Kita tidak wajib menutupi tubuh dari arah bawah. Ya, jika kita berdiri di atas sebuah papan misalnya dan mungkin ada orang di bawahnya sehingga melihat aurat kita, maka berdasarkan ihtiyâth, bahkan berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita harus menutupi aurat dari arah bawah, meskipun sekarang ia belum ada.
Masalah 207: Untuk menutupi aurat yang harus dipenuhi dalam salat, tidak cukup kita—misalnya—masuk ke dalam air atau melumuri tubuh kita dengan tanah liat. Dan kita juga jangan meninggalkan ihtiyâth dengan tidak menutupi tubuh kita menggunakan dedaunan dan jerami kering.
Masalah 208: Pakaian penutup aurat, bahkan seluruh jenis pakaian orang yang sedang mengerjakan salat harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Pakaian salat harus suci,[22] kecuali pakaian yang salat tidak sempurna dengannya bila dikenakan sendirian, seperti penjelasan yang telah lalu.
2. Pakaian salat harus mubah. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengerjakan salat dengan mengenakan pakaian hasil gasab apabila kita tahu bahwa pakaian itu adalah hasil gasab.[23]
3. Pakaian salat harus berasal dari binatang berdaging halal[24] yang telah disembelih.[25] Jika pakaian kita berasal dari binatang berdaging haram, maka kita tidak boleh mengenakannya dalam salat, meskipun binatang itu telah disembelih. Dalam hal ini, tidak berbeda apakah pakaian itu berasal dari bagian tubuhnya yang memiliki roh pada saat masih hidup maupun berasal dari bagian tubuhnya yang tidak memiliki roh. Ya, ada dua binatang yang dikecualikan dari binatang-binatang berdaging haram itu:
• Berang-berang.
• Tupai, berdasarkan pendapat yang paling kuat. Akan tetapi, kita jangan meninggalkan ihtiyâth berkenaan dengan tupai ini.[26]
4. Pakaian salat tidak terbuat dari emas, khusus bagi kaum pria pada saat mengerjakan salat. Tidak masalah mereka menggunakan gigi emas pada saat mengerjakan salat, bahkan di luar salat sekalipun. Ya, isykâl mereka memasang emas di bagian gigi seri;[27] yaitu bagian yang tampak dan biasa dimaksudkan untuk berhias. Berdasarkan ihtiyâth, mereka harus menghindari hal ini.[28] Begitu juga tidak masalah[29] mereka membuat bingkai jam tangan mereka dari emas dan membawanya pada saat salat.[30]
5. Pakaian salat tidak terbuat dari sutera murni, khusus bagi kaum pria. Mereka juga tidak boleh memakai pakaian sutera di luar salat. Ya, tidak masalah mereka memakai tali dan perban luka yang terbuat dari sutera, asalkan hal ini tidak termasuk dalam kategori memakai sutera. Tidak masalah anak kecil memakai sutera, dan bahkan salatnya juga sah meskipun ia memakai pakaian sutera.
Masalah 209: Jika kita tidak menemukan pakaian penutup aurat sekalipun jerami kering dan dedaunan, maka kita harus mengerjakan dengan telanjang dalam kondisi berdiri, asalkan tidak ada anak kecil mumayyiz yang melihat kita. Jika ada anak kecil mumayyiz, maka kita harus mengerjakan salat dalam kondisi duduk. Dalam dua kondisi ini, kita harus menggunakan isyarat untuk rukuk dan sujud. Isyarat untuk sujud harus lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk. Jika kita mengerjakan salat dalam kondisi berdiri, maka kita harus menutupi kemaluan depan kita dengan kedua tangan kita. Dan jika kita mengerjakan salat dalam kondisi duduk, maka kita harus menutupinya dengan kedua paha kita.[31]
e. Tempat Salat
Masalah 210: Seluruh tempat dapat kita gunakan untuk mengerjakan salat, kecuali tempat hasil gasab, baik tempat itu sendiri yang digasab maupun manfaatnya. Termasuk dalam kategori tempat hasil gasab,[32] sebuah tempat yang orang lain masih memiliki hak atasnya. Termasuk dalam kategori tempat hasil gasab juga berdasarkan ihtiyâth wajib, apabila seseorang telah memilih tempat terlebih dahulu dalam sebuah masjid atau selain masjid untuk mengerjakan salat dan ia belum berpaling darinya, (lalu kita menggunakan tempat tersebut tanpa izin darinya).
Masalah 211: Jika kita tidak tahu, terpaksa, atau dipenjarakan (di sebuah tempat hasil gasab), maka salat kita sah. Begitu juga halnya bila kita lupa (bahwa tempat itu adalah hasil gasab), kecuali apabila kita sendiri yang menggasabnya. Maka berdasarkan ihtiyâth wajib,[33] salat kita adalah batal.
Masalah 212: Jika kita membeli sebuah rumah dengan menggunakan harta yang sudah terkena kewajiban khumus atau zakat, maka salat kita di rumah tersebut adalah batal, kecuali apabila kita menanggung khumus atau zakat itu sesuai dengan ketentuan syariat, seperti kita melakukan perdamaian dengan mujtahid.
Masalah 213: Kita boleh mengerjakan salat di tempat-tempat yang sangat luas seperti padang sahara, tanah pertanian, dan perkebunan yang tidak dipagari, selama pemiliknya tidak melarang.
Masalah 214: Maksud dari tempat hasil gasab yang dapat membatalkan salat adalah tempat yang kita gunakan untuk berdiri dan duduk, walaupun melalui perantara—sekalipun kebatalan salat masih isykâl bila ada perantara[34]—dan ruangan yang kita perlukan pada saat kita berdiri, rukuk, sujud, dan lain sebagainya.
Masalah 215: Berdasarkan pendapat yang paling kuat,[35] masing-masing salat seorang laki-laki dan wanita adalah sah meskipun mereka berdiri sejajar atau wanita berdiri lebih maju daripada laki-laki. Akan tetapi, hal itu adalah makruh bagi mereka berdua jika mereka memulai salat secara bersamaan dan bagi yang terakhir memulai salat apabila mereka memulai salat tidak secara bersamaan. Berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya mereka tidak berdiri sejajar atau wanita tidak berdiri lebih maju daripada laki-laki. Kemakruhan ini akan hilang apabila terdapat penghalang antara mereka atau mereka berdiri berjauhan sejauh 10 depa.
Masalah 216: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita boleh mengerjakan salat sejajar dengan makam suci imam maksum as., dan bahkan lebih maju daripada makam beliau.[36] Akan tetapi, hal ini adalah sebuah kekurangajaran. Berdasarkan ihtiyâth mustahab, kita hendaknya menghindari salat dalam dua kondisi itu.
Masalah 217: Tempat salat tidak disyaratkan suci kecuali apabila benda najis dapat menempel ke pakaian dan badan kita. Ya, hanya tempat sujud yang disyaratkan suci, seperti telah dijelaskan sebelum ini.
Tempat kita sujud harus sama rata dengan tempat kita berdiri, kecuali apabila perbedaannya hanya seukuran empat jari. Tempat anggota-anggota sujud yang lain tidak disyaratkan sama rata, tidak antara sesama anggota-anggota sujud itu sendiri dan tidak juga dengan tempat sujud.[37]
Masalah 218: Dalam kondisi tidak terpaksa, tempat sujud harus berasal dari bumi atau kertas. Yang paling utama adalah tanah Imam Husain as. yang dapat mengoyak tujuh tirai dan menerangi tujuh lapis bumi.[38] (Tanah ini mengandung kenangan Imam Husain as., sang syahid).
Masalah 219: Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, kita boleh sujud di atas tembikar, batu bata, batu nooreh, batu kapur—meskipun setelah dimasak, dan kertas. Begitu juga di atas batu arang,[39] tanah Armenia, batu gerinda (pengasah), dan seluruh jenis batu marmer kecuali marmer buatan[40] yang tidak diketahui apakah bahan utamanya adalah bahan yang dapat digunakan untuk sujud atau tidak.[41]
