Senin, 17 Oktober 2011

TENTANG PESANTREN

Pesantren ialah tempat santri-santri atau murid-murid yang belajar ilmu agama Islam. Pondok ialah tempat penginapan mereka seperti asrama masa sekarang. Menurut riwayat yang mula-mula mengadakan pondok pesantren itu ialah Maulana Malik Ibrahim. Di pondok pesantren itulah beliau mendidik guru-guru agama dan mubaligh-mubaligh Islam yang menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Biasanya pesantren itu terdiri dari sekumpulan pondok (surau kecil-kecil) yang terletak dekat sebuah masjid. Pondok-pondok itu didirikan dengan uang wakaf atau sedekah yang diberikan oleh orang-orang yang mampu, bahkan ada juga dengan kemauan dan ongkos sendiri dari santri-santri yang datang belajar ke sana. Murid-murid tinggal di pondok pesantren itu bersama-sama sebagai satu keluarga di bawah pimpinan gurunya. Mereka belajar hidup sendiri, memasak sendiri, mencuci sendiri dan mengurus hal ihwalnya sendiri. Bahan-bahan keperluan hidup seperti beras dan sebagainya mereka bawa dari kampung sendiri.(Mahmud Yunus: 1985: 231).
Sedangkan menurut C.E. Bosworth, dalam The Encyclopedia of Islam (1995: 296) Pesantren dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia terutama di pulau Jawa yang menekankan materi pendidikan agama Islam klasik dan para santri, hidup dalam lingkungan pondok dalam suasana tolong-menolong di antara mereka. Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan menggunakan sistem asrama (kampus). Di dalamnya santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan seorang atau beberapa kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik dan independen (Muzayin Arifin, 1991: 240).
Pesantren memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1). Sebagai Lembaga Indigenous, yaitu pesantren itu disamping identik dengan makna keislaman, juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous). Sebagai lembaga indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis religius masyarakat lingkungannya. Pesantren mempunyai kaitan erat dengan komunitas lingkungannya.(Azyumardi Azra, 1999: 108).
Pesantren muncul berdasarkan tuntutan masyarakat yang memerlukan bimbingan keagamaan, sehingga vitalitasnya tetap terjaga dan memberi warna kepada kehidupan spiritual masyarakat pendukungnya (Zamakhsyari Dhofier, 1986: xxxii). Tegasnya pesantren sejak awal merupakan lembaga pendidikan Islam mempribumi. Hal ini seperti yang dijelaskan Azyumardi Azra (2000: 8) bahwa pendidikan berbasis masyarakat sebenarnya telah lama diselenggarakan muslimin Indonesia, bahkan bisa dikatakan setua sejarah perkembangan Islam di bumi nusantara. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan, bahwa hampir secara keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak dari rangkang, dayah, dan meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), pondok dan Bustanul Atfal, Diniyah dan sekolah-sekolah Islam, didirikan dan dikembangkan masyarakat muslim sendiri. Kenyataan ini tidak mengherankan, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan dengan motivasi keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putra-putri kaum muslimin.
(2) Sebagai Sub Kultur; yaitu, Pandangan tentang pesantren sebagai sub kultur karena eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang berbeda dari pola kehidupan umum di negeri ini. Terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren dengan simbol-simbolnya menjadi daya tarik kuat bagi kehidupan lingkungannya sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup dan berkembangnya proses saling mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya yang berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal diterima oleh kedua belah pihak. (Abdurrahman Wahid, 1988: 40). Pesantren sebagai subkultur berkiprah di tengah-tengah masyarakat berdasarkan kepada religious cultural (kultur yang bersifat keagamaan). Kultur tersebut mengatur perilaku seseorang dalam hubungannya antar warga masyarakat lainnya. Karena lingkungan pesantren selalu berusaha menumbuhkan pola hidup sederhana, dan berpegang kepada asas hidup hemat, dan telah merupakan watak yang khas dari kehidupan warga pesantren pada umumnya.
Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kyai, ustadz, seperti dan pengurus santri hidup bersama dalam satu kampus berdasarkan nilai-nilai agama Islam, lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum. Ia merupakan suatu keluarga besar di bawah pimpinan kyai atau ulama dengan dibantu ustadz (Mastuhu, 1994:57).
(3) Sebagai Lembaga Tradisional; Pesantren mempunyai peran tradisional yang melekat pada dirinya. Aspek-aspek pesantren dapat dilihat dari peran tradisionalnya yaitu: pertama, sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu Islam tradisional; Kedua, sebagai penjaga dan pemelihara berlangsungnya Islam tradisional, dan ketiga, sebagai pusat reproduksi ulama.(Balitbang Sepag RI, 1999:4). Kata tradisional merujuk kepada aspek historis yaitu yang ada sejak ratusan tahun (300-400 tahun) dan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia, yang merupakan golongan mayoritas bangsa ini dan telah mengalami berbagai perubahan dari masa ke masa sesuai dengan pengalaman hidup umat. Pengertian kata tradisional tidak identik dengan statis. (Mastuhu, 1994:55).
Pesantren sebagai lembaga tradisional secara institusional telah ada sejak lama dan memiliki peran dalam penyampaian ilmu-ilmu keislaman sebagaimana yang terdapat di dalam kitab kuning. Adapun pemahaman tentang kitab kuning menurut Martin Van Bruinessen (1995: 31) adalah bahwa: Kitab-kitab yang merupakan penopang utama tradisi keilmuan dalam Islam ditulis pada abad 10 – abad 15 M. Corak penulisan pada kurun waktu tersebut umumnya bercorak sama dengan penulisan pada periode sebelumnya, terlebih-lebih pada akhir abad XV pemikiran Islam tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Dengan demikian peran tradisional dari pesantren cenderung kepada prinsip kontinuitas dari waktu ke waktu. Perubahan dan pembaharuan dapat saja terjadi dari segi kelembagaannya, tetapi ruh dan ciri khas pesantren secara kultural maupun sosial tetap memiliki keunikannya sendiri. Seperti yang disampaikan oleh (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 176) bahwa: Dari sudut pandang continuity and change (kesinambungan di tengah perubahan) bahwa pesantren berdiri dengan teguh di atas tradisi masa lampaunya dan konsisten terhadap nilai-nilai tersebut, sungguhpun demikian dalam kenyataanya perubahan yang terjadi dapat saja bersifat “tambal-sulam” sehingga dimungkinkan adanya nuansa yang berbeda. Dunia pesantren adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa. Pesantren tidak hanya identik dengan keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous). Sungguhpun demikian, tidak berarti pesantren menutup diri dari akomodasi dan konsesi, sejalan dengan perkembangan masyarakat pendukungnya.
- See more at: Fytoko Corporation

STATISTIK

Pengunjung

- See more at: http://www.seoterpadu.com/2013/07/cara-membuat-kotak-komentar-keren-di_8.html#sthash.UySpcPMO.dpuf