Masalah 220: Jika kita sujud di atas tumbuh-tumbuhan, maka tumbuh-tumbuhan itu tidak boleh berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dimakan dan dibuat pakaian. Tidak masalah kita sujud di atas biji buah apabila telah terpisah dari dagingnya yang dimakan. Tidak masalah juga kita sujud di atas buah-buahan yang tidak dimakan, seperti buah labu yang pahit dan lain sebagainya. Meskipun daun tembakau digunakan untuk rokok, akan tetapi hal ini tidak mencegah kita untuk bisa sujud di atasnya. Tidak jauh (lâ yab‘ud) bila kita boleh sujud di atas kulit pisang dan delima setelah terpisah dari daging dan bijinya.[42]
Masalah 221: Berdasarkan ihtiyâth wajib,[43] kita jangan sujud di atas pohon rami, sebagaimana ihtiyâth yang utama adalah kita jangan sujud di atas kertas[44] yang terbuat dari selain tumbuh-tumbuhan, seperti kertas yang terbuat dari sutera, meskipun berdasarkan pendapat yang lebih kuat kita boleh sujud di atas kertas secara mutlak.[45]
Masalah 222: Dalam kondisi tidak terpaksa, tempat sujud harus berbentuk sedemikian rupa sekiranya kita dapat meletakkan dahi di atasnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh sujud di atas tanah lumpur yang belum mengeras.
Masalah 223: Jika tanah dan lumpur berbentuk sedemikian rupa sehingga tubuh dan pakaian kita akan kotor apabila kita duduk di atasnya untuk sujud dan tasyahud, sedangkan kita tidak memiliki tempat lain untuk salat, maka berdasarkan ahwath yang lebih kuat kita harus mengerjakan salat dalam kondisi berdiri sembari menggunakan isyarat untuk sujud dan tasyahud.
Masalah 224: Jika kita tidak memiliki sesuatu yang sah digunakan untuk sujud, atau kita memilikinya, tetapi kita tidak bisa menggunakannya lantaran sebuah uzur, maka kita harus sujud di atas pakaian yang terbuat dari kapas atau rami. Jika pakaian tersebut tidak ada, maka kita sujud di atas pakaian yang terbuat dari selain kapas dan rami.[46] Jika pakaian ini juga tidak ada, maka kita sujud di atas bagian belakang telapak tangan.[47] Apabila kita tidak bisa sujud di atas bagian telapak tangan, maka kita harus sujud di atas tambang.[48]
Masalah 225: Jika kita kehilangan benda yang sah digunakan untuk sujud di pertengahan salat, maka kita harus memutus salat asalkan waktu salat masih luas. Jika waktu salat sudah sempit, maka kita sujud di atas benda selainnya sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan pada masalah di atas.
Masalah 226: Tempat yang kita gunakan untuk mengerjakan salat wajib disyaratkan harus tenang dan tidak bergerak-gerak. Jika ketenangan tempat salat dapat terwujud dalam kapal laut dan alat-alat transportasi yang sejenis pada saat berjalan, maka salat kita sah. Tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang lain. Semua itu bila kita berada dalam kondisi tidak terpaksa. Jika kita berada dalam kondisi terpaksa, maka kita mengerjakan salat sambil berjalan, menunggangi kendaraan, dalam kapal laut yang bergoncang, dan lain sebagainya dengan memperhatikan arah Kiblat sebisa mungkin; yaitu kita harus menghadap ke arah Kiblat semampu mungkin apabila kendaraan kita berpaling dari arah Kiblat.
Masalah 227: Sunah kita mengerjakan salat di masjid. Bahkan makruh kita tidak hadir di masjid tanpa uzur, khususnya bagi tetangga masjid. Masjid yang paling utama adalah Masjidil Haram, kemudian masjid nabawi, kemudian masjid Kufah dan Masjidil Aqsa, kemudian masjid jami’, kemudian masjid kabilah, dan kemudian masjid pasar. Begitu juga sunah kita mengerjakan salat di makam-makam suci para imam maksum as., khususnya makam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan Imam Husain as.
Masalah 228: Salah satu amal sunah yang sangat memperoleh penekanan adalah membangun masjid. Membangun masjid memiliki pahala yang sangat besar. Ya, berdasarkan ihtiyâth wajib,[49] kita jangan menghiasi masjid dengan emas atau melukis manusia dan binatang yang memiliki roh. Makruh kita melukisi masjid dengan benda-benda yang tidak memiliki roh.[50]
Masalah 229: Berdasarkan pendapat yang paling kuat, dalam membangun masjid, kita cukup berniat bahwa suatu tempat difungsikan sebagai masjid dengan disertai niat qurbah dan satu orang mengerjakan salat di dalamnya dengan seizin kita sebagai pembangun. Dengan itu, tempat itu telah menjadi masjid.
f. Azan dan Iqamah[51]
Masalah 230: Tidak isykâl bahwa azan dan iqamah adalah sebuah sunah yang sangat ditekankan untuk salat wajib waktu dalam kondisi apapun, baik untuk salat adâ’ maupun qadha, baik ketika kita sedang musafir maupun tidak, dan baik bagi kaum pria maupun kaum wanita. Sampai-sampai sebagian ulama berfatwa bahwa azan dan iqamah adalah wajib. Akan tetapi, berdasarkan pendapat yang paling kuat, azan dan iqamah secara mutlak adalah sunah.[52]
Masalah 231: Azan dan iqamah—secara mutlak—gugur untuk salat Ashar dan Isya’ apabila kita menjamak antara salat Zhuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya’.
Masalah 232: Azan dan iqamah gugur dalam dua kondisi berikut ini:
• Kita mengikuti salat jamaah yang telah dikumandangkan azan dan iqamah untuk salat tersebut, meskipun kita tidak mendengar suara azan dan iqamah dan juga tidak hadir pada saat azan dan iqamah tersebut dikumandangkan.
• Kita mengerjakan salat dalam sebuah masjid yang didirikan salat jamaah dan para makmum belum berpencar. Berdasarkan ihtiyâth,[53] kita jangan membaca azan dan iqamah dalam kondisi tersebut, baik kita mengerjakan salat di masjid maupun di selain masjid.
g. Khusyuk
Ketika mengerjakan salat, hendaknya hati kita khusyuk dalam seluruh tahapan salat tersebut. Salat seorang hamba tidak akan diterima kecuali yang dikerjakan dengan penuh konsentrasi. Arti khusyuk adalah memusatkan seluruh perhatian terhadap salat dan terhadap bacaan yang kita baca, menghadapkan diri ke haribaan Dzat yang layak disembah, meresapi keagungan-Nya, dan mengosongkan kalbu dari selain-Nya. Kemudian kita perhatikan keluasan rahmat-Nya seraya mengharap pahala-Nya. Dengan itu semua, akan terwujudlah dalam diri kita sebuah kondisi antara takut dan berharap (al-khawf wa ar-rajâ’). Di samping itu, hendaknya kita juga jujur pada saat membaca, “Hanya kepada-Mu-lah aku menyembah dan hanya kepada-Mu jualah aku memohon pertolongan.” Jangan sampai kita mengucapkan demikian sedangkan kita masih menyembah hawa nafsu dan memohon pertolongan kepada selain Tuhan kita.[54]
________________________________________
[1] Imam Khamenei: Dan juga untuk ibunya.
[2] Karena yang sebenarnya wajib adalah menepati transaksi penyewaan, sumpah, dan seluruh faktor tersebut—pen.
[3] Imam Khamenei: Akhir waktu salat Ashar adalah ketika matahari terbenam.
[4] Sayyid Khu’i: Jika kita sengaja, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengerjakan salat tersebut tanpa niat qadha maupun adâ’.
[5] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengerjakan salat tersebut tanpa niat adâ’ atau qadha.
[6] Imam Khamenei: Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara malam-malam yang berbulan dan yang tak berbulan, meskipun ihtiyâth adalah sebuah tindakan yang baik.
[7] Syâkhish adalah sebuah ranting kayu atau benda-benda sejenis yang kita tancapkan di atas tanah untuk mengetahui waktu salat Zhuhur—pen.
[8] Imam Khamenei: Semua itu, apabila hal itu terjadi pada waktu musytarak. Jika hal itu terjadi pada waktu khusus salat Zhuhur atau Maghrib dan kita ingat di pertengahan salat, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus mengubah niat menjadi niat salat Zhuhur atau Maghrib, lalu kita mengerjakan salat Zhuhur dan Ashar atau salat Maghrib dan Isya’; kita harus mengubah niat ke salat Maghrib asalkan kita masih bisa mengubah niat ke salat Maghrib.

Syaikh Behjat: Kita harus mengubah niat ke salat Zhuhur, dan kita jangan tinggalkan ihtiyâth dengan mengulangi kedua salat itu setelah kita usai mengerjakan salat.
[9] Sayyid Khu’i: Jika kita mendahulukan salat tersebut lantaran tidak mengetahui hukum, maka menurut pendapat yang aqrab (lebih dekat) salat kita sah, asalkan ketidaktahuan kita itu disebabkan oleh sebuah uzur.
[10] Imam Khamenei: Bahkan kita wajib mengubah niat dari salat kedua kepada salat pertama, apabila kita ingat hal itu di pertengahan salat dan masih bisa untuk mengubah niat.
[11] Masalah: Bahkan kita harus membatalkan salat tersebut dan mengerjakan salat Ashar atau Isya’.
[12] Masalah: Jika kita yakin bahwa waktu salat telah masuk, lalu kita mengerjakan salat, dan kemudian kita ragu dengan masuknya waktu salat itu di pertengahan salat, maka salat kita batal. Akan tetapi, jika kita yakin dengan masuknya waktu di pertengahan salat dan ragu apakah sebagian salat telah terlaksana sebelum waktu salat itu masuk, maka salat kita sah.
[13] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang masyhur, salat tersebut sah. Akan tetapi, ihtiyâth wajib adalah kita harus mengulanginya.
[14] Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, azan seorang yang adil lagi mengetahui waktu salat dan pemberitahuan bayyinah; yaitu dua orang yang adil, dapat menduduki posisi keyakinan.
[15] Imam Khamenei dan Sayyid Khu’i: Azan cukup untuk itu apabila muazin adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan mengetahui waktu salat.
[16] Syaikh Behjat: Orang buta dan orang yang berada dalam penjara boleh memulai salat pada saat mereka memperoleh sangkaan (bahwa waktu salat telah masuk), meskipun ihtiyâth adalah hendaknya mereka bersabar hingga memperoleh keyakinan, kemantapan hati, atau sangkaan yang lebih kuat.
[17] Imam Khamenei: Bahkan kemantapan hati yang kita peroleh dari kompas atau ilmu perbintangan (astronomi)—asalkan kita mengetahui seluk-beluk ilmu ini—cukup untuk itu. Bahkan kemantapan hati yang kita peroleh dari jalan lain yang dapat menjadikan hati kita mantap (juga cukup untuk itu).
[18] Sayyid Khu’i: Dan bahkan pemberitahuan seorang yang tsiqah.
[19] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus suci, menutupi aurat, dan menghadap ke arah Kiblat pada saat mengerjakan sujud sahwi.
[20] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab.
[21] Sayyid Khu’i: Menurut pendapat yang azhhar, kita mengulanginya.
[22] Masalah: Jika kita tidak tahu bahwa salat dengan pakaian atau tubuh yang najis adalah batal, lalu kita mengerjakan salat dengan tubuh atau pakaian yang najis dan kita tahu bahwa tubuh atau pakaian kita adalah najis, maka salat kita batal. Akan tetapi, jika kita mengerjakan salat dengan pakaian atau tubuh yang najis, sedangkan kita tidak tahu bahwa pakaian atau tubuh itu adalah najis, maka salat kita sah. Berbeda halnya apabila kita tahu bahwa pakaian atau tubuh kita adalah najis, lalu kita lupa bahwa pakaian atau tubuh kita adalah najis. Dalam kondisi seperti ini, berdasarkan ihtiyâth, salat kita adalah batal.

Syaikh Behjat: Salat kita adalah batal.
[23] Masalah: Jika kita tidak tahu atau lupa bahwa pakaian itu adalah hasil gasab, maka salat kita sah, kecuali apabila kita sendiri yang menggasab pakaian itu. Maka berdasarkan ihtiyâth kita harus mengulangi salat.

Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, salat kita sah meskipun kita sendiri yang telah menggasab pakaian itu.
[24] Masalah: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh membawa bagian tubuh bangkai pada saat kita sedang mengerjakan salat. Jika kita membawanya, maka berdasarkan ihtiyâth salat kita tidak sah. Kecuali jika bagian bangkai itu tidak memiliki roh pada saat binatang tersebut masih hidup, seperti bulu, tanduk, tulang, dan wol. Pakaian yang diragukan apakah berasal dari binatang yang telah disembelih atau tidak adalah suci. Akan tetapi, tidak sah kita mengenakannya dalam salat.

Syaikh Behjat: Tidak masalah kita membawa sesuatu yang terbuat dari bagian binatang berdaging halal yang tida memiliki roh, seperti bulu dan rambutnya.
[25] Masalah: Jika pakaian kita berasal dari bagian bangkai yang berdarah memancar, maka salat kita tidak sah. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, pakaian kita juga tidak boleh berasal dari bagian bangkai yang tidak berdarah memancar.

Syaikh Behjat: Tidak masalah kita mengerjakan salat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari bagian bangkai binatang berdaging halal. Begitu juga tidak masalah bagian binatang yang tidak berdarah memancar asalkan binatang itu tidak berdaging, seperti kutu dan serangga. Akan tetapi, jika binatang ini berdaging, maka berdasarkan ihtiyâth kita harus menghindarinya, dan bahkan tindakan ini adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah), meskipun binatang tersebut tidak bisa disembelih atau kita ragu apakah bisa disembelih atau tidak.
[26] Masalah: Rambut, keringat, dan air liur manusia yang menempel di pakaian atau tubuh kita tidak membatalkan salat. Begitu juga lilin, madu, kulit kerang, dan mutiara. Jika kita ragu apakah sebuah benda berasal dari binatang berdaging halal atau berdaging haram, maka sah kita membawanya pada saat salat.
[27] Imam Khamenei: Bahkan seluruh jenis gigi.
[28] Syaikh Behjat: Membawa emas bila tidak bisa disebut memakainya atau menambal gigi dengannya tidak membatalkan salat.
[29] Masalah: Adapun jika kita memakai jam tersebut dengan tangan kita sendiri pada saat kita sedang mengerjakan salat, maka berdasarkan ihtiyâth wajib salat kita batal. Begitu juga halnya apabila kita memakai cincin dan rantai emas (di pertengahan salat).

Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth, salat kita batal. Bahkan pendapat ini layak dikuatkan (lâ yakhlû min wajhin).
[30] Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang zhâhir, kita tidak boleh mengenakan rantai jam yang dikalungkan di leher atau digantungkan di baju kita, apabila rantai itu dianggap pakaian secara ‘urf.
[31] Masalah: Kita tidak boleh mengenakan pakaian syuhrah; yaitu sebuah jenis pakaian yang masyarakat tidak mengharap kita mengenakannya, baik lantaran warnanya, model jahitannya, pakaian itu sudah usang, maupun lantaran faktor lainnya, sehingga apabila kita mengenakannya di hadapan masyarakat umum, pandangan mereka akan tertuju kepada kita dan kita menjadi bahan omongan mereka.
[32] Masalah: Kita juga tidak boleh mengerjakan salat di sebuah tempat milik kongsi (syirkah) secara musyâ‘ (tidak dipisahkan) antara kita dan orang lain tanpa izin darinya. Begitu juga kita tidak boleh mengerjakan salat di sebuah tempat yang kita haram berdiri di atasnya, seperti kita berdiri di sebuah tempat yang membahayakan diri kita atau berdiri di sebuah tempat yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an atau nama-nama suci.
[33] Syaikh Behjat: Salat kita sah apabila kita ingat hal itu setelah usai salat. Jika kita ingat di pertengahan salat dan mungkin untuk berpindah ke tempat yang mubah, maka kita wajib berpindah. Jika tidak, maka kita harus membatalkan salat tersebut dan mengulanginya di tempat yang mubah.
[34] Masalah: Tidak isykâl bahwa kita mengerjakan salat di tempat hasil gasab apabila kita mengerjakan salat di atas tanah hasil gasab, meskipun di atas tanah itu telah dihampar permadani atau tikar yang bukan hasil gasab. Dengan demikian, salat kita adalah batal.
[35] Imam Khamenei: Jarak pemisah antara mereka cukup seukuran 1 jengkal. Jika tidak, maka berdasarkan ihtiyâth wajib salat mereka batal.
[36] Imam Khamenei: Tempat kita berdiri tidak boleh lebih maju daripada makam suci imam maksum as.

Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh berdiri lebih maju apabila hal ini menyebabkan pernghinaan.
[37] Imam Khamenei: Tempat sujud dibandingkan dengan tempat kedua lutut dan kedua ibu jari kaki tidak boleh lebih tinggi dan tidak juga lebih rendah seukuran lebih dari empat jari tertutup.
[38] Bihâr Al-Anwâr, jilid 85, hal. 153, hadis no. 14; Ad-Da‘awât, karya Ar-Râwandî, hal. 188, hadis no. 519.
[39] Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh sujud di atas batu arang.
[40] Imam Khamenei: Kita boleh sujud di atas batu marmer dan selain batu marmer yang dibuat untuk bangunan dan hiasan.
[41] Imam Khamenei: Begitu juga kita boleh sujud di atas batu akik, batu pirus, mutiara, dan benda-benda yang sejenis, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab kita tidak sujud di atasnya.
[42] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib, tidak sah kita sujud di atas daun teh yang masih hijau. Ya, sah kita sujud di atas daun kopi. Begitu juga sah kita sujud di atas bunga yang tidak dimakan dan di atas tumbuh-tumbuhan obat yang tumbuh dari bumi dan hanya difungsikan untuk mengobati penyakit. Adapun tumbuh-tumbuhan obat yang digunakan untuk pengobatan, tetapi memiliki khasiat medis lain sehingga tumbuh-tumbuhan tersebut juga dimakan untuk itu, maka tidak sah kita sujud di atasnya.

Tidak sah kita sujud di atas tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh sebagian orang atau dikonsumsi sebagai makanan di daerah tertentu.
[43] Syaikh Behjat: Kita tidak boleh sujud di atas pohon rami, baik sebelum ditenun maupun sesudah ditenun.

Sayyid Khu’i: Kita tidak boleh sujud di atas pohon rami.
[44] Imam Khamenei: Sah kita sujud di atas kertas yang terbuat dari kayu dan tumbuh-tumbuhan selain pohon kapas dan rami.
[45] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita jangan sujud di atasnya.
[46] Imam Khamenei: Kita harus sujud di atas pakaian yang terbuat dari kapas atau rami, atau di atas selain pakaian yang terbuat dari kedua bahan tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, jika kita mungkin sujud di atas pakaian yang terbuat dari kedua bahan itu, hendaknya kita jangan sujud di atas selain pakaian meskipun terbuat dari kedua bahan tersebut.
[47] Imam Khamenei: Berdasarkan ihtiyâth wajib.
[48] Masalah: Jika kita tidak bisa sujud di atas benda yang sah digunakan untuk sujud lantaran tuntutan taqiyah, maka kita boleh sujud apa saja sesuai dengan tuntutan taqiyah tersebut.
[49] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth, pekerjaan itu adalah haram.
[50] Imam Khamenei: Menghiasi masjid dengan emas bila termasuk dalam kategori penghambur-hamburan harta adalah haram. Jika tidak, menghiasinya dengan emas adalah makruh.
[51] Kesaksian bahwa Ali adalah wali Allah ﴿أشهد أن عليا ولي الله﴾ bukan bagian dari azan dan iqamah. Akan tetapi, mengucapkannya sebagai sebuah syiar Syi‘ah adalah suatu hal yang sangat penting dan baik. Dengan demikian, kesaksian ini hendaknya kita baca dengan niat qurbah mutlak.
[52] Sayyid Khu’i: Azan dan iqamah tidak disyariatkan untuk salat sunah dan salat wajib yang selain salat lima waktu.
[53] Syaikh Behjat: Azan beserta iqamah gugur apabila kita mengerjakan salat di sebuah tempat yang azan telah dikumandangkan untuk salat jamaah yang sah dan para makmun belum berpencar.
[54] Imam Ash-Shâdiq as. berkata, “Salatmu yang berguna bagimu hanyalah salat yang kamu kerjakan dengan penuh konsentrasi. Barang siapa mengerjakan salat tanpa khusyuk atau melalaikannya, maka ia telah melecehkannya, lalu salat itu akan dihempaskan ke wajahnya.”
Beliau juga berkata, “Jika kamu mengerjakan salat, janganlah kamu mengerjakannya dalam keadaan kenyang, bermalas-malasan, sambil mengantuk, dan terburu-buru. Akan tetapi, kerjakanlah salat itu dengan tenang dan penuh wibawa. Jika kamu telah memulai salat, maka kerjakanlah dengan khusyuk dan memuatkan seluruh perhatianmu kepadanya ... Tundukkanlah padanganmu dan janganlah kamu angkat menghadap ke langit. Pandanglah tempat sujudmu dan sibukkanlah hatimu dengan salatmu itu. Karena salatmu tidak akan diterima kecuali yang kamu kerjakan dengan penuh konsentrasi ... Ketahuilah bahwa kamu sedang berdiri di hadapan Dzat yang melihatmu, meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya. Kerjakanlah salat seperti salat orang yang hendak mengucapkan selamat tinggal; seakan-akan kamu tidak akan mengerjakan salat lagi setelah itu untuk selamanya.” (Al-Kâfî, jilid 3, hal. 363, hadis no. 4; Man lâ Yahdhuruh Al-Faqîh, jilid 1, hal. 303, hadis no. 916)
[1]Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, disyaratkan kita harus memeras atau menggosok benda tersebut. Jika kita mencucinya dengan air sedikit, maka kita harus memerasnya setelah setiap kali cucian.
[1]Syaikh Behjat: Ghusâlah harus terpisah dari pencucian pertama. (Beliau tidak memaparkan lebih dari itu).
[1]Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth mustahab.
[1]Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar, kita cukup mencucinya sebanyak dua kali dengan air sedikit atau sebanyak sekali dengan air kur dan air mengalir setelah bejana itu diolesi dengan tanah.
[1]Sayyid Khu’i: Kita cukup mencuci bejana itu sebanyak sekali bila kita mencucinya dengan menggunakan air mengalir atau air banyak.
[1]Sayyid Khu’i: Tidak berbeda antara air sedikit dan air banyak.
[1]Syaikh Behjat tidak menjelaskan masalah ini. Beliau hanya menyebutkan syarat bahwa benda najis harus hilang dan ghusâlah harus terpisah dari pencucian pertama. Ya, berkenaan dengan benda yang terkena najis selain air kencing, beliau menyebutkan bahwa benda itu cukup dicuci sekali setelah benda najis hilang. Jika benda najis itu pun hilang dengan pencucian ini, maka benda itu telah suci, asalkan air tetap mengalir setelah benda najis tersebut hilang.
[1]Syaikh Behjat: Yang penting adalah benda najis harus hilang, baik dengan cara kita berjalan di atas tanah, mengusapkan kaki ke atas tanah, maupun dengan cara yang lain.
[1]Imam Khamenei: Jika kita berjalan di atas tanah yang suci dan kering sebanyak kurang lebih sepuluh langkah, maka kaki atau sandal kita telah suci. Berjalan di atas tanah harus terwujud. Oleh karena itu, jika kita berjalan di atas tanah yang telah diplester atau dilapisi dengan aspal, maka kaki atau sandal kita tidak suci.
[1]Syaikh Behjat: Berdasarkan pendapat yang azhhar.
[1]Masalah: Sekadar perubahan bentuk tidak mencukupi, seperti gandum berubah menjadi tepung gandum. Gandum itu akan tetap najis bila terkena najis (sebelum diproses menjadi tepung).
Sekadar proses kimia atas sebuah benda najis atau benda yang terkena najis dengan menambahkan sebuah efek baru kepadanya juga tidak mencukupi.
Begitu juga sekadar pemisahan bahan-bahan tambang yang najis, bakteri, dan bahan-bahan yang lain dari air minum dan air-air yang lain tidak mencukupi, kecuali bila air itu disuling dengan cara penguapan dan lalu uap air itu berubah menjadi air lagi.
Sekadar kemusnahan (istihlâk) suatu benda najis juga tidak mencukupi, seperti bila kita membuat sabun dengan menggunakan bahan benda najis atau benda yang terkena najis. Sabun itu menjadi najis dan tidak bisa suci hanya dengan sekadar benda najis tersebut musnah dan menjadi sabun.
[1] Masalah: Disyaratkan supaya beberapa waktu berlalu sehingga darah itu menjadi darah serangga. Pada waktu itu, darah tersebut menjadi suci. Darah yang berpindah kepada serangga pada saat masih diisap dari tubuh kita adalah tetap najis, karena darah tersebut masih dianggap sebagai darah manusia.
[1] Imam Khamenei: Kegaiban tersebut dapat menyucikan bila tiga syarat berikut ini terpenuhi:
a. Barang-barang tersebut digunakan oleh pemiliknya seperti ia menggunakan suatu barang yang suci.
b. Ia harus mengetahui bahwa barang-barang tersebut najis.
c. Ia harus mengetahui hukum-hukum kesucian dan kenajisan.
[1] Sayyid Khu’i: Hal ini disyaratkan berkenaan dengan orang yang tidak memperhatikan masalah kesucian dan kenajisan, dan ia selalu menggunakannya untuk hal-hal yang bersyarat kesucian.
[1] Sayyid Khu’i: Hal itu berdasarkan ihtiyâth.
[1] Sayyid Khu’i: Berdasarkan ihtiyâth wajib.
[1] Sayyid Khu’i: Tidak masalah kita menggunakan sondok teh.
[1] Syaikh Behjat: Jika bingkai (qawâlib) cangkir masih disebut sebagai bejana ketika dipisah dari cangkir tersebut, maka kita haram menggunakannya secara mutlak.
(Dalam masalah ini, beliau tidak menyebutkan hukum sendok).
[1] Masalah: Makruh kita menggunakan bejana yang dihiasi perak. Bahkan berdasarkan ihtiyâth wajib, haram kita minum dari bejana tersebut bila kita menempelkan mulut kita ke bagian bejana yang berperak. Bahkan yang ahwath berkenaan dengan bejana yang dilapisi perak adalah hukum tersebut di atas. (Dinukil dari buku Al’Urwah Al-Wutsqâ).
Sayyid Khu’i: Berdasarkan pendapat yang azhhar, tidak masalah kita menggunakan bejana yang dilapisi perak.
PASAL 3
BENDA NAJIS YANG DIMAAFKAN DALAM SALAT
Terdapat beberapa benda najis yang dimaafkan dalam salat, antara lain:
a. Darah luka dan bisul[1] yang terdapat di tubuh dan pakaian kita hingga luka dan bisul itu sembuh. Tetapi berdasarkan ihtiyâth mustahab,[2] kita menghilangkan darah tersebut atau mengganti pakaian kita apabila hal itu tidak menimbulkan kesulitan (masyaqqah) bagi kita sendiri atau ditinjau dari pandangan masyarakat umum. Menurut pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah), darah ambeien dan seluruh jenis luka atau bisul yang terdapat di dalam kulit dan darahnya mengalir hingga keluar kulit memiliki hukum yang sama dengan darah tersebut.[3]
b. Darah yang terdapat di tubuh dan pakaian kita apabila berukuran kurang dari 1 dirham Baghalî dan tidak berasal dari tiga jenis darah (haid, istihadah, dan nifas), darah binatang najis ‘ainî, dan darah bangkai.[4] Tetapi semua itu berdasarkan ihtiyâth[5] berkenaan dengan darah istihadah, darah binatang najis ‘ainî, dan darah bangkai, meskipun dimaafkannya dua jenis darah terakhir ini memiliki dalil yang layak diperhatikan (lâ yakhlû min wajh).
Masalah 180: Karena ukuran dirham Baghalî tidak dapat ditentukan dengan pasti, maka kita harus mengambil kadar yang meyakinkan (untuk menentukan ukurannya). Yaitu sebesar ruas jari telunjuk. Hukum tersebut tidak berbeda apakah darah itu menyatu menjadi satu atau berserakan. Atas dasar ini, tolok ukur dimaafkannya sebuah darah adalah ukurannya.
Masalah 181: Yang dimaafkan dalam masalah ini adalah darah, bukan sesuatu yang menjadi najis lantaran darah.
c. Setiap benda najis yang tidak bisa digunakan untuk (menutupi aurat) dalam salat dengan sendirinya, seperti kopiah, kaos kaki, dan barang-barang yang serupa.[6] Ya, benda yang terbuat dari benda najis seperti kulit bangkai, bulu anjing, dan lain sebagainya tidak dimaafkan (dalam salat).
d. Benda yang telah menjadi bagian tubuh kita, seperti benang yang telah digunakan untuk menjahit kulit kita dan darah najis yang telah dimasukkan ke dalam tubuh kita.
e. Baju seorang perempuan yang mengurusi bayi, baik ia adalah ibu bayi itu sendiri maupun orang lain.[7] Baju yang dimaafkan tersebut adalah baju yang najis karena kencing bayi. Berdasarkan ihtiyâth, ia hendaknya mencuci pakaian tersebut setiap hari sebelum mengerjakan salat pertama dari sejak pakaiannya terkena kencing bayi, bahkan tugas ini memiliki dalil yang layak diperhatikan (lâ yakhlû min wajh).
Beberapa hal berikut ini tidak termasuk kategori benda najis yang dimaafkan dalam salat:
• Najis bayi selain kencing.
• Tubuh perempuan itu yang yang terkena najis, bukan pakaiannya.
• Bila yang mengurusi bayi itu adalah orang laki-laki.
• Perempuan itu memiliki beberapa potong pakaian dan ia tidak perlu untuk mengenakan seluruhnya. Jika ia perlu untuk mengenakan seluruhnya, maka ia seperti perempuan yang hanya memiliki sepotong pakaian.
________________________________________
[1] Imam Khamenei: Darah luka dan bisul yang terdapat di tubuh atau pakaian kita, apabila menghilangkan, menyucikan darah, atau mengganti pakaian tersebut sangat menyulitkan bagi kita sendiri atau ditinjau dari pandangan masyarakat umum. Dengan demikian, kita mengerjakan salat dengan darah tersebut hingga luka dan bisul itu sembuh. Begitu juga halnya berkenaan dengan nanah yang telah bercampur dengan darah atau obat. Adapun darah yang telah terpisah dari luka atau yang terdapat di dalam luka yang bisa cepat sembuh, maka jenis darah ini tidak termasuk kategori darah yang dikecualikan.

[2] Syaikh Behjat: Bahkan jenis darah ini dimaafkan (dalam salat) apabila menyucikannya dapat menimbulkan kesulitan bagi diri kita sendiri.

[3] Masalah: Sebagaimana darah tersebut dimaafkan, nanah yang menjadi najis lantaran darah itu, obat yang diletakkan di atas luka, dan keringat yang menyentuhnya juga dimaafkan. Akan tetapi, benda cair yang berasal dari luar dan menyentuh darah tersebut, lalu merembet ke bagian tepi luka tidak dimaafkan. (Fatwa ini dinukil dari Al-‘Urwah Al-Wutsqâ).

[4] Imam Khamenei: Jika darah itu adalah darah haid, maka darah tersebut tidak dimaafkan meskipun sangat sedikit sekali. Berdasarkan ihtiyâth wajib, darah istihadah, darah nifas, darah hewan najis ‘ainî, darah hewan berdaging haram, dan darah bangkai juga tidak dimaafkan. Meskipun demikian, tidak dimaafkannya selain darah nifas dan istihadah adalah pendapat yang kuat (lâ yakhlû min quwwah).

[5] Syaikh Behjat: Berdasarkan ihtiyâth wajib, ketiga jenis darah kaum wanita tidak dimaafkan (dalam salat).

Sayyid Khu’i: Ketiga jenis darah kaum wanita tidak dimaafkan berdasarkan ihtiyâth wajib dan darah binatang yang tidak boleh dimakan berdasarkan pendapat yang azhhar.

[6] Masalah: Barang-barang seperti sarung tangan, cincin, kalung, dan lain sebagainya juga dimaafkan (dalam salat). Begitu juga membawa sapu tangan yang najis, kunci, dompet, pisau, dan lain sebagainya. Tolol ukur dalam masalah ini adalah benda yang tidak bisa menutupi aurat.

[7] Sayyid Khu’i: Hukum ini adalah khusus untuk ibu bayi laki-laki, apabila (menyucikan pakaian itu) akan menimbulkan kesulitan baginya dipandang dari kondisi dirinya sendiri (al-haraj asy-syakhshî).
PASAL 5
CARA MEMASTIKAN HILAL
Hilal dapat dipastikan melalui beberapa cara berikut ini:
a.Melihat hilal secara langsung, meskipun hanya kita sendiri yang melihatnya.
b.Berita yang mutawâtir dan tersebar di seluruh pelosok masyarakat yang menyebabkan kita yakin.
c.Berlalunya 30 hari dari bulan yang telah lalu.
d.Bayyinah; yaitu kesaksian dua orang adil bahwa mereka telah melihat hilal.
e.Hukum seorang pemimpin negara syar‘i apabila tidak terbukti kekeliruannya dan tidak juga kekeliruan sandarannya.[1]
Masalah 425: Bayyinah memiliki pengaruh dan efek apabila dua orang adil sepakat atas sifat-sifat yang dimiliki oleh hilal yang muncul. Kecuali beberapa perbedaan ringan yang dimungkinkan mereka akan berbeda pendapat dalam menentukan hilal. Dengan perbedaan ringan ini, kesaksian mereka masih bisa diterima, asalkan perbedaan itu tidak parah.
Masalah 426: Kehujahan (al-hujjiyyah) hukum seorang mujtahid tidak hanya dikhususkan bagi para mukalidnya. Hukumnya adalah hujah bagi mujtahid yang lain, tentunya dengan persyaratan yang telah dijelaskan sebelum ini.
Masalah 427: Kepastian hilal di sebuah negara tidak cukup untuk penduduk yang berdomisili di negara yang lain, kecuali jika kedua negara itu berdekatan atau menyatu dalam ufuk.


________________________________________
[1] Masalah: Kondisi hilal dikelilingi oleh bersitan cahaya (at-tathwîq) dan hilal terbenam setelah mega merah di sebelah barat sirna tidak menjadi tolok ukur. Begitu juga dengan kebesaran, ketinggian, dan keluasan hilal. Kecuali jika kita yakin melalui tanda-tanda ini bahwa hilal telah muncul dua hari sebelumnya. Begitu juga, penentuan hilal dengan menggunakan sarana-sarana modern atau bersandarkan pada ucapan seorang astronom dan ahli perbintangan tidak bisa dijadikan tolok ukur. Kecuali apabila kita memperoleh keyakinan dari semua itu.
Sayyid Khu’i: Isykâl hilal bisa ditentukan dengan hukum seorang pemimpin negara syar‘i. Tidak jauh (lâ yab‘ud) bila hilal bisa dipastikan dengan ia melihat hilal sebelum matahari tergelincir. Hari ia melihat hilal itu termasuk dalam hitungan bulan yang lalu. Begitu juga hilal bisa dipastikan dengan adanya bersitan cahaya yang mengelilinginya (at-tathwîq). Kondisi ini menunjukkan bahwa hilal telah muncul pada malam sebelumnya.
PASAL 6
QADHA PUASA RAMADHAN
Masalah 428: Beberapa orang berikut ini tidak wajib mengqadha puasa yang pernah mereka tinggalkan:
a.Anak kecil untuk puasa yang telah ia tinggalkan ketika masih kecil.
b.Orang gila untuk puasa yang telah ia tinggalkan pada saat gila.
c.Orang pingsan untuk puasa yang telah ia tinggalkan pada saat pingsan.
d.Orang kafir asli untuk puasa yang telah ia tinggalkan pada saat kekafiran.
Selain keempat orang di atas wajib mengqadha puasa yang pernah mereka tinggalkan.
Masalah 429: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh menunda qadha puasa Ramadhan hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba. Jika kita telah terlanjur menundanya (hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba), maka setelah itu kita bisa mengqadhanya kapan saja.
Dalam mengqadha puasa Ramadhan, kita tidak wajib mengqadhanya secara berurutan. Kecuali apabila kita memiliki qadha puasa untuk dua bulan Ramadhan dan hingga bulan Ramadhan tahun berikut tidak cukup waktu untuk mengqadha kedunya. Dalam kondisi ini, berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengqadha puasa Ramadhan untuk tahun yang terakhir.[1]
Masalah 430: Jika kita tidak berpuasa seluruh atau sebagian bulan Ramadhan lantaran sebuah uzur dan uzur ini berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba, terdapat dua kemungkinan dalam hal ini:
1. Jika uzur yang kita miliki itu adalah penyakit yang berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikut, maka qadha puasa gugur dari pundak kita dan sebagai gantinya kita harus membayar kafarah sebesar 1 mud ( kg) untuk setiap harinya. Mengqadha puasa dalam kondisi ini tidak mencukupi kafarah.
2. Jika uzur yang kita miliki adalah selain penyakit, seperti pepergian dan lain-lain, maka menurut pendapat yang lebih kuat kita hanya wajib mengqadha puasa saja. Begitu juga halnya apabila sebab kita tidak berpuasa adalah penyakit dan faktor kita menunda qadha puasa adalah uzur lain atau sebaliknya. Akan tetapi, ihtiyâth dengan mengumpulkan antara mengqadha puasa dan membayar 1 mud, khususnya bila uzur lain itu adalah pepergian, jangan kita tinggalkan.
Masalah 431: Jika kita tidak berpuasa bulan Ramadhan dengan sengaja atau lantaran sebuah uzur, tetapi uzur ini tidak berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikut dan kita juga tidak memiliki uzur lain setelah uzur itu, lalu kita meremehkan qadha puasa hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba, maka kita harus membayar kafarah sebesar 1 mud untuk setiap harinya dan juga mengqadha puasa. Jika kita sengaja membatalkan puasa, maka kita wajib membayar dua kafarah.
Masalah 432: Kita boleh memberikan kafarah penundaan qadha puasa selama beberapa hari untuk satu bulan Ramadhan atau lebih kepada satu orang fakir.
Masalah 433: Jika kita sedang berpuasa untuk qadha puasa Ramadhan, maka kita masih boleh membatalkannya sebelum matahari tergelincir, selama waktu qadha belum sempit. Adapun setelah matahari tergelincir, kita haram membatalkannya. Bahkan, kita juga wajib membayar kafarah bila membatalkannya setelah matahari tergelincir.
Kafarah dalam hal ini adalah memberi makan 10 orang miskin dan untuk setiap orang miskin 1 mud. Jika tidak mungkin, maka kita harus berpuasa selama 3 hari.
Setelah membatalkan puasa itu, kita tidak wajib menghindarkan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.
Masalah 434: Puasa adalah seperti salat; yaitu, wali seorang mayit wajib mengqadha puasa yang pernah mayit[2] tinggalkan selama hidup, sekalipun—berdasarkan ihtiyâth[3] yang tidak layak kita tinggalkan—puasa yang ia tinggalkan itu lantaran menentang perintah Allah, meskipun ketidakwajiban mengqadha puasa ini adalah pendapat yang tidak jauh dari kebenaran (ghairu ba‘îd).


________________________________________
[1] Syaikh Behjat: Dalam asumsi ini, kita wajib medahulukan qadha puasa tahun yang terakhir atas qadha puasa Ramadhan yang lain.
[2] Imam Khamenei: Ayah dan juga ibu.
[3] Sayyid Khu’i: Ahwath berdasarkan ihtiyâth.
- See more at: Fytoko Corporation

STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf